WANITA DAN RADIKALISME
SETIONO
Indonesia
sebagai negara yang penuh dengan keragaman suku, budaya, bahasa, dan agama. Hal
itu membuat istimewa Indonesia, namun dengan keragaman yang begitu banyak
disatu sisi bisa membawa dampak posistif yaitu pada nilai-nilai persatuan dan
kesatuan maupun nilai kegotong royongan, disisi lain keragaman itu bisa
berdampak negative, jika setiap individu dan kelompok memiliki sikap sentiment
terhadap perbedaan, baik atas nama agama maupun kelompok. Hal itu dapat memicu
sikap rasisme, extremisme dan bahkan sikap radikalisme.
Indonesia
saat ini cukup rentan terhadap gerakan extremisme dan radikalisme, khusunya
pada kaum perempuan. Dengan budaya patriarki di Indonesia yang memposisikan
perempuan dalam posisi marginal dan subordinat. Maka perempuan Indonesia akan
lebih mudah terpapar gerakan extreamisme maupun radikalisme, terutama perempuan
di pedesaan dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang tidak memadai ataupun
perempuan dengan pemahaman agama yang sedikit itu akan mudah terpengaruh oleh
doktrin-doktrin yang mengarah pada sikap extreamisme dan radikalisme. Mengapa
demikian, melihat hasil penelitian dari Institute for Policy Analysis of
Conflict (IPAC), bahwa aksi bom bunuh diri yang terjadi beberapa waktu terakhir
ini, salah satu dari pelaku bom bunuh diri adalah perempuan yang bahkan
mengikutsertakan keluarga atau anak-anaknya. Jika melihat fenomena tersebut,
sebenarnya keterlibatan perempuan dalam jaringan radikalisme sudah lama
terjadi. Namun, baru-baru ini saja kejadian tersebut terlihat.
Perempuan
Indonesia dalam jaringan organisasi extreamisme dan radikalisme saat ini mulai
melakukan aksi-aksi bom bunuh diri. Bahkan IPAC merilis laporan yang mengatakan
bahwa setidaknya ada 50 pekerja rumah tangga perempuan Indonesia di Asia
Timur-kebanyakan dari mereka tinggal di Hong Kong-menjadi radikal dan ikut
dalam kelompok diskusi extreamis. Artinya perempuan yang bekerja di luar negeri
sangat rentan untuk terpapar dan terlibat dalam jaringan organisasi extreamis.
Sebab dengan minimnya pengetahuan agama dan dengan doktrin-doktrin yang
diberikan oleh organisasi extreamis dapat mengubah pola pikir dan pemaham
mereka terhadap agama maupun pemerintah. Seperti kejadian dua WNI yang di
deportasi yaitu pekerja rumah tangga perempuan yang terindikasi terlibat dalam
jaringan radikalisme ISIS, artinya hal ini menunjukkan semakin rentannya
pembantu rumah tangga yang bekerja di luar negeri terhadap ancaman radikalisasi
dan terlibat dalam aksi terorisme. Hal itu semakin mengkhawatirkan keamanan dan
cukup menantang bagi keamanan di Indonesia.
Perempuan
yang sejatinya memiliki peran penting dalam keluarga untuk peningkatan
nilai-nilai dan norma-norma yang baik, namun sangat rentan karena jaringan
organisasi extreamis dan radikal memfokuskan pada perempuan agar terlibat dalam
gerakannya. Jika melihat fenomena diatas, bahwa perempuan terlibat karena
ketidaktahuannya dan minimnya pemahaman agama yang dimilikinya. Kendati bahwa
perempuan juga dapat menjadi agen dalam pencegahan extreamis dan radikalisasi
melalui keluarga. Karena perempuan memiliki sikap yang bijak dan lembut. Namun,
pemerintah juga harus melakukan upaya-upaya preventif yang lebih di fokuskan
pada perempuan, khususnya mereka yang akan bekerja di luar negeri. Tidak hanya
itu, pemerintah harus memiliki program yang bisa mencegah terjadi gerakan
extreamisme dan radikalisme, meskipun sudah ada undang-undang yang mengaturnya,
namun jika tidak adanya kesadaran dan kerja sama dengan para stakeholder maka
upaya tersebut tidak akan berjalan optimal. Dengan demikian, perlu adanya sinergisitas
antar lembaga atau stakeholder yang terkait.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar