Perkembangan, Arti, dan Metode
dalam Ilmu Perbandingan Agama
Setiono
Membicarakan disiplin ilmu sejarah
agama harus dibedakan dengan filsafat agama. Metode religo-ilmiah (Religionswissenschaft)
menjadi titik awal perbedaan penyelidikannya. Ketika kita ingin mempelajari
tentang suatu perkembangan, suatu arti (makna), dan metode dalam Ilmu
Perbandingan Agama tidaklah mudah dalam kita memahaminya. Sebab banyak hal yang
perlu kita pahami tentang suatu ilmu dan kita tidak hanya sekedar memahaminya,
tetapi harus disiplin ilmu agar kita mampu sedikit demi sedikit mengambil
pelajaran atau ilmu dalam Ilmu Perbandingan Agama. Dalam bukunya Joachim Wach
(Ilmu Perbandingan Agama) yang dimana dalam pembahasanya ada tentang
Perkembangan, Arti dan Metode Ilmu Perbandingan Agama. Dari hal itu kita
ketahui perkembangan ilmu perbandingan agama diwarnai antusias yang sangat kuat
dan baik untuk memahami agama-agama lain, dan adanya kebutuhan secara
spekulatif. Dengan adanya “Science of religion” dimaksudkan agar
kita mampu membedakan antara ilmu dari filsafat agama dan terutama teologi.
Perkembangan ilmu perbandingan agama
tidak lepas dari unsur spekulatif, meski terkadang masih terpengaruh dengan
sebuah sifat historis. Karena hal itu tak dapat dipungkiri dengan adanya
rangkaian kejadian, seperti sejarah agama tetapi tidak hanya itu saja ada
ceritera, sosiologi, dan psikologi semua itu sangat membantu disiplin ilmu.
Berangkat dari hal itu mulai munculnya antropologi, dan fenomenologi. Dalam hal
itu ada tiga hal penting diantaranya :
1. Keinginan
untuk mengatasi perselisihan-perselisihan yang timbul akibat spesialisasi dan
pembidangan yang terlalu berlebihan, melalui pandangan yang terpadu.
2. Keinginan
penetrasi yang lebih jauh ke dalam hakikat pengalaman keagamaan.
3. Pembahasan masalah-masalah epistemologis yang wujud akhirnya bersifat metafisis.
Dari hal itu muncul respon positif
dan sebagian sarjana percaya bahwa hasil karya generasi sebelunya tidak boleh
dilupakan, tetapi harus tetap terpelihara.
Dari
semua itu muncul kerja sama internasional dikalangan para sarjana Eropa, Asia,
dan Amerika. Kerja sama ini terdiri dari berbagai sandang seperti Muslim,
Hindu, Cina, dan Jepang pantas menerima perhatian istimewa (Birma, Siam,
Pilipina, Arab, Pakistan, Indonesia). Kerja sama itu terpelihara hingga lima
puluh tahun. Setelah itu tidak dapat dipungkiri mengenai politik dan adanya
pengaruh perang dunia mempersulit untuk mempertahankan standar dalam pertemuan.
Dalam
sikap batin sendiri sudah dapat mensifati
seseorang sebagai anggota yang sebenarnya. Sudah barang tentu dalam hal
tersebut belakangan akan lebih sulit menunjukkan apakah diperlukan adanya
pemahaman lengkap daripada dalam kasus yang terdahulu dimana keikut sertaan
diatur secara lebih otomatis atau mekanis. Ada tingkatan-tingkatan tertentu
dalam pemahaman yang bersifat sebagian (partial) dan bersifat menyeluruh (integral). Hal itu menjadikan kita
mengetahui syarat-syarat yang harus ada, bila hendak memperoleh pemahaman yang
integral. Ada tiga syarat yang harus kita ketahui, yaitu :
1 Kita meninjau perlengkapan apa saja yang diperlukan. Seperti diketahui kelengkapan itu sebagian akan bersifat intelektual. Jangan harap dapat memahami suatu agama atau gejala keagamaan tanpa adanya informasi yang cukup luas.
2. Berhasil tidaknya suatu upaya memahami agama yang bukan agama sendiri tergantung dari ada atau tidaknya persyaratan emosional yang tepat.
3. Kemauan
(vilition).
Dari ketiga hal pokok itu masih ada
kelengkapan lain yang merupakan perlengkapan utama dalam mempelajari agama,
yaitu pengalaman (experience). Jadi, dapat diperkirakan bahwa kita mampu
menilai dengan tepat dalam mahami agama itu ada berbagai cara atau tindakan kritis. Sebuah hal yang tak dapat dipungkiri mengenai banyak
pertentangan yang timbul selama sepuluh tahun terakhir ini yang berkisar antara
dua macam aliran pemikiran. Sebenarnya kita telah dituntut agar melakukan
metode secara ilmiah, itulah metode yang sah. Karena dengan ilmiah kita mampu
melakukan pemahaman dan dengan pemikiran yang kritis. Dan ada filsafat North
yang telah mengemukakan satu sistem filsafat yang terpadu untuk memahami alam,
akal, dan jiwa (spirit). Inilah yang seharusnya mampu menggantikan kebiasaan
laten. Secara metodologis berarti bahwa wujud yang tampil tidak harus dijelaskan
dari sudut strata atau tingkatan proses yang mendahuluinya. Karena itu
dibuatlah perkiraan untuk memahami penampilan keadaan-keadaan baru yang dapat
diramalkan sebelumnya. Maka dari itu harus adanya pemahaman secara ilmiah atau
secara kritis, kritis dalam keadaan dan kritis dalam pemikiran.
Sebenarnya ada beberapa macam cara
memahami atau mempelajari agama yaitu :
1. Secara
Teologi (Theology)
2. Secara
Historis (History of Religion)
3. Secara
Sosiologis (Sociology of Religion)
4. Secara
Antropologis (The Anthropological Study of Religion)
5. Secara
Evaluasi atau Kritik Intern (Literary Criticism)
6. Secara
Filosofis (Philosophy of Religion)
7. Secara
Psikologis (Psychology of Religion)
8. Secara
Fenomenologis (Phenomenology)
Dengan
hal diatas kita akan mudah memahami tentang ilmu perbandingan agama, karena
semuanya sangat penting dalam kita melakukan pemahaman keagamaan. Semua itu
terjadi sebab adanya perkembangan-perkembangan, maka muncullah berbagai ilmu
yang mampu menelaahnya sebuah pemahaman yang kritis. Dengan demikian, bahwa
dalam memahami keagamaan atau ilmu perbandingan agama tidak lepas dari
historis, teologi, sosiologis, antropologis, evaluasi (intrepretasi penulisan
atau kritik intern), filsafat, psikologis dan fenomenologis. Maka, marilah kita
sebagai generasi penerus harus lebih memahami segala hal secara kritis dan
disiplin ilmu. Sehingga dapat mengaktualisasikan nilai-nilai moral dalam kehidupan beragama di era kontemporer saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar