Selasa, 01 Desember 2020

JIHADIS dan Kembalinya dari Syiria

 

JIHADIS dan RETURNEE dari Syiria

Oleh: Tio Jagat

Kemajemukan bangsa Indonesia menjadi hal yang berbeda dengan negara-negara lain. Namun, dengan kemajemukan yang ada dapat memicu seseorang untuk melakukan hal-hal yang bersifat extremisme, separatisme bahkan dapat mengarah pada gerakan radikal. Hal ini tidak dapat dibiarkan begitu saja, apalagi bangsa Indonesia dengan mayoritas Muslim, setiap Muslim memiliki pemahaman agama yang berbeda yang menurut keyakinannya benar, teks-teks suci ada yang dipahaminya secara tekstual dan adapula yang dipahami secara kontekstual. Pemahaman agama yang sempit dapat mudah untuk dipengaruhi dengan doktrin-doktrin yang bersifat jihad. Maka perlu adanya sinergitas antara umat Islam dan pemerintah untuk melakukan upaya-upaya dan strategi untuk melakukan preventif, penilaian, mengawasi ataupun memonitor, karena pernah terjadi di Indonesia banyak orang Indonesia yang ingin bergabung dengan ISIS di Suriah, namun banyak yang ditangkap dan dikirim pulang ke Indonesia. Bahkan pada tahun 2018, lebih dari 500 WNI telah dideportasi, sebagian besar dari Turki.

Gerakan ISIS yang begitu sistematis dan masif sangat mudah untuk mempengaruhi seseorang untuk bergabung. Seruan jihad yang dilakukan ISIS cukup membuat seseorang tergoyah pola pikirnya, apalagi dengan pemahaman agama yang masih minim dan apalagi belajar secara online melalui media sosial itu sangat mengkhawatirkan. Jadi perlu ada upaya perbaikan dan penjaminan terhadap mereka yang terkena faham ISIS atau terindikasi sebagai pendukung ISIS melalui rehabilitasi yang kontinyu. Sejumlah WNI telah diizinkan pulang seletah mengikuti program-program rehabilitasi yang belum pernah diikuti dengan sempurna. Indonesia hampir tidak mempunyai kapasitas untuk mengawasi mereka atau menilai risiko yang mungkin mereka bawa, dalam upaya aksi teroris dan atau radikalisasi. Pada bulan Mei 2018, orang-orang yang dideportasi dari Turki telah berhenti tetapi kebutuhan untuk melacak orang-orang yang telah kembali masih tetap tinggi.

Pada bulan Juni 2016, ISIS mulai memanggil para pendukungnya di Asia Tenggara untuk bermigrasi ke Mindanao karena menyeberang ke Suriah sudah lebih sulit. Namun, sedikit yang menjawab seruan tersebut, bahkan dengan kondisi yang mudah untuk bepergian dari Indonesia dan militer aliansi pro-ISIS di Marawi yang memungkinkan mereka menahan serangan pasukan keamanan Filipina selama lima bulan. Namun, sekitar 40 ekstreamis Indonesia telah berupaya pergi ke Mindanao pada tahun 2016 dan 2018. Di antara mereka, 9 orang telah dideportasi, 6 tewas dalam pertempuran, 12 ditangkap di Indonesia sebelum mereka pergi, 3 ditangkap di Filipina, 5 ditangkap di Sabah, dan sisanya masih di Mindanao. Hal ini menjadi kekhawatiran kita semua, artinya pemerintah harus lebih tegas lagi dalam menangani permasalahan-permasalahan teroris dan radikalisme. Apalagi dengan adanya keberadaan ISIS ini sangat dapat mempengaruhi warga negara Indonesia, maka pemerintah dengan upayanya untuk merehabilitasi mereka yang dideportasi dan melakukan monitoring atau pengawasan diharapkan dapat menjadi salah satu strategi yang baik. Namun, menurut saya upaya-upaya tersebut masih belum maksimal, karena masih banyak usaha-usaha mereka yang dideportasi untuk kembali ke ISIS, perlu adanya peningkatan dalam penanganan masalah serius ini, perlu adanya sinergitas antara pemerintah dan lembaga-lembaga keagamaan ataupun dengan BIN dan BNPT. Upaya-upaya yang sudah ada ditingkatkan kembali, undang-undang harus tegas, sehingga upaya-upaya tersebut dapat berjalan sesuai dengan target dan sasaran. Dengan demikian, semua elemen tersebut harus memiliki komitmen yang berkelanjutan dalam penanganan masalah tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makna Tahlilan

  PROSESI DAN MAKNA TAHLILAN DI DESA KLORON PLERET BANTUL SETIONO    A.    Latar Belakang Tahlilan sangat erat sekali kaitannya de...