JIHADIS dan RETURNEE dari Syiria
Oleh: Tio Jagat
Kemajemukan
bangsa Indonesia menjadi hal yang berbeda dengan negara-negara lain. Namun,
dengan kemajemukan yang ada dapat memicu seseorang untuk melakukan hal-hal yang
bersifat extremisme, separatisme bahkan dapat mengarah pada gerakan radikal.
Hal ini tidak dapat dibiarkan begitu saja, apalagi bangsa Indonesia dengan
mayoritas Muslim, setiap Muslim memiliki pemahaman agama yang berbeda yang
menurut keyakinannya benar, teks-teks suci ada yang dipahaminya secara tekstual
dan adapula yang dipahami secara kontekstual. Pemahaman agama yang sempit dapat
mudah untuk dipengaruhi dengan doktrin-doktrin yang bersifat jihad. Maka perlu
adanya sinergitas antara umat Islam dan pemerintah untuk melakukan upaya-upaya
dan strategi untuk melakukan preventif, penilaian, mengawasi ataupun memonitor,
karena pernah terjadi di Indonesia banyak orang Indonesia yang ingin bergabung
dengan ISIS di Suriah, namun banyak yang ditangkap dan dikirim pulang ke
Indonesia. Bahkan pada tahun 2018, lebih dari 500 WNI telah dideportasi,
sebagian besar dari Turki.
Gerakan
ISIS yang begitu sistematis dan masif sangat mudah untuk mempengaruhi seseorang
untuk bergabung. Seruan jihad yang dilakukan ISIS cukup membuat seseorang
tergoyah pola pikirnya, apalagi dengan pemahaman agama yang masih minim dan
apalagi belajar secara online melalui media sosial itu sangat mengkhawatirkan.
Jadi perlu ada upaya perbaikan dan penjaminan terhadap mereka yang terkena
faham ISIS atau terindikasi sebagai pendukung ISIS melalui rehabilitasi yang
kontinyu. Sejumlah WNI telah diizinkan pulang seletah mengikuti program-program
rehabilitasi yang belum pernah diikuti dengan sempurna. Indonesia hampir tidak
mempunyai kapasitas untuk mengawasi mereka atau menilai risiko yang mungkin
mereka bawa, dalam upaya aksi teroris dan atau radikalisasi. Pada bulan Mei
2018, orang-orang yang dideportasi dari Turki telah berhenti tetapi kebutuhan
untuk melacak orang-orang yang telah kembali masih tetap tinggi.
Pada
bulan Juni 2016, ISIS mulai memanggil para pendukungnya di Asia Tenggara untuk
bermigrasi ke Mindanao karena menyeberang ke Suriah sudah lebih sulit. Namun,
sedikit yang menjawab seruan tersebut, bahkan dengan kondisi yang mudah untuk
bepergian dari Indonesia dan militer aliansi pro-ISIS di Marawi yang
memungkinkan mereka menahan serangan pasukan keamanan Filipina selama lima
bulan. Namun, sekitar 40 ekstreamis Indonesia telah berupaya pergi ke Mindanao
pada tahun 2016 dan 2018. Di antara mereka, 9 orang telah dideportasi, 6 tewas
dalam pertempuran, 12 ditangkap di Indonesia sebelum mereka pergi, 3 ditangkap
di Filipina, 5 ditangkap di Sabah, dan sisanya masih di Mindanao. Hal ini
menjadi kekhawatiran kita semua, artinya pemerintah harus lebih tegas lagi
dalam menangani permasalahan-permasalahan teroris dan radikalisme. Apalagi
dengan adanya keberadaan ISIS ini sangat dapat mempengaruhi warga negara
Indonesia, maka pemerintah dengan upayanya untuk merehabilitasi mereka yang
dideportasi dan melakukan monitoring atau pengawasan diharapkan dapat menjadi
salah satu strategi yang baik. Namun, menurut saya upaya-upaya tersebut masih
belum maksimal, karena masih banyak usaha-usaha mereka yang dideportasi untuk
kembali ke ISIS, perlu adanya peningkatan dalam penanganan masalah serius ini,
perlu adanya sinergitas antara pemerintah dan lembaga-lembaga keagamaan ataupun
dengan BIN dan BNPT. Upaya-upaya yang sudah ada ditingkatkan kembali,
undang-undang harus tegas, sehingga upaya-upaya tersebut dapat berjalan sesuai
dengan target dan sasaran. Dengan demikian, semua elemen tersebut harus memiliki
komitmen yang berkelanjutan dalam penanganan masalah tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar