Kamis, 17 Desember 2015

Apa Yahudi sekedar Agama?



INTISARI AGAMA YAHUDI
Oleh:
SETIONO
            Intisari agama Yahudi terdapat dalam Decalogue yang termasyur atau Sepuluh Perintah yang diwahyukan kepada Musa a.s. dari Tuhan. Dalam kitab kedua yang dinisbahkan kepada Musa a.s. disebut Keluaran, perintah ini tersusun sebagai berikut:: “Akulah Tuhan Allahmu yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir dan tempat perbudakan. Janganlah ada padamu Allah lain dihadapanKu.” “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit, atau yang ada di bumi, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku Tuhan Allahmu adalah Allah yang cemburu dan membalaskan kesalahan bapak kepada anak- anaknya, kepada keturunan yang ketiga, keempat, dan orang-orang yang membenci Aku. Tetapi Aku menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi Aku dan berpegang pada perintah-perintahKu.” “Jangan menyebut nama Tuhan Allahmu dengan sembarangan, sebab Tuhan akan memandang bersalah orang yang menyebut nama Nya dengan sembarangan.” “Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat. Enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ke tujuh adalah hari Sabat Tuhan Allahmu, maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan engkau atau anakmu laki-laki atau anakmu perempuan atau hambamu laki-laki atau hambamu perempuan atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu. Enam hari lamanya Tuhan menjadikan langit dan bumi laut dan segala isinya, dan berhenti pada hari ketujuh, itulah sebabnya Tuhan memberkati hari Sabat dan mengkuduskannya.”
 “Hormatilah ayah dan ibumu supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan Allah kepadamu.” “Janganlah membunuh.. “Janganlah berzinah.. “Janganlah mencuri. “Janganlah mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu. “Jangan menginginkan rumah sesamamu, jangan mengingini isterinya, atau hambanya laki-laki atau hambanya perempuan atau lembunya atau keledainya atau apa pun yang dipunyai sesamamu”. (Keluaran, 20 : 2 – 17) Juga ada perintah selanjutnya dalam Imamat: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (19 : 18)
UMMAT PILIHAN
             Kaum Yahudi menganggap dirinya sebagai umat pilihan Tuhan. Terbukti mereka bertindak lebih jauh dengan menganggap Tuhan dengan perasaan khusus adalah milik mereka, dan menyebut Dia sebagai “Tuhan Raja Israil”. Dia telah mewahyukan agama Nya yang sejati hanya kepada mereka sendiri. Dengan mengutip pengarang Yahudi modern : “Kunci yang benar dalam memahami agama Yahudi dalam tafsiran mereka sendiri didapati dalam konsepsi mereka tentang “ummat pilihan”. Ajaran “pilihan” ini adalah suatu misteri ... dan suatu skandal. Hal itu merupakan misteri dalam Alkitab itu sendiri yang menetapkan pilihan Tuhan tidak kepada sifat-sifat mulia yang tertanam pada bangsa Yahudi, tetapi kepada kehendak yang tak dikenal Tuhan. Segera hal ini terbentuk, tetapi tetap sebagai suatu skandal pada orang-orang kebanyakan, dan bahkan bagi beberapa banyak orang Yahudi.”[1]
            Menurut Alkitab Yahweh, Tuhan Yang Esa dan Sejati mengadakan perjanjian dengan Bani Israil yang menjadikan Dia Tuhan dari Israil, dan Israil sebagai ummat Yahweh. Mereka disebut “anak Tuhan” dan dinyatakan lebih unggul dari bangsa- bangsa lain: “Kamulah anak-anak Tuhan Allahmu … sebab engkau ummat yang kudus bagi Tuhan Allahmu, dan engkau dipilih Tuhan untuk menjadi ummat kesayangan Nya dari antara segala bangsa yang ada di atas muka bumi” (Ulangan, 14 : 1-2) “Dan bangsa manakah di bumi seperti umatmu Israil yang Allahnya pergi membebaskannya menjadi ummat Nya untuk mendapat nama bagimu dengan perbuatan-perbuatan besar yang dasyat.dan dengan menghalau bangsa-bangsa dari depan ummatmu yang telah Kau bebaskan dari Mesir. Engkau telah membuat ummatmu Israil menjadi ummatmu untuk selama-lamanya, dan Engkau ya Tuhan menjadi Allah mereka” (Tawarich, 17 : 21-22) Bahkan tanah yang diberikan Tuhan kepada Bani Israil, tanah Kanaan (Palestina) dinyatakan tidak ada tanah yang lebih seperti itu di permukaan bumi: “Maka janganlah najiskan negeri tempat kedudukanmu yang ditengah-tengahnya Aku diam, sebab Aku Tuhan diam di tengah- tengah orang Israil” (Bilangan, 35 : 34) Dalam Talmud ditulis: “Barangsiapa yang tinggal di Tanah Israil, dianggap percaya kepada Tuhan. Barangsiapa yang tinggal di luar Tanah itu dianggap sebagai golongan orang penyembah berhala .…Barang siapa yang hidup di Tanah Israil menjalani kehidupan tiada berdosa sebagaimana telah tersurat dalam Alkitab: ‘Orang-orang yang tinggal di sana akan diampuni atas kesalahannya’ (Isaiah, 33:34) Barang siapa yang dikuburkan di Tanah Israil dianggap seolah-olah dia dikuburkan di bawah Altar ... .Barang siapa yang berjalan sejauh empat meter di Tanah Israil dijamin satu tempat di dunia mendatang” (Mishah, Ketubot, 110a –111a) Dasar perjanjian Tuhan dengan Israil di Sinai adalah ajakan Tuhan, “Dan kamu akan menjadi bagi Ku kerajaan iman dan bangsa yang kudus” (Keluaran, 19:6). Namun tidak bisa diingkari bahwa kaum Yahudi selalu menganggap bahwa Perjanjian ini mengikat mereka hanya sebagai ikatan ras belaka. Akibatnya tidak saja mereka gagal untuk mengajarkan agama Yahudi kepada orang lain, bahkan mereka tidak menginginkan orang lain sebagai pengikutnya. Bila seorang asing mau menjadi penganutnya (hampir dapat dipastikan disebabkan perkawinan, maka hukum Yahudi tidak mengenal perkawinan antara penganut agama Yahudi dengan bukan Yahudi), itikadnya selalu dicurigai. Sifat agama Yahudi yang rasialis dan kebangsaan yang picik tampak jelas dalam kenyataan bahwa kaum Yahudi mengeluarkan kaum Samaria dari masyarakat Yahudi meskipun mereka sama-sama yakin kepada Taurat, hanya disebabkan karena mereka dianggap bersalah memperbolehkan perkawinan dengan kaum non Yahudi. Sebaliknya, orang Yahudi menganggap seorang yang dilahirkan oleh orang tua Yahudi itu, selalu beragama Yahudi bahkan meskipun dia (baik lelaki maupun perempuan) telah menjadi ateis ataupun telah membuang semua kepercayaan dan peribadatan Yahudi.
KONSEPSI TENTANG TUHAN
            Akidah agama Yahudi dikenal sebagai Shema, terurai sebagai berikut: “Dengarlah hai orang Israil, Tuhan itu Allah kita Tuhan yang Esa. Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” (Ulangan, 6:4- 5) Agama Yahudi berlandaskan dua ajaran yang luas, keyakinan atas keesaan Tuhan dan terpilihnya Israil sebagai pembawa kepercayaan ini. Kedua ajaran ini telah mendapatkan rumusannya yang klasik dalam Shema. “Apapun yang disini telah ditetapkan”, tulis Isidore Epstein, yakni (i) bahwa tiada Tuhan kecuali Yang Esa dan tiada sekutu di sisi Nya, dan (ii) bahwa Tuhan Yang Esa dan Satu-Satunya itu adalah yang diakui dan disembah oleh Bani Israil. Penolakan terhadap Tuhan lain adalah sekuat dan seteguh penerimaan terhadap Satu Tuhan. Mereka menolak segala perwujudan dan perlambang dari Dzat yang betapa pun disucikan dan dimuliakan menutup ‘Tuhan Yang Esa dan Satu-Satunya dari Israil. Jadi mereka menolak tidak hanya Tuhan yang dualistis ataupun kepercayaan politeis, tetapi juga Trinitas dari Kristen yang betapun hal itu ditafsirkan sedemikian rupa seolah-olah itu menjadi Satu Tuhan dalam pengertian kiasan, tetapi tetap merupakan suatu pengingkaran langsung terhadap Satu-Satunya Tuhan yang sejak awalnya telah dipilih oleh Bani Israil untuk disembahnya.”[2] Selanjutnya, di samping ajaran tentang Keesaan Nya adalah juga ke Maha Kuasaan Nya dalam istilah Talmud “Yang Maha Kuasa dan Maha Perkasa. Kekuasaan Nya tidak terbatas oleh Kehendak Nya. Agama Yahudi juga menekankan kekuasaan Tuhan tetapi hal ini tidak berarti Dia identik dengan kekuasaan dunia atau dibatasi olehnya. Segala ajaran panteisme yang akan mengenalkan Tuhan atau mempersamakan Tuhan dengan alam ditolaknya. Berhubungan erat dengan ide transendental dari Tuhan, ialah tak terbandingkannya keilahian. Dia adalah Roh Suci, bebas dari segala batas kebendaan dan kelemahan daging. Nama-nama Tuhan yang ditekankan oleh agama Yahudi yakni yang tak terbatas kekuasaanNya, keadilanNya, dan rahmat karuniaNya. Selanjutnya Dia adalah “Hidup dan Abadi selamanya”. Karena itu dalam agama Yahudi tak ada tempat bagi ajaran inkarnasi serta kematian dan kebangkitan kembali Tuhan.
            Namun haruslah ditunjukkan di sini, bahwa konsepsi ketuhanan yang utuh tidak terdapat dengan seragam di buku-buku Alkitab. Dalam kitab yang awal, Yahweh digambarkan tidak lebih dari Tuhan suatu suku bangsa saja. Dia adalah Tuhan dari bangsa Ibrani saja, bangsa-bangsa lain mempunyai tuhan-tuhannya sendiri (elohim). Adanya tuhan-tuhan lain ini tidak diingkari meskipun Yahweh dianggap yang paling berkuasa di antara mereka: “Siapakah di antara Elohim ini seperti Engkau, o Yahweh?”(Mazmur) Politeisme juga merasuk teks semacam ini dalam Alkitab seperti “Sesungguhnya manusia itu telah menjadi salah satu dari kami, untuk mengetahui yang baik dan yang jahat” (Kejadian, 3:22) Konsepsi tentang Tuhan dalam banyak teks dari Alkitab ialah antropomorfis. Dia adalalah menurut istilah Matthew Arnold, “seseorang yang gagah perkasa dan tidak seperti orang biasa.” Dia tidak beristeri dan beranak, tetapi hidup di langit dengan makhluk lain yang lebih rendah dari dirinya yang disebut juga tuhan-tuhan atau Elohim (Keluaran 15: 11, Mazmur 86:8, Mazmur 97: 7-9). Seringkali dia berjalan-jalan di muka bumi untuk menikmati senja yang sejuk (Kejadian, 3:8), turun untuk membuktikan desas desus yang telah didengarnya (Kejadian, 11:5; 18:20,21), makan dan minum dengan orang-orang dan bicara dengan isteri-isteri mereka. (Kejadian, 18: 1-5), memperoleh kekalahan dalam pertandingan adu gulat, hingga dia bisa menemukan siasat yang licik terhadap lawannya (Kejadian, 32:24-40), menujukkan punggungnya kepada Musa karena wajahnya menyebabkan kematian (Keluaran, 33:20- 23), dapat dibujuk untuk tidak membalas dendam dengan pujian atas kekuatan dan kewibawaannya (Keluaran, 32: 10-14), suka minum minuman keras (Hakim-Hakim, 9:13), suka cemburu (Keluaran, 20:5), suka membalas dendam (Kejadian, 32:42), menyesal atas apa yang telah diperbuatnya ataupun yang diniatkannya untuk dilakukan (Kejadian, 6:6; Keluaran, 32:14)
DOKTRIN DASAR LAINNYA
            Salah satu aspek yang penting dalam agama Yahudi adalah keyakinan bahwa Tuhan berkomunikasi kepada manusia melalui perantaraan ramalan. Ia menjaga hubungan dengan manusia melalui wahyu Nya dan hukum Nya kepada ciptaan yang disayangi Nya. Untuk maksud tersebut, Dia memilih Putra Israil dan membangkitkan nabi-nabi Nya hanya dari kalangan mereka. Ummat Yahudi percaya bahwa Musa a.s. adalah nabi terbesar dari segala nabi yang Tuhan berkomunikasi langsung dengan cara Nya, yang keseluruhannya ada dalam Torah (yakni Pentateuch) telah diwahyukan kepada Musa a.s. oleh Tuhan; dan Torah tidak akan mengalami perubahan atau menggantikan dengan wahyu lain dari Tuhan. Manusia, menurut ajaran Yahudi, diciptakan dari citra Tuhan. Ia dapat jatuh ke dalam sekali, tetapi ia tidak oleh dosa yang tidak dapat diampuni. Dosa adalah melawan kehendak Tuhan, tetapi lebih serius lagi menurunkan derajat manusia. Tobat seseorang akan mengembalikan kesuciannya. Tuhan Maha Pengasih dan memaafkan dosa-dosa orang yang bertaubat. Agama Yahudi percaya bahwa Tuhan mengetahui setiap perbuatan manusia dan semua yang difikirkannya. Ia mengganjar siapa-siapa yang memegang Perintah Nya dan menghukum siapa- siapa yang melanggar Perintah Nya. Dalam Alkitab sendiri dikatakan tempat manusia hidup adalah di dunia. Tetapi ajaran Yahudi datang pada suatu kepercayaan bahwa setelah kebangkitan dari kematian, akan ada kehidupan di sorga dan di neraka. Doktrin dasar lainnnya adalah tentang kedatangan Messiah (atau seorang yang dijanjikan), turunan langsung dari garis Daud, siapa yang akan menerima masa Mesiah ini akan melihat Bani Israil dikumpulkan kembali ke tanah Israil. Beberapa kalangan yakin bahwa Messiah akan datang sebagai hasil katalisasi dan mukjizat alam. Tetapi lainnya berpandangan lebih realistik. Mereka percaya bahwa Messiah ketika datang, musuh-musuh Tuhan dan hamba Nya terkalahkan, takhta kekuasan Daud dibangkitkan dan juga kedaulatan Putra Israil, tetapi hal itu tidak akan ada perubahan radikal atau mengejutkan dalam tatanan ciptaan.
ETIKA AGAMA YAHUDI
            Dasar agama Yahudi sebagai suatu sistem keagamaan dan hukum moral adalah kesucian yang mengandung dua aspek: negatif dan positif. Kesucian agama meminta dalam arti negatif menolak semua penyembahan berhala, dan dalam arti positif dijalankannya suatu sistem dalam upacara yang dianggap bangsa Yahudi telah diwahyukan kepada mereka dari Tuhan. Dalam segi moral kesucian meminta, dalam arti negatif, terhadap setiap desakan nafsu yang membuat manusia itu mementingkan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain merupakan nilai pokok kehidupan kemanusiaan. Dan dalam segi positif, ketaatan kepada suatu etika yang menempatkan pelayanan kepada sesama manusia sebagai titik pusat dari sistemnya. Dasar dari hukum moral tentang kesucian adalah dua prinsip keadilan dan ketulusan. Keadilan sebagai aspek negatif kesucian, dan ketulusan sebagai aspek positifnya. Mengenai keadilan, Taurat berkata: “Janganlah memutarbalikan keadilan, jangan memandang bulu, dan jangan menerima suap, sebab suap membuat mata buta orang bijak, dan memutarbalikan perkataan orang akan menjauhkan ketulusan. Semata-mata keadilan itulah yang harus kau kejar, supaya engkau hidup dan memiliki negeri yang diberikan kepadamu oleh Tuhan Allahmu” (Ulangan, 16:19-20)
            Keadilan berarti pengakuan atas enam hak-hak azasi, yakni hak untuk hidup, hak untuk memiliki, hak untuk bekerja, hak untuk berbusana, hak untuk bertempat tinggal, dan hak pribadi. Ketulusan membabarkan dirinya dalam penerimaan tugas kewajiban terutama terhadap si miskin, si lemah, dan yang tak berdaya. Aturan utamanya sebagai yang dirumuskan oleh Rabbi Hilles sebagai berikut: “Janganlah melakukan sesuatu kepada orang lain hal-hal yang kau benci kalau orang lain berbuat demikian kepadamu”. Dan inilah apa yang dapat kita baca dalam Gemara: “Kebijaksanaan yang tertinggi ialah kasih sayang” (Berakot, 17a) “Jika dua orang meminta tolong, sedangkan yang satu adalah musuhmu, tolonglah dia terlebih dahulu” (Baba Metzia, 32 b) “Pemberian zakat dan perbuatan mencintai sesamanya adalah sama dengan seluruh perintah Torat, tetapi mencintai sesamanya adalah lebih besar” (Sukkah, 49b) “Barangsiapa yang mendermakan sekeping uang kepada seorang yang miskin mendapatkan enam rahmat yang diberikan kepadanya, tetapi dia yang mengucapkan suatu perkataan yang lemah lembut kepadanya mendapat sebelas rahmat” (Baba Batra. 9b) Kasih sayang tidak terbatas tidak hanya kepada sesama manusia melainkan juga kepada binatang – binatang: “Rabbi Judah berkata atas nama Rab: Seseorang dilarang memakai sesuatu sebelum dia memberi makan binatang peliharaannya” (Gittin, 62a)


HUKUM-HUKUM PERDATA DAN PIDANA
            Taurat adalah kumpulan perintah-perintah yang diwahyukan kepada Bani Israil oleh Tuhan. Sekelompok besar dari perintah- perintah ini adalah bersifat hukum-hukum perdata dan pidana. Maksud dari para Penulis dan kaum Ulama, dialah yang boleh memberi komentar atas Torat, terutama berkaitan dengan hukum dan Talmud yang merupakan kumpulan dari peradilan-peradilan umum (Halachoth) Jadi agama Yahudi menekankan sejak semula sebagai agama hukum dan peradilan. Beberapa hukum-hukum Yahudi dibandingkan dengan hukum peradaban tua lain-lainnya jauh lebih menonjol kemanusiaannya. Misalnya, para majikan dilarang untuk memeras para pekerjanya atau menunda pembayaran upahnya bila sudah tiba saatnya. (Imamat, 19:13) Yang mempunyai piutang tidak boleh menyerang kehormatan pribadi yang berhutang dengan memasuki rumahnya untuk mengambil sumpah. (Ulangan, 24: 10-11) Dia tidak boleh berlaku kasar karena hal itu dilarang oleh sistem hukumnya yang lain. Bahkan seorang budak pun, kalau dia seorang Yahudi mempunyai hak pribadi dan tidak dianggap sebagai suatu milik mutlak: “Apabila engkau membeli seorang budak Ibrani, maka haruslah dia bekerja padamu enam tahun lamanya, tetapi pada tahun yang ketujuh ia diizinkan keluar sebagai orang merdeka dengan tidak membayar tebusan apa pun. Jika ia datang seorang diri saja, maka keluar pun ia seorang diri. Jika ia mempunyai istri, maka istrinya itu diizinkan keluar bersama dengan dia. Jika tuannya memberikan kepada dia seorang istri, dan perempuan itu melahirkan anak lelaki atau perempuan, maka perempuan itu dengan anak-anaknya tetap menjadi kepunyaan tuannya, dan budak laki-laki itu harus keluar seorang diri. Tetapi jika budak itu sungguh-sungguh berkata ‘Aku cinta kepada tuanku, kepada istriku, dan kepada anak-anakku, aku tidak mau keluar sebagai orang merdeka, maka haruslah tuannya itu membawanya menghadap Allah, lalu membawanya ke pintu atau ke tiang pintu dan tuannya menusuk telinganya dengan penusuk, dan budak itu bekerja pada tuannya untuk seumur hidup” (Keluaran, 21:2-6)
            Dalam beberapa kasus, manfaat dari hukum kemanusiaan hanya diperintahkan bagi kaum Yahudi saja, dan tidak mencakup orang-orang bukan Yahudi ataupun orang awam. Sayangnya ada ukuran ganda dalam kode hukum Yahudi – suatu hukum yang enak bagi bangsa Yahudi, dan hukum yang lain lebih keras dalam menyangkut hubungan dengan non Yahudi. Misalnya hukum utang menggariskan perlakuan lemah lembut kepada budak itu hanya diterapkan pada budak berbangsa Yahudi saja, budak yang bukan Yahudi diperlakukan lebih kasar dan tetap sebagai budak untuk seumur hidupnya (Lihat Imamat, 25: 44-46).
            Begitu pula halnya hukum yang melarang riba itu hanya berlaku jika si peminjamnya adalah orang Yahudi. Kode hukum Yahudi memperbolehkan kaum Yahudi meminjamkan dengan bunga kepada orang-orang non Yahudi: “Dan orang-orang asing, engkau boleh memungut bunga, tetapi kepada saudaramu janganlah engkau memungut bunga supaya Tuhan Allahmu memberkati engkau dalam segala usahamu di negeri yang engkau masuki untuk mendudukinya’ (Ulangan, 23: 20) Beberapa hukum agama Yahudi tampak berlebihan kerasnya. Ambilah misalnya yang berikut ini: “Siapa yang menghujat nama Tuhan, pastilah ia dihukum mati dan dilempari batu oleh seluruh jemaah itu. Baik itu orang asing maupun orang Israil asli, bila dia menghujat nama Tuhan haruslah ia dihukum mati.” (Imamat, 24:16) “Bila seorang lelaki berzinah dengan istri orang lain, yakni zinah dengan isteri sesama manusia, pastilah keduanya dihukum mati, baik laki-laki maupun perempuan yang berzinah itu.” (Imamat, 20:10).
 “Apabila ada seorang yang mengutuk ayah atau ibunya pastilah ia dihukum mati: ia telah mengutuk ayahnya atau ibunya: maka darahnya tertimpa kepadanya sendiri” (Imamat, 20:9) “Apabila ada seorang gadis yang masih perawan dan yang sudah bertunangan, jika seorang laki-laki bertemu dengan dia di kota dan tidur dengan dia, maka haruslah keduanya kamu bawa ke luar pintu gerbang kota, dan kamu lempari dengan batu sehingga mati, gadis itu karena di kota ia tidak berteriak-teriak, dan lelaki itu karena telah memperkosa isteri sesama manusia. Demikianlah harus kau hapus yang jahat itu dari tengah-tengahmu” (Ulangan, 22: 23- 24) “Seorang ahli sihir perempuan janganlah engkau biarkan hidup” (Keluaran, 22: 18) “Apabila seorang lelaki atau perempuan dirasuk arwah atau roh peramal, pastilah mereka dihukum mati, yakni mereka harus dilempari batu, dan darah mereka menimpa kepada mereka sendiri.” (Imamat, 20:27) Tetapi yang paling kejam dari seluruh hukum Yahudi ialah yang berkenaan dengan peperangan dan perlakuan terhadap tawanan perang musuh. Tertulis dalam Taurat: “Apabila engkau mendekati suatu kota untuk berperang melawannya, maka haruslah engkau menawarkan perdamaian kepadanya . . . Dan jika kota itu tidak mau berdamai dengan engkau, melainkan mengadakan pertempuran melawan engkau, maka engkau harus mengepungnya; dan ketika Tuhan Allahmu menyerahkan ke dalam tanganmu maka haruslah engkau membunuh seluruh penduduknya yang laki-laki dengan mata pedang. Hanya perempuan, anak-anak, hewan dan segala yang ada di kota itu, yakni seluruh jarahan itu boleh kau rampas bagimu sendiri, dan jarahan dari musuhmu ini yang diberikan kepadamu oleh Tuhan Allahmu boleh kau pergunakan. Demikianlah harus kau lakukan terhadap kota yang sangat jauh letaknya dari tempatmu, yang tidak termasuk kota-kota bangsa-bangsa di sini. Tetapi dari kota-kota bangsa-bangsa itu yang diberikan Tuhan Allahmu kepadamu sebagai pusaka, janganlah kau biarkan hidup apapun yang bernafas melainkan kau tumpas sama sekali, yakni orang Hittites, Armorites; Kanaan dan Farisi, Hevites, dan orang Jebus; sebagaimana diperintahkan kepada Tuhan Allahmu (Ulangan, 20: 10-17).
BENTUK DAN TATA UPACARA
            Pengorbanan mendapat tempat utama dalam Taurat, maupun dalam pencatatan sejarah mereka. Pelayanan terhadap tempat ibadah dipaparkan sebagai cita-cita yang besar dan tujuan dengan mana Tuhan menciptakan bumi ini, menempatkan bangsa-bangsa di dalamnya, dan menyebut Israil ummat Nya yang terpilih. Upacara- upacara pengorbanan yang harus dilaksanakan sampai kepada hancurnya Kanisah itu sendiri dapat dipelajari dalam Kitab Keluaran dan Imamat. Kita baca perintah dan kelompok pendeta yang mempersembahkan pengorbanan sehari-hari serta yang lainnya, sesuai dengan aturan di mana sampai rincian sekecil- kecilnya diatur dengan sangat hati-hati. Berikut ini adalah gambaran dari karya sebagian kecil upacara pengorbanan ini: “Kemudian haruslah kau ambil domba jantan yang satu, dan Harun beserta anaknya meletakkan tangannya atas kepala domba jantan itu. Haruslah kau sembelih domba jantan itu dan kau ambil darahnya dan kau siramkan pada altar sekitarnya. Haruslah kau potong-potong domba jantan menurut bagian-bagian tertentu, kau basuhlah isi perutnya dan betis-betisnya dan kau taruh itu di atas potong-potongan dan di atas kepalanya. Kemudian haruslah kau bakar seluruh domba jantan itu di atas altar; itulah korban bakaran, suatu persembahan yang harus bagi Tuhan, yakni suatu korban api- apian bagi Tuhan” (Keluaran, 29: 15-18)
            Bagi seorang pengamat luar, upacara pengorbanan agama Yahudi tampak tidak banyak berbeda dengan yang dijalankan di kalangan bangsa Yunani atau Romawi, hanya sudah pasti kaum Yahudi menjalankannya dalam skala yang lebih besar. Apa yang dimaksud atau dituju oleh upacara-upacara itu, tepatnya sukar kiranya dikatakan oleh orang Yahudi sendiri. Hal itu dikerjakan ia karena dinyatakan dalam hukum, dan hukum haruslah dipatuhi, bahkan jika orang tersebut kurang faham atau awam yang diperintahkan. Korban harian yang dipersembahkan setiap hari dimaksudkan untuk menghilangkan hal-hal yang tidak suci dari pengurus tempat ibadah, dan meyakinkan ummat bahwa rahmat karunia Tuhan tetap turun kepada mereka. Banyak upacara-upacara korban dimaksudkan untuk menghilangkan dosa-doasa tertentu, rasa syukur juga dinyatakan di dalamnya, dan perasaan-perasan lain juga dapat dipanjatkan melalui asap altar. Dalam agama Yahudi, tekanan kesucian berhubungan erat dengan ibadah. Segala sesuatu yang bersangkutpaut dengan upacara korban - rumah ibadah, pendeta, kendaraan, dan korban itu sendiri – direncanakan sebagai hal yang suci. Barang-barang dan orang- orang adalah suci yang semuanya itu milik Yahweh dan ditarik dari pemakaian sehari-hari. Adalah berbahaya untuk menyinggungnya dengan semena-mena. Yang bersangkut paut dengan tekanan atas kesucian, yakni kemurnian. Dalam agama Persia yang sebagaimana ditunjukkan oleh agama Majusi, pembedaan harus selalu diingat oleh pemeluknya antara apa yang termasuk dalam roh baik dan apa yang sudah jatuh ke bawah pengaruh roh jahat. Begitu pula dalam kalangan agama Yahudi. Orang yang disebut suci harus terpisah, dan orang lain hidup dalam ketakutan kalau-kalau menyentuh sesuatu yang tidak suci, karena hal itu dia memisahkan kesuciannya sendiri. Ada binatang yang dihalalkan, dan ada juga yang diharamkan di mana dia tidak boleh memakannya, macam-macam pencuci tangan dan perabotan rumah tangga diperlukan agar dia  tetap dalam keadaan suci: banyak macam-macam perniagaan yang karena harus berhubungan dengan berbagai golongan manusia yang membuat tidak memungkinkannya tetap suci. Di atas segalanya adalah terlarang untuk memakai masakan orang yang tidak seiman, atau duduk satu meja bersama penyembah berhala. Karena itu orang Yahudi teguh dalam kepercayaan, atau keunggulan dirinya sendiri dari orang-orang lain dari ras yang berbeda, dan diharamkan dengan berbagai hambatan untuk bercampur dengan mereka, bahkan untuk menganggapnya sebagai saudara. Setelah penghancuran Kanisahnya, maka upacara-upacara korban harus dilepaskan dan tempatnya digantikan dengan ibadat sehari-hari. Rukun ibadatnya meminta setiap orang Yahudi bersembahyang tiga kali sehari, jika mungkin di Kanisah, mengucapkan doa syukur sebelum dan sesudah makan, bersyukur kepada Tuhan atas setiap kesenangan, seperti penglihatan yang aneh, bau harum sekuntum bunga, atau diterimanya kabar baik, memakai busana yang lepas di sekujur tubuh (tzitzith), membawa jimat (tifillin) sewaktu sembahyang pagi. Selanjutnya sebagai suatu lambang janji Tuhan kepada Nabi Ibrahim a.s. setiap anak Yahudi laki-laki harus dikhitan ketika dia berumur delapan hari. Bila dia telah mencapai usia tigabelas tahun, maka seorang anak lelaki Yahudi memperoleh peresmiaan kedewasaannya (Bar Mitzvah) dan terikat kepada kewajiban-kewajiban serta pribadinya dengan memakai tifillin padanya, dan ‘dipanggil’ untuk membaca Taurat di depan umum.
            Gambaran umum yang penting dalam kehidupan keagamaan kaum Yahudi ialah ‘Musim yang ditentukan’ - - - Pesta dan Puasa. Yang utama dari hal ini ialah Sabbath, hari istirahat mingguan. Sesuai dengan citra Rabbinic, manusia adalah mitra Tuhan dalam penciptaanNya. Tuhan bekerja menciptakan dunia ini dalam enam hari, dan kemudian Dia beristirahat, manusia pun bekerja menjalankan tugasnya sehari-hari dan harus beristirahat. Taurat memerintahkan istirahat penuh dari setiap pekerjaan. Selain hari Sabbath, pada setiap minggu kaum Yahudi juga merayakan tiga hari besar pada setiap tahun yang juga adalah hari istirahat. Dihubungkan dengan musim panen dari Tanah Suci, pesta festival ini dipercaya sebagai mengenang peristiwa-peristiwa bersejarah dalam kehidupan bangsa Israil. Yang terdepan dari peristiwa ini ialah Passover yang jatuh pada tanggal 19 Nisan (Maret- April) yang berlangsung selama tujuh atau delapan hari. Pada musim semi, yakni terakhir kembalinya Alam. Passover ialah memperingati hari lahirnya Israil sebagai bangsa dan hijrahnya dari perbudakan di Mesir. Tujuh minggu setelah Passover, kaum Yahudi merayakan Shavouth, yakni Pesta Mingguan atau festival panen gandum. Hal ini bersangkut paut dengan panen bangsa Israil – yang disebut juga Wahyu Ilahi kepada Musa a.s. di Bukit Sinai di mana beliau menerima Sepuluh Perintah Tuhan. Pada zaman dahulu, hal ini ditandai dengan membawa buah-buahan pertama dari hasil panen ke rumah ibadah. Festival ketiga yakni Sukkoth (sepatu) Pesta ini jatuh pada tanggal 15 Tishri (September-Oktober) berlangsung tujuh hari dan dirayakan pada akhir penutupan panen anggur. Hal ini dimaksudkan untuk mengenang empat puluh tahun pengembaraan kaum Yahudi di padang pasir.. Tahun baru agama Yahudi (Rosh Hashanah) yang jatuh pada permulaan Tishri dianggap sebagai ulang tahun penciptaan. Sepuluh hari dari Ros Hashanah melalui Yom Kippur (Hari Penebusan), dikenal sebagai “Sepuluh Hari Pertobatan”. Ini hari yang paling sunyi dari setahun, karena selama masa itu seluruh dunia sedang diadili di hadapan Aras Tuhan di langit. Pada hari Yom Kippur, maka kaum Yahudi tidak makan atau minum apa pun, ia menjalankan puasa yang paling ketat, dan menghabiskan jaganya untuk bersembahyang sepanjang waktu.


KITAB-KITAB SUCI AGAMA YAHUDI
            Kitab-Kitab Suci agama Yahudi (Kisew Ha-Kosdesh) terdiri dari semua kitab yang terdapat dalam apa yang disebut Perjanjian Lama dari Alkitab Kristiani. Dalam Kanon Ibrani, kitab-kitab itu disusun dalam tiga bagian sebagai berikut:
(1) Taurat (“Hukum”) –terdiri dari Pentateuch (“Lima Kitab”) yang dinisbahkan kepada Musa a.s., yakni terdiri dari kitab Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan.
(2) Nebi’im (“Para Nabi”) – terdiri dari (a) Nebi’im Permulaan (misalnya Joshua, Para Hakim, Samuel, dan Kitab Raja Raja); (b) Nebi’im Terakhir terdiri dari Isaiah, Jeremiah, Ezekiel, dan “Duabelas” (seperti Hosea, Joel, Amos, Abediah, Jonah, Micah, Nahum, Habbakuk, Zephaniah, Haggai, Zechariah, dan Malachi).
(3) Kethubim (“Tulisan Suci”) terdiri dari (a) Mazmur, Amzal, dan Ayub, (b) Lima Magilot, seperti Nyanyian Sulaiman, Ruth, Ratapan, Pengkhotbah, dan Esther, dan (c) Daniel, Ezra-Nehemiah dan Tawarikh.

Referensi:
Ø  Arthur Hertzberg (editor), Judaism, Introduction p. xv (Washington Square Press Book, New York, 1963).
Ø  Isodore Epstein, Judaism: A Historical Presentation, p. 134 (Penguin Books, 1959).


[1] Arthur Hertzberg (editor), Judaism, Introduction p. xv (Washington Square Press Book, New York, 1963).
[2] Isodore Epstein, Judaism: A Historical Presentation, p. 134 (Penguin Books, 1959)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makna Tahlilan

  PROSESI DAN MAKNA TAHLILAN DI DESA KLORON PLERET BANTUL SETIONO    A.    Latar Belakang Tahlilan sangat erat sekali kaitannya de...