Selasa, 22 Maret 2016

Pendekatan Budaya dalam Studi Agama

Pendekatan Budaya dalam Studi Agama
Oleh: SETIONO

            Agama merupakan suatu sistem yang terdiri atas kompleksitas unit yang saling terkait antara satu dengan lainnya. Sehingga hal itu berpengaruh terhadap bagaimana cara orang memandang dan meneliti, termasuk dalam memilah-milah metodologinya. Sebagai fenomena universal yang kompleks, keberadaan agama dalam masyarakat telah mendorong lahirnya banyak kajian tentang agama. Kajian-kajian tentang agama berkembang bukannya karena agama ternyata tak dapat dipisahkan dari realitas sosial, tetapi ternyata realitas keagamaan berperan besar dalam perubahan sosial dan transformasi sosial.
            Berbicara tentang antropologi, maka para antropolog abad XIX selalu mengaitkannya dengan evolusi. Dalam perspektifnya, masyarakat diibaratkan sebagai eskalator besar yang terdiri atas bagian puncak, tengah, dan bawah. Mereka selanjutnya, menempatkan entitas (Amerika) mereka sendiri dalam posisi  puncak. Sementara itu Eropa dan Asia ditempatkan pada posisi tengah, dan sebagai peradaban Asia diklasifikasikan sebagai “kaum” primitive. Pendapat itu  pun diperkuat dengan karya sejarah evolusi biologis Darwin, meski tidak sepenuhnya, pendapat mereka tergantung pada Darwin. Akan tetapi pendapat tersebut tidak serta-merta diterima di seluruh kalangan intelektual Amerika, terutama Fundamentalis populis. Sementara itu, Frazer lebih mengemukakan suatu skema evolusi sederhana, suatu ekspresi dari keyakinan rasionalmenya, manusia mengalami tiga fase yang secara berurutan didominasi oleh fase magic, agama, dan ilmu. Hanya saja, pendapat tersebut kemudian berbeda dengan Durkheim di mana ia menyadari bahwa pengambilan contoh dari seluruh dunia dengan kurang memperhatikan konteks aslinya dan menimbulnya terlalu tinggi adalah metode antropologis yang keliru. Ia memperkuat pendapatnya bahwa eksperimen yang dilakukan dengan baik dapat membuktikan adanya aturan tunggal. Kemudian ia menegaskan bahwa dalam kajian antropologi perlu menguji contoh secara mendalam sebagaimana yang dimaksudkan adalah agama Aborigin di Australia Tengah, khususnya Arunto. Atas pendapatnya tersebut Durkheim dituduh mengasumsikan kebenaran teorinya dengan menggunakan data Australia semata sebagai ilustrasi bukan tes  penguji. Akan tetapi, kekayaan analisisnya menjadikan karya etnografik yang subur dan abadi, serta menjadi inspirasi bagi antropolog-antropolog setelahnya, baik fungsionalis struktural maupun strukturalis yang keduanya sama-sama menolak evolusionisme. Menurut Durkheim, pada dasarnya tidak ada agama yang salah. Semua agama adalah benar menurut modelnya masing-masing. Semua memenuhi kondisi-kondisi tertentu dari eksistensi manusia meskipun dengan cara yang berbeda-beda. Durkheim menegaskan bahwa agama adalah satu hal, satu aspek kemanusiaan fundamental dan permanen.
            Pada topik ini Geertz lebih memfokuskan ataupun menekankan pada pendapatnya bahwa ada pendekatan yang bisa dilakukan terhadap studi mengenai agama selain dari pendekatan-pendekatan yang diproposikan oleh Freud dengan teori identitas seksual dan status kedewasaannya, Durkheim dengan teori kesakralan masyarakatnya, dan lain-lain. Geertz mempromosikan pendekatan dimensi kebudayaan dari analisis agama. Sebuah pendekatan baru dalam studi-studi antropologi, khususnya mengenai agama. Apa yang dimaksud atau apa arti dari pendekatan dimensi kebudayaan dalam agama itu? Geertz mengartikannya dalam bentuk sebuah definisi agama yang cukup kompleks. Dan dalam hal ini, analisa kebudayaan bukanlah satu ilmu eksperimental yang mencari sebuah hukum, tapi adalah satu penafsiran yang mencari makna (Cliforord Geertz, The Interpretation of Culture).
            Pertama-tama ia menekankan pada penggunaan kata simbol, merupakan segala hal yang dapat memberi seseorang ide-ide dan dapat berarti banyak hal dan memiliki arti sendiri. Bisa berarti representasi dari asosiasi antar dua hal terkait, bisa juga berarti sesuatu yang mengekspresikan hal-hal yang tidak dapat dijelaskan lewat verbal atau dijelaskan secara langsung. Geertz melihat simbol sebagai dasar yang digunakan dalam apa yang disebut konsepsi. Konsepsi itu yang menjadi arti dari simbol. Konsepsi itu merupakan ide, sikap, penilaian, formulasi dan abstraksi dari pikiran dan pengalaman dituangkan dalam representasi konkrit (simbol). Pola budaya  memiliki sifat yaitu bahwa ia merupakan sumber informasi yang eksternal. Ia berada di luar organisme dan dapat memberikan konsepsi yang bisa didefinisikan secara internal. Manusia membutuhkan konsepsi-konsepsi yang masuk internal ini melalui simbol eksternal. Tanpanya, manusia bagaikan berang-berang yang tidak mampu membuat dam. Terkadang bentuk pola budaya dianggap sebagai sebuah model. Model sendiri memiliki dua arti yaitu “dari” dan “untuk”. Dalam arti “dari”, berarti memanipulasi struktur simbol sesuai dengan konsepsi internal mengenai simbol. Misalnya pengembangan ide mengenai ideologi politik tertentu dimanifestasikan dalam bentuk bendera. Sementara dalam arti “untuk”, konsepsi internal dimanipulasi dalam hubungannya dengan simbol. Misalnya bentuk bendera yang terletak di seragam prajurit membangun konsepsi kita bahwa ideologi politik tertentu berkuasa atas militer.
            Kemudian yang kedua, dikatakan bahwa agama membentuk perasaan dan motivasi yang kuat dan bertahan dalam manusia. Simbol-simbol agama mampu mengekspresikan iklim dunia dan membentuknya. Simbol-simbol itu membentuknya dengan menginternalisasi disposisi-disposisi kepada penyembah yang memberikan karakter terhadap aktivitas-aktivitasnya dan kualitas dari pengalamannya. Disposisi ini sendiri sebenarnya merupakan pola dari aktivitas atau kejadian, bukan hanya sekedar satu kejadian atau aktivitas tertentu. Disposisi-disposisi tersebut terbagi menjadi dua, yaitu perasaan dan motivasi. Motivasi merupakan kecenderungan dimana terdapat kemampuan untuk melakukan tindakan tertentu atau berperasaan tertentu. Orang muslim termotivasi untuk tidak memakan daging babi, sementara orang Hindu termotivasi untuk tidak memakan daging sapi. Perasaan akan dirasakan oleh penyembah misalnya, ketika orang Hindu memakan daging sapi, terdapat perasaan muak dan perasan tidak menyenangkan. Atau misalnya ketika umat kristiani pergi ke Bethlehem dan umat Islam pergi ke Mekkah akan timbul perasaan tenteram. Perasaan ini dapat kemudian berganti-ganti menjadi perasaan lainnya. Motivasi memiliki arah, sementara perasaan tidak. Motivasi bertahan sementara perasaan berlangsung begitu saja. Motivasi bermakna karena memberikan tujuan, sementara perasaan bermakna karena kondisi yang menyebabkannya terjadi.
            Pada hal yang ketiga ini, ditekankan bahwa konsepsi mengenai tatanan eksistensi yang diformulasikan ini diberikan oleh sistem simbol agama. Kekacauan akan terjadi apabila manusia tidak mampu memformulasikan konsepsi mengenai struktur atau tatanan eksistensi itu. Sehingga, simbol-simbol selalu memberikan orientasi atau petunjuk bagi manusia atas segala fenomena yang terjadi pada diri mereka maupun pada alam.
Ada tiga dimensi dimana kekacauan tersebut bisa terjadi, diantaranya ialah:
a.       Karena keterbatasan kapasitas analitis manusia
b.      Karena keterbatasan kapasitas menahan penderitaan manusia
c.       Karena keterbatasan kapasitas penilaian moral manusia
            Manusia akan selalu mencari cari untuk memahami fenomena yang terjadi, dan mereka tidak akan meninggalkannya tanpa jawaban. Mereka akan menemukan jawabannya itu tidak peduli seberapa terbatasnya kapasitas analitis mereka. Tanpa jawaban itu, meskipun jawaban itu sendiri tidak konsisten dan cenderung tidak akurat, maka kekacauan dalam diri manusia terjadi. Agama memberikan perannya disini sebagai pemberi konsepsi mengenai fenomena-fenomena yang tidak dapat dipahami oleh manusia seutuhnya. Manusia juga memiliki keterbatasan kapasitas dalam menahan penderitaan. Masalah-masalah kehidupan yang dihadapi dapat membuat manusia menderita. Manusia tidak akan pernah mampu menghindari semua penderitaan yang dialaminya. Dengan ketidakmampuan untuk menghindar dan terbatasnya kapasitas menahan penderitaan itu, kekacauan dalam diri manusia bisa terjadi. Agama dalam hal ini memberikan tuntunan, rasa aman, dan tempat berteduh dan berlindung dari penderitaan yang dialami manusia. Selain kedua dimensi itu, manusia juga terbatas dalam kemampuannya untuk membuat penilaian moral. Manusia tidak mengetahui secara sempurna apa yang baik dan apa yang buruk, selain itu manusia terus bergerak kearah pemenuhan diri dan aktualisasi diri. Manusia juga dihadapkan pada rasa tidak aman akan segala sesuatu, termasuk yang menyangkut dirinya seperti kematian dan kemiskinan. Hal ini secara langsung membuat manusia terpaksa menilai apa yang baik dan apa yang buruk bagi dirinya. Namun dengan kemampuan yang terbatas itu kekacauan dalam diri bisa terjadi. Oleh karenanya, agama memberikan patokan-patokan moral yang bisa diikuti manusia agar konsepsi manusia akan apa yang baik dan buruk tidak mengarah pada kekacauan.
            Tahap keempat ataupun yang terakhir, dikatakan bahwa konsepsi itu diberikan atribut dengan nuansa yang faktual. Hal ini dapat menunjukkan seberapa figur otoritas yang dipercaya dalam agama mampu membuat manusia patuh karena mereka mengatribusikan konsepsi-konsepsi yang tertuang dalam simbol itu dengan fakta-fakta yang meyakinkan. Disini, agama berbeda dengan sistem-sistem simbolis lain. Agama meyakinkan bahwa terdapat sesuatu yang benar-benar nyata dimana hal itu dianggap lebih penting dari apapun. Melalui ritual keagamaan yang didalamnya selalu terdapat etos dan pandangan dunia, Geertz menjelaskan dinamika yang terjadi dalam motivasi dan perasaan manusia. Ia mengambil contoh mengenai kisah Rangda dan Barong di Bali. Ritual yang begitu melibatkan banyak orang dan melibatkan perasaan yang mendalam. Hal ini menunjukkan bahwa perasaan yang dihasilkan atas fakta-fakta yang ditampilkan dalam ritual itu begitu diyakini oleh masyarakat Bali. Mereka termotivasi untuk terus melakukan ritual itu. Kecenderungan tradisi terlihat disini sementara pandangan dunia terlihat dari representasi dari figur-figur dalam ritual itu. Lebih dari itu, nilai-nilai dalam ritual tersebut dituangkan ke dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kejadian-kejadian religius berbeda dengan kejadian-kejadian sehari-hari. Telah dikatakan sebelumnya bahwa motivasi dan perasaan dalam ritual agama akan konsisten dengan pandangannya mengenai dunia. Makna tarian Barong dan Rangda itu adalah keabadian pertentangan akan kebaikan dan kejahatan. Pandangan mengenai dunia ini terkombinasi dengan etos membentuk motivasi yang pada akhirnya mengontrol kehidupan sehari-hari. Ia kemudian memberikan karakteristik tertentu yang menjadi ciri khas tertentu.

            Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa Geertz menyatakan kembali bahwa pentingnya agama adalah untuk memberikan konsepsi mengenai dunia, diri, dan hubungan antar keduanya. Baginya, agama juga harus dipelajari secara antropologis melalui dua babak: yang pertama,  Analisa sistem pengartian yang ada dalam simbol dan kedua, mengaitkannya dengan proses struktur sosial dan psikologis. Geertz merasa bahwa studi-studi yang ada terlalu memfokuskan pada tahap kedua, namun mengabaikan tahap pertama, padahal sistem simbol baru bisa dipahami secara struktur sosial atau psikologis hanya dengan terlebih dahulu memahami apa yang ada dibalik simbol itu (sebuah makna). Menurut Durkheim, pada dasarnya tidak ada agama yang salah. Semua agama adalah benar menurut modelnya masing-masing. Semua memenuhi kondisi-kondisi tertentu dari eksistensi manusia meskipun dengan cara yang berbeda-beda. Durkheim menegaskan bahwa agama adalah satu hal, satu aspek kemanusiaan fundamental dan permanen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makna Tahlilan

  PROSESI DAN MAKNA TAHLILAN DI DESA KLORON PLERET BANTUL SETIONO    A.    Latar Belakang Tahlilan sangat erat sekali kaitannya de...