Pendekatan
Budaya dalam Studi Agama
Oleh: SETIONO
Agama
merupakan suatu sistem yang terdiri atas kompleksitas unit yang saling terkait
antara satu dengan lainnya. Sehingga hal itu berpengaruh terhadap bagaimana
cara orang memandang dan meneliti, termasuk dalam memilah-milah metodologinya.
Sebagai fenomena universal yang kompleks, keberadaan agama dalam masyarakat
telah mendorong lahirnya banyak kajian tentang agama. Kajian-kajian tentang
agama berkembang bukannya karena agama ternyata tak dapat dipisahkan dari
realitas sosial, tetapi ternyata realitas keagamaan berperan besar dalam
perubahan sosial dan transformasi sosial.
Berbicara tentang antropologi, maka
para antropolog abad XIX selalu mengaitkannya dengan evolusi. Dalam
perspektifnya, masyarakat diibaratkan sebagai eskalator besar yang terdiri atas
bagian puncak, tengah, dan bawah. Mereka selanjutnya, menempatkan entitas
(Amerika) mereka sendiri dalam posisi puncak. Sementara itu Eropa dan
Asia ditempatkan pada posisi tengah, dan sebagai peradaban Asia
diklasifikasikan sebagai “kaum” primitive. Pendapat itu pun diperkuat
dengan karya sejarah evolusi biologis Darwin, meski tidak sepenuhnya, pendapat
mereka tergantung pada Darwin. Akan tetapi pendapat tersebut tidak serta-merta
diterima di seluruh kalangan intelektual Amerika, terutama Fundamentalis
populis. Sementara itu, Frazer lebih mengemukakan suatu skema evolusi
sederhana, suatu ekspresi dari keyakinan rasionalmenya, manusia mengalami tiga
fase yang secara berurutan didominasi oleh fase magic, agama, dan ilmu. Hanya
saja, pendapat tersebut kemudian berbeda dengan Durkheim di mana ia menyadari
bahwa pengambilan contoh dari seluruh dunia dengan kurang memperhatikan konteks
aslinya dan menimbulnya terlalu tinggi adalah metode antropologis yang keliru.
Ia memperkuat pendapatnya bahwa eksperimen yang dilakukan dengan baik dapat
membuktikan adanya aturan tunggal. Kemudian ia menegaskan bahwa dalam kajian
antropologi perlu menguji contoh secara mendalam sebagaimana yang dimaksudkan
adalah agama Aborigin di Australia Tengah, khususnya Arunto. Atas pendapatnya
tersebut Durkheim dituduh mengasumsikan kebenaran teorinya dengan menggunakan
data Australia semata sebagai ilustrasi bukan tes penguji. Akan tetapi,
kekayaan analisisnya menjadikan karya etnografik yang subur dan abadi, serta
menjadi inspirasi bagi antropolog-antropolog setelahnya, baik fungsionalis
struktural maupun strukturalis yang keduanya sama-sama menolak evolusionisme.
Menurut Durkheim, pada dasarnya tidak ada agama yang salah. Semua agama adalah
benar menurut modelnya masing-masing. Semua memenuhi kondisi-kondisi tertentu
dari eksistensi manusia meskipun dengan cara yang berbeda-beda. Durkheim
menegaskan bahwa agama adalah satu hal, satu aspek kemanusiaan fundamental dan
permanen.
Pada topik ini Geertz lebih
memfokuskan ataupun menekankan pada pendapatnya bahwa ada pendekatan yang bisa
dilakukan terhadap studi mengenai agama selain dari pendekatan-pendekatan yang
diproposikan oleh Freud dengan teori identitas seksual dan status
kedewasaannya, Durkheim dengan teori kesakralan masyarakatnya, dan lain-lain.
Geertz mempromosikan pendekatan dimensi kebudayaan dari analisis agama. Sebuah
pendekatan baru dalam studi-studi antropologi, khususnya mengenai agama. Apa
yang dimaksud atau apa arti dari pendekatan dimensi kebudayaan dalam agama itu?
Geertz mengartikannya dalam bentuk sebuah definisi agama yang cukup kompleks.
Dan dalam hal ini, analisa kebudayaan bukanlah satu ilmu eksperimental yang
mencari sebuah hukum, tapi adalah satu penafsiran yang mencari makna (Cliforord
Geertz, The Interpretation of Culture).
Pertama-tama ia menekankan pada
penggunaan kata simbol, merupakan segala hal yang dapat memberi seseorang
ide-ide dan dapat berarti banyak hal dan memiliki arti sendiri. Bisa berarti
representasi dari asosiasi antar dua hal terkait, bisa juga berarti sesuatu
yang mengekspresikan hal-hal yang tidak dapat dijelaskan lewat verbal atau
dijelaskan secara langsung. Geertz melihat simbol sebagai dasar yang digunakan
dalam apa yang disebut konsepsi. Konsepsi itu yang menjadi arti dari simbol.
Konsepsi itu merupakan ide, sikap, penilaian, formulasi dan abstraksi dari
pikiran dan pengalaman dituangkan dalam representasi konkrit (simbol). Pola
budaya memiliki sifat yaitu bahwa ia
merupakan sumber informasi yang eksternal. Ia berada di luar organisme dan
dapat memberikan konsepsi yang bisa didefinisikan secara internal. Manusia
membutuhkan konsepsi-konsepsi yang masuk internal ini melalui simbol eksternal.
Tanpanya, manusia bagaikan berang-berang yang tidak mampu membuat dam.
Terkadang bentuk pola budaya dianggap sebagai sebuah model. Model sendiri
memiliki dua arti yaitu “dari” dan “untuk”. Dalam arti “dari”, berarti
memanipulasi struktur simbol sesuai dengan konsepsi internal mengenai simbol.
Misalnya pengembangan ide mengenai ideologi politik tertentu dimanifestasikan
dalam bentuk bendera. Sementara dalam arti “untuk”, konsepsi internal
dimanipulasi dalam hubungannya dengan simbol. Misalnya bentuk bendera yang
terletak di seragam prajurit membangun konsepsi kita bahwa ideologi politik
tertentu berkuasa atas militer.
Kemudian yang kedua, dikatakan bahwa
agama membentuk perasaan dan motivasi yang kuat dan bertahan dalam manusia.
Simbol-simbol agama mampu mengekspresikan iklim dunia dan membentuknya.
Simbol-simbol itu membentuknya dengan menginternalisasi disposisi-disposisi
kepada penyembah yang memberikan karakter terhadap aktivitas-aktivitasnya dan
kualitas dari pengalamannya. Disposisi ini sendiri sebenarnya merupakan pola
dari aktivitas atau kejadian, bukan hanya sekedar satu kejadian atau aktivitas
tertentu. Disposisi-disposisi tersebut terbagi menjadi dua, yaitu perasaan dan
motivasi. Motivasi merupakan kecenderungan dimana terdapat kemampuan untuk
melakukan tindakan tertentu atau berperasaan tertentu. Orang muslim termotivasi
untuk tidak memakan daging babi, sementara orang Hindu termotivasi untuk tidak
memakan daging sapi. Perasaan akan dirasakan oleh penyembah misalnya, ketika
orang Hindu memakan daging sapi, terdapat perasaan muak dan perasan tidak
menyenangkan. Atau misalnya ketika umat kristiani pergi ke Bethlehem dan umat
Islam pergi ke Mekkah akan timbul perasaan tenteram. Perasaan ini dapat
kemudian berganti-ganti menjadi perasaan lainnya. Motivasi memiliki arah,
sementara perasaan tidak. Motivasi bertahan sementara perasaan berlangsung
begitu saja. Motivasi bermakna karena memberikan tujuan, sementara perasaan
bermakna karena kondisi yang menyebabkannya terjadi.
Pada hal yang ketiga ini, ditekankan
bahwa konsepsi mengenai tatanan eksistensi yang diformulasikan ini diberikan
oleh sistem simbol agama. Kekacauan akan terjadi apabila manusia tidak mampu
memformulasikan konsepsi mengenai struktur atau tatanan eksistensi itu.
Sehingga, simbol-simbol selalu memberikan orientasi atau petunjuk bagi manusia
atas segala fenomena yang terjadi pada diri mereka maupun pada alam.
Ada
tiga dimensi dimana kekacauan tersebut bisa terjadi, diantaranya ialah:
a.
Karena
keterbatasan kapasitas analitis manusia
b.
Karena
keterbatasan kapasitas menahan penderitaan manusia
c.
Karena
keterbatasan kapasitas penilaian moral manusia
Manusia akan selalu mencari cari
untuk memahami fenomena yang terjadi, dan mereka tidak akan meninggalkannya
tanpa jawaban. Mereka akan menemukan jawabannya itu tidak peduli seberapa
terbatasnya kapasitas analitis mereka. Tanpa jawaban itu, meskipun jawaban itu
sendiri tidak konsisten dan cenderung tidak akurat, maka kekacauan dalam diri
manusia terjadi. Agama memberikan perannya disini sebagai pemberi konsepsi
mengenai fenomena-fenomena yang tidak dapat dipahami oleh manusia seutuhnya. Manusia
juga memiliki keterbatasan kapasitas dalam menahan penderitaan. Masalah-masalah
kehidupan yang dihadapi dapat membuat manusia menderita. Manusia tidak akan
pernah mampu menghindari semua penderitaan yang dialaminya. Dengan
ketidakmampuan untuk menghindar dan terbatasnya kapasitas menahan penderitaan
itu, kekacauan dalam diri manusia bisa terjadi. Agama dalam hal ini memberikan
tuntunan, rasa aman, dan tempat berteduh dan berlindung dari penderitaan yang
dialami manusia. Selain kedua dimensi itu, manusia juga terbatas dalam
kemampuannya untuk membuat penilaian moral. Manusia tidak mengetahui secara
sempurna apa yang baik dan apa yang buruk, selain itu manusia terus bergerak
kearah pemenuhan diri dan aktualisasi diri. Manusia juga dihadapkan pada rasa
tidak aman akan segala sesuatu, termasuk yang menyangkut dirinya seperti
kematian dan kemiskinan. Hal ini secara langsung membuat manusia terpaksa
menilai apa yang baik dan apa yang buruk bagi dirinya. Namun dengan kemampuan
yang terbatas itu kekacauan dalam diri bisa terjadi. Oleh karenanya, agama
memberikan patokan-patokan moral yang bisa diikuti manusia agar konsepsi
manusia akan apa yang baik dan buruk tidak mengarah pada kekacauan.
Tahap keempat ataupun yang terakhir,
dikatakan bahwa konsepsi itu diberikan atribut dengan nuansa yang faktual. Hal
ini dapat menunjukkan seberapa figur otoritas yang dipercaya dalam agama mampu
membuat manusia patuh karena mereka mengatribusikan konsepsi-konsepsi yang
tertuang dalam simbol itu dengan fakta-fakta yang meyakinkan. Disini, agama
berbeda dengan sistem-sistem simbolis lain. Agama meyakinkan bahwa terdapat
sesuatu yang benar-benar nyata dimana hal itu dianggap lebih penting dari
apapun. Melalui ritual keagamaan yang didalamnya selalu terdapat etos dan
pandangan dunia, Geertz menjelaskan dinamika yang terjadi dalam motivasi dan
perasaan manusia. Ia mengambil contoh mengenai kisah Rangda dan Barong di Bali.
Ritual yang begitu melibatkan banyak orang dan melibatkan perasaan yang mendalam.
Hal ini menunjukkan bahwa perasaan yang dihasilkan atas fakta-fakta yang
ditampilkan dalam ritual itu begitu diyakini oleh masyarakat Bali. Mereka
termotivasi untuk terus melakukan ritual itu. Kecenderungan tradisi terlihat
disini sementara pandangan dunia terlihat dari representasi dari figur-figur
dalam ritual itu. Lebih dari itu, nilai-nilai dalam ritual tersebut dituangkan
ke dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kejadian-kejadian religius berbeda
dengan kejadian-kejadian sehari-hari. Telah dikatakan sebelumnya bahwa motivasi
dan perasaan dalam ritual agama akan konsisten dengan pandangannya mengenai
dunia. Makna tarian Barong dan Rangda itu adalah keabadian pertentangan akan
kebaikan dan kejahatan. Pandangan mengenai dunia ini terkombinasi dengan etos
membentuk motivasi yang pada akhirnya mengontrol kehidupan sehari-hari. Ia
kemudian memberikan karakteristik tertentu yang menjadi ciri khas tertentu.
Dengan demikian dapat disimpulkan,
bahwa Geertz menyatakan kembali bahwa pentingnya agama adalah untuk memberikan
konsepsi mengenai dunia, diri, dan hubungan antar keduanya. Baginya, agama juga
harus dipelajari secara antropologis melalui dua babak: yang pertama, Analisa sistem pengartian yang ada dalam
simbol dan kedua, mengaitkannya dengan proses struktur sosial dan psikologis.
Geertz merasa bahwa studi-studi yang ada terlalu memfokuskan pada tahap kedua,
namun mengabaikan tahap pertama, padahal sistem simbol baru bisa dipahami
secara struktur sosial atau psikologis hanya dengan terlebih dahulu memahami
apa yang ada dibalik simbol itu (sebuah makna). Menurut Durkheim, pada dasarnya
tidak ada agama yang salah. Semua agama adalah benar menurut modelnya
masing-masing. Semua memenuhi kondisi-kondisi tertentu dari eksistensi manusia
meskipun dengan cara yang berbeda-beda. Durkheim menegaskan bahwa agama adalah
satu hal, satu aspek kemanusiaan fundamental dan permanen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar