Pendekatan Klasik
Terhadap Agama
Oleh: SETIONO
Ketika kita melihat para teori-teori klasik
dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan, seperti apa itu agama dan kenapa manusia
memiliki dan melakukan praktik keagamaan, hampir seusia dengan sejarah manusia
itu sendiri. Teori klasik ini muncul dari satu suku atau dari satu tempat
dengan melakukan perjalanan dari satu tempat ketempat lain maupun dari suku ke
suku dan mendapati suku lain itu memiliki Tuhan yang berbeda dengan apa yang
dia miliki di tempat asalnya. Kemudian dengan pemikiran para filosof yang
senada berpendapat bahwa dewa-dewa merupakan personifikasi langit, laut dan
kekuatan alam. Dari hal ini para filosof mencoba menjelaskan lebih intensif,
bagaimana kekuatan-kekuatan itu menjadi bagian dari keyakinan agama. Dengan hal
ini pula mereka percaya bahwa hal itu sangat mungkin dalam menjelaskan seluruh
agama dan mereka pun yakin hal tersebut dapat terwujud melalui penelitian yang
sebagian besar harus bermuatan sejarah (historis).
Apakah
kekuatan yang mengendalikan dunia ini berbentuk sebuah “kesadaran” dan
personal, ataukah bukan sebentuk kesadaran dan bukan personal? Agama sebagai
sebuah pendamai kekuatan manusia telah memilih jawaban pertama. Sebuah jawaban
yang sangat berseberangan dengan magis dan sains, tempat proses alam ini
bergantung. Alam bekerja tidak tergantung pada kehendak atau pikiran sebuah
pribadi, tapi alam selamanya akan diatur oleh hukum alam makanis (James Frazer,
The Golden Bough). Maka dengan hal ini dua tokoh akan menjelaskan atau
mengemukakan pendapatnya tentang animisme dan magis (E.B. Tylor dan J.G
Frazer).
Tylor
dan Frazer menganggap atau memiliki asumsi bahwa agama sebagai bentuk
kepercayaan yang keliru dan kedudukannya telah digantikan oleh ilmu pengetahuan
sebagai dasar pemahaman fenomena. Menurut Tylor, esensi dari agama adalah roh
(anima), yaitu kepercayaan terhadap sesuatu yang hidup dan punya kekuatan yang
ada di balik segala sesuatu. Bagaimana hal ini bermula? Dulu, para
filosof-filosof liar (sebutan Tylor untuk dukun-dukun pada masa lampau dan
pemikir-pemikir pada masa lampau) menginterpretasi mimpi dan kematian sebagai
sesuatu yang diwarnai oleh roh yang memiliki kepribadian dan terpisah dari
tubuh. Mereka kemudian melakukan analogi dan ekstensi bahwa roh dapat
mengendalikan banyak hal diluar manusia, seperti alam. Lalu, muncullah
pertanyaan. Tidakkah sebenarnya ada roh-roh yang mengendalikan elemen tertentu?
Lalu muncullah dewa-dewi yang punya tugas-tugas tertentu. Lalu muncullah juga
malaikat dan setan. Lalu, tidakkah mungkin ada kekuasaan tertinggi? Lalu Zeus,
Odin, Amon-Ra, Amaterasu, dan Allah, Tuhan Bapa, dan Jehovah pun muncul.
Jiwa
bersifat lebih kekal daripada tubuh. Ini menunjukkan mengapa pada kepercayaan
agama tertentu ada yang disebut reinkarnasi dan agama lainnya menekankan pada
hari pembalasan. Namun, peneliti-peneliti modern telah membuktikan bahwa anima
atau roh tidaklah ada dalam semua elemen-elemen alam. Jika yang menjadi pondasi
dasar pemikiran munculnya agama adalah kekuatan roh, maka sejak awal sudah
terjadi kekeliruan besar. Pemahaman manusia yang terbatas pada masa lampau
telah menyebabkan pemikiran mengenai agama muncul. Sebuah kesalahan yang tidak
bisa diubah akibat belum majunya pemikiran pada masa lampau. Sedangkan Frazer
sendiri bahwa ia lebih menekankan pada relasi agama dengan magis. Agama muncul
terlebih dahulu diawali oleh kepercayaan sistem magis. Sejak dahulu, manusia
memahami bahwa alam memiliki sifat-sifatnya yang representatif dengan
sifat-sifat yang dimiliki manusia. Itulah sebabnya kenapa kita bisa
merepresentasikan laut sebagai elemen yang tenang sekaligus penuh amarah, hutan
yang misterius dan menyimpan banyak rahasia, petir yang dapat menghukum,
kesuburan tanaman sebagai lambang reproduksi, dan masih banyak lagi.
Dari
sini, manusia mengasumsikan bahwa mereka dapat melakukan imitasi dan
diasumsikan pula bahwa ada keterikatan antara imitasi yang dilakukan manusia
dengan fenomena alam. Manusia merasa dengan imitasi yang mereka lakukan, mereka
dapat melakukan kontak dengan alam sehingga mengubah alam bagi manusia bukanlah
suatu hal yang mustahil. Dengan magis, mereka merapal mantera-mantera dan
melakukan penumbalan-penumbalan demi satu hal, yakni mengubah alam. Menurut mereka,
jika magis dilakukan dengan tepat, maka akan benar dapat mengubah alam. Tarian
hujan, misalnya, jika dilakukan dengan tepat maka akan benar-benar mendatangkan
hujan. Namun, seiring waktu manusia merasa bahwa mereka tidak mampu mengontrol
alam. Yang dapat mereka lakukan adalah memohon kepada roh-roh totem atau
dewa-dewi agar mendatangkan kebaikan pada manusia, dan memohon agar totem dan
dewa tidak murka pada manusia. Mereka hanya bisa berdoa. Lalu, disanalah peran
Tuhan yang dapat mendatangkan kebaikan pada manusia yang mengikuti perintahnya
dan menjauhi larangannya lalu memberikan hukuman dan murka pada manusia yang
melakukan sebaliknya. Dengan demikian, kritik teori mereka adalah masalah
pengambilan data yang tidak memperhitungkan konteks tempat dan waktu sehingga
diragukan apakah memang bisa dilakukan perbandingan lintas budaya seperti yang
mereka lakukan.
Dari
pembahasan diatas, dapat kita lihat bahwa Tylor dan Frazer ini menganggap bahwa
agama sebagai hal yang negatif. Meski demikian, mereka juga mendapatkan kritik
dari teori agama. Bahkan oleh para manusia waktu itu, jika melakukan magisnya
dengan baik dan benar, maka alam itu akan mudah dikelolanya dan dipeliharanya
dengan baik. Sebenarnya dari hal ini dapat menjadikan sebuah awal dari
perubahan pemahaman keagamaan yang lebih baik dan dari sebuah kesederhanaan
menuju ke hal yang lebih sempurna. Maka, dengan adanya metode antropologi ini,
manusia mudah dalam berinteraksi dalam bidang pemikiran, interaksi dan berbagai
macam bentuk cara hidup dan cara beragama dengan baik.
Note: Buka Buku The Seven Theories of Religion, Daniel Pales.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar