Selasa, 30 Maret 2021

TEOLOGI KEMISKINAN DI ASIA

 TEOLOGI KEMISKINAN DI ASIA

(Amirul Auzar Ch, Fitriyani, Setiono, Siti Rahma, Nur Hanifah, Hairullah)

Tugas Makul Perkembangan Teologi Kristen Modern (PTKM) Tahun 2014


PENDAHULUAN

Invasi dan kolonialisasi bangsa Eropa terhadap beberapa negara di Asia telah mengakibatkan berbagai permasalahan sosial dan politik. Problem utamanya adalah tingkat kemiskinan yang tinggi serta penderitaan-penderitaan fisik dan non fisik dialami oleh negara-negara di Asia. Terlepas dari belenggu kolonialisme, Asia dihadapkan pada tekanan neo-kolonialisme yang mengancam struktur budaya dan ekonomi rakyat dengan membawa paham kapitalisme yang mengakibatkan kesenjangan sosial semakin meningkat, relasi-relasi sosial yang menyimpang dan beberapa pergesaran kebudayaan. Bahkan banyak daerah-daerah yang kumuh dan para petani-petani miskin yang telah di usir dari tempat tinggalnya, sehingga semakin terjadinya kesenjangan sosial dan hal itu akibat dari kontradiksi kelas sosial, karena adanya kekuatan kapitalis dari dalam maupun dari luar. Dari sinilah suatu kondisi yang memprihatinkan dan perlu adanya perubahan menuju kehidupan yang lebih layak dan mempertahankan atau memperjuangkan hak-hak mereka serta keadilan.

Perjuangan mengatasi kekuatan-kekuatan ini telah di emban dengan berani oleh para pemuka-pemuka sosialis. Orde sosio-politik ini ternyata searah dengan aspirasi rakyat Asia, di kawasan desa dan kota, karena menjanjikan hak menentukan nasib sendiri serta menetapkan kondisi sosial ekonomi yang menentukan kesejahteraan mereka.[1] Tetapi hal ini tidak sepenuhnya berhasil menyejahterahkannya, karena hanya beberapa negara saja yang berhasil di Asia melalui perjuangan yang panjang ini dalam menuju masyarakat yang baik dalam kehidupan. Namun, perlu adanya gerakan-gerakan lain untuk dapat menciptakan kesejahteraan lain dan menyelesaikan ketimpangan-ketimpangan sosial lainnya, dengan menggunakan segala macam cara agar terciptanya kelayakan rakyat. Dari pengalaman dan studi para pakar sosialis selama bertahun-tahun di dalam realitas asia, seperti halnya pieris merumuskan bahwa “setiap pembicaraan tentang teologi asia harus bergerak Antara dua kutub, yaitu sifat ke-dunia Ketigaan benua kita dan sifat keasiaannya yang khas. Kesamaan umum asia dan dunia ketiga lain ialah kemiskkinannya yang bertumpuh ruah (overwhelming poverty), sedangkan sifat khas yang membedakan asia dengan Negara-negara miskin lainnya ialah keregiusannya yang majemuk (multifaceted religiousnes).[2] Kemerdekaan yang seharusnya sebagai sebuah arah hidup lebih baik dan layak, pada  kenyataannya justru membuat sengsara pada rakyat di Asia dengan adanya paham kapitalis. Dimana paham kapitalis ini cenderung lebih memaksa dan menekan rakyat, sehingga terjadi kesenjangan sosial atau kemiskinan.

 

PEMBAHASAN

A.    Sejarah Teologi Kemiskinan di Asia

Asia merupakan salah satu benua terbesar di dunia baik secara geografis maupun juga demografis. Laporan UNPFA tahun 2011 (State of World Population) memperlihatkan bahwa jumlah penduduk Asia saat ini mencapai 4,5 miliar jiwa atau sekitar 62,29% dari jumlah populasi dunia yang saat ini mencapai 7 miliar jiwa. Sebagai benua dengan populasi terbesar, maka tentu saja realitas Asia sangat kompleks baik secara sosial, politik, ekonomi, religiusitas, dan budaya. Kompleksitas ini cenderung menjadi problematika tersendiri bagi orang-orang Asia. Realitas konteks Asia yang sangat dominan ialah kemajemukan agama-agama, tapi juga kemajemukan budaya, etnis, dan bahasa serta kemiskinan yang merajalela. A. A. Yewangoe yang mengikuti Pieris juga mempertegas hal ini, bahwa kemiskinan dan kemajemukan agama merupakan dua realitas yang dominan di Asia. Oleh karena itu, memahami Asia tidak dapat dilepaspisahkan dari dua kenyataan yang membelenggunya ini.  Suatu wilayah di Asia tidak pernah bebas dari dua potret ini, bahkan dalam konteks geografis tertentu kedua-duanya merupakan bagian dari pergumulan konteks yang sama. Misalnya, India sebagai salah satu negara di Asia yang populasinya terbanyak pada satu sisi diwarnai dengan hamparan jutaan manusia yang menderita karena kemiskinan, dan pada saat yang bersaman entitas India dibentuk oleh beragam tradisi agama dan keyakinan. Sebagai bagian dari Asia, Indonesia juga berwajah yang sama; kemiskinan yang membuat Indonesia menduduki peringkat ketiga dunia dan keragaman agama dan budaya yang membuat Indonesia dijuluki sebagai negara majemuk.[3]

            Sejarah orang Asia sebetulnya merupakan sejarah penderitaan. Orang-orang yang hidup di Asia mayoritasnya ialah orang-orang yang menderita karena kelaparan, terkapar di jalanan karena tidak memiliki tempat tinggal, diperlakukan tidak adil dan diskriminatif, dan terbelenggu dalam penyakit yang mematikan. Semua realitas ini ialah fakta dari kemiskinan yang merajalela. Yewangoe memperlihatkan bahwa dalam pertemuan Dewan Gereja-gereja Asia pada tahun 1980 di Kandy, gereja menyadari bahwa Asia secara khusus dipengaruhi oleh masalah kemiskinan yang amat dashyat. Hal ini yang membuat mayoritas Negara Asia disebut sebagai Negara berkembang dimana orang-orang termiskin di dunia ini berada. Konsentrasi massa orang miskin di Asia lebih banyak berada di wilayah Asia Selatan.

Sebagaimana telah disinggung di atas, kemiskinan yang terjadi di Asia pada dasarnya merupakan kemiskinan struktural yang diakibatkan oleh penguasa elit politik, sosial, dan ekonomi. Masalah kemiskinan Asia sebetulnya ialah masalah ketidakadilan. Nimelka mengungkapkan bahwa 80% pekerja di Asia merupakan orang miskin yang menjadi korban dari kapitalisme barat yang mengendalikan pasar dunia. Dua per tiga penduduk dunia yang hidup dalam sektor pertanian pun tidak mempunyai hak kepemilikan atas tanah, sebab tanahnya dipaksa untuk dijual kepada para kapitalis. Oleh karena itu mereka harus menjadi buruh di atas tanah mereka sendiri dengan upah kerja yang sangat rendah. Di sini Nimelka merumuskan tiga faktor penyebab kemiskinan yakni, ketidakadilan struktural, penindasan dari sistem kapitalis, dan perampokan sistematis oleh Negara-negara maju. Konferensi Teolog Dunia Ketiga (Asian Conference of Third World Theologians) juga menyoroti hal yang sama. Salah satu isu yang dibahas dalam konferensi ini ialah isu kemiskinan sebagai kemiskinan yang dipaksakan. Penderitaan yang berabad-abad ini merupakan akibat dari kolonialisme dan neokolonialisme. Hal ini memperlihatkan bahwa orang-orang Asia kehilangan hak atas hidupnya dan hidupnya menjadi obyek diskriminasi penguasa ekonomi barat. Bahkan, mereka tidak hanya mengalami penderitaan secara ekonomis, tetapi pada saat yang bersamaan mereka kehilangan nilai kemanusiaannya.[4] 

B.     Tokoh dan Pemikirannya

            Diantara beberapa Negara Asia tersebut, hanya ada beberapa tokoh yang dapat dikatakan benar-benar berpengaruh atau memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam mengatasi masalah kemiskinan. Diantara tokoh-tokoh tersebut adalah:

1.      Kosuke Koyama di Thailand

Kosuke Koyama adalah seorang teolog yang lahir di Tokyo tetapi menjadi misionaris dan mengajar seminari di Thailand. Kosuke Koyama adalah salah satu tokoh yang menjadikan social dalam focus teologinya melalui bukunya yang berjudul Teologi Kerbau (1974). Teologi ini terinspirasi dari kerbau-kerbau yang dilihat Koyama ketika dalam perjalanan menuju gereja untuk memberikan khotbah pada umatnya. Ia teringat dengan kenyataan umatnya yang ada, sehingga dalam mengambil keputusan ia memprioritaskan petani diatas pemikiran teologi agung seperti Thomas Aquinas dan Barth. Dalam teologi ini Koyama lebih menekankan pada realitas yang ada di Thailand, sedangkan kondisi Thailand pada saat itu telah terdapat konsep Buddha. Seperti contoh ketika membahas tentang murka Allah. Dalam kebudayaan Buddha bebas emosi dan penderitaan serta keheningan dianggap sebagai puncak dari segala yang baik. Ide tentang Allah yang murka, Allah yang cemas karena dosa manusia adalah suatu batu sandungan dalam kebudayaan tersebut. Jawaban Koyama bukan dengan tidak menonjolkan kemurkaan Allah, sebagai- mana dibuat banyak orang. Pembicaraan tentang kasih Allah menjadi menyimpang dari kebenaran dan dangkal kalau dipisahkan dari kemurkaan-Nya.   Pemikiran Thailand melihat Allah sebagai tak beremosi, tidak dapat menderita, karena menempatkan Allah melampaui batas waktu dan sejarah, sebab pemikir- an Buddhis Thailand mengabaikan sejarah. Pemikiran ini lebih dipupuk lagi dengan siklus alam yang cukup teratur dan baik di Thailand. Di sana jarang ada bencana alam seperti gempa bumi dan taufan. Doktrin tentang murka Allah dapat digunakan untuk menantang pemikiran Thailand pada tingkat yang lebih dalam ini, dan dengan demikian menyatakan doktrin Allah yang terlibat dalam sejarah.[5]

Teologi Koyama dapat dikatakan lebih focus pada masalah dogma, yaitu menguraikan tentang ajaran-ajaran pokok iman Kristen. Khususnya di bidang kristologi yang membahas tentang siapa Allah, siaoa Kristus dan siapa yang dinamakan Kristus, yang mana beberapa pemikiran tersebut disesuaikan dengan kondisi yang ada di Thailand.

2.      Kuan-Hsung Ting di Cina

            Kuang-Hsun Ting adalah mantan Presiden Nanking Theological College dan uskup dari Keuskupan Chekiang dari Sheng Kung Hui, Gereja Anglikan di Cina. Teologi Kuan-Hsung Ting hampir sama dengan teologi Koyama yang mengambil focus pada masalah dogma, tetapi Kuan-Hsung Ting mengkontekstualisasikan dengan kondisi Cina terutama dalam menghadapi tekanan komunisme, atheism, idealisme, materialisme dan persoalan mengenai agama sebagai candu.

            Dalam menghadapi maslah seputar idealisme dan materialisme, Kuan-Hsung Ting mencoba menengahinya. Beberapa orang Kristen menaruh perhatian untuk menyangkal bahwa kekristenan itu idealis, sebab menjadi idealistis adalah terbelakang. Sebagian lainnya mencoba membuktikan bahwa kekristenan itu materialis, sebab yang materialistis adaah progresif. Taoisme pada tahap awal, lalu Lautze dan Chuangtze, tidak percaya kepada Allah atau roh-roh apapun, tetapi menjelaskan sesuatu dengan Tao surgawi yang hadir di seluruh alam. Dengan demikian mereka sangat condong pada pemikiran ateistis dan materialis. Pada saat yang sama mereka berjiwa sangat aristokratis dan mewakli kepentingan- kepentingan aristokratis. Doktrin Wang Yang- ming tentang nurani instingtif tampaknya bersifat idealistis (dan sebab itu defektif), tetapi merangsang jiwa inisiatif individual, pengenalan mana yang benar dan mana yang salah, sikap mempertanyakan tradisi, baik kini maupun dulu mempengaruhi pandangan ke depan dan terlalu penting untuk dibaikan. Lebih mustahil mengklasifikasikan kekristenan sebagai idealis maupun materialis, karena meskipun dalam bentuknya merupakan produk sejarah, namun dalam hakikatnya bukanlah ideologi, bukan struktur yang dibangun di atas landasan ekonomi. Substansi sebenarnya adalah wahyu, inkarnasi, jadi ia mentransendensikan semua garis pemisahan manusia. Beberapa orang Kristen masa kini tidak memahami pokok ini, sehingga mereka mencoba menarik garis di antara idealisme dan materialisme, dan berkata: “Semua ini sama sekali tidak perlu, sebab orang Kristen tidak perlu menerima bahkan klasifikasi itu sendiri.” Kekristenan di dalam organi- sasinya, pemilikannya, upacara-upacara- nya dan struktur resminya sudah sangat dipengaruhi oleh sejarah manusia, namun di dalam dirinya ia bukanlah buah hasil sejarah, dan Injil bukanlah suatu ideologi. Injil berasal dari karya wahyu yang bebas dari Allah. Injil adalah Kristus itu sendiri, melalui dia segala sesuatu telah dijadikan. Seorang teolog Eropa Barat telah berkata bahwa bahaya terbesar yang dihadapi teolog Barat masa kini ialah mereduksikan kekristenan mejadi sebuah ideologi, sesuatu yang bergerak di dalam orbit yang berbeda dari pada sistem penalaran manapun. Maka orang Kristen akan memperoleh pemahaman yang jelas, dari mana orang Kristen dapat menyadari bahwa semua pem- bicaraan mengenai persoalan antara kekristenan dan komunisme, kemiripan atau perbedaan, adalah di luar garis dan terlalu berlebihan.[6]

·         Pandangan Agama-agama Mengenai Kemiskinan

Kemiskinan seringkali dipandang secara pesimistis. Hal ini yang membuat orang seringkali pasif dalam menghadapi realitas penderitaannya. Dalam tradisi masyarakat Jawa misalnya, kita mengenal apa yang disebut dengan nrimo. Semangat nrimo ini yang membuat orang Asia yang menderita melihat kemiskinan sebagai kehendak Tuhan yang harus dijalani. Sikap fatalistis ini menurut D. P. Niles didukung dan disahkan oleh keyakinan-keyakinan agama tertentu. Yewangoe pun sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Niles ini dan menegaskan bahwa pandangan agama-agama mengenai penderitaan nampaknya bersifat ambigu (dwiarti), sebab pada satu sisi agama-agama dapat menyediakan kelepasan dari penderitaan, tetapi di pihak lain agama-agama pun dapat mengungkung orang dalam penderitaan untuk selama-lamanya. Dengan menggunakan istilah Pieris, ia menyatakan bahwa wajah agama-agama ialah membebaskan dan memperbudak, baik secara psikologis maupun sosiologis. Dalam wajahnya yang secara psikologis, agama-agama menjadi semacam takhayul, ritualisme, dogmatisme, dan transendentalisme, sementara secara sosiologis, agama-agama nampaknya melegalkan status quo yang opresif.

Dengan ini Yewangoe mengemukakan pandangan agama-agama di Asia mengenai penderitaan. Menurutnya, dalam tradisi Hinduisme ada keyakinan bahwa kehidupan manusia berada dalam sebuah proses yang tanpa akhir yang disebut dengan samsarai. Manusia terikat dalam proses ini dan terus mengalami reinkarnasi, namun tidak bisa mengalami kelepasan. Manusia hanya bisa mengalami kelepasan jika tercapai kesatuan dengan Brahman. Sementara itu, dalam tradisi Budhisme diyakini bahwa asal mula penderitaan atau dukkha ialah nafsu. Nafsu melahirkan perbuatan, dan perbuatan menimbulkan hasil (akibat) yang ialah penderitaan. Oleh karena itu, untuk bebas dari penderitaan orang harus melepaskan diri dari nafsu.

Dalam ajaran Kong Hu Cu, penderitaan dilihat sebagai ungkapan kejahatan dan bersifat tidak wajar. Penderitaan hanya membatasi manusia untuk mencapai status ideal dan oleh karena itu harus diatasi. Berbeda dengan Kong Hu Cu, Taoisme menganggap penderitaan sebagai cara untuk menemukan Tao, atau Realitas Tertinggi. Budhaisem Zen juga memandang penderitaan sebagai sesuatu yang mistis. Dalam tradisi Islam, penderitaan dipahami secara ambigu. Pada satu sisi, ini dianggap sebagai kehendak Allah yang mahakuasa. Oleh karena Allah yang mengatur segala sesuatu dan tidak ada sesuatu pun yang berada di luar kehendak Allah, maka penderitaan juga merupakan kehendak Allah. Di sini penderitaan dapat juga dipahami sebagai hukuman dari Allah. Pada sisi yang lain, ada ajaran Islam yang memandang penderitaan sebagai ujian bagi iman yang sejati.

Sebagaimana telah dikatakan bahwa di Asia tidak hanya ada agama-agama yang diakui secara resmi di dunia, melainkan juga ada begitu banyak tradisi keyakinan lokal atau yang disebut dengan agama suku. Setiap agama suku juga memiliki pandangan yang berbeda terhadap realitas ini. Samanisme Korea dan jepang memahami penderitaan sebagai akibat dari perbuatan jahat manusia, dan sebagai gangguan terhadap keseimbangan kosmos. Bagi agama suku bangsa Filipina penderitaan dianggap sebagai kehendak “bahala na” atau kehendak Allah. Sekalipun ada terdapat perbedaan cara pandang agama-agama suku, namun semuanya sama-sama melihat bahwa penderitaan merupakan akibat dari kesalahan manusia.

Tradisi kekristenan juga memiliki pandangan yang agak mirip dengan pandangan-pandangan yang telah dikemukakan di atas. Dalam tradisi Perjanjian Lama, konsep kemiskinan dipengaruhi oleh tradisi hikmat. Tradisi ini menganggap bahwa satu – satunya factor penyebab orang menjadi miskin karena ia tidak mau berusaha atau bekerja untuk membangun hidup. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, khusunya pada zaman para nabi, taggapan ini mulai berubah. Para nabi mengatakan bahwa bukan hanya faktor individu, tapi juga ada peranan strukur – strukur sosial yang menciptakan kemiskinan. Oleh karena itu Nabi–nabi PL seperti Hosea, Amos dll. mengecam strukur–struktur sosial yang ada. Dalam tradisi Sinoptis, kemiskinan juga dikritisi oleh Yesus sebagai realitas ini dilihatNya sebagai dampak dari kualitas hidup yang berat sebelah, yang hanya mengedepankan ritus dari pada praktek social. Yang dimaksudkan disini ialah praktek sosial oleh struktur atau lembaga sosial yang menciptkan ketergantungan. Pandangan gereja mula-mula (abad pertama) juga bersifat amibgu. Pada satu sisi, Paulus memberi posisi yang seimbang antara orang kaya dan orang miskin, sebab baginya Allah tidak hanya berpihak pada orang miskin, tapi juga pada orang kaya yang menggunakan kekayaannya untuk kepentingan bersama. Tetapi pada sisi yang lain, Yakobus menekankan bahwa kekayaan atau orang kaya ialah kelompok yang opresif, sebab kekayaan dipergunakan untuk menindas orang miskin. Dengan ini ia mempertentangkan antara orang kaya dan Allah (Yak.5).

Apapun pandangan keagamaan mengenai penderitaan dan kemiskinan, menurut saya realitas ini telah mengancam kualitas hidup manusia, bahkan seluruh alam semesta. Kemiskinan tidak hanya memenderitakan manusia, tetapi juga memenderitakan alam. Oleh karena itu, pengentasan kemiskinan dan penderitaan harus menjadi sebuah keharusan. Oleh karena penderitaan merupakan masalah global, maka upaya untuk mengatasinya bukan hanya menjadi upaya suatu agama tertentu, melainkan menjadi upaya agama-agama. Song juga mengindikasikan hal ini, bahwa apapun yang terjadi di Asia saat ini solusinya harus dicari secara bersama-sama oleh semua agama; perjuangan Kristen untuk HAM, kebebasan, dan demokrasi ialah perjuangan bersama. Perjuangan pengentasan kemiskinan juga ialah persoalan Hindu, Budha, dan Islam, sebab ketiganya diperhadapkan dengan masalah yang sama, sebagaimana yang telah saya singgung di bagian pendahuluan mengenai konteks di India. Dalam konteks inilah saya akan berbicara mengenai pandangan teologi agama-agama Raimundo Panikkar tentang dialog intrareligius dan dari situ melihat bagaimana dialog seperti ini mampu memberi konstribusi dalam menyikapi realitas kemiskinan di Asia.

            Dalam agama Kristen sendiri, hal ini menjadi tanggung jawab gereja sebagaI lembaga agama yang memiliki pengaruh, baik kepada jemaatnya, masyarakat di mana dia tinggal, maupun kepada pemerintahannya. Nilai-nilai yang lebih diutamakan dan ditekankan biasanya pada niai-nilai prikemanusiaan dan prikeadilan. Pelanggaran nilai-nilai tersebut di sejumlah negara telah membangkitkan keprihatinan yang pada akhirnya melahirkan Teologi Pembebasan. Sebagai contoh, Umat Kristen dengan ajaran Kristologi yang menafsirkan bahwa Kristus adalah Tuhan yang hadir dalam situasi karut marut dan membawa pembebasan bagi rakyat kecil dan tertindas. Dari dasar inilah, maka orang Kristen mengikuti teladan Yesus dan menentang ketidakadilan. Mereka merasa mendapat tugas untuk meneruskan perjuangan Tuhan yang disembahnya.[7] Bahwasannya teologi Kristen mulai adanya desas desus setelah adanya goncangan-goncangan dari para penguasa atau penganut paham kapitalis, sehingga mereka mulai bangkit dari kesengsaraan dan pada akhirnya mulai adanya perlawanan dan mengentaskan dari kesenjangan sosial yang terjadi dan membebaskan diri dari ketertindasan. Di samping itu, suatu fakta yang jelas bagi kita, bahwa bangsa Asia adalah bangsa yang religius, bukan semata-mata karena kebanyakan agama yang dikenal umat manusia lahir di Asia, hinduisme dan Buddhaisme di India, Kong Hu Cu dan Taoisme di Cina, Shintoisme di Jepang, Yudaisme dan Kekristenan di Asia Barat, Islam di Arab, tetapi juga karena orang-orang di Asia, dalam usaha mereka untuk memahami dan mengatasi kemiskinan. Biasanya mengaitkan kemiskinan itu dengan keberagamannya.

C.     Analisis

Munculnya kemiskinan di asia ini tidak lepas dari pengaruh permainan politik dan adanya dominasi kapitalais sehingga timbul kontradiksi kelas sosial, sehingga para petani miskin mulai terusir dari tanah garapannya. Hal ini memberikan gambaran bahwa kemiskinan terjadi akibat keserakahan suatu kelompok maupun individu. Dari keadaan tersebut maka muncul gerakan  pembebasan bagi kaum tertindas. Keterlibatan sosial Gereja Indonesia untuk masa depan adalah perjuangan cinta kasih dan keadilan, membangun persaudaraan semua orang, mendahulukan kaum miskin. Pentingnya “Komunitas Basis Manusiawi” dan “Komunitas Basis Antar Iman”. Dalam hubungannya dengan keyakinan lain, Iman mempunyai dimensi keterlibatan besama untuk kesejahteraan hidup bersama, melawan ketidakadilan. Namun realitas yang terjadi di Indonesai masih banyak kaum miskin yang tertindas dan tidak terpelihara. Kaum kapitalis (pemilik modal) mencoba memonopoli dari berbagai sudut perekonomian negara Indonesia sehingga kaum miskin tidak memiliki celah untuk masuk dan mengalami perubahan kelas sosial.

Seharusnya persoalan-persoalan yang melanda masyarakat Asia memiliki perhatian khusus. Tindakan teologi harusnya memiliki komitmen yaitu memberi respon atas tantangan kaum miskin yang berjuang untuk mencapai kemanusiaan seutuhnya bukan sekedar budak yang diperlakukan sekehendak hati para kaum kapital (pemilik model). Serta teologi yang berkarya demi pembebasan kaum miskin harusnya mereka mampu menganalisis kondisi sosial kaum miskin, dengan memahami struktur sosial-politik, ekonomi dan budaya yang telah menghambakan kaum miskin itu sendiri. Sehingga tidak ada penyelewengan atas dasar kepentingan para penguasa saja.

Adapan tindakan kedepan yang dapat kita lakukan, antara lain:

Ø  Kita perlu melanjutkan pendalaman pengertian kita atas realitas Asia melalui keterlibatan aktif dalam perjuangan rakyat untuk mencapai kemanusiaan penuh, artinya kita berjuang bersama mereka para petani, nelayan, buruh, penghuni kawasan kumuh, dan sebagainya.

Ø  Teologi harus menuntun kita pada transformasi masyarakat dimana kita hidup, sehingga dapat memungkinkan orang Asia mengalami makna hidup yang sebenarnya

Ø  Terus membantu pengembangan teologi yang relevan untuk Asia melalui interaksi yang baik.

Ø  Kita membangun jaringan kerja sama pada persekutuan yang kuat dengan memberi pemahaman kepada mereka serta menunjukkan kelompok-kelompok yang telah sadar untuk memperjuangkan keadilan dan kehidupan para kaum miskin serta menghenytikan adanya penindasan secara tidak manusia.

 

DAFTAR PUSTAKA

Douglas j. Elwood Teologi Kristen Asia: tema-tema yang tampil ke permukaaan. (Gunung mulia, 1993)

Vitus Rabianto, S.X. Pertautan Kemiskinan dan Kereligiusan dalam teologii Aloysius Pieris, Kanisius, Yogyakarta

Lane, Tony. Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani. BPK Gunung Mulia, 2005

Elwood, Douglas J. Teologi Kristen Asia : Tema-tema Yang Tampil ke Permukaan. Jakarta: BPK Gunung Muilia, 2004

Francis Wahono Nitiprawira Teologi pembebasan, Yogyakarta

 


[1] Douglas j. Elwood Teologi Kristen Asia: tema-tema yang tampil ke permukaaan. (Gunung mulia, 1993), hlm. 75-76

[2] Vitus Rabianto, S.X. Pertautan Kemiskinan dan Kereligiusan dalam teologii Aloysius Pieris hlm 42, Kanisius, Yogyakarta

[3] Ibid Paradigma Asia hlm 43-44

[4]  Ibid 64

[5]  Lane, Tony. Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani. BPK Gunung Mulia, 2005, hlm. 265-266

[6] Elwood, Douglas J. Teologi Kristen Asia : Tema-tema Yang Tampil ke Permukaan. Jakarta: BPK Gunung Muilia, 2004, hlm. 275-276

[7] Francis Wahono Nitiprawira Teologi pembebasan, Yogyakarta hlm 188

#KOMDUKHAN #KOMCAD KESADARAN BELA NEGARA

Makna Tahlilan

  PROSESI DAN MAKNA TAHLILAN DI DESA KLORON PLERET BANTUL SETIONO    A.    Latar Belakang Tahlilan sangat erat sekali kaitannya de...