TEOLOGI KEMISKINAN DI ASIA
(Amirul Auzar Ch, Fitriyani, Setiono, Siti Rahma, Nur Hanifah, Hairullah)
Tugas Makul Perkembangan Teologi Kristen Modern (PTKM) Tahun 2014
PENDAHULUAN
Invasi
dan kolonialisasi bangsa Eropa terhadap beberapa negara di Asia telah
mengakibatkan berbagai permasalahan sosial dan politik. Problem utamanya adalah
tingkat kemiskinan yang tinggi serta penderitaan-penderitaan fisik dan non
fisik dialami oleh negara-negara di Asia. Terlepas dari belenggu kolonialisme,
Asia dihadapkan pada tekanan neo-kolonialisme yang mengancam struktur budaya
dan ekonomi rakyat dengan membawa paham kapitalisme yang mengakibatkan
kesenjangan sosial semakin meningkat, relasi-relasi sosial yang menyimpang dan
beberapa pergesaran kebudayaan. Bahkan banyak daerah-daerah yang kumuh dan para
petani-petani miskin yang telah di usir dari tempat tinggalnya, sehingga
semakin terjadinya kesenjangan sosial dan hal itu akibat dari kontradiksi kelas
sosial, karena adanya kekuatan kapitalis dari dalam maupun dari luar. Dari
sinilah suatu kondisi yang memprihatinkan dan perlu adanya perubahan menuju
kehidupan yang lebih layak dan mempertahankan atau memperjuangkan hak-hak
mereka serta keadilan.
Perjuangan
mengatasi kekuatan-kekuatan ini telah di emban dengan berani oleh para
pemuka-pemuka sosialis. Orde sosio-politik ini ternyata searah dengan aspirasi
rakyat Asia, di kawasan desa dan kota, karena menjanjikan hak menentukan nasib
sendiri serta menetapkan kondisi sosial ekonomi yang menentukan kesejahteraan
mereka.[1]
Tetapi hal ini tidak sepenuhnya berhasil menyejahterahkannya, karena hanya
beberapa negara saja yang berhasil di Asia melalui perjuangan yang panjang ini
dalam menuju masyarakat yang baik dalam kehidupan. Namun, perlu adanya
gerakan-gerakan lain untuk dapat menciptakan kesejahteraan lain dan
menyelesaikan ketimpangan-ketimpangan sosial lainnya, dengan menggunakan segala
macam cara agar terciptanya kelayakan rakyat. Dari pengalaman dan studi para
pakar sosialis selama bertahun-tahun di dalam realitas asia, seperti halnya
pieris merumuskan bahwa “setiap pembicaraan tentang teologi asia harus bergerak
Antara dua kutub, yaitu sifat ke-dunia Ketigaan benua kita dan sifat
keasiaannya yang khas. Kesamaan umum asia dan dunia ketiga lain ialah
kemiskkinannya yang bertumpuh ruah (overwhelming poverty), sedangkan
sifat khas yang membedakan asia dengan Negara-negara miskin lainnya ialah
keregiusannya yang majemuk (multifaceted religiousnes).[2]
Kemerdekaan yang seharusnya sebagai sebuah arah hidup lebih baik dan layak, pada kenyataannya justru membuat sengsara pada
rakyat di Asia dengan adanya paham kapitalis. Dimana paham kapitalis ini
cenderung lebih memaksa dan menekan rakyat, sehingga terjadi kesenjangan sosial
atau kemiskinan.
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Teologi Kemiskinan di Asia
Asia merupakan salah satu benua terbesar di dunia baik secara geografis maupun juga demografis. Laporan UNPFA tahun 2011 (State of World Population) memperlihatkan bahwa jumlah penduduk Asia saat ini mencapai 4,5 miliar jiwa atau sekitar 62,29% dari jumlah populasi dunia yang saat ini mencapai 7 miliar jiwa. Sebagai benua dengan populasi terbesar, maka tentu saja realitas Asia sangat kompleks baik secara sosial, politik, ekonomi, religiusitas, dan budaya. Kompleksitas ini cenderung menjadi problematika tersendiri bagi orang-orang Asia. Realitas konteks Asia yang sangat dominan ialah kemajemukan agama-agama, tapi juga kemajemukan budaya, etnis, dan bahasa serta kemiskinan yang merajalela. A. A. Yewangoe yang mengikuti Pieris juga mempertegas hal ini, bahwa kemiskinan dan kemajemukan agama merupakan dua realitas yang dominan di Asia. Oleh karena itu, memahami Asia tidak dapat dilepaspisahkan dari dua kenyataan yang membelenggunya ini. Suatu wilayah di Asia tidak pernah bebas dari dua potret ini, bahkan dalam konteks geografis tertentu kedua-duanya merupakan bagian dari pergumulan konteks yang sama. Misalnya, India sebagai salah satu negara di Asia yang populasinya terbanyak pada satu sisi diwarnai dengan hamparan jutaan manusia yang menderita karena kemiskinan, dan pada saat yang bersaman entitas India dibentuk oleh beragam tradisi agama dan keyakinan. Sebagai bagian dari Asia, Indonesia juga berwajah yang sama; kemiskinan yang membuat Indonesia menduduki peringkat ketiga dunia dan keragaman agama dan budaya yang membuat Indonesia dijuluki sebagai negara majemuk.[3]
Sejarah orang Asia
sebetulnya merupakan sejarah penderitaan. Orang-orang yang hidup di Asia
mayoritasnya ialah orang-orang yang menderita karena kelaparan, terkapar di
jalanan karena tidak memiliki tempat tinggal, diperlakukan tidak adil dan
diskriminatif, dan terbelenggu dalam penyakit yang mematikan. Semua realitas
ini ialah fakta dari kemiskinan yang merajalela. Yewangoe memperlihatkan bahwa
dalam pertemuan Dewan Gereja-gereja Asia pada tahun 1980 di Kandy, gereja
menyadari bahwa Asia secara khusus dipengaruhi oleh masalah kemiskinan yang
amat dashyat. Hal ini yang membuat
mayoritas Negara Asia disebut sebagai Negara berkembang dimana orang-orang
termiskin di dunia ini berada. Konsentrasi massa orang miskin di Asia lebih
banyak berada di wilayah Asia Selatan.
Sebagaimana telah disinggung di atas, kemiskinan yang terjadi di Asia pada dasarnya merupakan kemiskinan struktural yang diakibatkan oleh penguasa elit politik, sosial, dan ekonomi. Masalah kemiskinan Asia sebetulnya ialah masalah ketidakadilan. Nimelka mengungkapkan bahwa 80% pekerja di Asia merupakan orang miskin yang menjadi korban dari kapitalisme barat yang mengendalikan pasar dunia. Dua per tiga penduduk dunia yang hidup dalam sektor pertanian pun tidak mempunyai hak kepemilikan atas tanah, sebab tanahnya dipaksa untuk dijual kepada para kapitalis. Oleh karena itu mereka harus menjadi buruh di atas tanah mereka sendiri dengan upah kerja yang sangat rendah. Di sini Nimelka merumuskan tiga faktor penyebab kemiskinan yakni, ketidakadilan struktural, penindasan dari sistem kapitalis, dan perampokan sistematis oleh Negara-negara maju. Konferensi Teolog Dunia Ketiga (Asian Conference of Third World Theologians) juga menyoroti hal yang sama. Salah satu isu yang dibahas dalam konferensi ini ialah isu kemiskinan sebagai kemiskinan yang dipaksakan. Penderitaan yang berabad-abad ini merupakan akibat dari kolonialisme dan neokolonialisme. Hal ini memperlihatkan bahwa orang-orang Asia kehilangan hak atas hidupnya dan hidupnya menjadi obyek diskriminasi penguasa ekonomi barat. Bahkan, mereka tidak hanya mengalami penderitaan secara ekonomis, tetapi pada saat yang bersamaan mereka kehilangan nilai kemanusiaannya.[4]
B.
Tokoh
dan Pemikirannya
Diantara
beberapa Negara Asia tersebut, hanya ada beberapa tokoh yang dapat dikatakan
benar-benar berpengaruh atau memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam mengatasi
masalah kemiskinan. Diantara tokoh-tokoh tersebut adalah:
1.
Kosuke
Koyama di Thailand
Kosuke Koyama adalah
seorang teolog yang lahir di Tokyo tetapi menjadi misionaris dan mengajar
seminari di Thailand. Kosuke Koyama adalah salah satu tokoh yang menjadikan
social dalam focus teologinya melalui bukunya yang berjudul Teologi Kerbau (1974). Teologi ini
terinspirasi dari kerbau-kerbau yang dilihat Koyama ketika dalam perjalanan
menuju gereja untuk memberikan khotbah pada umatnya. Ia teringat dengan
kenyataan umatnya yang ada, sehingga dalam mengambil keputusan ia
memprioritaskan petani diatas pemikiran teologi agung seperti Thomas Aquinas
dan Barth. Dalam teologi ini Koyama lebih menekankan pada realitas yang ada di
Thailand, sedangkan kondisi Thailand pada saat itu telah terdapat konsep
Buddha. Seperti contoh ketika membahas tentang murka Allah. Dalam kebudayaan
Buddha bebas emosi dan penderitaan serta keheningan dianggap sebagai puncak
dari segala yang baik. Ide tentang Allah yang murka, Allah yang cemas karena
dosa manusia adalah suatu batu sandungan dalam kebudayaan tersebut. Jawaban
Koyama bukan dengan tidak menonjolkan kemurkaan Allah, sebagai- mana dibuat
banyak orang. Pembicaraan tentang kasih Allah menjadi menyimpang dari kebenaran
dan dangkal kalau dipisahkan dari kemurkaan-Nya. Pemikiran
Thailand melihat Allah sebagai tak beremosi, tidak dapat menderita, karena
menempatkan Allah melampaui batas waktu dan sejarah, sebab pemikir- an Buddhis
Thailand mengabaikan sejarah. Pemikiran ini lebih dipupuk lagi dengan siklus
alam yang cukup teratur dan baik di Thailand. Di sana jarang ada bencana alam
seperti gempa bumi dan taufan. Doktrin tentang murka Allah dapat digunakan
untuk menantang pemikiran Thailand pada tingkat yang lebih dalam ini, dan
dengan demikian menyatakan doktrin Allah yang terlibat dalam sejarah.[5]
Teologi Koyama
dapat dikatakan lebih focus pada masalah dogma, yaitu menguraikan tentang
ajaran-ajaran pokok iman Kristen. Khususnya di bidang kristologi yang membahas tentang siapa Allah, siaoa Kristus dan
siapa yang dinamakan Kristus, yang mana beberapa pemikiran tersebut disesuaikan
dengan kondisi yang ada di Thailand.
2.
Kuan-Hsung
Ting di Cina
Kuang-Hsun
Ting adalah mantan Presiden Nanking Theological College dan uskup dari
Keuskupan Chekiang dari Sheng Kung Hui, Gereja Anglikan di Cina. Teologi
Kuan-Hsung Ting hampir sama dengan teologi Koyama yang mengambil focus pada
masalah dogma, tetapi Kuan-Hsung Ting mengkontekstualisasikan dengan kondisi
Cina terutama dalam menghadapi tekanan komunisme, atheism, idealisme,
materialisme dan persoalan mengenai agama sebagai candu.
Dalam menghadapi maslah seputar idealisme dan materialisme, Kuan-Hsung Ting mencoba menengahinya. Beberapa orang Kristen menaruh perhatian untuk menyangkal bahwa kekristenan itu idealis, sebab menjadi idealistis adalah terbelakang. Sebagian lainnya mencoba membuktikan bahwa kekristenan itu materialis, sebab yang materialistis adaah progresif. Taoisme pada tahap awal, lalu Lautze dan Chuangtze, tidak percaya kepada Allah atau roh-roh apapun, tetapi menjelaskan sesuatu dengan Tao surgawi yang hadir di seluruh alam. Dengan demikian mereka sangat condong pada pemikiran ateistis dan materialis. Pada saat yang sama mereka berjiwa sangat aristokratis dan mewakli kepentingan- kepentingan aristokratis. Doktrin Wang Yang- ming tentang nurani instingtif tampaknya bersifat idealistis (dan sebab itu defektif), tetapi merangsang jiwa inisiatif individual, pengenalan mana yang benar dan mana yang salah, sikap mempertanyakan tradisi, baik kini maupun dulu mempengaruhi pandangan ke depan dan terlalu penting untuk dibaikan. Lebih mustahil mengklasifikasikan kekristenan sebagai idealis maupun materialis, karena meskipun dalam bentuknya merupakan produk sejarah, namun dalam hakikatnya bukanlah ideologi, bukan struktur yang dibangun di atas landasan ekonomi. Substansi sebenarnya adalah wahyu, inkarnasi, jadi ia mentransendensikan semua garis pemisahan manusia. Beberapa orang Kristen masa kini tidak memahami pokok ini, sehingga mereka mencoba menarik garis di antara idealisme dan materialisme, dan berkata: “Semua ini sama sekali tidak perlu, sebab orang Kristen tidak perlu menerima bahkan klasifikasi itu sendiri.” Kekristenan di dalam organi- sasinya, pemilikannya, upacara-upacara- nya dan struktur resminya sudah sangat dipengaruhi oleh sejarah manusia, namun di dalam dirinya ia bukanlah buah hasil sejarah, dan Injil bukanlah suatu ideologi. Injil berasal dari karya wahyu yang bebas dari Allah. Injil adalah Kristus itu sendiri, melalui dia segala sesuatu telah dijadikan. Seorang teolog Eropa Barat telah berkata bahwa bahaya terbesar yang dihadapi teolog Barat masa kini ialah mereduksikan kekristenan mejadi sebuah ideologi, sesuatu yang bergerak di dalam orbit yang berbeda dari pada sistem penalaran manapun. Maka orang Kristen akan memperoleh pemahaman yang jelas, dari mana orang Kristen dapat menyadari bahwa semua pem- bicaraan mengenai persoalan antara kekristenan dan komunisme, kemiripan atau perbedaan, adalah di luar garis dan terlalu berlebihan.[6]
· Pandangan Agama-agama Mengenai Kemiskinan
Kemiskinan seringkali dipandang secara pesimistis. Hal ini yang membuat
orang seringkali pasif dalam menghadapi realitas penderitaannya. Dalam tradisi
masyarakat Jawa misalnya, kita mengenal apa yang disebut dengan nrimo.
Semangat nrimo ini yang membuat orang Asia yang menderita
melihat kemiskinan sebagai kehendak Tuhan yang harus dijalani. Sikap fatalistis
ini menurut D. P. Niles didukung dan disahkan oleh keyakinan-keyakinan agama
tertentu. Yewangoe pun sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Niles ini dan
menegaskan bahwa pandangan agama-agama mengenai penderitaan nampaknya bersifat
ambigu (dwiarti), sebab pada satu sisi agama-agama dapat menyediakan kelepasan
dari penderitaan, tetapi di pihak lain agama-agama pun dapat mengungkung orang
dalam penderitaan untuk selama-lamanya. Dengan menggunakan istilah Pieris, ia
menyatakan bahwa wajah agama-agama ialah membebaskan dan memperbudak, baik
secara psikologis maupun sosiologis. Dalam wajahnya yang secara psikologis,
agama-agama menjadi semacam takhayul, ritualisme, dogmatisme, dan
transendentalisme, sementara secara sosiologis, agama-agama nampaknya
melegalkan status quo yang opresif.
Dengan ini Yewangoe mengemukakan pandangan agama-agama di Asia mengenai
penderitaan. Menurutnya, dalam tradisi Hinduisme ada keyakinan bahwa kehidupan
manusia berada dalam sebuah proses yang tanpa akhir yang disebut dengan samsarai. Manusia
terikat dalam proses ini dan terus mengalami reinkarnasi, namun tidak bisa
mengalami kelepasan. Manusia hanya bisa mengalami kelepasan jika tercapai
kesatuan dengan Brahman. Sementara itu, dalam tradisi Budhisme diyakini bahwa
asal mula penderitaan atau dukkha ialah nafsu. Nafsu
melahirkan perbuatan, dan perbuatan menimbulkan hasil (akibat) yang ialah
penderitaan. Oleh karena itu, untuk bebas dari penderitaan orang harus
melepaskan diri dari nafsu.
Dalam ajaran Kong Hu Cu, penderitaan dilihat sebagai ungkapan kejahatan dan
bersifat tidak wajar. Penderitaan hanya membatasi manusia untuk mencapai status
ideal dan oleh karena itu harus diatasi. Berbeda dengan Kong Hu Cu, Taoisme
menganggap penderitaan sebagai cara untuk menemukan Tao, atau Realitas
Tertinggi. Budhaisem Zen juga memandang penderitaan sebagai sesuatu yang
mistis. Dalam tradisi Islam, penderitaan dipahami secara ambigu. Pada satu
sisi, ini dianggap sebagai kehendak Allah yang mahakuasa. Oleh karena Allah
yang mengatur segala sesuatu dan tidak ada sesuatu pun yang berada di luar
kehendak Allah, maka penderitaan juga merupakan kehendak Allah. Di sini
penderitaan dapat juga dipahami sebagai hukuman dari Allah. Pada sisi yang
lain, ada ajaran Islam yang memandang penderitaan sebagai ujian bagi iman yang
sejati.
Sebagaimana telah dikatakan bahwa di Asia tidak hanya ada agama-agama yang
diakui secara resmi di dunia, melainkan juga ada begitu banyak tradisi
keyakinan lokal atau yang disebut dengan agama suku. Setiap agama suku juga
memiliki pandangan yang berbeda terhadap realitas ini. Samanisme Korea dan
jepang memahami penderitaan sebagai akibat dari perbuatan jahat manusia, dan
sebagai gangguan terhadap keseimbangan kosmos. Bagi agama suku bangsa Filipina
penderitaan dianggap sebagai kehendak “bahala na” atau kehendak Allah.
Sekalipun ada terdapat perbedaan cara pandang agama-agama suku, namun semuanya
sama-sama melihat bahwa penderitaan merupakan akibat dari kesalahan manusia.
Tradisi kekristenan juga memiliki pandangan yang agak mirip dengan
pandangan-pandangan yang telah dikemukakan di atas. Dalam tradisi Perjanjian
Lama, konsep kemiskinan dipengaruhi oleh tradisi hikmat. Tradisi ini menganggap
bahwa satu – satunya factor penyebab orang menjadi miskin karena ia tidak mau
berusaha atau bekerja untuk membangun hidup. Namun, dalam perkembangan
selanjutnya, khusunya pada zaman para nabi, taggapan ini mulai berubah. Para
nabi mengatakan bahwa bukan hanya faktor individu, tapi juga ada peranan
strukur – strukur sosial yang menciptakan kemiskinan. Oleh karena itu Nabi–nabi
PL seperti Hosea, Amos dll. mengecam strukur–struktur sosial yang ada. Dalam
tradisi Sinoptis, kemiskinan juga dikritisi oleh Yesus sebagai realitas ini
dilihatNya sebagai dampak dari kualitas hidup yang berat sebelah, yang hanya
mengedepankan ritus dari pada praktek social. Yang dimaksudkan disini ialah
praktek sosial oleh struktur atau lembaga sosial yang menciptkan
ketergantungan. Pandangan gereja mula-mula (abad pertama) juga bersifat amibgu.
Pada satu sisi, Paulus memberi posisi yang seimbang antara orang kaya dan orang
miskin, sebab baginya Allah tidak hanya berpihak pada orang miskin, tapi juga
pada orang kaya yang menggunakan kekayaannya untuk kepentingan bersama. Tetapi
pada sisi yang lain, Yakobus menekankan bahwa kekayaan atau orang kaya ialah
kelompok yang opresif, sebab kekayaan dipergunakan untuk menindas orang miskin.
Dengan ini ia mempertentangkan antara orang kaya dan Allah (Yak.5).
Apapun pandangan keagamaan mengenai penderitaan dan kemiskinan, menurut
saya realitas ini telah mengancam kualitas hidup manusia, bahkan seluruh alam
semesta. Kemiskinan tidak hanya memenderitakan manusia, tetapi juga memenderitakan
alam. Oleh karena itu, pengentasan kemiskinan dan penderitaan harus menjadi
sebuah keharusan. Oleh karena penderitaan merupakan masalah global, maka upaya
untuk mengatasinya bukan hanya menjadi upaya suatu agama tertentu, melainkan
menjadi upaya agama-agama. Song juga mengindikasikan hal ini, bahwa apapun yang
terjadi di Asia saat ini solusinya harus dicari secara bersama-sama oleh semua
agama; perjuangan Kristen untuk HAM, kebebasan, dan demokrasi ialah perjuangan
bersama. Perjuangan pengentasan kemiskinan juga ialah persoalan Hindu, Budha,
dan Islam, sebab ketiganya diperhadapkan dengan masalah yang sama, sebagaimana
yang telah saya singgung di bagian pendahuluan mengenai konteks di India. Dalam
konteks inilah saya akan berbicara mengenai pandangan teologi agama-agama
Raimundo Panikkar tentang dialog intrareligius dan dari situ melihat bagaimana
dialog seperti ini mampu memberi konstribusi dalam menyikapi realitas
kemiskinan di Asia.
Dalam agama Kristen sendiri, hal ini menjadi tanggung
jawab gereja sebagaI lembaga agama yang memiliki pengaruh, baik kepada
jemaatnya, masyarakat di mana dia tinggal, maupun kepada pemerintahannya.
Nilai-nilai yang lebih diutamakan dan ditekankan biasanya pada niai-nilai prikemanusiaan dan prikeadilan. Pelanggaran nilai-nilai tersebut di sejumlah negara telah membangkitkan keprihatinan yang
pada akhirnya melahirkan Teologi
Pembebasan. Sebagai contoh, Umat Kristen dengan ajaran Kristologi yang menafsirkan bahwa Kristus adalah Tuhan yang hadir dalam situasi karut marut dan membawa
pembebasan bagi rakyat kecil dan tertindas. Dari dasar inilah, maka orang Kristen mengikuti
teladan Yesus dan menentang ketidakadilan. Mereka merasa mendapat
tugas untuk meneruskan perjuangan Tuhan yang disembahnya.[7]
Bahwasannya teologi Kristen mulai adanya desas desus setelah adanya
goncangan-goncangan dari para penguasa atau penganut paham kapitalis, sehingga
mereka mulai bangkit dari kesengsaraan dan pada akhirnya mulai adanya
perlawanan dan mengentaskan dari kesenjangan sosial yang terjadi dan
membebaskan diri dari ketertindasan. Di samping itu, suatu fakta yang jelas bagi kita, bahwa bangsa Asia
adalah bangsa yang religius, bukan semata-mata karena kebanyakan agama yang
dikenal umat manusia lahir di Asia, hinduisme dan Buddhaisme di India, Kong Hu
Cu dan Taoisme di Cina, Shintoisme di Jepang, Yudaisme dan Kekristenan di Asia
Barat, Islam di Arab, tetapi juga karena orang-orang di Asia, dalam usaha
mereka untuk memahami dan mengatasi kemiskinan. Biasanya mengaitkan kemiskinan
itu dengan keberagamannya.
C.
Analisis
Munculnya kemiskinan di asia ini tidak lepas dari pengaruh permainan politik dan adanya dominasi kapitalais sehingga timbul kontradiksi kelas sosial, sehingga para petani miskin mulai terusir dari tanah garapannya. Hal ini memberikan gambaran bahwa kemiskinan terjadi akibat keserakahan suatu kelompok maupun individu. Dari keadaan tersebut maka muncul gerakan pembebasan bagi kaum tertindas. Keterlibatan sosial Gereja Indonesia untuk masa depan adalah perjuangan cinta kasih dan keadilan, membangun persaudaraan semua orang, mendahulukan kaum miskin. Pentingnya “Komunitas Basis Manusiawi” dan “Komunitas Basis Antar Iman”. Dalam hubungannya dengan keyakinan lain, Iman mempunyai dimensi keterlibatan besama untuk kesejahteraan hidup bersama, melawan ketidakadilan. Namun realitas yang terjadi di Indonesai masih banyak kaum miskin yang tertindas dan tidak terpelihara. Kaum kapitalis (pemilik modal) mencoba memonopoli dari berbagai sudut perekonomian negara Indonesia sehingga kaum miskin tidak memiliki celah untuk masuk dan mengalami perubahan kelas sosial.
Seharusnya persoalan-persoalan yang melanda masyarakat Asia
memiliki perhatian khusus. Tindakan teologi harusnya memiliki komitmen yaitu
memberi respon atas tantangan kaum miskin yang berjuang untuk mencapai
kemanusiaan seutuhnya bukan sekedar budak yang diperlakukan sekehendak hati
para kaum kapital (pemilik model). Serta teologi yang berkarya demi pembebasan
kaum miskin harusnya mereka mampu menganalisis kondisi sosial kaum miskin,
dengan memahami struktur sosial-politik, ekonomi dan budaya yang telah
menghambakan kaum miskin itu sendiri. Sehingga tidak ada penyelewengan atas
dasar kepentingan para penguasa saja.
Adapan tindakan kedepan yang dapat kita lakukan, antara
lain:
Ø
Kita
perlu melanjutkan pendalaman pengertian kita atas realitas Asia melalui
keterlibatan aktif dalam perjuangan rakyat untuk mencapai kemanusiaan penuh,
artinya kita berjuang bersama mereka para petani, nelayan, buruh, penghuni
kawasan kumuh, dan sebagainya.
Ø
Teologi
harus menuntun kita pada transformasi masyarakat dimana kita hidup, sehingga
dapat memungkinkan orang Asia mengalami makna hidup yang sebenarnya
Ø
Terus
membantu pengembangan teologi yang relevan untuk Asia melalui interaksi yang
baik.
Ø
Kita
membangun jaringan kerja sama pada persekutuan yang kuat dengan memberi
pemahaman kepada mereka serta menunjukkan kelompok-kelompok yang telah sadar
untuk memperjuangkan keadilan dan kehidupan para kaum miskin serta
menghenytikan adanya penindasan secara tidak manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Douglas j. Elwood Teologi Kristen Asia: tema-tema yang tampil ke permukaaan. (Gunung mulia, 1993)
Vitus Rabianto, S.X. Pertautan Kemiskinan dan Kereligiusan dalam teologii Aloysius Pieris, Kanisius, Yogyakarta
Lane, Tony. Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani.
BPK Gunung Mulia, 2005
Elwood,
Douglas J. Teologi Kristen Asia :
Tema-tema Yang Tampil ke Permukaan. Jakarta: BPK Gunung Muilia, 2004
Francis
Wahono Nitiprawira Teologi pembebasan,
Yogyakarta
[1] Douglas j. Elwood Teologi Kristen Asia: tema-tema yang tampil ke permukaaan. (Gunung mulia, 1993), hlm. 75-76
[2] Vitus Rabianto, S.X. Pertautan Kemiskinan dan Kereligiusan dalam teologii Aloysius Pieris hlm 42, Kanisius, Yogyakarta
[3] Ibid Paradigma Asia hlm 43-44
[4] Ibid 64
[5] Lane, Tony. Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani. BPK Gunung Mulia, 2005, hlm. 265-266
[6] Elwood, Douglas J. Teologi Kristen Asia : Tema-tema Yang Tampil ke Permukaan. Jakarta: BPK Gunung Muilia, 2004, hlm. 275-276
[7] Francis Wahono Nitiprawira Teologi pembebasan, Yogyakarta hlm 188