ISLAM, NEGARA DAN KEMAJEMUKAN UMAT
Oleh:
SETIONO
Islam merupakan suatu agama yang
sangat progresif dalam perkembangan ataupun penyebarannya, bahkan Islam sendiri
mudah menerima kebudayaan baru dengan cara memfilter hal-hal yang positif. Islam
juga suatu hal yang unik dalam perjalanannya dan penyebarannya, karena Islam
mampu membentuk suatu kebudayaan yang dapat melahirkan suatu demokrasi yang
dapat diterima oleh masyarakat. Islam sangat toleran dalam hal-hal agama dan
demokrasi, sebab Islam telah mampu menggabungkan atau memasukan nilai-nilai
agama dalam suatu kebudayaan. Ketika Islam mampu melahirkan suatu kebudayaan
yang mampu diaktualisasikan, maka pada saat itu juga telah muncul nilai-nilai
religius dan nilai-nilai demokrasi pada tubuh Islam itu sendiri.
Agama itu sendiri suatu hal yang
mampu memberikan daya dorong perubahan sosial secara demokratik. Karena agama
tidak hanya sebagai pandangan hidup manusia saja, akan tetapi agama juga
merupakan sarana manusia untuk menciptakan kedamaian serta mampu mengemukakan
pendapatnya secara demokratis. Bahkan menurut Imam Aziz, 1993 : “Agama
diposisikan sebagai landasan satu-satunya bagi pembentukan masyarakat dan
pemecahan krisis kemanusiaan secara umum”. Bahkan agama sendiri berada dalam
posisi yang kontroversial. Di satu sisi, agama diharapkan mampu mendorong
lahirnya sikap-sikap inklusif dalam proses demokrasi dan demokratisasi. Di sisi
lain, agama justru menjadi kendala serius bagi munculnya sikap inklusif itu,
ketika ia mementingkan dirinya sendiri dalam bentuk symbol-simbol dan
pelembagaan agama yang kaku. Sehingga hal tersebut seringkali sulit untuk
dihindari, mengingat setiap orang dalam memeluk agama bukanlah sekedar
persoalan individual, tetapi sangat terkait dengan dimensi sosiokultural
tertentu.
Agama sangat berhubungan erat dengan
pelembagaan, struktur sosial dan proses perubahan sosial. Hubungan itu dapat
bermakna fungsional yang positif ataupun disfungsional yang negatif, tetapi
seringkali samar-samar. Demokrasi dalam agama merupakan persoalan yang rumit
dalam tradisi Islam. Persoalannya bermula dari hubungan agama dan Negara yang
tidak tuntas dalam Islam. Karena pemerintahan yang tidak berasal dari rakyat
disebut pemerintahan yang tidak mempunyai legitimasi. Pemerintahan yang tidak dijalankan
oleh rakyat disebut pemerintahan otoriter. Pemerintahan yang dijalankan tidak
untuk rakyat adalah suatu pemerintahan yang korup. Dari ketiga hal tersebut,
kita dapat menguji, apakah pemerintahan bisa disebut demokratis atau tidak.
Sejumlah gerakan religius berhasil
meraih sukses, sekalipun pendukung-pendukungnya yang ekstrem telah ditumpas,
ketika gagasan-gagasan mereka diasimilasi ke dalam ideologi politik Negara.
Yang ditemukan oleh Juergensmeyer menegaskan bahwa ideologi agama formal yang diramalkan
sebagai tidak memiliki masa depan itu ternyata semakin menunjukkan kekuatannya.
Oleh karena itu, sulit diterima analisis yang menyatakan bahwa keberadaan organized religion akan ditinggalkan
orang. Kebangkitan agama-agama formal semakin menguat, yang dalam batas-batas
tertentu berpadu secara simbiotik dengan semangat etnisitas.
Dari uraian diatas sehingga dapat
disimpulkan bahwa agama memiliki dua sisi yaitu positif dan negatif. Agama juga
mampu mendorong untuk merubah suatu hal yang baru dan bahkan kaitannya sangat
erat dengan kehidupan masyarakat atau sosial masyarakat. Bahkan agama itu
sendiri mampu melahirkan kebudayaan yang dapat diaktualisasikan oleh masyarakan
sehingga membentuk suatu demokrasi. Dengan demikian agama mampu bangkit dan
menunjukkan kekuatan-kekuatan positif yang mampu membangun suatu demokrasi dan
demokratisasi. Sehingga agama mampu saling membaur dengan kehidupan masyarakat
dan Negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar