Selasa, 15 Maret 2022

Makna Tahlilan

 

PROSESI DAN MAKNA TAHLILAN

DI DESA KLORON PLERET BANTUL


SETIONO 

 


A.   Latar Belakang

Tahlilan sangat erat sekali kaitannya dengan kematian, karena tujuan utama tahlilan adalah untuk mendoakan arwah-arwah yang terlebih dahulu dipanggail oleh Allah SWT. Semua umat Islam meyakini bahwa setiap anak Adam (manusia) yang mati akan menemui dua kemungkinan. Yang pertama siksa kubur, karena amal buruknya ketika si mayit hidup di dunia. Sedangkan yang kedua nikmat kubur, karena amal baik yang pernah diperbuat ketika hidup di dunia. Yang menakutkan bagi mereka (orang-orang muslim) dan merusak ketenangan mereka, sehingga muncul kecemasan, adalah siksaan yang menyertai kematian itu.[1] Berawal dari kepercayaan tersebut, maka sebagai seorang muslim yang baik akan selalu mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapi datangnya kematian. Tak hanya itu saja, bagi orang-orang yang ditinggal mati sanak saudaranya juga berdoa kepada Allah SWT agar Allah menerima segala amal baiknya, mengampuni dosa-dosanya dan meringankan siksanya.

Upacara keagamaan yang berupa ritus kematian yang disebut dengan tahlil adalah suatu upaya yang dilakukan oleh orang-orang muslim yang masih hidup untuk mendoakan saudaranya yang telah mati.[2] Memang pada dasarnya upacara kematian seperti tahlil bukan mutlak mengadopsi dari ajaran Islam, akan tetapi merupakan akulturasi dari nilai-nilai budaya antara Islam dengan budaya-budaya yang ada di negeri kita ini. Maka bukan suatu yang mengherankan apabila tahlilan ini hanya ada di Indonesia saja.

Kematian yang berkaitan dengan masalah tahlilan menitik beratkan pada masalah ruh (keadaan ruh si mayat) yang menurut kepercayaan orang muslim, khususnya masyarakat Jawa, bahwa ruh si mayat turun ke bumi atau berkeliaran di muka bumi seperti ketika orang itu masih hidup, sehingga memandang penting untuk diadakan suatu ritus atau upacara keagamaan.[3] Nahdhotul Ulama adalah sebuah ormas Islam di Indonesia yang menjadikan tahlilan sebagai salah satu ciri darinya. Pasalnya diseluruh pelosok negeri ini terlebih-lebih pulau Jawa yang apabila secara kuantitas penduduknya didominasi oleh warga Nahdiyyin, maka pasti akan kita temui kegiatan tahlilan tersebut terlebih pada saat terjadi peristiwa kematian, atau peringat kematian yang disebut Haul. Budaya tahlilan yang telah mengakar kuat khususnya bagi warga Nahdiyyin seakan-akan merupakan consensus yang harus dilaksanakan oleh semua warga masyarakat tanpa terkecuali, karena kenyataan di dalam masyarakat apabila ada warga yang tidak menyukai atau tidak melaksanakan kegiatan tahlilan tersebut akan termarjinalkan dari masyarakat.

Fenomena tahlilan yang terjadi hampir di seluruh pelosok pulau Jawa juga terjadi pada masyarakat Desa Kloron Pleret Bantul. Mereka juga melaksanakan kegiatan tahlilan tersebut dalam berbagai hal seperti: upacara kematian, peringatan kematian, mendoakan orang sakit agar lekas sembuh, menempati rumah baru, pada saat hajatan warga sebagai wujud rasa syukur dan acara-acara yang berbau keagamaan. Akan tetapi secara umum tahlilan dilaksanakan apabila terjadi peristiwa kematian atau peringatan kematian.

Akan tetapi yang menjadi fokus perhatian kami adalah prosesi tahlilan tiga hari (peringatan kematian) dan makna serta tujuan diadakannya tahlilan di Desa Kloron Pleret Bantul tersebut. Sebagaimana tahlilan merupakan ritus kematian yang mempunyai tujuan menghadiahkan pahala bacaan kepada mayit agar Allah mengampuni dosa dan kesalahannya serta meringankan siksanya sekaligus mengajak para jama’ah tahlilan tersebut agar senantiasa mengingat bahwa suatu saat semua orang pasti akan menyusulnya.

 

B.  Tahlilan Sebagai Tradisi

Tahlilan seperti yang kita lihat adalah salah satu bentuk upacara keagamaan yang muncul karena adanya akulturasi kebudayaan Jawa yang pada waktu itu didominasi oleh Hindu, Budha dengan kebudayaan Islam. Pada masa pra Islam di Jawa, tradisi membaca mantra-mantra disertai selamatan hampir terjadi pada setiap peristiwa penting dalam kehidupan, seperti kelahiran, kematian, pernikahan, panenan, dan lain sebagainya. Artinya acara tahlilan pada mulanya bersumber dari luar Islam yang oleh wali disusupi nilai-nilai keislaman. Dakwah para wali tidak serta merta mengikis nilai buadaya yang sudah ada. Dengan kata lain, para wali berdakwah tidak menggunakan metode normatif (istilah dalam bahsa hukum sekarang), yaitu bersitegang mempertahankan kemurnian syari’at Islam, tetapinjuga menggunakan pendekatan sosiologis, yaitu metode dakwah yang didasarkan atas kenyataan yang ada dalam masyarakat itu sendiri dan baru dicarikan dalil yang memperkuatnya.[4]

Dari berbagai uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya tahlilan bukan hanya berupa suatu bentuk ritual ibadah, tetapi sebenarnya didalam tahlilan itu sendiri terdapat nilai-nilai budaya dan tradisi yang sudah menyatu dalam masyarakat Jawa, terutama masyarakat Jawa Islam. Sehingga keberadaan tahlilan itu tidak dapat dipisahkan dari kondisi sosial dari suatu masyarakat. Adapun mengenai bagaimana bentuk atau macam-macam tahlilan yang berbeda dari setiap daerah merupakan sesuatu yang sangat mungkin terjadi karena beragamnya kultur masyarakat yang berbeda satu sama lain, tetapi dari perbedaan itu semua terdapat titik kesamaan diantaranya, yakni inti dari tahlilan itu sendiri, diantara semuanya intinya adalah perkumpulan warga melakukan do’a bersama.

 

C. Prosesi Tahlilan di Desa Kloron, Pleret, Bantul

1.      Perkumpulan

Acara tahlilan yang ada di Jawa ini merupakan acara dzikir dan baca do’a bersama merupakan acara yang melibatkan banyak orang, sehingga dibutuhkan suatu perkumpulan orang untuk melakukannya. Dalam mengumpulkan orang tersebut biasanya ada undangan, pengumuman di masjid atau semacamnya, tetapi ada yang berbeda dengan kondisi yang ada di Desa Kloron Kecamatan Pleret, Bantul ini, yang mana di desa ini acara pengumpulan ada secara kesadaran. Disini tidak ada semacam undangan-undangan resmi atau pengumuman-pengumuman di masjid seperti kebanyakan. Para warga mengetahui adanya tahlilan tersebut dengan cara informasi yang menyebar antar mulut dari warga satu ke warga yang lainnya, selain itu warga juga sudah tahu sejak awal bahwa dalam adat Desa Kloron, setiap ada orang meninggal maka akan ada acara tahlilan diadakan pada sekitar harinya.

 Dalam acara pengumpulan jama’ah tahlil ini tidak ada paksaan ataupun suatu keharusan untuk mengikuti acara tahlilan. Setiap warga kebanyakan memiliki kesadaran sendiri. Misalkan ada orang yang tidak mengikuti acara tahlilan ini, menurut Pak Sutopo tidak pernah ada sanksi sosial seperi cibiran, gunjingan atau semacamnya atas orang tersebut.  Disini acara tahlilan merupakan suatu budaya yang menyatukan warga. Acara ini menjaga kerukunan antar warga Desa Kloron, sehingga tidak memandang aliran ataupun madzhab yang digunakan, karena tahlilan merupakan tradisi dan budaya yang sudah ada sejak dahulu.[5]

2.    Jamuan Makan

Sudah lazim dalam budaya Jawa bahwa setiap ada perkumpulan atau hajatan terdapat jamuan makanan yang disediakan oleh tuan rumah atau pihak yang bersangkutan dengan hajatan tersebut. Begitu juga dengan acara tahlilan juga terdapat jamuan makan dan minum. Ada yang berbeda dari jamuan makan yang ada di acara tahlilan Desa Kloron ini yang menurut kelompok kami merupakan suatu hal yang unik, yaitu jamuan makan dibagikan pada awal. Setelah jama’ah sudah berkumpul dan duduk, pihak tuan rumah membagikan makanan berupa nasi dan lauk serta minumannya. Hal ini berbeda dengan kebanyakan yang mana jamuan makan biasanya dibagikan setelah acara do’a selesai kemudian baru dibagikan. Mengenai makanan apa saja yang disajikan tidak ada ketentuan yang berlaku untuk jenis makanannya, semua terserah tuan rumah yang menyajikan sesuai dengan kemampuan ekonomi tuan rumah tersebut.

3.    Tausiyah

Setelah acara jamuan makan tersebut selesai, rangkaian acara yang selanjutnya adalah tausiyah yang disampaikan oleh peuka agama Desa Kloron yang sekaligus imam dari acara tahlilan ini. Tausiyah ini biasanya berisi tentang nasehat-nasehat kematian dan juga mengingatkan kepada para jama’ah agar senantiasa ingat dan sadar bahwa suatu saat orang akan mati agar kita mempersiapkan diri dan senatiasa berbuat baik. Selain berisi nasehat-nasehat tersebut, tausiyah ini juga bermaksud untuk menghibur bagi keluarga yang ditinggalkannya agar selalu bersabar, tabah dan ikhlas. Acara tausiyah tersebut berlangsung selama kurang lebih 20 sampai dengan 30 menit.

4.    Pembacaan Dzikir Tahlil

Tahlilan pada hakekatnya merupakan serangkaian dzikir dan ucapan-ucapan kalimat thoyyibah yang dirangkum menjadi satu, sehingga inti dari prosesi Tahlilan itu sendiri adalah acara pembacaan dzikir kepada Allah SWT secara serentak bersama-sama. Sedangkan dzikir-dzikir yang dibaca pada prosesi tahlilan tersebut adalah:

a.       Bacaan ayat-ayat dalam Al-Qur’an

Dalam setiap prosesi tahlilan, pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an merupakan suatu komponen yan pokok. Al-Qur’an akan mendatangkan pahala bagi siapa yang membacanya, bahkan kepada orang yang mendengarkan, Allah akan memberikan pahala kepadanya. Dalam kegiatan tahlilan, Al-Qur’an dibaca mendatangkan kemanfaatan bagi si mayit yang menerima hadiah pahala dari bacaan-bacaan Al-Qur’an yang dihadiahkan kepadanya. Ayat-ayat yang dibaca pada prosesi tahlilan tersebut diantaranya adalah: Surat Al Fatihah, Al Ikhlas, Al Falaq, An Nas, Al Baqarah ayat 1-5, ayat Kursi dan Al Ahzab ayat 56 dan sebagainya.[6] Pemilihan ayat-ayat tersebut bukan berarti meniadakan atau menafikkan eksistensi surat-surat lain dalam Al-Qur’an, tetapi karena keterbatasan waktu maka dipilih ayat-ayat tertentu berdasarkan faedah-faedah yang terkandung dalam setiap bacaan tersebut.

 

b.      Istighfar

Istighfar artinya meminta ampun kepada Allah SWT atas suatu dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan.[7] Dalam Prosesi tahlilan terdapat bacaan-bacaan istighfar yang dilantunkan secara serempak bersama-sama. Hal tersebut bermaksud untuk mengajak setiap jama’ah agar merenungi kesalahan dan mohon ampun kepada Allah SWT melalui istighfar tersebut, karena pada dasarnya setiap manusia tidak lepas dari suatu kesalahan dan dosa, oleh karena itu sudah merupakan kewajiban setiap manusia untuk bertaubat kepada Allah SWT.[8]  Bahkan dalam kehidupan sehari-hari sudah jelas dalam Al-Qur’an yang artinya : “Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (Q.S An-Najm 53 : 39)[9] Jika dipahami makna ayat tersebut, maka sejatinya manusia itu tergantung pada tindakannya, perilaku kehidupannya, sebab manusia dalam kehidupannya memiliki etika ataupun norma. Dengan demikian, istighfar merupakan salah satu kendali dalam kehidupan manusia.

c.       Sholawat kepada Nabi Muhammad SAW

Yang dimaksudkan dengan Sholawat Nabi adalah membaca Sholawat kepada Nabi Muhammad SAW dengan lafadz-lafadz tertentu, karena bersholawat kepadanya termasuk amal ibadah yang diberi pahala dan ganjaran oleh Allah kepada mereka yang mengerjakannya.[10]

d.      Bacaan Tasbih

Kata tasbih berasal dari bahasa Arab dengan kata kerjanya sabbaha, yusabbihu yang berarti mensucikan atau mengagungkan. Yang dimaksudbmembaca tasbih adalah mengucapkan kata subhanallah, artinya maha suci Allah dan mengingat serta menunjukkan seluruh keyakinan kepada mempersucikan Tuhan itu.[11] Makna kalimat tasbih juga dapat diartikan meyakini kesucian Allah SWT dari segala sesuatu yang tidak layak bagi-Nya dan dari segala sifat kekurangan.[12]

Sebagaimana inti dari acara tahlilan yang merupakan kumpulan dari dzikir dan do’a, dalam acara tahlilan pembacaan kalimat tahlil termasuk salah satu bagian utama dari dzikir tahlilan tersebut. Bacaan tasbih dalam tahlilan mempunyai tujuan untuk mengajak jama’ah agar selalu mengagungkan Allah SWT dan untuk mengingatkan bagi yang masih hidup agar selalu mengingat dan bertakwa kepada Allah SWT, dan dalam acara tahlilan itu khususnya, bacaan tasbih dibaca dengan maksud dikirimkan kepada si mayit agar diberikan ketenangan dan kedamaian dalam kubur melalui perantara bacaan tasbih tersebut.[13]

e.       Bacaan Tahmid dan Takbir

Kata Tahmid berasal dari bahasa Arab dengan kata kerjanya Hammida, Yuhammidu yang artinya memuji. Bentuk dasarnya Tuhmidan yang berarti pujian. Dimaksudkan dengan tahmid disini ialah mengucapkan Alhamdulillah (segala puji bagi Allah SWT). Adapun kata takbir juga berasal dari bahasa Arab dengan kata kerjanya Kabbara, yukabbiru yang artinya membesarkan, mengagungkan dan sebagainya. Bentuk masdarnya adalah Takbiran.[14]

Sama seperti fungsi tasbih pada uraian sebelumnya, bacaan takbir dan tahmid dalam tahlilan ditujukan untuk mengajak jama’ah berdzikir besama-sama  dan senantiasa mengingat akan keagungan Allah SWT dan selalu mensyukuri atas segala ni’mat yang telah dianugerahkan olehNya kepada kita manusia sebagai makhlukNya.

f.       Do’a

Secara etimologi do’a berasal dari kata kerja Da’a Yadu’u dengan bentuk masdarnya Du’aan, Wada’watun yang berarti panggilan atau seruan, ajakan, permohonan dan sebagainya.[15] Abdul Basyit mengatakan bahwa doa adalah intisari ibadah, mengandung arti mengakui atas kelemahan diri dan meyakinkan atas kekuatan dan kekuasaan Allah Yang Maha Esa. Nabi besar Muhammad SAW bersabda bahwa:  do’a adalah otak ibadah, do’a adalah senjata orang mukmin, tiang agama, nur di langit dan di bumi.[16]

Dalam acara tahlilan, do’a merupakan acara paling pokok. Pada intinya do’a yang diucapkan pada tahlilan adalah memohon kepada Allah SWT agar diberikan kelapangan kubur, ketenangan dan kedamaian bagi si mayit. Acara do’a tersebut diposisikan pada terakhir karena dimaksudkan agar kita mensucikan dengan dzikir-dzikir yang telah diuraikan pada pembahasan  sebelumnya , sehingga dalam berdo’a kita dalam posisi yang bersih dimata Allah SWT.[17] Hakikatnya manusia adalah mendoakan sesamanya, baik yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal. Al-Qur’an secara eksplisit juga menjelaskan, bahwa manusia agar senantiasa memohon ampunan kepada Allah SWT, sebab manusia tidak lepas dari kesalahan. Dalam Al-Qur’an diterangkan yang artinya : “Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata : Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman, dan jangan Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sungguh Engkau Maha Penyantun dan Maha Penyayang.” (QS Al-Hasyr 59 : 10)[18] Ayat tersebut secara tidak langsung menjelaskan pentingnya mendoakan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang sudah meninggal. Bahkan ayat itu secara inklusif menjelaskan, bahwa manusia hidup harus memiliki sifat dan budi pekerti yang baik dan saling tolong menolong.

5.      Penutupan dan Pembagian Makanan

Acara terakhir dalam prosesi tahlilan di Desa Kloron ini adalah penutupan, yang mana penutupan ini diisi dengan berbagai sambutan-sambutan dari tuan rumah atau pihak yang bersangkutan serta imam yang memimpin acara tahlilan mengenai acara tahlilan ini. Pada acara penutupan ini selain sambutan-sambutan tersebut, sekaligus dibagikan bingkisan-bingkisan makanan kepada para jama’ah.

Dalam acara tahlilan di Desa Kloron  Bantul ini ada ciri khas yang sedikit berbeda dengan prosesi tahlilan di tempat lainnya. Yakni dalam sedekah atau pembagian makanannya,  disini pembagian makanan ada dua kali yaitu pada saat awal seperti yang telah dibahas sebelumnya, kemudian pada saat setelah penutupan dibagi lagi makanan dalam bentuk bahan mentah seperti teh, gula, beras dan telur. Selain itu terdapat snack didalamnya terdapat makanan yang sudah dimasak seperti roti, ketan, singkong rebus dan sebagainya. Menurut penelitian ini, acara tahlilan ini terkesan mewah dan mungkin menghabiskan cukup banyak biaya yang dibutuhkan jika dilihat dari jenis makanan dan jumlah jama’ah yang ada lebih dari 50 orang.[19] Dalam penyediaan makanan tersebut tidak ada paksaan ataupun keharusan dalam jumlahnya harus seperti itu, tetapi setiap warga punya kesadaran dan memang mau untuk menyediakan sebanyak itu, karena hal ini memang sudah tradisi sejak dahulu.

 

D.    Kesimpulan

Tahlilan dalam budaya masyarakat Jawa pada khususnya tidak hanya berupa suatu ritual atau upacara peribadatan saja. Tahlilan disini sudah menjadi suatu budaya yang sudah melekat pada masyarakat Jawa, hal ini bisa dilihat dari sisi sejarahnya yang mana asal mula tahlilan itu sendiri sudah ada sejak zaman pra Islam di Jawa yang pada saat itu didominasi oleh Hindu-Budha yang kemudian tradisi tersebut dirombak ulang oleh para wali dengan penyisipan nilai-nilai Islam didalamnya. Setiap daerah memiliki ciri khas dalam prosesi tahlilanya, tetapi hal tersebut memiliki kesamaan dalam nilai dan tujuannya. Begitu juga tahlilan yang ada di Desa Kloron, Bantul.

Di desa tersebut memiliki tahlilan yang prosesinya hampir sama seperti prosesi tahlilan di daerah lainnya di Jawa, tetapi di desa tersebut memiliki suatu ciri khas dalam tahlilan yang menurut kelompok kami itu sangat unik. Diantaranya adalah pada saat pengumpulan jama’ah tidak ada suatu undangan atau apapun semacamnya tetapi lebih pada kesadaran akan solidaritas warga masing-masing. Selain itu hal yang membuat unik dari tahlilan yang ada di Desa Kloron ini adalah waktu dan jenis jamuan makanannya yang sedikit berbeda dari tahlilan di daerah lain. Meskipun dalam prosesi tahlilan di Desa Kloron sedikit berbeda dengan tahlilan di daerah lainnya, tetapi diantara semuanya memiliki satu makna dan tujuan, sebagaimana bentuk tahlilan itu sendiri merupakan serangkaian dzikir-dzikir dan do’a. Secara umum hal tersebut memiliki tujuan  untuk mengajak para jama’ah mengingat Allah dan arti kematian dan pada khususnya acara tahlilan kematian memiliki tujuan untuk mendoakan arwah si mayit agar diampuni oleh Allah SWT serta diringankan siksanya dan dilapangkan kuburnya agar diberikan ketenangan dan kedamaian. Sebab, secara eksplisit Al-Qur’an tidak melarang untuk tahlilan, namun dari nilai-nilai prosesi dan makna tahlilan dapat diartikan sebagai pemupuk rasa persatuan, solidaritas, kekeluargaan, kegotong-royongan. Bahkan tidak sedikit ayat-ayat Al-Qur’an yang menyeru kepada kebaikan dan menyeru agar manusia senantiasa mengingat Allah SWT. Karena memang secara tertulis Al-Qur’an menyeru kepada manusia untuk berdoa, tolong menolong, memohon ampunan kepada Allah SWT. Maka dengan demikian, dapat diartikan bahwa Al-Qur’an tidak hanya sebatas wahyu, melainkan sebagai nilai-nilai dan norma dalam kehidupan beragama maupun sosial.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Aceh, Abu Bakar. Pengantar Ilmu Tarekat: Kajian Historis Tentang Mistik.  Solo: Ramadhan, 1995.

Bahreisy, Salim. Tarjamah Riyadhus Shalihin II. Bandung: PT. Al Ma’arif, 1987.

Bashiron, Abdul Basyit. Pedoman Do’a dan Dzikir. Surabaya: Bintang Terang, 1999.

Ridwan, Kafrawi. Ensiklopedi Islam.  Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Jilid V, 1997.

Soan, Sholeh. Tahlilan Penelusuran Historis Atas Makna Tahlilan di Indonesia.  Bandung: Agung Ilmu, cet. Ke-2, 2002.

Syarif, Adnan. Psikologi Qur’ani. Bandung: Pustaka Hidayah, Cet. Ke-1, 2001.

 

 

 

 

 



[1] Adnan Syarif, Psikologi Qur’ani, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), Cet. Ke-1, hlm. 107.

[2] Wawancara dengan Bapak Sutopo warga desa, pada Rabu, 10 Oktober 2018.

[3] Sholeh So’an, Tahlilan Penelusuran Historis atas Makna Tahlilan di Indonesia, (Bandung: Agung Ilmu, 2002), Cet. Ke-1, hlm. 108.

[4] Sholeh Soan, Tahlilan Penelusuran Historis Atas Makna Tahlilan di Indonesia,  hlm. 96.

 

[5] Wawancara dengan Bapak Sutopo pada Rabu, 10 Oktober 2018.

[6] Wawancara dengan Bapak H. Muryono sebagai pemuka agama pada Kamis, 11 Oktober 2018.

[7] Sholeh Soan, Tahlilan Penelusuran Historis Atas Makna Tahlilan di Indonesia, hlm. 136.

[8] Wawancara dengan Bapak H. Muryono sebagai pemuka agama pada Kamis, 11 Oktober 2018.

[9] Departemen Agama RI, Al-Qur’an : Tajwid dan Terjemah (Q.S An-Najm [53] : 39) (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2010), hlm. 527.

[10] Sholeh Soan, Tahlilan Penelusuran Historis Atas Makna Tahlilan di Indonesia, hlm. 143.

[11] Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat: Kajian Historis Tentang Mistik, (Solo: Ramadhan, 1995), hlm. 290.

[12] Kafrawi Ridwan, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Jilid V, 1997), hlm. 86.

[13] Wawancara dengan Bapak KH. Imam Baihaki sebagai pemuka agama pada Kamis, 11 Oktober 2018.

[14] Sholeh Soan, Tahlilan Penelusuran Historis Atas Makna Tahlilan di Indonesia, hlm. 147.

[15] Salim Bahreisy, Tarjamah Riyadhus Shalihin II, (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1987), hlm.353.

[16] Abdul Basyit Bashiron, Pedoman Do’a dan Dzikir, (Surabaya: Bintang Terang, 1999), hlm. 1.

[17] Wawancara dengan Bapak KH. Imam Baihaki sebagai pemuka agama pada Kamis, 11 Oktober 2018.

[18] Departemen Agama RI, Al-Qur’an : Tajwid dan Terjemah (Q.S An-Hasyr [59] : 10) (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2010), hlm. 547.

[19] Wawancara dengan Bapak Sutopo sebagai pemuka agama pada Rabu, 10 Oktober 2018.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makna Tahlilan

  PROSESI DAN MAKNA TAHLILAN DI DESA KLORON PLERET BANTUL SETIONO    A.    Latar Belakang Tahlilan sangat erat sekali kaitannya de...