PROSESI DAN MAKNA
TAHLILAN
DI DESA KLORON PLERET BANTUL
SETIONO
A.
Latar Belakang
Tahlilan sangat erat sekali
kaitannya dengan kematian, karena tujuan utama tahlilan adalah untuk mendoakan
arwah-arwah yang terlebih dahulu dipanggail oleh Allah SWT. Semua umat
Islam meyakini bahwa setiap anak Adam (manusia) yang mati akan menemui dua
kemungkinan. Yang pertama siksa kubur, karena amal buruknya ketika si mayit
hidup di dunia. Sedangkan yang kedua nikmat kubur, karena amal baik yang pernah
diperbuat ketika hidup di dunia. Yang menakutkan bagi mereka (orang-orang
muslim) dan merusak ketenangan mereka, sehingga muncul kecemasan, adalah
siksaan yang menyertai kematian itu.[1] Berawal dari
kepercayaan tersebut, maka sebagai seorang muslim yang baik akan selalu
mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapi datangnya kematian. Tak hanya itu
saja, bagi orang-orang yang ditinggal mati sanak saudaranya juga berdoa kepada
Allah SWT agar Allah menerima segala amal baiknya, mengampuni dosa-dosanya dan
meringankan siksanya.
Upacara keagamaan yang
berupa ritus kematian yang disebut dengan tahlil adalah suatu upaya yang
dilakukan oleh orang-orang muslim yang masih hidup untuk mendoakan saudaranya
yang telah mati.[2] Memang
pada dasarnya upacara kematian seperti tahlil bukan mutlak mengadopsi dari
ajaran Islam, akan tetapi merupakan akulturasi dari nilai-nilai budaya antara
Islam dengan budaya-budaya yang ada di negeri kita ini. Maka bukan suatu yang
mengherankan apabila tahlilan ini hanya ada di Indonesia saja.
Kematian yang berkaitan
dengan masalah tahlilan menitik beratkan pada masalah ruh (keadaan ruh si
mayat) yang menurut kepercayaan orang muslim, khususnya masyarakat Jawa, bahwa
ruh si mayat turun ke bumi atau berkeliaran di muka bumi seperti ketika orang
itu masih hidup, sehingga memandang penting untuk diadakan suatu ritus atau
upacara keagamaan.[3] Nahdhotul
Ulama adalah sebuah ormas Islam di Indonesia yang menjadikan tahlilan sebagai
salah satu ciri darinya. Pasalnya diseluruh pelosok negeri ini terlebih-lebih
pulau Jawa yang apabila secara kuantitas penduduknya didominasi oleh warga
Nahdiyyin, maka pasti akan kita temui kegiatan tahlilan tersebut terlebih pada
saat terjadi peristiwa kematian, atau peringat kematian yang disebut Haul.
Budaya tahlilan yang telah mengakar kuat khususnya bagi warga Nahdiyyin
seakan-akan merupakan consensus yang harus dilaksanakan oleh semua warga
masyarakat tanpa terkecuali, karena kenyataan di dalam masyarakat apabila ada
warga yang tidak menyukai atau tidak melaksanakan kegiatan tahlilan tersebut
akan termarjinalkan dari masyarakat.
Fenomena tahlilan yang
terjadi hampir di seluruh pelosok pulau Jawa juga terjadi pada masyarakat Desa
Kloron Pleret Bantul. Mereka juga melaksanakan kegiatan tahlilan tersebut dalam
berbagai hal seperti: upacara kematian, peringatan kematian, mendoakan orang
sakit agar lekas sembuh, menempati rumah baru, pada saat hajatan warga sebagai
wujud rasa syukur dan acara-acara yang berbau keagamaan. Akan tetapi secara
umum tahlilan dilaksanakan apabila terjadi peristiwa kematian atau peringatan
kematian.
Akan tetapi yang menjadi
fokus perhatian kami adalah prosesi tahlilan tiga hari (peringatan
kematian) dan makna serta tujuan diadakannya tahlilan di Desa Kloron
Pleret Bantul tersebut. Sebagaimana tahlilan merupakan ritus kematian
yang mempunyai tujuan menghadiahkan pahala bacaan kepada mayit agar Allah
mengampuni dosa dan kesalahannya serta meringankan siksanya sekaligus
mengajak para jama’ah tahlilan tersebut agar senantiasa mengingat bahwa suatu
saat semua orang pasti akan menyusulnya.
B.
Tahlilan Sebagai Tradisi
Tahlilan seperti yang kita
lihat adalah salah satu bentuk upacara keagamaan yang muncul karena adanya
akulturasi kebudayaan Jawa yang pada waktu itu didominasi oleh Hindu, Budha
dengan kebudayaan Islam. Pada masa pra Islam di Jawa, tradisi membaca
mantra-mantra disertai selamatan hampir terjadi pada setiap peristiwa penting
dalam kehidupan, seperti kelahiran, kematian, pernikahan, panenan, dan lain
sebagainya. Artinya acara tahlilan pada mulanya bersumber dari luar Islam yang
oleh wali disusupi nilai-nilai keislaman. Dakwah para wali tidak serta merta
mengikis nilai buadaya yang sudah ada. Dengan kata lain, para wali berdakwah
tidak menggunakan metode normatif (istilah dalam bahsa hukum sekarang), yaitu
bersitegang mempertahankan kemurnian syari’at Islam, tetapinjuga menggunakan
pendekatan sosiologis, yaitu metode dakwah yang didasarkan atas kenyataan yang
ada dalam masyarakat itu sendiri dan baru dicarikan dalil yang memperkuatnya.[4]
Dari berbagai uraian
diatas, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya tahlilan bukan hanya berupa suatu
bentuk ritual ibadah, tetapi sebenarnya didalam tahlilan itu sendiri terdapat
nilai-nilai budaya dan tradisi yang sudah menyatu dalam masyarakat Jawa,
terutama masyarakat Jawa Islam. Sehingga keberadaan tahlilan itu tidak dapat
dipisahkan dari kondisi sosial dari suatu masyarakat. Adapun mengenai bagaimana
bentuk atau macam-macam tahlilan yang berbeda dari setiap daerah merupakan
sesuatu yang sangat mungkin terjadi karena beragamnya kultur masyarakat yang
berbeda satu sama lain, tetapi dari perbedaan itu semua terdapat titik kesamaan
diantaranya, yakni inti dari tahlilan itu sendiri, diantara semuanya intinya
adalah perkumpulan warga melakukan do’a bersama.
C. Prosesi Tahlilan di Desa Kloron, Pleret, Bantul
1. Perkumpulan
Acara tahlilan yang ada di
Jawa ini merupakan acara dzikir dan baca do’a bersama merupakan acara yang
melibatkan banyak orang, sehingga dibutuhkan suatu perkumpulan orang untuk
melakukannya. Dalam mengumpulkan orang tersebut biasanya ada undangan,
pengumuman di masjid atau semacamnya, tetapi ada yang berbeda dengan kondisi
yang ada di Desa Kloron Kecamatan Pleret, Bantul ini, yang mana di desa ini
acara pengumpulan ada secara kesadaran. Disini tidak ada semacam
undangan-undangan resmi atau pengumuman-pengumuman di masjid seperti
kebanyakan. Para warga mengetahui adanya tahlilan tersebut dengan cara
informasi yang menyebar antar mulut dari warga satu ke warga yang lainnya,
selain itu warga juga sudah tahu sejak awal bahwa dalam adat Desa Kloron,
setiap ada orang meninggal maka akan ada acara tahlilan diadakan pada sekitar
harinya.
Dalam acara
pengumpulan jama’ah tahlil ini tidak ada paksaan ataupun suatu keharusan untuk
mengikuti acara tahlilan. Setiap warga kebanyakan memiliki kesadaran sendiri.
Misalkan ada orang yang tidak mengikuti acara tahlilan ini, menurut Pak Sutopo
tidak pernah ada sanksi sosial seperi cibiran, gunjingan atau semacamnya atas
orang tersebut. Disini acara tahlilan merupakan suatu budaya yang
menyatukan warga. Acara ini menjaga kerukunan antar warga Desa Kloron, sehingga
tidak memandang aliran ataupun madzhab yang digunakan, karena tahlilan
merupakan tradisi dan budaya yang sudah ada sejak dahulu.[5]
2. Jamuan
Makan
Sudah lazim dalam budaya
Jawa bahwa setiap ada perkumpulan atau hajatan terdapat jamuan makanan yang
disediakan oleh tuan rumah atau pihak yang bersangkutan dengan hajatan
tersebut. Begitu juga dengan acara tahlilan juga terdapat jamuan makan dan
minum. Ada yang berbeda dari jamuan makan yang ada di acara tahlilan Desa
Kloron ini yang menurut kelompok kami merupakan suatu hal yang unik, yaitu
jamuan makan dibagikan pada awal. Setelah jama’ah sudah berkumpul dan duduk,
pihak tuan rumah membagikan makanan berupa nasi dan lauk serta minumannya. Hal
ini berbeda dengan kebanyakan yang mana jamuan makan biasanya dibagikan setelah
acara do’a selesai kemudian baru dibagikan. Mengenai makanan apa saja yang
disajikan tidak ada ketentuan yang berlaku untuk jenis makanannya, semua
terserah tuan rumah yang menyajikan sesuai dengan kemampuan ekonomi tuan rumah
tersebut.
3. Tausiyah
Setelah acara jamuan makan
tersebut selesai, rangkaian acara yang selanjutnya adalah tausiyah yang
disampaikan oleh peuka agama Desa Kloron yang sekaligus imam dari acara
tahlilan ini. Tausiyah ini biasanya berisi tentang nasehat-nasehat kematian dan
juga mengingatkan kepada para jama’ah agar senantiasa ingat dan sadar bahwa
suatu saat orang akan mati agar kita mempersiapkan diri dan senatiasa berbuat
baik. Selain berisi nasehat-nasehat tersebut, tausiyah ini juga bermaksud untuk
menghibur bagi keluarga yang ditinggalkannya agar selalu bersabar, tabah dan
ikhlas. Acara tausiyah tersebut berlangsung selama kurang lebih 20 sampai
dengan 30 menit.
4. Pembacaan
Dzikir Tahlil
Tahlilan pada hakekatnya
merupakan serangkaian dzikir dan ucapan-ucapan kalimat thoyyibah yang
dirangkum menjadi satu, sehingga inti dari prosesi Tahlilan itu
sendiri adalah acara pembacaan dzikir kepada Allah SWT secara serentak
bersama-sama. Sedangkan dzikir-dzikir yang dibaca pada prosesi tahlilan
tersebut adalah:
a. Bacaan
ayat-ayat dalam Al-Qur’an
Dalam setiap prosesi tahlilan,
pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an merupakan suatu komponen yan pokok. Al-Qur’an
akan mendatangkan pahala bagi siapa yang membacanya, bahkan kepada orang yang
mendengarkan, Allah akan memberikan pahala kepadanya. Dalam kegiatan tahlilan,
Al-Qur’an dibaca mendatangkan kemanfaatan bagi si mayit yang menerima hadiah
pahala dari bacaan-bacaan Al-Qur’an yang dihadiahkan kepadanya. Ayat-ayat yang
dibaca pada prosesi tahlilan tersebut diantaranya adalah: Surat Al Fatihah, Al
Ikhlas, Al Falaq, An Nas, Al Baqarah ayat 1-5, ayat Kursi dan Al Ahzab ayat 56
dan sebagainya.[6]
Pemilihan ayat-ayat tersebut bukan berarti meniadakan atau menafikkan eksistensi
surat-surat lain dalam Al-Qur’an, tetapi karena keterbatasan waktu maka dipilih
ayat-ayat tertentu berdasarkan faedah-faedah yang terkandung dalam setiap
bacaan tersebut.
b. Istighfar
Istighfar artinya meminta
ampun kepada Allah SWT atas suatu dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan.[7] Dalam Prosesi
tahlilan terdapat bacaan-bacaan istighfar yang dilantunkan secara serempak
bersama-sama. Hal tersebut bermaksud untuk mengajak setiap jama’ah agar
merenungi kesalahan dan mohon ampun kepada Allah SWT melalui istighfar
tersebut, karena pada dasarnya setiap manusia tidak lepas dari suatu kesalahan
dan dosa, oleh karena itu sudah merupakan kewajiban setiap manusia untuk
bertaubat kepada Allah SWT.[8] Bahkan dalam kehidupan sehari-hari sudah jelas
dalam Al-Qur’an yang artinya : “Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa
yang telah dia kerjakan”. (Q.S An-Najm 53 : 39)[9] Jika dipahami makna ayat
tersebut, maka sejatinya manusia itu tergantung pada tindakannya, perilaku
kehidupannya, sebab manusia dalam kehidupannya memiliki etika ataupun norma.
Dengan demikian, istighfar merupakan salah satu kendali dalam kehidupan
manusia.
c. Sholawat
kepada Nabi Muhammad SAW
Yang dimaksudkan dengan
Sholawat Nabi adalah membaca Sholawat kepada Nabi Muhammad SAW dengan
lafadz-lafadz tertentu, karena bersholawat kepadanya termasuk amal ibadah yang
diberi pahala dan ganjaran oleh Allah kepada mereka yang mengerjakannya.[10]
d. Bacaan
Tasbih
Kata tasbih berasal dari
bahasa Arab dengan kata kerjanya sabbaha, yusabbihu yang
berarti mensucikan atau mengagungkan. Yang dimaksudbmembaca tasbih adalah
mengucapkan kata subhanallah, artinya maha suci Allah dan
mengingat serta menunjukkan seluruh keyakinan kepada mempersucikan Tuhan itu.[11] Makna kalimat tasbih
juga dapat diartikan meyakini kesucian Allah SWT dari segala sesuatu yang tidak
layak bagi-Nya dan dari segala sifat kekurangan.[12]
Sebagaimana inti dari acara
tahlilan yang merupakan kumpulan dari dzikir dan do’a, dalam acara tahlilan
pembacaan kalimat tahlil termasuk salah satu bagian utama dari dzikir tahlilan
tersebut. Bacaan tasbih dalam tahlilan mempunyai tujuan untuk mengajak jama’ah
agar selalu mengagungkan Allah SWT dan untuk mengingatkan bagi yang masih hidup
agar selalu mengingat dan bertakwa kepada Allah SWT, dan dalam acara tahlilan
itu khususnya, bacaan tasbih dibaca dengan maksud dikirimkan kepada si mayit
agar diberikan ketenangan dan kedamaian dalam kubur melalui perantara bacaan
tasbih tersebut.[13]
e. Bacaan
Tahmid dan Takbir
Kata Tahmid berasal dari
bahasa Arab dengan kata kerjanya Hammida, Yuhammidu yang
artinya memuji. Bentuk dasarnya Tuhmidan yang berarti pujian.
Dimaksudkan dengan tahmid disini ialah mengucapkan Alhamdulillah (segala
puji bagi Allah SWT). Adapun kata takbir juga berasal dari bahasa Arab dengan
kata kerjanya Kabbara, yukabbiru yang artinya membesarkan,
mengagungkan dan sebagainya. Bentuk masdarnya adalah Takbiran.[14]
Sama seperti fungsi tasbih
pada uraian sebelumnya, bacaan takbir dan tahmid dalam tahlilan ditujukan untuk
mengajak jama’ah berdzikir besama-sama dan senantiasa mengingat akan
keagungan Allah SWT dan selalu mensyukuri atas segala ni’mat yang telah
dianugerahkan olehNya kepada kita manusia sebagai makhlukNya.
f. Do’a
Secara etimologi do’a
berasal dari kata kerja Da’a Yadu’u dengan bentuk
masdarnya Du’aan, Wada’watun yang berarti panggilan atau
seruan, ajakan, permohonan dan sebagainya.[15] Abdul Basyit
mengatakan bahwa doa adalah intisari ibadah, mengandung arti mengakui atas
kelemahan diri dan meyakinkan atas kekuatan dan kekuasaan Allah Yang Maha Esa.
Nabi besar Muhammad SAW bersabda bahwa: do’a adalah otak ibadah,
do’a adalah senjata orang mukmin, tiang agama, nur di langit dan di bumi.[16]
Dalam acara tahlilan, do’a
merupakan acara paling pokok. Pada intinya do’a yang diucapkan pada tahlilan
adalah memohon kepada Allah SWT agar diberikan kelapangan kubur, ketenangan dan
kedamaian bagi si mayit. Acara do’a tersebut diposisikan pada terakhir karena
dimaksudkan agar kita mensucikan dengan dzikir-dzikir yang telah diuraikan pada
pembahasan sebelumnya , sehingga dalam berdo’a kita dalam posisi
yang bersih dimata Allah SWT.[17] Hakikatnya manusia adalah
mendoakan sesamanya, baik yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal.
Al-Qur’an secara eksplisit juga menjelaskan, bahwa manusia agar senantiasa
memohon ampunan kepada Allah SWT, sebab manusia tidak lepas dari kesalahan.
Dalam Al-Qur’an diterangkan yang artinya : “Dan orang-orang yang
datang setelah mereka, berkata : Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah
saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman, dan jangan
Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman.
Ya Tuhan kami, sungguh Engkau Maha Penyantun dan Maha Penyayang.” (QS Al-Hasyr 59
: 10)[18]
Ayat tersebut secara tidak langsung menjelaskan pentingnya mendoakan
orang-orang yang beriman dan orang-orang yang sudah meninggal. Bahkan ayat itu
secara inklusif menjelaskan, bahwa manusia hidup harus memiliki sifat dan budi
pekerti yang baik dan saling tolong menolong.
5. Penutupan
dan Pembagian Makanan
Acara terakhir dalam
prosesi tahlilan di Desa Kloron ini adalah penutupan, yang mana penutupan ini
diisi dengan berbagai sambutan-sambutan dari tuan rumah atau pihak yang
bersangkutan serta imam yang memimpin acara tahlilan mengenai acara tahlilan
ini. Pada acara penutupan ini selain sambutan-sambutan tersebut, sekaligus
dibagikan bingkisan-bingkisan makanan kepada para jama’ah.
Dalam acara tahlilan di
Desa Kloron Bantul ini ada ciri khas yang sedikit berbeda dengan
prosesi tahlilan di tempat lainnya. Yakni dalam sedekah atau pembagian
makanannya, disini pembagian makanan ada dua kali yaitu pada saat
awal seperti yang telah dibahas sebelumnya, kemudian pada saat setelah
penutupan dibagi lagi makanan dalam bentuk bahan mentah seperti teh, gula, beras
dan telur. Selain itu terdapat snack didalamnya terdapat makanan yang sudah
dimasak seperti roti, ketan, singkong rebus dan sebagainya. Menurut penelitian
ini, acara tahlilan ini terkesan mewah dan mungkin menghabiskan cukup banyak
biaya yang dibutuhkan jika dilihat dari jenis makanan dan jumlah jama’ah yang
ada lebih dari 50 orang.[19] Dalam penyediaan makanan
tersebut tidak ada paksaan ataupun keharusan dalam jumlahnya harus seperti itu,
tetapi setiap warga punya kesadaran dan memang mau untuk menyediakan sebanyak
itu, karena hal ini memang sudah tradisi sejak dahulu.
D. Kesimpulan
Tahlilan dalam budaya
masyarakat Jawa pada khususnya tidak hanya berupa suatu ritual atau upacara
peribadatan saja. Tahlilan disini sudah menjadi suatu budaya yang sudah melekat
pada masyarakat Jawa, hal ini bisa dilihat dari sisi sejarahnya yang mana asal
mula tahlilan itu sendiri sudah ada sejak zaman pra Islam di Jawa yang pada
saat itu didominasi oleh Hindu-Budha yang kemudian tradisi tersebut dirombak
ulang oleh para wali dengan penyisipan nilai-nilai Islam didalamnya. Setiap
daerah memiliki ciri khas dalam prosesi tahlilanya, tetapi hal tersebut
memiliki kesamaan dalam nilai dan tujuannya. Begitu juga tahlilan yang ada di
Desa Kloron, Bantul.
Di desa tersebut memiliki
tahlilan yang prosesinya hampir sama seperti prosesi tahlilan di daerah lainnya
di Jawa, tetapi di desa tersebut memiliki suatu ciri khas dalam tahlilan yang
menurut kelompok kami itu sangat unik. Diantaranya adalah pada saat pengumpulan
jama’ah tidak ada suatu undangan atau apapun semacamnya tetapi lebih pada
kesadaran akan solidaritas warga masing-masing. Selain itu hal yang membuat
unik dari tahlilan yang ada di Desa Kloron ini adalah waktu dan jenis jamuan
makanannya yang sedikit berbeda dari tahlilan di daerah lain. Meskipun dalam
prosesi tahlilan di Desa Kloron sedikit berbeda dengan tahlilan di daerah
lainnya, tetapi diantara semuanya memiliki satu makna dan tujuan, sebagaimana
bentuk tahlilan itu sendiri merupakan serangkaian dzikir-dzikir dan do’a.
Secara umum hal tersebut memiliki tujuan untuk mengajak para jama’ah
mengingat Allah dan arti kematian dan pada khususnya acara tahlilan kematian
memiliki tujuan untuk mendoakan arwah si mayit agar diampuni oleh Allah SWT
serta diringankan siksanya dan dilapangkan kuburnya agar diberikan ketenangan
dan kedamaian. Sebab, secara eksplisit Al-Qur’an tidak melarang untuk tahlilan,
namun dari nilai-nilai prosesi dan makna tahlilan dapat diartikan sebagai
pemupuk rasa persatuan, solidaritas, kekeluargaan, kegotong-royongan. Bahkan
tidak sedikit ayat-ayat Al-Qur’an yang menyeru kepada kebaikan dan menyeru agar
manusia senantiasa mengingat Allah SWT. Karena memang secara tertulis Al-Qur’an
menyeru kepada manusia untuk berdoa, tolong menolong, memohon ampunan kepada
Allah SWT. Maka dengan demikian, dapat diartikan bahwa Al-Qur’an tidak hanya
sebatas wahyu, melainkan sebagai nilai-nilai dan norma dalam kehidupan beragama
maupun sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Aceh, Abu Bakar. Pengantar Ilmu Tarekat:
Kajian Historis Tentang Mistik. Solo: Ramadhan, 1995.
Bahreisy, Salim. Tarjamah Riyadhus Shalihin
II. Bandung: PT. Al Ma’arif, 1987.
Bashiron, Abdul Basyit. Pedoman Do’a dan
Dzikir. Surabaya: Bintang Terang, 1999.
Ridwan, Kafrawi. Ensiklopedi Islam. Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, Jilid V, 1997.
Soan, Sholeh. Tahlilan Penelusuran Historis
Atas Makna Tahlilan di Indonesia. Bandung: Agung Ilmu, cet. Ke-2,
2002.
Syarif, Adnan. Psikologi Qur’ani. Bandung:
Pustaka Hidayah, Cet. Ke-1, 2001.
[1] Adnan Syarif, Psikologi Qur’ani, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), Cet. Ke-1, hlm. 107.
[2] Wawancara dengan Bapak Sutopo warga desa,
pada Rabu, 10 Oktober 2018.
[3] Sholeh So’an, Tahlilan Penelusuran Historis atas Makna Tahlilan di Indonesia, (Bandung: Agung Ilmu, 2002), Cet. Ke-1, hlm. 108.
[4] Sholeh Soan, Tahlilan Penelusuran
Historis Atas Makna Tahlilan di Indonesia, hlm. 96.
[5] Wawancara dengan Bapak Sutopo pada Rabu, 10 Oktober 2018.
[6] Wawancara dengan Bapak H. Muryono sebagai pemuka agama pada Kamis, 11 Oktober 2018.
[7] Sholeh Soan, Tahlilan Penelusuran
Historis Atas Makna Tahlilan di Indonesia, hlm. 136.
[8] Wawancara dengan Bapak H. Muryono sebagai pemuka agama pada Kamis, 11 Oktober 2018.
[9] Departemen Agama RI, Al-Qur’an : Tajwid dan Terjemah (Q.S
An-Najm [53] : 39) (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2010), hlm. 527.
[10] Sholeh Soan, Tahlilan Penelusuran
Historis Atas Makna Tahlilan di Indonesia, hlm. 143.
[11] Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu
Tarekat: Kajian Historis Tentang Mistik, (Solo: Ramadhan, 1995), hlm.
290.
[12] Kafrawi Ridwan, Ensiklopedi
Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Jilid V, 1997), hlm. 86.
[13] Wawancara dengan Bapak KH. Imam Baihaki sebagai pemuka agama pada Kamis, 11 Oktober 2018.
[14] Sholeh Soan, Tahlilan Penelusuran Historis Atas Makna Tahlilan di Indonesia, hlm. 147.
[15] Salim Bahreisy, Tarjamah Riyadhus Shalihin II, (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1987), hlm.353.
[16] Abdul Basyit Bashiron, Pedoman
Do’a dan Dzikir, (Surabaya: Bintang Terang, 1999), hlm. 1.
[17] Wawancara dengan Bapak KH. Imam Baihaki sebagai pemuka agama pada Kamis, 11 Oktober 2018.
[18] Departemen Agama RI, Al-Qur’an : Tajwid dan Terjemah (Q.S An-Hasyr [59] : 10) (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2010), hlm. 547.
[19] Wawancara dengan Bapak Sutopo sebagai pemuka agama pada Rabu, 10 Oktober 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar