Alternative Dispute Resolution atau
Alternatif Penyelesaian Sengketa
Disusun Oleh :
SETIONO
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam kehidupan manusia memang tidak
akan lepas dari sebuah konflik, baik konflik antar individu, kelompok, konflik
perbedaan rasa atau etnis ataupun perbedaan agama. Sehingga manusia tidak bisa
lepas dari sebuah konflik. Konflik bukan suatu hal yang menakutkan, sebab
konflik memang sebuah warna yang ada dalam kehidupan manusia ataupun
masyarakat. Jika, sebuah konflik dapat dikelola dengan baik maka hasilnya akan
bermanfaat. Tetapi, jika konflik itu tidak dikelola dengan baik, maka hasilnya
pun buruk. Maka dari itu perlu adanya penyelesaian.
Berbagai realita ekonomi, budaya,
dan kondisi masyarakat sedang mengalami kemerosotan. Konflik antar etnis,
kekerasan antar agama, kemiskinan, dan pemanasan global menjadi kenyataan yang
dihadapi dunia saat ini. Apabila situasi semacam ini terus berlangsung, maka
kedamaian di dunia akan punah bersamaan dengan perkembangan kebebasan dan kekuasaan
tanpa batas oleh pihak-pihak tertentu. Berangkat dari realita ini, manusia
berusaha untuk memperbaiki dan bahkan mencegah terjadinya kehancuran peradaban.
Manusia mencoba untuk membentuk ide yang dapat menjadi landasan berperilaku dan
berinteraksi dalam kelompok masyarakat. Dengan demikian, bahwa setiap manusia dan agama menginginkan terciptanya
kedamian, kebahagiaan, ketentraman dalam kehiduan didunia. Dengan adanya agama manusia memiliki suatu idiologi dan
konsep-konsep ajaran tentang kebersamaan dan kasih sayang.
Fenomena interaksi dan interelasi
sosial antar individu maupun antar kelompok, terjadinya konflik sebenarnya
merupakan hal yang wajar. Pada awalnya konflik dianggap sebagai gejala atau
fenomena yang tidak wajar dan berakibat negatif, tetapi sekarang konflik
dianggap sebagai gejala alamiah yang dapat berakibat negatif maupun positif
tergantung bagaimana cara mengelolanya. Oleh sebab itu, persoalan konflik tidak
perlu dihilangkan tetapi perlu dikembangkan karena merupakan sebagai bagian
dari kodrat manusia yang menjadikan seseorang lebih dinamis dalam menjalani
kehidupan. Adanya konflik terjadi akibat komunikasi yang tidak lancar, tidak
adanya kepercayaan serta tidak adanya sifat keterbukaan dari pihak-pihak yang
saling berhubungan. Dalam realitas kehidupan keragaman telah meluas dalam wujud
perbedaan status, kondisi ekonomi, realitas sosial. Tanpa dilandasi sikap arif
dalam memandang perbedaan akan menuai konsekuensi panjang berupa konflik dan
bahkan kekerasan di tengah-tengah kita.[1]
Dalam memandang sebuah perbedaan
ataupun adanya konflik perlu adanya sesuatu bentuk penyelesaian atau alternatif
penyelesaian konflik ataupun sengketa. Dengan adanya alternatif-alternatif
penyelesaian sengketa sangat memungkinkan untuk menciptakan sebuah hubungan
yang baik bagi pihak yang bersengketa. Alternatif penyelesaian sengketa atau
ADR dalam manajemen konflik ini merupakan salah satu bentuk untuk menemukan
solusi ataupun alternatif dalam sebuah kasus sengketa ataupun konflik tanpa
melalui litigasi (penyelesaian sengketa melalui pengadilan). Tetapi disini
bagaimana penyelesaian sebuah sengketa atau konflik melalui cara-cara yang
lebih halus. Misalanya dijelaskan dalam Bab 1 Ketentuan Umum UU No. 30 Tahun
1999, Pasal 1 butir 10, disebutkan bahwa ADR adalah lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak,
yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara atau metode konsultasi
negosiasi, mediasi, arbitrase, dan konsiliasi atau penilaian ahli. Mungkin
masih banyak lagi cara-cara dalam penyelesaian sebuah sengketa. Dalam makalah
ini akan membahas tentang alternatif penyelesaian sengketa atau ADR.
B.
Rumusan
Masalah
Dari
latar belakang masalah diatas, maka ada beberapa yang menjadi pokok bahasan
sebagai berikut.
1. Apa
yang dimaksud dengan konflik?
2. Apa
yang dimaksud dengan APS/ADR?
3. Apa
saja model-model alternatif penyelesaian sengketa?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Konflik
Kehidupan
masyarakat yang begitu beragam sangat memungkinkan terjadinya sebuah konflik.
Konflik memang sebuah kejanggalan yang ada pada diri manusia, bahkan konflik
bisa terjadi karena adanya perbedaan rasa tau etnis, perbedaab agama atau
adanya sebuah kepentingan yang ingin dicapainya yang mengakibatkan perselisihan
ataupun pertikaian. Tanpa adanya pemahaman atau pengetahuan tentang manajemen
konflik, mereka tidak akan mampu menyelesaikan konflik atau sengketa yang
dihadapinya. Maka dari itu, perlu adanya pemahaman tentang adanya manajemen
konflik, sehingga mampu mengelola konflik atau sengketa dengan baik.
Konflik
merupakan salah satu esensi dari kehidupan dan perkembangan manusia yang
mempunyai karakteristik yang beragam. Manusia memiliki perbedaan jenis kelamin,
strata sosial dan ekonomi, sistem hukum, bangsa, suku, agama, kepercayaan,
aliran politik, serta budaya dan tujuan hidupnya. Dalam sejarah umat manusia,
perbedaan inilah yang selalu menimbulkan konflik.[2]
Konflik adalah proses pertentangan yang diekspresikan di antara dua pihak atau
lebih yang saling tergantung mengenai objek konflik, menggunakan pola perilaku
dan interaksi konflik yang menghasilkan keluaran konflik.[3]
Sedangkan menurut, J. Frost dan W. Wilmot (1978) yakni “Conflict is the interaction of
interdependent people who perceive incomtible goals and interference from each other
in achieving those goals”. Kemudian dalam “Organization Behavior”
menjelaskan bahwa konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat
adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh
atas pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif.[4] Konflik
adalah kondisi yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan yang saling bertentangan.
Kekuatan-kekuatan ini bersumber pada keinginan manusia.Istilah konflik sendiri diterjemahkan
dalam beberapa istilah yaitu perbedaan pendapat, persaingan dan permusuhan.[5]
Konflik dapat diartikan sebagai suatu situasi dimana dua
pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak akan berkembang
menjadi sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam
perasaan tidak puas atau keprihatinan. Sebuah konflik berubah atau berkembang
menjadi sebuah sengketa, bilamana pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan
rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak ynag
dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak lain. Dari penjelasan
tentang pengertian konflik diatas, dapatlah diartikan, bahwa sengketa merupakan
keadaan dimana pihak yang merasa dirugikan atas konflik yang terjadi dengan
pihak lain menyatakan ketidakpuasaannya tersebut dengan jalan melakukan suatu
perbuatan tertentu. Dalam persengketaan, perbedaan pendapat dan peredebatan
yang berkepanjangan biasanya mengakibatkan kegagalan mencapai kesepakatan.
Keadaan seperti ini biasanya berakhir dengan putusanya jaur komunikasi yang
sehat, sehingga masing-masing pihak mencari jalan keluar tanpa memikirkan nasib
ataupun kepentingan pihak lainnya.
Sehingga dapat
dipahami bahwa konflik merupakan suatu proses pertentangan yang seharusnya
konflik itu bisa dikelolanya dengan baik, agar tidak menimbulkan konflik yang
berkelanjutan. Konflik sering menimbulkan sikap oposisi antara kedua belah
pihak, sampai kepada tahap di mana pihak-pihak yang terlibat memandang satu
sama lain sebagai penghalang dan pengganggu tercapainya kebutuhan dan tujuan
masing-masing. Perbedaan pendapat tidak selalu berarti perbedaan keinginan.
Oleh karena konflik bersumber pada keinginan, maka perbedaan pendapat tidak
selalu berarti konflik. Persaingan sangat erat hubungannya denga konflik karena
dalam persaingan beberapa pihak menginginkan hal yang sama tetapi hanya satu
yang mungkin mendapatkannya. Persaingan tidak sama dengan konflik namun mudah
menjurus ke arah konflik, terutuma bila ada persaingan yang menggunakan cara-cara
yang bertentangan dengan aturan yang disepakati.
B. Alternatif
Penyelesaian Sengketa (ADR)
Mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik bukanlah suatu
yang sederhana. Cepat-tidaknya suatu konflik dapat diatasi tergantung pada
kesediaan dan keterbukaan pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan
konflik, berat ringannya bobot atau tingkat konflik tersebut. Sebuah sengketa atau konflik memang
suatu hal yang harus diselesaikan dengan cara yang baik dan bijaksana. Kita
tahu, bahwa dalam penyelesain sebuah sengketa atau konflik ada dua, yakni
dengan litigasi (melalui pengadilan) dan non-litigasi (alternatif penyelesaian
sengketa/ADR).
Kedua hal itu penting dan memiliki peran yang sangat
baik. Tetapi untuk lebih menghemat waktu, biaya, efektif dan efisien banyak
menggunakan APS/ADR dalam menyelesaikan sengketa atau konflik baik konflik
agama, ras, dua pihak dan sebagainya. Kalau kita ketahui bahwa penyelesain
melalui litigasi terlalu banyak aturan dan prosedur-prosedur yang harus di
ikuti dan mungkin memberatkan. Tetapi hal itu bukan berarti tidak baik,
litigasi tetap baik. Namun, ada yang lebih efisien dalam menyelesaiakan sebuah
sengketa dapat menggunakan APS/ADR, sekarng sangat berkembang dan dipakai
dikalangan masyarakat.
Istilah Alternative Dispute Resolution ( ADR ) pertama
kalinya lahir di Amerika Serikat seiring dengan pencarian alternatif pada Tahun
1976, yaitu ketika “Chief Justice Warren Burger” mengadakan “ the
Rescoe E. Pound Confrenceon the Causes of Popular Dissatisfaction with the Administratration
of Justice” (Pound Conference ) di Saint Paul, Minesota. Para akademisi,
para anggota pengadilan, dan para public interest lawyer, secara
bersama-sama mencari cara-cara baru dalam menyelesaiakn konflik. Pada Tahun
1976 itu pula American Bar Association ( ABA ) mengakui secra resmi
gerakan Alternative Dispute Resolution (ADR ) dan membentuk suatu komisi
khusus untuk penyelesaian sengketa (Special Committee on Dispute resolution
).[6]
Bila menyimak sejarah perkembangan Alternative
Dispute Resolution (ADR) di Negara tempat pertama kali dikembangkan
(Amerika Serikat), pengembangan Alternative Dispute Resolution (ADR) dilatarbelakangi
oleh kebutuhan sebagai berikut :
·
Mengurangi
kemaceta di pengadilan, banyaknya kasus yang diajukan ke pengadilan,
menyebabkan proses pengadilan sering kali berkepanjangan, sehingga memakan
biaya yang tinggi dan sering memberikan hasil yang kurang memuaskan
·
Meningkatkan
ketertiban masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa
·
Memperlancar serta
memperluas akses pengadilan
·
Memberikan
kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan
yang dapat diterima oleh semua pihak dan memuaskan.[7]
Di Indonesia perkembangan ADR yang paling menonjol
adalah Arbitrase. Ada dua badan Arbitrase di Indonesia yaitu BANI ( Badan
Arbitrase Nasional Indonesia ) dan BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indoneisa).
Dan setiap badan Arbitrase memilik sejarah dan karakteristik yang berbeda. Di
Indonesia istilah ADR (alternative
dispute resolution) relatif baru dikenal, tetapi sebenarnya
penyelesaian-penyelesaian sengketa secara consensus sudah lama dilakukan oleh
masyarakat yang intinya menekankan pada upaya musyawarah mufakat, kekeluargaan,
perdamaian, dan sebagainya. ADR mempunyai daya tarik khusus di Indonesia,
karena keserasiannya dengan sistem sosial budaya tradisional berdasarkan
musyawarah mufakat. Sehubungan dengan itu, istilah ADR perlu dicari padanannya
di Indonesia. Dewasa ini dikenal beberapa istilah untuk ADR, antara lain :
·
Pilihan penyelesaian
sengketa (PPS)
·
Mekanisme
alternatif penyelesaian sengketa (MAPS)
·
Pilihan
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dan mekanisme penyelesaian sengketa
secara kooperatif.[8]
Untuk mengetahui apa itu ADR, George Applebey
dalam tulisannya An Overview of
Alternative Dispute Resolution, berpendapat bahwa ADR awalnya merupakan
suatu eksperimen untuk mencari model-model :
·
Model-model baru
dalam penyelesaian sengketa
·
Penerapan-penerapan
baru terhadap metode-metode lama
·
Forum-forum baru
bagi penyelesaian sengketa
·
Penekanan yang
berbeda dalam pendidikan hukum
Dalam pengertian diatas masih sangat luas dan
terlalu akademis. Pengertian lain yang lebih sempit dan akademis dikemukakan
oleh Philip D. Bostwick yang menyatakan, bahwa ADR merupakan serangkaian praktik
dan teknik-teknik hukum yang ditujukan untuk :
·
Memungkinkan
sengketa-sengketa hukum diselesaikan di luar pengadilan untuk keuntungan atau
kebaikan para pihak yang bersengketa
·
Mengurangi biaya
atau keterlambatan kalau sengketa tersebut diselesaikan melalui litigasi
konvensional
·
Mencegah agar
sengketa-sengketa hukum tidak dibawa ke pengadilan.[9]
Perlu disadari bahwa secara historis, kultur
masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi pendekatan konsesus.
Pengembanagan keputusan secara tradisional dan penyelesaian sengketa secra
adat. Alasan cultural bagi eksitensi dan pengembangan Alternative Dispute
Resolution ( ADR) di Indonesia tampaknya lebih kuat dibandingkan alasan
ketidakefisienan proses peradilan dalam menangani sengketa.[10]
Dengan demikian, ADR merupakan
kehendak sukarela dari pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan
sengketa mereka di luar pengadilan, dalam arti di luar mekanisme ajudikasi
standar konvensional. Oleh karena itu, meskipun masih berada dalam lingkup atau
sangat erat dengan pengadilan, tetapi menggunakan prosedur judikasi nonstandar,
mekanisme tersebut masih merupakan ADR. Dalam Bab I Ketentuan Umum UU No. 30
Tahun 1999, Pasal 1 butir 10, disebutkan bahwa ADR adalah lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak,
yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara atau metode konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsolidasi atau konsiliasi atau penilaian ahli.[11]
Sehingga dapat dipahami, bahwa ADR merupakan sebuah lembaga untuk menyelesaikan
sengketa tanpa melalui litigasi melainkan melalui non-litigasi yang diharapkan
dan dengan maksud untuk menghasilkan keputusan yang bijaksana dan saling
menguntungkan antara kedua belah pihak.
C. Model-Model
Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR)
Perlu kita ketahui bahwa dalam alternatif penyelesaian
sengketa ada model-model (bentuk-bentuk) yang termasuk dalam ADR, diantaranya
negosiasi, mediasi, arbitrase, konsiliasi, konsultasi dan sebagainya.
Sebenarnya banyak pembahasan mengenai model-model alternatif penyelesaian
sengketa, dalam pembahasan ini hanya menekankan secara umum tentang negosiasi,
mediasi, dab arbitrase, karena hal ini hanya sebagai pengantar. Mungkin
seringkali kita juga mengenal adanya kompromi, kooperatif dan sebagainya.
Beberapa model alternatif penyelesaian sengketa yaitu sebagai berikut.
a. Negosiasi
Secara epistemologi, negosiasi
sering dianggap sepadan dengan istilah “berunding”, “bermusyawarah”, atau
“bermufakat”. Kata negosiasi berasal dari bahasa Inggris “negosiation” yang
berarti perundingan. Orang yang melakukan perundingan dinamakan dengan
negosiator. Negosiasi dapat diartikan sebagai berikut:
1.
Proses
tawar-menawar dengan jalan berunding untuk memberi atau menerima guna mencapai
kesepakatan yang sama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak
(kelompok atau organisasi) yang lain.
2.
Penyelesaian
sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak-pihak yang bersengketa.[12]
Secara terminologis, negosiasi yang
dikemukakan oleh Goodpaster (1993: 5) merupakan proses upaya untuk mencapai
kesepakatan dengan pihak lain, suatu proses interaksi dan komunikasi yang
dinamis dan beraneka ragam, dapat lembut dan bernuansa, sebagaimana manusia itu
sendiri.
Negosiasi (Negotiation) merupakan
proses konsensus yang digunakan oleh para pihak untuk mendapatkan kesepakatan
diiantara mereka. Menurut Fisher dan Ury (1991), negosiasi adalah komunikasi
dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan diantara dua belah pihak
memiliki berbagai kepentingan yang sama
maupun berbeda. Negosiasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang mengalami
sengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa melibatkan pihak ketiga
penengah yang tidak berwenang mengambi keputusan (meditasi) dan pihak ketiga
pengmbil keputusan (arbritase dan litigasi).[13]
Negosiasi bisa digunakan dalam
sengketa yang tidak terlalu pelik, dimana para pihak masih beriktikat baik
untuk duduk bersama dan memecahkan masalah. Negosiasi dilakukan apabila
komunikasi antar pihak yang bersengketa masih terjadi dengan baik, masih
memiliki rasa saling percaya, serta ada keinginan untuk cepat mendapatkan
kesepakatan dan menjalin hubungan yang baik. Dalam advokasi terdapat dua
bentuk, yaitu formal dan informal. Bentuk formalnya, negosiasi sedangkan bentuk
informalnya disebut lobi. Proses lobi tidak terikat oleh waktu dan tempat,
serta dapat dilakukan secara terus-menerus dalam jangka waktu panjang sedangkan
negosiasi tidak, negosiasi terikat oleh waktu dan tempat. Faktor yang paling
berpengaruh dalam negosiasi adalah filosofi yang menginformasikan bahwa
masing-masing pihak yang terlibat. Ini adalah kesepakatan dasar kita bahwa
“semua orang menang”, filsafat ini menjadi dasar setiap negosiasi. Kunci untuk
mengembangkan filsafat supaya “semua orang menang” adalah dengan
mempertimbangkan setiap aspek negosiasi dari sudut pandang pada pihak lain dan
pihak negosiator.
Sehingga dapat
dipahami, bahwa Negoisasi adalah komunikasi dua arah dirancang untuk
mencapai kesepakatan pada saat keduabelah pihak memiliki berbagai kepentingan
yang sama atau berbeda. Negoisasi memiliki kelebihan yakni, mengetahui pandanga
pihak lawan, kesempatan mengutarakan isi hati untuk didengar pihak lawan, memungkinkan
sengketa secara bersama-sama, mengupayakan solusi terbaik yang dapat diterima
oleh keduabelah pihak, tidak terikat kepada kebenaran fakta atau masalah hukum
dan dapat diadakan dan diakhiri sewaktu waktu. Sedangkan kelemahan Negoisasi
yakni, tidak dapat berjalan tanpa adanya kesepakatan dari keduabelah pihak, tidak
efektif jika dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang mengambil kesepakatan, sulit
berjalan apabila posisi para pihak tidak seimbang, memungkinkan diadakan untuk
menunda penyelesaian untuk mengetahui informasi yang dirahasiakan lawan, dapat
membuka kekuatan dan kelemahan salahsatu pihak, serta dapat membuat kesepakan
yang kurang menguntungkan.[14]
b.
Mediasi
Mediasi
adalah suatu proses untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa, dan mediasi
merupakan salah satu alternatif dan cara penyelesaian suatu persengketaan di
mana pihak-pihak yang bersengketa menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang
mediator dengan maksud untuk memperoleh hasil yang adil dan diterima oleh para
pihak yang bersengketa.[15] Mediasi
merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa melalui perdamaian yang
mempunyai prospek dan peluang untuk dikembangkan serta diberdayakan di
pengadilan.[16] Sebagai salah
satu mekanisme penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan, mediasi
sudah lama dipakai dalam berbagai kasus-kasus bisnis, lingkungan hidup,
perburuhan, pertanahan, perumahan, sengketa konsumen, dan sebagainya yang
merupakan perwujudan tuntutan masyarakat atas penyelesaian sengketa secara
cepat, efektif, dan efisien.
Mediasi
juga merupakan salah satu cara alternatif dalam penyelesaian sengketa dimana
Majelis Hakim menesihati pihak-pihak beperkara dalam suatu persidangan pertama,
yang kemudian menawarkan kepada para pihak atau wakilnya agar mau menyelesaikan
sengketanya secara damai. Dalam proses menasihati dan menawarkan perdamaian
inilah yang menurut pandangan Mahkamah Agung, sebagai upaya yang belum
sungguh-sungguh pelaksanaannya oleh Majelis Hakim Tingkat Pertama, dan oleh
karenanya lahirlah Perma Nomor 2 Tahun 2003 tersebut, “mediasi adalah
penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh
mediator”.
Dari
beberapa pengertian tentang mediasi yang telah di paparkan di atas maka mediasi
mengandung makna, yaitu para pihak diharapkan diharapkan dapat mencapai
kesepakatan yang menguntungkan bagi kedua belah pihak melalui jalur perundingan
dengan dibantu oleh seorang mediator. Dengan adanya kesepakatan yang telah
dibuat oleh kedua belah pihak maka diharapkan dapat meminimalisir terbuangnya
waktu serta biaya yang akan dikeluarkan oleh mereka dalam menyelesaikan
sengketa.[17]
Menjadi
mediator bukanlah perkara yang mudah, karena tugas seorang mediator juga telah
diatur di dalam Bab III Perma Nomor 2 Tahun 2003, adapun tugas seorang mediator
yang pertama adalah memberikan nasihat serta mengarahkan para pihak atau
wakilnya agar mau menyelesaikan sengketanya secara damai, dan apabila ada
hal-hal yang janggal atau kurang jelas dari keterangan tergugat, maka tugas mediator
untuk mengajukan pertanyaan atau meminta kejelasan dari tergugat tentang
hal-hal yang belum ditanggapi oleh tergugat, setelah selesai maka mediator
menawarkan beberapa solusi agar sengketa tersebut dapat selesai secara damai.
Tugas mediator yang kedua adalah memanggil kedua belah pihak memasuki ruang
mediasi, mediator mempersilakan pihak penggugat atau kuasanya mengajukan
poin-poin tuntutannya dan bila ada solusi damai yang ditawarkannya hendaknya
diajukan secara tertulis. Dan tugas ketiga seorang mediator adalah
mengelompokkan bagian-bagian yang telah disepakati dan apabila semua bagian
telah disepakati berarti mediator berhasil mendamaikan para pihak.
Adapun
pentingnya mediasi dalam konteks ini dimaknai bukan hanya sekedar untuk
berupaya meminimalisir perkara-perkara yang masuk ke Pengadilan, baik itu
Pengadilan tingkat pertama maupun tingkat banding, sehingga badan peradilan
dimaksud terhindar dari adanya timbunan perkara, namun lebih dari itu, mediasi
dipahami dan diterjemahkan dalam proses penyelesaian sengketa secara menyeluruh
dengan penuh kesungguhan untuk mengakhiri suatu sengketa yang tengah
berlangsung.
c.
Arbitrase
Arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak
yang bersengketa. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausul
arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak
sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat
para pihak setelah timbul sengketa.[18]
Pemahaman
mengenai arbitrase menjadi suatu yang penting untuk menyelesaikan dispute pada
kedua belah pihak untuk suatu bentuk kerja sama. Untuk menyelesaikan sengketa
yang timbul dapat ditempuh beberapa alternatif penyelesaian, yaitu melalui
negosiasi, mediasi, pengadilan, dan arbitrase. Arbitrase merupakan cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang disebut secara tertulis oleh pihak yang bersengketa.
Di Indonesia penyelesaian sengketa melalui arbitrase diatur oleh UU No. 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Masalah.[19]
Arbitrase
mempunyai dua kelembagaan yaitu arbitrase nasional dan internasional yang telah
menjadi bagian terpenting dalam perkembangan ekonomi di wilayah negara dan
dunia. Arbitrase mempunyai peran penting dalam perkembangan ekonomi karena
dapat memberikan jaminan stabilitas kepada investor. Selain sebagai peradilan
umum, arbitrase juga merupakan sebgai alternatif bagi penyelesaian sengketa
perdata dalam ruang lingkup hukum perdagangan seperti perniagaan, perbankan,
keungan, penanaman modal, industri, dan hak kekayaan intelektual. Dengan
lahirnya Undang-Undang No 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan APS, lembaga ini
memiliki sejumlah kelebihan dibandingkan
dengan lemabaga peradilan umum antara lain :
·
Di jamin
kerahasiaan sengketa para pihak, karena putusannya tidak dipublikasi.
·
Dapat dihindari
kelembatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif.
·
Para pihak dapat
memilih arbiter yang menurut keyakinannnya mempunyai pengetahuan, pengalaman,
serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan.
·
Para pihak dapat
menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat
penyelenggaraan arbitrase.
·
Putusan arbiter
merupakan putusan yang mengikat pihak dan dengan melalui tata cara sederahana
saja atau langsung dapat dilaksanakan.[20]
Arbitrase
yang diatur dalam undang-undang ini merupakan cara penyelesaian suatu sengketa
di luar peradilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang
bersengketa. Walaupun demikian, masih ada sampai saat ini terdapat beberapa
hambatan untuk menyelesaikan sengketa ke arbitrase, salah satunya kurang
informasi dan sosialisasi mengenai lembaga ini, dan juga tidak semua sengketa
dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya sengketa mengenai hak
yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas
dasar kata sepekat mereka. Sengeketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase
hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikusai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Sedangkan sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah
sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat didakan
perdamaian.
Lembaga
arbitrase merupakan badan yang dipilih oleh para hak sengketa untuk memberiakn
putusan mengenai sengeketa tertentu. Namun tanpa adanya suatu sengketa lembaga
arbitrase dapat menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu
perjanjian. Adanya suatu perjanjian arbitrase meniadakan hak para pihak untuk
mengajukan penyelesaian atau beda pendapat yang termuat di dalam perjanjiannya
ke pengadilan negeri. Pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili
sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.[21]
Pengadilan negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu
peneyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase sebagi berikut :
·
Tanggung jawab
arbiter atau majelis arbitrase.
·
Hukum acara yang
berlaku di hadapan majelis arbitrase.
·
Pembatalan
putusan arbitrase.
Memang banyak mengenai model-model alternatif
penyelesaian sengketa dan semua model tersebut sangat membantu dalam
menyelesaikan sebuah sengketa. Mungkin dari tiga model tersebut dapat dipakai
atau digunakan dan bisa menjadi referensi atau pemahaman kita mengenai
model-model penyelesaian sengketa. Masih banyak model lain, tetapi tiga hal
diatas termasuk model yang sering dipakai oleh para pihak yang bersengketa,
sebenarnya ada lagi yaitu konsiliasi. Sehingga dapat kita pahami bahwa ketiga komponen
tersebut seringkali dipakai dalam menyelesaiakan sebuah sengketa. Dengan
demikian, istilah Alternative Dispute Resolution (ADR) menunjukan
pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui prosedur yang
disepakati para pihak (self – governing system) dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, penilaian ahli, atau arbitrase.
BAB III
KESIMPULAN
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa peran lembagaalternatif penyelesaian
sengketa (APS/ADR) dalam penyelesaian sengketa adalah sebagai lembaga
perdamaian di luar pengadilan. Yang bertujuan untuk mencari suatu kesepakatan
atau perdamaian dalam Menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan untuk
keuntungan para pihak yang bersengketa selain itu pula untuk mengurangi
biaya litigasi konvensional dan pengunduran waktu yang biasa terjadi dan
mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke pengadilan.
Konflik dapat diartikan
sebagai suatu situasi dimana dua pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan
kepentingan, tidak akan berkembang menjadi sebuah sengketa apabila pihak yang
merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak puas atau keprihatinan. Sebuah
konflik berubah atau berkembang menjadi sebuah sengketa, bilamana pihak yang
merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik
secara langsung kepada pihak ynag dianggap sebagai penyebab kerugian atau
kepada pihak lain. Dari penjelasan tentang pengertian konflik diatas, dapatlah
diartikan, bahwa sengketa merupakan keadaan dimana pihak yang merasa dirugikan
atas konflik yang terjadi dengan pihak lain menyatakan ketidakpuasaannya
tersebut dengan jalan melakukan suatu perbuatan tertentu.
ADR atau APS merupakan
kehendak sukarela dari pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan
sengketa mereka di luar pengadilan, dalam arti di luar mekanisme ajudikasi
standar konvensional. Oleh karena itu, meskipun masih berada dalam lingkup atau
sangat erat dengan pengadilan, tetapi menggunakan prosedur judikasi nonstandar,
mekanisme tersebut masih merupakan ADR. Dalam Bab I Ketentuan Umum UU No. 30
Tahun 1999, Pasal 1 butir 10, disebutkan bahwa ADR adalah lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak,
yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara atau metode konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsolidasi atau konsiliasi atau penilaian ahli.
Negoisasi
adalah komunikasi dua arah dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat
keduabelah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama atau berbeda.
Sedangkan Mediasi adalah suatu proses untuk mendamaikan para pihak yang
bersengketa, dan mediasi merupakan salah satu alternatif dan cara penyelesaian
suatu persengketaan di mana pihak-pihak yang bersengketa menyerahkan
penyelesaiannya kepada seorang mediator dengan maksud untuk memperoleh hasil
yang adil dan diterima oleh para pihak yang bersengketa. Kemudian Arbitrase
merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak
yang bersengketa. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausul
arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak
sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat
para pihak setelah timbul sengketa. Dengan demikan, dalam menyelesaikan sebuah
sengketa perlu adanya pemahaman dan kesadaran diri mengenai pentingnya
penyelesaian sengketa secara damai, kerjasama, dan saling menguntungkan tanpa
adanya diskriminasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Sumaryanto.
Manajemen
Konflik Sebagai Salah Satu Solusi dalam Pemecahan Masalah. FIK UNY : acara OPPEK Dosen UNY, 2010.
Ø Usman,
Rachmadi. Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Bandung; PT.
Citra Aditya Bhakti, 2003.
Ø Gautama,
Sudargo. Arbitrase Dan Mediasi ( Hak
Milik Intelektual ) WIPO. Bandung : PT. Citra Aditya Bhakti, 1996.
Ø Amriani, Nurnaningsih. Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa
Perdata di Pengadilan. Jakarta Rajawali Pers, 2006.
Ø Margono,
Suyud. Alternative Dispute resolution (ADR) dan Arbitrase. Jakarta:
GhaliaIndonesia, 2000.
Ø Nawawi,
Ismail. Manajemen Konflik Industrial.
Surabaya: ITS Press, 2009.
Ø Abdurrasyid,
Priyatna. Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. PT. Fikahati Aneska dan BANI, 2002.
Ø Jacqualine
M, Nolan – Halvey. Alternative Dispute Resoolution in Arbitrase Nutshell. S.T.
Pal, Minn : west Publishing Co, 1992.
Ø Luthans,
F. Organizational Behavior. Singapore: Mc Graw Hill. 1981.
Ø Robbins.
Organizational Behaviour. Siding: Prentice Hall, 1996.
Ø Wirawan.
Konflik dan Manajemen Konflik : Teori,
Aplikasi, dan Penelitian. Jakarta : Salemba Humanika, 2013.
[1]
Sumaryanto, Manajemen Konflik Sebagai Salah Satu Solusi
dalam Pemecahan Masalah, (FIK
UNY : acara OPPEK Dosen UNY, 2010), hlm. 1.
[10] Sujud Margono,Alternative Dispute Resolution (
ADR ) dan Arbitrase, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), hlm.38.
[12]
Ismail Nawawi, Manajemen Konflik
Industrial, (Surabaya: ITS Press, 2009), hlm. 25.
Menarik Pak.. Kebetulan lagi belajar ADR
BalasHapusLanjutkan. Dan banyak2 baca buku juga saudaraku.
Hapushttps://www.niagahoster.co.id/ref/276579?r=simple-wordpress
BalasHapus