Senin, 19 Oktober 2015

MISTISISME BUDHISME



MISTISISME dalam AGAMA BUDHA (BUDHISME)
Oleh: SETIONO
A.    Latar Belakang Masalah
            Manusia adalah makhluk yang super kompleks. Selain menjadi subjek kajian, ia juga dapat dijadikan objek kajian. Sebagai objek kajian, manusia dapat dikaji dari berbagai sudut pandang, seperti dari sudut pandang biologi, sosiologi, antropologi, teologi, filfasat, mistisisme dan sebagainya. Dari sudut pandang mistisisme misalnya, manusia diyakini memiliki pengalaman non-rasional dan tidak biasa tentang realitas yang mencakup seluruh yang memungkinkan diri bersatu dengan realitas yang biasanya dianggap sebagai sumber atau dasar eksistensi semua hal.
Begitu pula dengan agama, di mana agama-agama memiliki dimensi-dimensi yang bersifat mistik ataupun ritual atau sebuah pengalaman beragama (religiusitas) dan spiritualitas. Setiap agama pada dasarnya memiliki konsep ajaran yang mengacu pada kebaikan, bahkan tidak jarang agama-agama mengajarkan sesuatu yang bersifat mistik atau diluar kesadaran atau diluar nalar manusia.  Kajian manusia dari sudut pandang mistisisme sangatlah menarik, karena tidak cukup hanya dengan akal, tetapi juga melibatkan unsur rasa dan pengalaman spiritual dari masing-masing orang. Sehingga tidaklah dianggap mengherankan apabila para mistikus berbeda dalam hal mendefinisikan manusia itu sendiri. Mereka memberikan definisi sesuai dengan pengalaman spiritual yang mereka rasakan. Mistisisme merupakan salah-satu sisi dan pokok bahasan dalam psikologi agama. Mistisisme dijumpai dalam semua agama, baik agama teistik (Islam, Kristen dan Yahudi) maupun nonteistik (misalnya penganut agama budha).[1]
            Pada dasarnya setiap agama memiliki ajaran yang bersifat spiritual atau mistik, bahkan dalam agama Budha saja ada konsep Nibbana atau Nirvana, Arahat, Bodhisatva, Triratna, dukha, marga dan sebagainya. Berbicara menganai mistisisme dalam agama Budha, maka ada beberapa aliran agama Budha yakni Hinayana, Mahayana dan Vajrayana (sekte Mahayana). Dari ketiga hal tersebut, bahwa dalam membahas mengenai tentang mistisisme Budha, maka sesuai dengan masing-masing aliran ataupun secara universal tentang mistisisme dalam agama Budha.
            Agama Budha lahir dan berkembang sekitar 6 abad sebelum Masehi. Sebagai reaksi terhadap sistem upacara agama Hindu yang terlampau kaku. Dari latar belakang munculnya, agama Budha mempunyai kaitan erat dengan agama Hindu. Sebagai agama, ajaran Budha tidak bertolak dari Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam dan seluruh isinya. Agama ini bertolak dari keadaan yang nyata, terutama tentang tata susila yang harus dilaksanakan oleh manusia agar ia terbebas oleh lingkaran dukha yang selalu mengikuti hidupnya. Pada mulanya ajaran ini bukan merupakan agama tetapi hanya suatu ajaran untuk melepaskan diri dari sangsara (samsara) dengan tenaga sendiri, sebagaimana dilakukan sang Budha. Tetapi ajaran ini kemudian berubah manjadi agama yang banyak penganutnya dan mempengaruhi daya pikir banyak orang.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari Mistisisme itu?
2.      Bagaimana mistisisme dalam agama Budha?






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Mistisisme
            Istilah “mistisisme” telah menjadi salah satu isu kontroversial dalam kajian modern tentang mistisisme sejak awal kemunculannya di paruh kedua abad ke-19 Masehi. Beberapa penulis menggunakan istilah tersebut dengan merujuk pada subjek yang berlainan. Mistisime itu sendiri berasal dari akar kata mistisisme adalah “mistik”. Kata mistik itu sendiri berasal dari bahasa Yunani mystikos yang artinya rahasia (geheim), serba rahasia (geheimzinnig), tersembunyi (verborgen), gelap (donker) atau terselubung dalam kekelaman (in het duister gehuld).  Dalam kamus bahasa indonesia, mistis di artikan sebagai hal-hal yang gaib yang tidak terjangkau oleh akal manusia, tetapi ada dan nyata.[2] Berdasarkan arti ini, mistik sebagai sebuah paham yaitu paham mistik atau mistisisme merupakan “Paham yang memberikan ajaran yang serba mistis (misal ajarannya berbentuk rahasia atau ajarannya serba rahasia, tersembunyi, gelap atau terselubung dalam kekelaman) sehingga hanya dikenal, diketahui atau dipahami oleh orang-orang tertentu saja, terutama sekali penganutnya.”[3]
            Mistisisme secara harfiah berarti pengalaman batin, yang tidak terlukiskan, khususnya yang memiliki ciri religius. Dalam arti paling luas, ia dimengerti sebagai jenis apa pun dari kesatuan mendalam dengan Allah. Dan dalam arti sempit, ia berarti kesatuan luar biasa dengan Allah. Mistisisme selaku pengalaman hendaknya dibedakan dari mistisisme sebagai ilmu tentang pengalaman mistik. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mistisisme diartikan sebagai ajaran yang menyatakan bahwa ada hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal manusia. Kemudian dalam pengertian lain, mistisisme juga dapat diartikan sebagai keyakinan bahwa kebenaran terakhir tentang kenyataan tidak dapat diperolehnya melalui pengalaman biasa, pun pula tidak melalui intelek (akalbudi), tetapi hanya melalui pengalaman mistik atau melalui suatu intuisi mistik yang nonrasional. Hakikat realitas tak dapat diungkapkan dan tidak dialami melalui pengalaman dan pemikiran biasa.[4].
            Umumnya, mistisisme dapat dimengerti sebagai suatu pendekatan spiritual dan non-diskursif kepada persekutuan jiwa dengan Allah, atau dengan apa saja yang dipandang sebagai realitas sentral alam raya. Jika realitas ini dipandang sebagai Allah yang transenden, satu cara khas ialah kebatinan, jauh dari dunia, menuju persekutuan dengan Sang Satu yang transenden. Tetapi mistisisme kebatinan (introversif) bukan satu-satunya tipe. Ada juga mistisisme ekstraversif (ke luar), di mana subjek merasakan kesatuannya dengan alam semesta, dengan semua yang ada. Ini sering diiringi, entah sebagai sebab atau akibat, identifikasi panteistik Allah dengan semua yang ada. Akhirnya, terdapat penggunaan teknik-teknik meditatif, bernada mistis, untuk mencapai keadaan pencerahan, terlepas dari konsep mana pun tentang yang Ilahi. Masing-masing pendekatan ini sudah dikembangkan baik di Barat maupun di Timur.
            Dalam ilmu Psikologi, bahwa kata mistisisme berasal dari bahasa Yunani Meyein, yang artinya “menutup mata”. Kata mistik biasanya digunakan untuk menunjukkan hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan tentang misteri. Dalam arti luas, mistik dapat didefinisikan sebagai kesadaran terhadap kenyataan tunggal, yang mungkin disebut kearifan, cahaya, cinta atau nihil.[5] Menurut Prof. Harun Nasution dalam tulisan Orientalis Barat, mistisisme yang dalam Islam adalah tasawuf disebut sufisme, sebutan ini tidak dikenal dalam agama-agama lain, melainkan khusus untuk sebutan mistisisme Islam. Sebagaimana halnya mistisisme, tasawuf atau sufisme mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada dihadirat Tuhan.[6] Menurut Inge menganggap inti terdalam dari mistisisme adalah “kesadaran akan realitas Yang Melampaui, Yang Maha” (“consciousness of the beyond”) yang tampak sebagai suatu prinsip aktif yang independen. Meski demikian, Inge meyakini mistisisme telah membangun suatu “sistem spekulasi dan praksis”nya sendiri yang berada di luar inti mistisisme itu sendiri. Hal dikarenakan setiap prinsip aktif seyogyanya menemukan instrumennya sendiri yang layak. Dalam pengertian ini, mistisisme dapat dipandang sebagai suatu model atau bentuk agama.[7] Dia pun berasumsi bahwa “kehidupan yang memadu (unitive) atau kontemplatif yang mewadahi persaksian langsung antara manusia dan Tuhan, serta melebur dengan-Nya” merupakan langkah akhir yang menjadi tujuan jalan mistis.[8]
            Rufus M. Jones menyatakan, bahwa mistisisme mencakup “(1) pengalaman yang dirasakan dari perjumpaan langsung dengan Ilahi dan (2) doktrin teologiko-metaisis mengenai penyatuan yang mungkin terjadi antara jiwa dengan Realitas Absolut, Tuhan.” Dia yakin hal tersebut dapat mendorong pada kejelasan untuk membatasi penguanan istilah “mistisisme” pada signiikansi belakangan yaitu “doktrin hitoris tentang hubungan dan penyatuan yang bersifat potensial antara jiwa antara jiwa manusia dengan Realitas Tertinggi,” serta pada penggunaan istilah “pengalaman mistis” sebagai perjumpaan langsung dengan Tuhan.[9] Sembari membedakan antara istilah dalam bahasa Jerman Mystizizmus dan Mystik, jones menganggap “mistisisme” sepadan dengan istilah yang terakhir, Mystik.[10]
            Secara terminologi para tokoh antropolog atau sosiolog mengartikan mistik sebagai subsistem yang ada pada hampir semua sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan bersatu dengan tuhan.[11] Lebih lanjut William James dalam bukunya “Perjumpaan dengan Tuhan” mengungkapkan bahwasannya kata-kata mistis hanya sebagai istilah untuk menjatuhkan pendapat apa saja yang dipandang kabur, sentimental, dan longgar, serta tidak memiliki landasan, baik dari segi fakta maupun logika.[12] Menurut Prof. Harun Nasution dalam tulisan Orientalis Barat, mistisisme orang Islam adalah disebut tasawuf (sufisme), sebutan ini tidak dikenal dalam agama-agama lain, melainkan khusus untuk sebutan mistisisme Islam.[13] Sebagaimana halnya mistisisme, tasawuf atau sufisme mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada dihadirat Tuhan.[14]
            Pengalaman mistis adalah suatu kejadian yang dialami seseorang, baik orang tersebut dalam kondisi sadar atau tidak. Pengalaman mistis berbeda dengan pengalaman yang lain. Pengalaman mistis berhubungan dengan sesuatu yang sifatnya non-materi atau eksistensi non-materi. Pengalaman mistis sangat dekat sekali hubungannya dengan agama; misalnya pengalaman mistis merasakan hadirnya Tuhan, surga, atau merasakan menyatunya Tuhan dalam diri seseorang, melihat malaikat atau berbicara dengannya. William James dalam bukunya perjumpaan dengan tuhan mengatakan bahwasannya ada empat karakter pengalaman keagamaan :
·         Tidak bisa di ungkapkan
            Orang yang mengalami pengalaman mistik mengatakan bahwa pengalaman itu tidak bisa diungkapkan; bahasa atau kata-kata tidak bisa mewakili apa yang pernah dialami kecuali mengalami sendiri. Dalam keadaan mistik, seseorang lebih menggunakan perasaan ketimbang akalnya.
·         Kualitas noetik
            Meskipun lebih menggunakan perasaan, bagi orang yang mengalaminya situasi mistik itu juga adalah situasi pengetahuan. Dalam situasi ini, orang mendapatkan wawasan tentang kedalaman kebenaran yang tidak bisa digali melalui intelek yang bersifat diskursif. Semua ini merupakan peristiwa pencerahan dan pewahyuan yang penuh dengan makna dan arti, tetapi tidak bisa di ungkapkan lewat kata-kata meskipun tetap dirasakan. Umumnya pengalaman ini juga membawa perasaan tentang adanya otoritas yang melampaui waktu.
·         Situasi transien
            Keadaan mistik tidak bisa dipertahankan dalam waktu yang cukup lama. Kecuali pada kesempatan-kesempatan yang jarang terjadi, batas-batas yang bisa dialami seseorang sebelum kemudian pulih keadaan biasa adalah sekitar setengah jam, atau paling lama satu atau dua jam. Sering kali saat mulai melemah, kualitas situasi ini bisa diproduksi di dalam ingatan meskipun tidak terlalu sempurna. Akan tetapi, saat ia dating kembali akan dapat dikenali dengan mudah. Kemudian, dari berulangnya peristiwa-peristiwa ini, mudah sekali dimengerti adanya perkembangan yang kontinu pada suasana batin yang dirasakan kaya dan penting.
·         Kepasifan
            Datangnya situasi mistik bisa dikondisikan oleh beberapa tindakan pendahuluan yang dilakukan secara sengaja, seperti melakukan pemusatan pikiran, gerakan tubuh tertentu, atau menggunakan cara-cara yang diuraikan dalam perbagai buku panduan mistisme. Meskipun demikian, saat kesadaran mistiknya muncul, sang mistikus merasa bahwa untuk sementara hasratnya menghilang, dan ia merasa direngkuh dan dikuasai oleh suatu kekuatan yang lebih tinggi.[15]
            Sehingga dapat diapahami bahwa mistisisme merupakan suatu kepercayaan atau pengalaman yang tidak dapat dijangkau dengan akal. Namun, mistisisme merupakan pengalaman spiritual yang luar biasa dan tidak biasa serta diluar diri kita. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa mistisisme merupakan ajaran yang menyatakan adanya hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal manusia. Mistisisme juga dapat dipahami sebagai keyakinan tentang kebenaran puncak tertinggi tentang kenyataan (realitas tertinggi) yang tidak dapat diperolehnya melalui pengalaman biasa, juga tidak melalui akal budi, tetapi hanya melalui pengalaman mistik atau melalui suatu intuisi mistik yang non-rasional.






B.     Mistisime Budhisme
            Ajaran agama Budha yang paling pokok terdapat dalam Triratna yang bermakna tiga permata adalah tiga buah pengakuan dari setiap penganut agama Buddha, seperti halnya dengan credo di dalam agama Kristen atau syahadat di dalam agama Islam. Tiga Pengakuan (Triratna) di dalam agama Buddha itu berbunyi:
(1). Buddham saranam gacchami (Saya berlindung di dalam Buddha)
(2). Dhamman saranam gacchami (Saya berlindung di dalam Dhamma)
(3). Sangham  saranam dacchami (Saya berlindung di dalam Sangha)[16]
            Secara garis besar ajaran agama Buddha dapat dirangkum dalam tiga ajaran pokok, yaitu Buddha, Dharma, dan Sangha. Ajaran tentang Buddha menekankan pada bagaimana umat Buddha memandang sang Buddha Gautama sebagai pendiri agama Buddha dan asas rohani yang dapat dicapai oleh setiap makhluk hidup. Pada perkembangan selanjutnya ajaran tentang Buddha ini berkaitan dengan masalah ketuhanan yang menjadi salah satu ciri ajaran semua agama.
            Ajaran tentang dharma banyak membicarakan tentang masalah-masalah yang dihadapi manusia dalam hidupnya, baik yang berkaitan dengan ciri manusia sendiri maupun hubungannya dengan apa yang disebut Tuhan dan alam semesta dengan segala isinya. Ajaran tentang Sangha selain mengajarkan bagaimana umat Buddha memandang sangha sebagai pasamuan para bhikkhu, juga berkaitan dengan umat Buddha yang menjadi tempat para Bhikkhu menjalankan dharmanya, juga dengan pertumbuhan dan perkembangan agama Buddha, baik di tempat kelahirannya di India maupun di tempat-tempat agama tersebut  berkembang.
            Buddha di dalam triratna itu dimaksudkan: Buddha Gautama, Dhamma disitu dimaksudkan: pokok-pokok ajaran. Sangha disitu dimaksudkan: biara. Ketiga-tiganya itu dinyatakan azas perlindungan bagi setiap penganut agama Buddha, yakni azas keyakinan yang dianut mazhab Theravada maupun mazhab Mahayana.[17]
            Isi dalam Dharma Budha ialah doktrin atau pokok ajaran, inti ajaran agama Buddha dirumuskan dalam empat kebenaran yang mulia atau empat aryasatyani yang terdiri dari empat kata yaitu: Dukha, Samudaya, nirodha dan Marga.[18]
      Empat Kebenaran Utama (Catur Arya Satyani) :
  1. Ada itu suatu derita (Dukkha)
  2. Derita itu disebabkan Hasrat (Samudaya)
  3. Hasrat itu mestilah ditiadakan (nirodha)
  4. Peniadaan itu dengan delapan jalan (Marga)
            Dukha ialah penderitaan. Hidup adalah menderita. Kelahiran adalah penderitaan, umur tua adalah penderitaan, sakit adalah penderitan, mati adalah penderitaa, disatukan dengan yang tidak dikasihi adalah penderitaan, tidak tercapai apa yang diinginkan adalah penderitaan. Singkatnya kelima pelekatan kepada dunia ini adalah penderitaan.
            Samudaya adalah sebab. Penderitaan ada sebabnya. Yang menyebabkan orang dilahirka kembali adalah keinginan kepada hidup, dengan disetai nafsu yang mencari kepuasan di sana-sini, yaitu kehausan pada kesenangan, kehausan kepada yang ada, kehausan pada kekuasaan.
            Nirodha adalah pemadaman. Pemadaman kesengsaraan terjadi dengan penghapusan keinginan secara sempurna, dengan pembuangan keinginan itu, dengan penyangkalan terhadapnya, dengan pemisahannyadari dirinya dan dengan tidak memberi tempat kepadanya.
            Marga ialah jalan kelepasan, jalan yang menuju kepada pemadaman penderitaan ada delapan, yaitu delapan jalan kebajikan:[19]
  1. Pengetian yang benar (samma-ditthi)
  2. Berpikir yang benar (samma-sankappa)
  3. Bicara yang benar (samma-vacca)
  4. Berbuat yang benar (samma-kammarta)
  5. Kerja yang benar (samma- ajiva)
  6. Usaha yang benar (samma- vayama)
  7. Perhatian yang benar (samma-sati)
  8. Samadhi atau Konsentrasi yang benar ( samma-samadhi)
            Pokok ajaran Buddha Gautama yang utama ialah, bahwa hidup adalah menderita. Seandainya di dalam dunia tidak ada penderitaan, Buddha tidak akan menjelma di dunia. Orang dilahirkan menjadi tua dan mati, tiada hidup yang tetap. Sedang manusia hidup ia menderita sakit, dan semua itu adalah penderitaan. Untuk menerangkan hal ini diajarkan Pratitya Samutpada, artinya pokok permulaan yang bergantungan. Seluruhnya diajarkan adanya 12 pokok permulaan, yang jelas kehausan atau keinginan yang menyebabkan adanya penderitaan pada hakikatnya disebabkan oleh ketidaktahuan atau awidya.
            Pengikut agama Budha dibagi menjadi dua bagian, yaitu para Bhiksu atau para rahib dan para kaum awam. Kelompok  pertama terdiri dari Bikkhu, Bikkhuni, Samanera, dan Samaneri. Kelompok masyarakat awam terdiri dari upasaka dan upasaki yang telah menyatakan diri berlindung kepada Buddha, Dharma, dan Sangha serta melaksanakan prinsip-prinsip moral bagi umat awam dan hdup berumah tangga.
            Sangha adalah persamuan dari makhluk-makhluk suci yang disebut ‘Arya Punggala’ yaitu mereka yang sudah mencapai buah kehidupan beragama yang ditandai dengan kesatuan pandangan yang bersih dengan sila yang sempurna atau kita kenal dengan mistik atau spiritual dalam agama Budha. Tingkat kesucian yang mereka capai itu mulai dari tingkat ‘sotapatti’, ‘sakadagami’, ‘anagami’, sampai tingkat ‘arahat’. Tetapi setelah agama Buddha Mahayana berkembang maka barang siapa bertujuan untuk memperoleh kedudukan Bodhisatva, tak perduli apa ia orang awam, atau alim ulama, semua bergabung bersama-sama dalam suatu persaudaraan.[20]
            Tingkat Sotapati adalah tingkat kesucian pertama, dimana mereka masih menjelma tujuh kali lagi sebelum mencapai nirvana. Pada tingakatan ini seorang Satopati masih harus mematahkan belenggu kemayaan aku, keragu-raguan, ketakhayulan sebelum dapat meningkat ke Sakadagemi. Pada tingkat Sakadagemi ia harus menjelma sekali lagi sebelum mencapai nirvana. Ia harus dapat membangkitkan kundalini sebelum naik ke tingkat anagami. Setelah mencapai tingkat anagami, ia tidak perlu menjelma lagi untuk mencapai nirvana namun harus mematahkan beberapa belenggu sebelum mencapai tingkat terakhir, yaitu arahat. Belenggu tersebut adalah kecintaan yang indrawi dan kemarahan atau kebencian. Setelah berhasil mematahkan belenggu tersebut ia kemudian naik ke tingkat arahat dan dapat langsung mencapai nirvana di dunia maupun sesudah meninggalnya. Pada tingkatan ini ia harus mematahkan belenggu keinginan untuk hidup dalam bentuk (ruparaga), keinginan untuk hidup tanpa bentuk (arupara), kecongkakan (mano), kegoncangan batin (udacca) dan kekurangan kebijaksanaan.[21]
            Pengikut Buddha yang kedua adalah kaum awam, ialah yang mengakui Buddha sebagai pemimpin keagamaannya dan tetap hidup di dalam masyarakat dengan berkeluarga. Pada hakekatnya para kaum awam tidak dapat mencapai nirwana. Sekalipun demikian kedudukan mereka adalah sangat penting, mereka sudah bverada pada awal jalan yang menuju kepada kelepasan.
            Mistisisme Buddha juga memiliki tujuan, yakni cita-cita tertinggi bagi  Mahayana untuk mencapai Nibbana ialah menjalani peranan Boddhisatva. Sedangkan pada cita-cita bagi Hinayana yaitu bagaimana setiap orang menjadi Arahat. Kalau seorang Arahat hanya memikirkan kelepasan dirinya sendiri, maka Boddhisatva memikirkan kelepasan orang lain yakni bersama-sama orang banyak mencapai Nibbana yang sempurna.[22] Dalam Buddha terikat dengan hukum Kamma bagaimana seseorang tersebut terlepas sepenuhnya dari hukum Kamma, karena Kamma adalah salah satu penghalang bagi ummat Buddha untuk mencapai Nibbana.[23] Sedangkan dalam Islam tidak mengenal yang namanya hukum kamma sehingga tidak perlu mati hidup lagi-mati hidup lagi untuk dapat bisa bertemu atau menyatu dengan Tuhan. Kesadaran diri akan peran dan fungsi manusia di muka bumi ini diiringi dengan kesucian hati itu sudah cukup karena kesucian hati akan menyebabkan terbukanya tabir penghalang antaran diri seseorang dengan Tuhan.
            Ketika berbicara tentang mistisisme dalam Budha, justru yang lebih banyak aspek mistiknya adalah Vajrayana yang dikenal luas oleh dunia Barat sebagi aliran esoterik (ajaran rahasia, tersembunyi, mistik). Sedangkan mazhab-mazhab lainnya dalam agama Buddha disebut eksoterik (sesuatu yang kelihatan). Menurut umat Buddha mazhab Vajrayana ini, sesungguhnya Sang Hyang Buddha membabarkan Dharma selama-lamanya. Akan tetapi bagi umat awan tidak dapat mendengar dan mengerti dengan baik. Sehingga tanpa Adhisthana (perantara dan bimbingan), sukarlah bagi umat awan untuk mengerti badan, perkataan dan pikiran Hyang/Sang Buddha. Perantara tersebut bukanlah berasal dari sipelaku itu sendiri, akan tetapi berasal dari bimbingan dan Kekuatan Buddha.[24]
            Vajrayana atau Tantra juga dikenal sebagai aliran mistis. Kemistisannya itu nampak dalam praktek meditasi Tantra dalam empat hal yang tidak dapat ditinggalkan yaitu; mudra, dharani, mantra, dan mandala. Mantra merupakan kalimat pendek yang merupakan ringkasan dari dharani. Mantra juga merupakan sumber kekuatan-kekuatan itu sendiri yang mempengaruhi manusia dan alam dengan kuat. Mantra itu bukan magi tetapi suatu pembudayaan diri, pengembangan mental (bhavana), tranformasi kesadaran, membantu manusia bebas dari keduaniawian dan bersatu dengan objek pemujaan. Sedangkan, sebuah lingkaran seperti diagram psikosmos yang didalamnya intisari kitab tantra digambarkan dengan aksara-aksara atau simbol-simbol visual.[25] Dengan demikian, bahwa mistisisme dalam Budha pada dasarnya terletak pada bahwa hidup adalah penderitaan, maka dengannya penederitaan itu harus dipadamkan dan dilenyapkan agar mencapai puncak Arahat atau Bodhisattva hingga mencapai kepada Nirvana.








BAB III
KESIMPULAN

            Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa mistisisme merupakan sebuah semangat spiritual dan keyakinan akan jiwa yang mampu bertemu dengan Tuhan dan sesuatu pengalaman agama yang tidak dapat dipahami secara rasional.  Mistisisme mencakup pengalaman yang dirasakan dari perjumpaan langsung dengan Ilahi dan doktrin teologikometaisis mengenai penyatuan yang mungkin terjadi antara jiwa dengan Realitas Absolut, Tuhan.
            Mistisisme dalam agama Budha lebih pada menekankan pelepasan hidup dari penderitaan agar tidak terpikat dalam kamma, sehingga ajaran Budha lebih tentang moral dan mencapai derajat kesucian tertinggi. Mistisisme dalam agama Budha lebih dikenal dengan hidup adalah penderitaan, maka dengannya penderitaan harus dilepaskan dan dilenyapkan hingga sampai pada arahat ataupun bodhisattva, sehingga manusia mampu mencapai nirvana. Bahkan, tingkat kesucian yang mereka capai itu mulai dari tingkat ‘sotapatti’, ‘sakadagami’, ‘anagami’, sampai tingkat ‘arahat’. Tetapi setelah agama Buddha Mahayana berkembang maka barang siapa bertujuan untuk memperoleh kedudukan Bodhisatva, tak perduli apa ia orang awam, atau alim ulama, semua bergabung bersama-sama dalam suatu persaudaraan.[26]
            Pada dasarnya setiap agama memiliki ajaran yang bersifat spiritual dan mistis yang diyakini oleh penganutnya. Sehingga memang agama selalu mengajarkan kepada penganutnya dalam keselamatan dan kedamaian sesuai dengan ajaran agamanya yang dianutnya. Begitu pula setiap manusia beragam pada dasarnya pasti memiliki pengalaman mistis yang berbeda-beda. Sehingga tidak heran jika setiap agama memiliki unsur-unsur mistisisme, seperti halnya agama Budha.
            Mistisisme Buddha juga memiliki tujuan, yakni cita-cita tertinggi bagi  Mahayana untuk mencapai Nibbana ialah menjalani peranan Boddhisatva. Sedangkan pada cita-cita bagi Hinayana yaitu bagaimana setiap orang menjadi Arahat. Kalau seorang Arahat hanya memikirkan kelepasan dirinya sendiri, maka Boddhisatva memikirkan kelepasan orang lain yakni bersama-sama orang banyak mencapai Nibbana yang sempurna.[27] Dalam Buddha terikat dengan hukum Kamma bagaimana seseorang tersebut terlepas sepenuhnya dari hukum Kamma, karena Kamma adalah salah satu penghalang bagi ummat Buddha untuk mencapai Nibbana atau Nirvana.




















DAFTAR PUSTAKA


Salaby, Ahmad. 1998. Agama-agama Besar di India. Jakarta : Bumi Aksara.
Samad, Ulfat. 1976. The Great Religions of The World. Lahore : Peshawar.
Suwarto, T. 1995. Budha Darma Mahayana. Jakarta : Majelis Agama Buddha       Mahayana Indonesia.
Thomas, E.J. 1950. The Road to Nirvana- A Selection of the Buddhist Scripture in   Pali. terj. Wisdom of the East Series, London.
Keene, Michael. 2006. Agama-Agama Dunia. Yogyakarta : KANISIUS.
Sou’yb, Joesoef. 1996. Agama-agama besar di Dunia. Jakarta : Husna Zikra.
Djam’anuri. 2000. Agama Kita : Perspektif Sejarah Agama-Agama. Yogyakarta :   Kurnia Kalam Semesta.
Jirhanuddin.2010. Perbandingan Agama : Pengantar Studi Memahami Agama-     Agama. Yogyakarta : Putaka Pelajar.
Arifin, M. 1998. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar. Jakarta : Golden Terayon Press.
Suyono, R.P. 2007. Dunia Mistik Orang Jawa. Yogyakarta : LKiS.
James, William. 2004. The Varieties of Religious Experience, di Terjemahkan oleh Gunawan Admiranto, Perjumpaan Dengan Tuhan, Bandung : Mizan.
Nasution, Harun. 2008. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Jones, Rufus M. 1924. “Mysticism,Encyclopædia of Religion and Ethics. diedit oleh        James Hastings, New York: Scribner´s, vol. IX.
Jalauddin dan Ramayulis.1993. Pengantar Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Kalam Mulia,          cet. ke-2.
Bagus, Lorens. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Syamsul Arifin, Bambang. 2008. Psikologi Agama. Bandung: Pustaka Setia, cet I.


                [1] Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2008) cet I, hlm. 207.
                [2] Kamus Bahasa Indonesia, (jakarta : pusat bahasa departemen pendidikan nasional, 2008), hlm. 962.
                [3] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 653.
                [4] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000),  hlm. 653.
                [5] Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2008) cet I, hlm. 207.
                [6] Jalauddin dan Ramayulis. Pengantar Ilmu Jiwa Agama. (Jakarta: Kalam Mulia, 1993), cet. ke-2., hlm. 125.
                [7] Di antara kajian mistisisme modern, beberapa peneliti meyakini Christian Mysticism karya Inge memunculkan tumbuhnya kembali minat masyarakat Ingris pada mistisisme Kristen (Crook, Paul, “W. R. Inge and Cultural Crisis, 1899—1920,” dalam Journal of Religious History, (Oxford: Blackwell, vol. 16, 1977), hlm, 5-6.
                [8] Ibid, hlm. 12.
                [9] Rufus M. Jones, “Mysticism,” Encyclopædia of Religion and Ethics, diedit oleh James Hastings, (New York: Scribner´s, vol. IX, 1924), hlm. 83. Dia menjelaskan bahwa dalam arti yang sempit ini, mengimplikasikan konsepsi metaisis tertentu tentang Tuhan dan jiwa serta suatu “langkah mistis” (mystical way) untuk mencapai suatu kesatuan dengan sang Absolut, hlm. 84.
                [10] Mystizismus, ditulisnya, berarti pemujaan terhadap sesuatu yang supernatural, pengejaran kekuatan kebatinan, dan eksploitasi spiritualistis bagi penelitian atas entitas isik, sementara Mystik bermakna pengalaman atas perjumpaan dan relasi tuhan-manusia yang berlangsung secara langsung. (hlm. 83).
                [11] R.P. Suyono, Dunia Mistik Orang Jawaa, (Yogyakarta : LKiS 2007), hlm. V.
                [12] William James, The Varieties of Religious Experience, di Terjemahkan oleh Gunawan Admiranto, Perjumpaan Dengan Tuhan, (Bandung : Mizan 2004), hlm. 506.
                [13] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2008), hlm. 43.
                [14] Ibid, hlm. 56.
                [15] William James, Perjumpaan Dengan Tuhan, hlm. 506-509.
                [16] Jirhanuddin, Perbandingan Agama : Pengantar Studi Memahami Agama-Agama, (Yogyakarta : Putaka Pelajar, 2010), hlm. 96. Lihat juga M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta : Golden Terayon Press, 1998), hlm. 97.
                [17] Joesoef Sou’yb, Agama-agama besar di Dunia, (Jakarta : Husna Zikra, 1996), hlm. 81-82.
                [18]  Djam’anuri, Agama Kita : Perspektif Sejarah Agama-Agama, (Yogyakarta : Kurnia Kalam Semesta, 2000), hlm. 69.
                [19]  Ibid, hal. 69. Dan Lihat Michael Keene, Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta : KANISIUS,  2006), hlm. 74-75.
                [20] Ulfat Samad, The Great Religions of The World, (Lahore : Peshawar, 1976), hlm. 35-37.
                [21] Ibid, hlm. 40-43.
                [22] Ahmad Salaby, Agama-agama Besar di India, (Jakarta: Bumi Aksara,1998), hlm. 136.
                [23] The Road to Nirvana- A Selection of the Buddhist Scripture in Pali, diterjemahkan oleh E.J. Thomas (Wisdom of the East Series, London, 1950), hlm. 55-56.
                [24] Suwarto T, Budha Darma Mahayana, (Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995 ), hlm. 124-126.
                [25] Ibid, hlm. 129.
                [26] Ulfat Samad, The Great Religions of The World, (Lahore : Peshawar, 1976), hlm. 35-37.
                [27] Ahmad Salaby, Agama-agama Besar di India, (Jakarta: Bumi Aksara,1998), hlm. 136.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makna Tahlilan

  PROSESI DAN MAKNA TAHLILAN DI DESA KLORON PLERET BANTUL SETIONO    A.    Latar Belakang Tahlilan sangat erat sekali kaitannya de...