MISTISISME dalam AGAMA BUDHA (BUDHISME)
Oleh: SETIONO
A.
Latar Belakang
Masalah
Manusia
adalah makhluk yang super kompleks. Selain menjadi subjek kajian, ia juga dapat
dijadikan objek kajian. Sebagai objek kajian, manusia dapat dikaji dari
berbagai sudut pandang, seperti dari sudut pandang biologi, sosiologi,
antropologi, teologi, filfasat, mistisisme dan sebagainya. Dari sudut pandang
mistisisme misalnya, manusia diyakini memiliki pengalaman non-rasional dan
tidak biasa tentang realitas yang mencakup seluruh yang memungkinkan diri
bersatu dengan realitas yang biasanya dianggap sebagai sumber atau dasar
eksistensi semua hal.
Begitu pula dengan agama, di mana agama-agama
memiliki dimensi-dimensi yang bersifat mistik ataupun ritual atau sebuah
pengalaman beragama (religiusitas) dan spiritualitas. Setiap agama pada
dasarnya memiliki konsep ajaran yang mengacu pada kebaikan, bahkan tidak jarang
agama-agama mengajarkan sesuatu yang bersifat mistik atau diluar kesadaran atau
diluar nalar manusia. Kajian
manusia dari sudut pandang mistisisme sangatlah menarik, karena tidak cukup
hanya dengan akal, tetapi juga melibatkan unsur rasa dan pengalaman spiritual
dari masing-masing orang. Sehingga tidaklah dianggap mengherankan apabila para
mistikus berbeda dalam hal mendefinisikan manusia itu sendiri. Mereka
memberikan definisi sesuai dengan pengalaman spiritual yang mereka rasakan. Mistisisme
merupakan salah-satu sisi dan pokok bahasan dalam psikologi agama. Mistisisme
dijumpai dalam semua agama, baik agama teistik (Islam, Kristen dan Yahudi)
maupun nonteistik (misalnya penganut agama budha).[1]
Pada dasarnya setiap agama memiliki ajaran yang bersifat
spiritual atau mistik, bahkan dalam agama Budha saja ada konsep Nibbana atau
Nirvana, Arahat, Bodhisatva, Triratna, dukha, marga dan sebagainya. Berbicara
menganai mistisisme dalam agama Budha, maka ada beberapa aliran agama Budha
yakni Hinayana, Mahayana dan Vajrayana (sekte Mahayana). Dari ketiga hal
tersebut, bahwa dalam membahas mengenai tentang mistisisme Budha, maka sesuai
dengan masing-masing aliran ataupun secara universal tentang mistisisme dalam
agama Budha.
Agama
Budha lahir dan berkembang sekitar 6 abad sebelum Masehi. Sebagai reaksi
terhadap sistem upacara agama Hindu yang terlampau kaku. Dari latar belakang
munculnya, agama Budha mempunyai kaitan erat dengan agama Hindu. Sebagai agama,
ajaran Budha tidak bertolak dari Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam dan seluruh
isinya. Agama ini bertolak dari keadaan yang nyata, terutama tentang tata
susila yang harus dilaksanakan oleh manusia agar ia terbebas oleh lingkaran dukha
yang selalu mengikuti hidupnya. Pada mulanya ajaran ini bukan merupakan agama
tetapi hanya suatu ajaran untuk melepaskan diri dari sangsara (samsara) dengan
tenaga sendiri, sebagaimana dilakukan sang Budha. Tetapi ajaran ini kemudian
berubah manjadi agama yang banyak penganutnya dan mempengaruhi daya pikir
banyak orang.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Mistisisme itu?
2. Bagaimana mistisisme dalam agama
Budha?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Mistisisme
Istilah “mistisisme” telah menjadi
salah satu isu kontroversial dalam kajian modern tentang mistisisme sejak awal
kemunculannya di paruh kedua abad ke-19 Masehi. Beberapa penulis menggunakan
istilah tersebut dengan merujuk pada subjek yang berlainan. Mistisime itu
sendiri berasal dari akar kata mistisisme adalah “mistik”. Kata mistik itu
sendiri berasal dari bahasa Yunani mystikos
yang artinya rahasia (geheim), serba
rahasia (geheimzinnig), tersembunyi (verborgen), gelap (donker) atau terselubung dalam kekelaman (in het duister gehuld). Dalam
kamus bahasa indonesia, mistis di artikan sebagai hal-hal yang gaib yang tidak
terjangkau oleh akal manusia, tetapi ada dan nyata.[2] Berdasarkan
arti ini, mistik sebagai sebuah paham yaitu paham mistik atau mistisisme
merupakan “Paham yang memberikan ajaran yang serba mistis (misal ajarannya
berbentuk rahasia atau ajarannya serba rahasia, tersembunyi, gelap atau
terselubung dalam kekelaman) sehingga hanya dikenal, diketahui atau dipahami
oleh orang-orang tertentu saja, terutama sekali penganutnya.”[3]
Mistisisme secara harfiah berarti
pengalaman batin, yang tidak terlukiskan, khususnya yang memiliki ciri
religius. Dalam arti paling luas, ia dimengerti sebagai jenis apa pun dari
kesatuan mendalam dengan Allah. Dan dalam arti sempit, ia berarti kesatuan luar
biasa dengan Allah. Mistisisme selaku pengalaman hendaknya dibedakan dari
mistisisme sebagai ilmu tentang pengalaman mistik. Sementara dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, mistisisme diartikan sebagai ajaran yang menyatakan bahwa ada
hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal manusia. Kemudian dalam pengertian
lain, mistisisme juga dapat diartikan sebagai keyakinan bahwa kebenaran
terakhir tentang kenyataan tidak dapat diperolehnya melalui pengalaman biasa,
pun pula tidak melalui intelek (akalbudi), tetapi hanya melalui pengalaman
mistik atau melalui suatu intuisi mistik yang nonrasional. Hakikat realitas tak
dapat diungkapkan dan tidak dialami melalui pengalaman dan pemikiran biasa.[4].
Umumnya, mistisisme dapat dimengerti
sebagai suatu pendekatan spiritual dan non-diskursif kepada persekutuan jiwa
dengan Allah, atau dengan apa saja yang dipandang sebagai realitas sentral alam
raya. Jika realitas ini dipandang sebagai Allah yang transenden, satu cara khas
ialah kebatinan, jauh dari dunia, menuju persekutuan dengan Sang Satu yang
transenden. Tetapi mistisisme kebatinan (introversif)
bukan satu-satunya tipe. Ada juga mistisisme ekstraversif (ke luar), di mana
subjek merasakan kesatuannya dengan alam semesta, dengan semua yang ada. Ini
sering diiringi, entah sebagai sebab atau akibat, identifikasi panteistik Allah
dengan semua yang ada. Akhirnya, terdapat penggunaan teknik-teknik meditatif,
bernada mistis, untuk mencapai keadaan pencerahan, terlepas dari konsep mana
pun tentang yang Ilahi. Masing-masing pendekatan ini sudah dikembangkan baik di
Barat maupun di Timur.
Dalam ilmu Psikologi, bahwa kata
mistisisme berasal dari bahasa Yunani Meyein,
yang artinya “menutup mata”. Kata mistik biasanya digunakan untuk menunjukkan
hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan tentang misteri. Dalam arti luas,
mistik dapat didefinisikan sebagai kesadaran terhadap kenyataan tunggal, yang
mungkin disebut kearifan, cahaya, cinta atau nihil.[5] Menurut
Prof. Harun Nasution dalam tulisan Orientalis Barat, mistisisme yang dalam Islam
adalah tasawuf disebut sufisme, sebutan ini tidak dikenal dalam agama-agama
lain, melainkan khusus untuk sebutan mistisisme Islam. Sebagaimana halnya
mistisisme, tasawuf atau sufisme mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung
dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada
dihadirat Tuhan.[6]
Menurut Inge menganggap inti terdalam dari mistisisme adalah “kesadaran akan
realitas Yang Melampaui, Yang Maha” (“consciousness
of the beyond”) yang tampak sebagai suatu prinsip aktif yang independen.
Meski demikian, Inge meyakini mistisisme telah membangun suatu “sistem
spekulasi dan praksis”nya sendiri yang berada di luar inti mistisisme itu
sendiri. Hal dikarenakan setiap prinsip aktif seyogyanya menemukan instrumennya
sendiri yang layak. Dalam pengertian ini, mistisisme dapat dipandang sebagai
suatu model atau bentuk agama.[7]
Dia pun berasumsi bahwa “kehidupan yang memadu (unitive) atau kontemplatif yang mewadahi persaksian langsung antara
manusia dan Tuhan, serta melebur dengan-Nya” merupakan langkah akhir yang menjadi
tujuan jalan mistis.[8]
Rufus M. Jones menyatakan, bahwa
mistisisme mencakup “(1) pengalaman yang dirasakan dari perjumpaan langsung
dengan Ilahi dan (2) doktrin teologiko-metaisis mengenai penyatuan yang mungkin
terjadi antara jiwa dengan Realitas Absolut, Tuhan.” Dia yakin hal tersebut
dapat mendorong pada kejelasan untuk membatasi penguanan istilah “mistisisme”
pada signiikansi belakangan yaitu “doktrin hitoris tentang hubungan dan
penyatuan yang bersifat potensial antara jiwa antara jiwa manusia dengan
Realitas Tertinggi,” serta pada penggunaan istilah “pengalaman mistis” sebagai
perjumpaan langsung dengan Tuhan.[9]
Sembari membedakan antara istilah dalam bahasa Jerman Mystizizmus dan Mystik,
jones menganggap “mistisisme” sepadan dengan istilah yang terakhir, Mystik.[10]
Secara
terminologi para tokoh antropolog atau sosiolog mengartikan mistik sebagai
subsistem yang ada pada hampir semua sistem religi untuk memenuhi hasrat
manusia mengalami dan merasakan bersatu dengan tuhan.[11]
Lebih lanjut William James dalam bukunya “Perjumpaan dengan Tuhan”
mengungkapkan bahwasannya kata-kata mistis hanya sebagai istilah untuk
menjatuhkan pendapat apa saja yang dipandang kabur, sentimental, dan longgar,
serta tidak memiliki landasan, baik dari segi fakta maupun logika.[12]
Menurut Prof. Harun Nasution dalam tulisan Orientalis Barat, mistisisme orang Islam
adalah disebut tasawuf (sufisme), sebutan ini tidak dikenal dalam agama-agama
lain, melainkan khusus untuk sebutan mistisisme Islam.[13]
Sebagaimana halnya mistisisme, tasawuf atau sufisme mempunyai tujuan memperoleh
hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang
berada dihadirat Tuhan.[14]
Pengalaman
mistis adalah suatu kejadian yang dialami seseorang, baik orang tersebut dalam
kondisi sadar atau tidak. Pengalaman mistis berbeda dengan pengalaman yang
lain. Pengalaman mistis berhubungan dengan sesuatu yang sifatnya non-materi
atau eksistensi non-materi. Pengalaman mistis sangat dekat sekali hubungannya
dengan agama; misalnya pengalaman mistis merasakan hadirnya Tuhan, surga, atau
merasakan menyatunya Tuhan dalam diri seseorang, melihat malaikat atau
berbicara dengannya. William James dalam bukunya perjumpaan dengan tuhan
mengatakan bahwasannya ada empat karakter pengalaman keagamaan :
·
Tidak bisa di
ungkapkan
Orang
yang mengalami pengalaman mistik mengatakan bahwa pengalaman itu tidak bisa
diungkapkan; bahasa atau kata-kata tidak bisa mewakili apa yang pernah dialami
kecuali mengalami sendiri. Dalam keadaan mistik, seseorang lebih menggunakan
perasaan ketimbang akalnya.
·
Kualitas
noetik
Meskipun
lebih menggunakan perasaan, bagi orang yang mengalaminya situasi mistik itu
juga adalah situasi pengetahuan. Dalam situasi ini, orang mendapatkan wawasan
tentang kedalaman kebenaran yang tidak bisa digali melalui intelek yang
bersifat diskursif. Semua ini merupakan peristiwa pencerahan dan pewahyuan yang
penuh dengan makna dan arti, tetapi tidak bisa di ungkapkan lewat kata-kata
meskipun tetap dirasakan. Umumnya pengalaman ini juga membawa perasaan tentang
adanya otoritas yang melampaui waktu.
·
Situasi
transien
Keadaan
mistik tidak bisa dipertahankan dalam waktu yang cukup lama. Kecuali pada
kesempatan-kesempatan yang jarang terjadi, batas-batas yang bisa dialami
seseorang sebelum kemudian pulih keadaan biasa adalah sekitar setengah jam,
atau paling lama satu atau dua jam. Sering kali saat mulai melemah, kualitas
situasi ini bisa diproduksi di dalam ingatan meskipun tidak terlalu sempurna.
Akan tetapi, saat ia dating kembali akan dapat dikenali dengan mudah. Kemudian,
dari berulangnya peristiwa-peristiwa ini, mudah sekali dimengerti adanya
perkembangan yang kontinu pada suasana batin yang dirasakan kaya dan penting.
·
Kepasifan
Datangnya
situasi mistik bisa dikondisikan oleh beberapa tindakan pendahuluan yang
dilakukan secara sengaja, seperti melakukan pemusatan pikiran, gerakan tubuh
tertentu, atau menggunakan cara-cara yang diuraikan dalam perbagai buku panduan
mistisme. Meskipun demikian, saat kesadaran mistiknya muncul, sang mistikus
merasa bahwa untuk sementara hasratnya menghilang, dan ia merasa direngkuh dan
dikuasai oleh suatu kekuatan yang lebih tinggi.[15]
Sehingga dapat diapahami bahwa
mistisisme merupakan suatu kepercayaan atau pengalaman yang tidak dapat
dijangkau dengan akal. Namun, mistisisme merupakan pengalaman spiritual yang luar
biasa dan tidak biasa serta diluar diri kita. Dengan demikian dapat dipahami,
bahwa mistisisme merupakan ajaran yang menyatakan adanya hal-hal yang tidak
terjangkau oleh akal manusia. Mistisisme juga dapat dipahami sebagai keyakinan
tentang kebenaran puncak tertinggi tentang kenyataan (realitas tertinggi) yang
tidak dapat diperolehnya melalui pengalaman biasa, juga tidak melalui akal
budi, tetapi hanya melalui pengalaman mistik atau melalui suatu intuisi mistik
yang non-rasional.
B.
Mistisime
Budhisme
Ajaran agama Budha
yang paling pokok terdapat dalam Triratna yang bermakna tiga permata adalah tiga buah pengakuan dari
setiap penganut agama Buddha, seperti halnya dengan credo di dalam agama
Kristen atau syahadat di dalam agama Islam. Tiga Pengakuan (Triratna) di
dalam agama Buddha itu berbunyi:
(1). Buddham saranam gacchami (Saya
berlindung di dalam Buddha)
(2). Dhamman saranam gacchami (Saya
berlindung di dalam Dhamma)
(3). Sangham saranam dacchami (Saya
berlindung di dalam Sangha)[16]
Secara
garis besar ajaran agama Buddha dapat dirangkum dalam tiga ajaran pokok, yaitu Buddha,
Dharma, dan Sangha. Ajaran tentang Buddha menekankan pada
bagaimana umat Buddha memandang sang Buddha Gautama sebagai pendiri agama
Buddha dan asas rohani yang dapat dicapai oleh setiap makhluk hidup. Pada
perkembangan selanjutnya ajaran tentang Buddha ini berkaitan dengan masalah
ketuhanan yang menjadi salah satu ciri ajaran semua agama.
Ajaran
tentang dharma banyak membicarakan tentang masalah-masalah yang dihadapi
manusia dalam hidupnya, baik yang berkaitan dengan ciri manusia sendiri maupun
hubungannya dengan apa yang disebut Tuhan dan alam semesta dengan segala isinya.
Ajaran tentang Sangha selain mengajarkan bagaimana umat Buddha memandang
sangha sebagai pasamuan para bhikkhu, juga berkaitan dengan umat Buddha
yang menjadi tempat para Bhikkhu menjalankan dharmanya, juga dengan pertumbuhan
dan perkembangan agama Buddha, baik di tempat kelahirannya di India maupun di
tempat-tempat agama tersebut berkembang.
Buddha
di dalam triratna itu dimaksudkan: Buddha Gautama, Dhamma disitu
dimaksudkan: pokok-pokok ajaran. Sangha disitu dimaksudkan: biara.
Ketiga-tiganya itu dinyatakan azas perlindungan bagi setiap penganut agama
Buddha, yakni azas keyakinan yang dianut mazhab Theravada maupun mazhab
Mahayana.[17]
Isi
dalam Dharma Budha ialah doktrin atau pokok ajaran, inti ajaran agama Buddha
dirumuskan dalam empat kebenaran yang mulia atau empat aryasatyani
yang terdiri dari empat kata yaitu: Dukha, Samudaya, nirodha dan Marga.[18]
Empat
Kebenaran Utama (Catur Arya Satyani) :
- Ada itu suatu derita (Dukkha)
- Derita itu disebabkan Hasrat (Samudaya)
- Hasrat itu mestilah ditiadakan (nirodha)
- Peniadaan itu dengan delapan jalan (Marga)
Dukha
ialah penderitaan. Hidup adalah menderita. Kelahiran adalah penderitaan, umur
tua adalah penderitaan, sakit adalah penderitan, mati adalah penderitaa,
disatukan dengan yang tidak dikasihi adalah penderitaan, tidak tercapai apa
yang diinginkan adalah penderitaan. Singkatnya kelima pelekatan kepada dunia
ini adalah penderitaan.
Samudaya
adalah sebab. Penderitaan ada sebabnya. Yang menyebabkan orang dilahirka
kembali adalah keinginan kepada hidup, dengan disetai nafsu yang mencari
kepuasan di sana-sini, yaitu kehausan pada kesenangan, kehausan kepada yang
ada, kehausan pada kekuasaan.
Nirodha
adalah pemadaman. Pemadaman kesengsaraan terjadi dengan penghapusan keinginan
secara sempurna, dengan pembuangan keinginan itu, dengan penyangkalan
terhadapnya, dengan pemisahannyadari dirinya dan dengan tidak memberi tempat
kepadanya.
Marga
ialah jalan kelepasan, jalan yang menuju kepada pemadaman penderitaan ada
delapan, yaitu delapan jalan kebajikan:[19]
- Pengetian yang benar (samma-ditthi)
- Berpikir yang benar (samma-sankappa)
- Bicara yang benar (samma-vacca)
- Berbuat yang benar (samma-kammarta)
- Kerja yang benar (samma- ajiva)
- Usaha yang benar (samma- vayama)
- Perhatian yang benar (samma-sati)
- Samadhi atau Konsentrasi yang benar ( samma-samadhi)
Pokok ajaran Buddha Gautama yang utama ialah, bahwa hidup
adalah menderita. Seandainya di dalam dunia tidak ada penderitaan, Buddha tidak
akan menjelma di dunia. Orang dilahirkan menjadi tua dan mati, tiada hidup yang
tetap. Sedang manusia hidup ia menderita sakit, dan semua itu adalah penderitaan.
Untuk menerangkan hal ini diajarkan Pratitya Samutpada, artinya pokok
permulaan yang bergantungan. Seluruhnya diajarkan adanya 12 pokok permulaan,
yang jelas kehausan atau keinginan yang menyebabkan adanya penderitaan pada
hakikatnya disebabkan oleh ketidaktahuan atau awidya.
Pengikut
agama Budha dibagi menjadi dua bagian, yaitu para Bhiksu atau para rahib dan
para kaum awam. Kelompok pertama terdiri dari Bikkhu, Bikkhuni, Samanera,
dan Samaneri. Kelompok masyarakat awam terdiri dari upasaka dan upasaki yang
telah menyatakan diri berlindung kepada Buddha, Dharma, dan Sangha serta
melaksanakan prinsip-prinsip moral bagi umat awam dan hdup berumah tangga.
Sangha
adalah persamuan dari makhluk-makhluk suci yang disebut ‘Arya Punggala’ yaitu
mereka yang sudah mencapai buah kehidupan beragama yang ditandai dengan
kesatuan pandangan yang bersih dengan sila yang sempurna atau kita kenal dengan
mistik atau spiritual dalam agama Budha. Tingkat kesucian yang mereka capai itu
mulai dari tingkat ‘sotapatti’, ‘sakadagami’, ‘anagami’, sampai tingkat ‘arahat’.
Tetapi setelah agama Buddha Mahayana berkembang maka barang siapa bertujuan
untuk memperoleh kedudukan Bodhisatva, tak perduli apa ia orang awam, atau alim
ulama, semua bergabung bersama-sama dalam suatu persaudaraan.[20]
Tingkat
Sotapati adalah tingkat kesucian pertama, dimana mereka masih menjelma tujuh
kali lagi sebelum mencapai nirvana.
Pada tingakatan ini seorang Satopati masih harus mematahkan belenggu
kemayaan aku, keragu-raguan, ketakhayulan sebelum dapat meningkat ke
Sakadagemi. Pada tingkat Sakadagemi ia harus menjelma sekali lagi sebelum
mencapai nirvana. Ia harus dapat membangkitkan kundalini sebelum naik ke
tingkat anagami. Setelah mencapai tingkat anagami, ia tidak perlu menjelma lagi
untuk mencapai nirvana namun harus mematahkan beberapa belenggu sebelum
mencapai tingkat terakhir, yaitu arahat. Belenggu tersebut adalah kecintaan
yang indrawi dan kemarahan atau kebencian. Setelah berhasil mematahkan belenggu
tersebut ia kemudian naik ke tingkat arahat dan dapat langsung mencapai nirvana
di dunia maupun sesudah meninggalnya. Pada tingkatan ini ia harus mematahkan
belenggu keinginan untuk hidup dalam bentuk (ruparaga), keinginan untuk hidup tanpa bentuk (arupara), kecongkakan (mano),
kegoncangan batin (udacca) dan
kekurangan kebijaksanaan.[21]
Pengikut
Buddha yang kedua adalah kaum awam, ialah yang mengakui Buddha sebagai pemimpin
keagamaannya dan tetap hidup di dalam masyarakat dengan berkeluarga. Pada
hakekatnya para kaum awam tidak dapat mencapai nirwana. Sekalipun demikian kedudukan
mereka adalah sangat penting, mereka sudah bverada pada awal jalan yang menuju
kepada kelepasan.
Mistisisme
Buddha juga memiliki tujuan, yakni cita-cita tertinggi bagi Mahayana
untuk mencapai Nibbana ialah
menjalani peranan Boddhisatva.
Sedangkan pada cita-cita bagi Hinayana yaitu bagaimana setiap orang menjadi Arahat. Kalau seorang Arahat hanya
memikirkan kelepasan dirinya sendiri, maka Boddhisatva memikirkan
kelepasan orang lain yakni bersama-sama orang banyak mencapai Nibbana yang
sempurna.[22] Dalam
Buddha terikat dengan hukum Kamma bagaimana
seseorang tersebut terlepas sepenuhnya dari hukum Kamma, karena Kamma adalah
salah satu penghalang bagi ummat Buddha untuk mencapai Nibbana.[23]
Sedangkan dalam Islam tidak mengenal yang namanya hukum kamma sehingga tidak
perlu mati hidup lagi-mati hidup lagi untuk dapat bisa bertemu atau menyatu
dengan Tuhan. Kesadaran diri akan peran dan fungsi manusia di muka bumi ini
diiringi dengan kesucian hati itu sudah cukup karena kesucian hati akan
menyebabkan terbukanya tabir penghalang antaran diri seseorang dengan Tuhan.
Ketika
berbicara tentang mistisisme dalam Budha, justru yang lebih banyak aspek
mistiknya adalah Vajrayana yang dikenal luas oleh dunia Barat sebagi aliran
esoterik (ajaran rahasia, tersembunyi, mistik). Sedangkan mazhab-mazhab lainnya
dalam agama Buddha disebut eksoterik (sesuatu yang kelihatan). Menurut umat
Buddha mazhab Vajrayana ini, sesungguhnya Sang Hyang Buddha membabarkan Dharma
selama-lamanya. Akan tetapi bagi umat awan tidak dapat mendengar dan mengerti
dengan baik. Sehingga tanpa Adhisthana (perantara dan bimbingan), sukarlah bagi
umat awan untuk mengerti badan, perkataan dan pikiran Hyang/Sang Buddha.
Perantara tersebut bukanlah berasal dari sipelaku itu sendiri, akan tetapi
berasal dari bimbingan dan Kekuatan Buddha.[24]
Vajrayana
atau Tantra juga dikenal sebagai aliran mistis. Kemistisannya itu nampak dalam
praktek meditasi Tantra dalam empat hal yang tidak dapat ditinggalkan yaitu;
mudra, dharani, mantra, dan mandala. Mantra merupakan kalimat pendek yang
merupakan ringkasan dari dharani. Mantra juga merupakan sumber
kekuatan-kekuatan itu sendiri yang mempengaruhi manusia dan alam dengan kuat.
Mantra itu bukan magi tetapi suatu pembudayaan diri, pengembangan mental
(bhavana), tranformasi kesadaran, membantu manusia bebas dari keduaniawian dan
bersatu dengan objek pemujaan. Sedangkan, sebuah lingkaran seperti diagram
psikosmos yang didalamnya intisari kitab tantra digambarkan dengan
aksara-aksara atau simbol-simbol visual.[25]
Dengan demikian, bahwa mistisisme dalam Budha pada dasarnya terletak pada bahwa
hidup adalah penderitaan, maka dengannya penederitaan itu harus dipadamkan dan
dilenyapkan agar mencapai puncak Arahat atau
Bodhisattva hingga mencapai kepada Nirvana.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa mistisisme merupakan sebuah semangat spiritual dan keyakinan
akan jiwa yang mampu bertemu dengan Tuhan dan sesuatu pengalaman agama yang
tidak dapat dipahami secara rasional. Mistisisme
mencakup pengalaman yang dirasakan dari perjumpaan langsung dengan Ilahi dan
doktrin teologikometaisis mengenai penyatuan yang mungkin terjadi antara jiwa
dengan Realitas Absolut, Tuhan.
Mistisisme
dalam agama Budha lebih pada
menekankan pelepasan hidup dari penderitaan agar tidak terpikat dalam kamma, sehingga ajaran Budha lebih
tentang moral dan mencapai derajat kesucian tertinggi. Mistisisme dalam agama
Budha lebih dikenal dengan hidup adalah penderitaan, maka dengannya penderitaan
harus dilepaskan dan dilenyapkan hingga sampai pada arahat ataupun bodhisattva,
sehingga manusia mampu mencapai nirvana.
Bahkan, tingkat kesucian yang mereka capai itu mulai dari tingkat ‘sotapatti’, ‘sakadagami’, ‘anagami’,
sampai tingkat ‘arahat’. Tetapi
setelah agama Buddha Mahayana berkembang maka barang siapa bertujuan untuk
memperoleh kedudukan Bodhisatva, tak
perduli apa ia orang awam, atau alim ulama, semua bergabung bersama-sama dalam
suatu persaudaraan.[26]
Pada dasarnya setiap agama memiliki
ajaran yang bersifat spiritual dan mistis yang diyakini oleh penganutnya.
Sehingga memang agama selalu mengajarkan kepada penganutnya dalam keselamatan
dan kedamaian sesuai dengan ajaran agamanya yang dianutnya. Begitu pula setiap
manusia beragam pada dasarnya pasti memiliki pengalaman mistis yang
berbeda-beda. Sehingga tidak heran jika setiap agama memiliki unsur-unsur
mistisisme, seperti halnya agama Budha.
Mistisisme Buddha juga memiliki
tujuan, yakni cita-cita tertinggi bagi Mahayana untuk mencapai Nibbana ialah menjalani peranan Boddhisatva. Sedangkan pada cita-cita
bagi Hinayana yaitu bagaimana setiap orang menjadi Arahat. Kalau seorang Arahat hanya memikirkan kelepasan dirinya
sendiri, maka Boddhisatva memikirkan kelepasan orang lain yakni
bersama-sama orang banyak mencapai Nibbana yang sempurna.[27]
Dalam Buddha terikat dengan hukum Kamma bagaimana
seseorang tersebut terlepas sepenuhnya dari hukum Kamma, karena Kamma adalah salah satu penghalang bagi
ummat Buddha untuk mencapai Nibbana atau Nirvana.
DAFTAR PUSTAKA
Salaby, Ahmad. 1998. Agama-agama Besar di India. Jakarta : Bumi Aksara.
Samad, Ulfat. 1976. The Great Religions of The World. Lahore : Peshawar.
Suwarto, T. 1995. Budha Darma Mahayana. Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia.
Thomas, E.J. 1950. The
Road to Nirvana- A Selection of the Buddhist Scripture in Pali. terj. Wisdom of the
East Series, London.
Keene, Michael. 2006. Agama-Agama Dunia. Yogyakarta : KANISIUS.
Sou’yb, Joesoef. 1996. Agama-agama
besar di Dunia. Jakarta : Husna
Zikra.
Djam’anuri.
2000. Agama Kita : Perspektif Sejarah
Agama-Agama. Yogyakarta : Kurnia
Kalam Semesta.
Jirhanuddin.2010.
Perbandingan Agama : Pengantar Studi
Memahami Agama- Agama. Yogyakarta
: Putaka Pelajar.
Arifin,
M. 1998. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama
Besar. Jakarta : Golden Terayon Press.
Suyono,
R.P. 2007. Dunia Mistik Orang Jawa. Yogyakarta
: LKiS.
James,
William. 2004. The Varieties of Religious
Experience, di Terjemahkan oleh Gunawan
Admiranto, Perjumpaan Dengan Tuhan, Bandung
: Mizan.
Nasution, Harun. 2008. Falsafat dan Mistisisme dalam
Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Jones, Rufus M. 1924. “Mysticism,” Encyclopædia of Religion and Ethics. diedit oleh
James Hastings, New York:
Scribner´s, vol. IX.
Jalauddin dan Ramayulis.1993. Pengantar Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Kalam Mulia, cet. ke-2.
Bagus,
Lorens. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Syamsul
Arifin, Bambang. 2008. Psikologi Agama.
Bandung: Pustaka Setia, cet I.
[7]
Di
antara kajian mistisisme modern, beberapa peneliti meyakini Christian
Mysticism karya Inge memunculkan tumbuhnya kembali minat masyarakat Ingris
pada mistisisme Kristen (Crook, Paul, “W. R. Inge and Cultural Crisis,
1899—1920,” dalam Journal of Religious History, (Oxford: Blackwell, vol.
16, 1977), hlm, 5-6.
[9]
Rufus
M. Jones, “Mysticism,” Encyclopædia of Religion and Ethics, diedit oleh
James Hastings, (New York: Scribner´s, vol. IX, 1924), hlm. 83. Dia menjelaskan
bahwa dalam arti yang sempit ini, mengimplikasikan konsepsi metaisis tertentu tentang
Tuhan dan jiwa serta suatu “langkah mistis” (mystical way) untuk
mencapai suatu kesatuan dengan sang Absolut, hlm. 84.
[10]
Mystizismus,
ditulisnya, berarti pemujaan terhadap sesuatu yang supernatural, pengejaran
kekuatan kebatinan, dan eksploitasi spiritualistis bagi penelitian atas entitas
isik, sementara Mystik bermakna pengalaman atas perjumpaan dan relasi
tuhan-manusia yang berlangsung secara langsung. (hlm. 83).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar