Rabu, 23 Maret 2016

Kekuatan Simbol



Daya Kekuatan Simbol
Oleh: SETIONO
 
            Banyak hal yang tidak terbaca atau belum kita ketahui di dunia ini, karena selalu ada sesuatu yang tidak bisa terungkap secara langsung. Oleh karena itu, simbol merupakan cara paling tepat untuk membahasakan sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan mudah. Sebenarnya, apa itu simbol? Memang tidak mudah dalam memahami hal ini, tetapi kita harus mempelajarinya agar mampu membedakan mana simbol, tanda, maupun lambang. Terkadang nyaris sama, sehingga dalam hal ini dibutuhkan untuk memahaminya dan mempelajarinya dengan baik. Apalagi dalam kehidupan sosial, mengenai simbol, tanda, lambang, ataupun hal lainnya itu menjadikan hal penting, terutama dalam hal pendidikan.
            Kalau dapat dipahami, bahwa simbol merupakan alat yang kuat untuk memperluas penglihatan kita, merangsang daya imajinasi kita, dan memperdalam pemahaman kita. Kalau lebih spesifiknya, simbol merupakan sebuah objek yang berfungsi sebagai sarana untuk mempresentasikan sesuatu hal yang bersifat abstrak, misalnya burung merpati sebagai simbol kedamaian. Jadi, sebuah simbol dapat dipandang sebagai berikut. Yang pertama, Sebuah kata atau barang atau objek atau tindakan atau peristiwa atau pola atau pribadi atau hal yang konkret. Kedua, sebagai yang mewakili atau menggambarkan atau mengisyaratkan atau menandakan atau menyelubungi atau menyampaikan atau menggugah atau mengungkapkan atau mengingatkan atau merujuk kepada atau berdiri menggantikan atau mencorakkan atau menunjukkan atau berhubungan dengan atau bersesuaian dengan atau menerangi atau mengacu kepada atau mengambil bagian dalam atau menggelar kembali atau berkaitan dengan. Dan yang ketiga, sesuatu yang lebih besar atau transenden atau tertinggi atau terakhir sebuah makna, realitas, suatu cita-cita, nilai, prestasi, kepercayaan, masyarakat, konsep, lembaga, dan suatu keadaan.
            Pola ini menyingkapkan bahwa yang pertama lebih dapat dilihat, lebih dapat didengar, lebih dapat diraba, lebih dekat, lebih konkret daripada yang ketiga. Fungsi simbol, menurut definisi-definisi ini, ialah untuk menjembatani jurang antara dunia yang pertama dan dunia yang ketiga, dan hal ini teramat penting demi berfungsinya hidup masyarakat khusus mana pun dengan semestinya. Sedangkan menurut F.W Dillistone, Simbol merupakan gambaran dari suatu objek nyata atau khayal yang menggugah perasaan atau digugah oleh perasaan. Perasaan-perasaan berhubungan dengan objek, satu sama lain, dan dengan subjek. Sebab, simbol-simbol berkaitan erat dengan kohesi sosial dan transformasi sosial.
            Bahkan setiap simbol mempunyai sifat mengacu kepada apa yang tertinggi atau ideal. Simbol mempersatukan atau menggabungkan suatu segi pengalaman manusia yang sudah dikenal baik dengan apa yang mengatasi pengalaman itu maupun pengungkapannya. Jadi, Simbol adalah kata, tanda, atau isyarat, yang digunakan untuk mewakili sesuatu yang lain seperti arti, kualitas, abstraksi, gagasan, dan objek.

Selasa, 22 Maret 2016

Etnosains dan Etnometodologi

Etnosains dan Etnometodologi

            Tulisan ini diawali dengan pernyataan yang tegas dari penulis bahwa etnosains (ethnoscience), dan etnometodologi (ethnomethodology) yang muncul dalam kajian-kajian sosiologi adalah dua aliran yang masih relatif baru dalam ilmu-ilmu sosial, namun penulis juga menggarisbawahi bahwa dasar dari pendekatan ini tidaklah tergolong baru.
            Sebelum memaparkan lebih dalam dengan dua pendekatan ini, Prof. Heddi (yang selanjutnya saya sebut penulis) mencoba menjelaskan secara singkat persamaan dan perbedaan kedua aliran baru ini. Mengutip pendapat Cuff and Payne (1980:3), penulis mencoba menjelaskan bahwa suatu cabang ilmu pengetahuan dapat dibedakan dengan cabang ilmu lainnya melalui asumsi-asumsi dasar mengenai objek yang diteliti, masalah-masalah yang ingin dipecahkan, konsep-konsep, metode-metode serta teori yang dihasilkan. Menurut penulis, perbandingan yang ideal adalah membandingkan kelima hal tersebut. Namun sayang, penulis tidak membahas kelima hal tersebut dengan alasan yang sangat klasik, ”tidak memiliki ruang yang memungkinkan”, walaupun begitu, artikel ini tidaklah tepat dikatakan tidak penting, karena penulis mencoba membahasnya dengan sudut pandang lain yang bisa mewakili kelima hal tersebut di atas.
            Secara umum artikel yang ditulis dengan sangat padat ini, berisi empat hal pokok sebagaimana dikatakan penulis di awal-awal tulisan. Pertama, penulis mengulas tentang asal-usul, asumsi dasar, dan konsep-konsep pendekatan etnosains dalam antropologi dan etnometodologi dalam sosiologi. Kedua, penulis melakukan perbandingan terhadap kedua pendekatan ini yang ditunjukkan melalui persamaan dan perbedaannya. Ketiga, menunjukkan berbagai kritik yang ditujukan pada pendekatan etnosains. Keempat, penulis dengan cermat mengemukakan gagasannya sendiri tentang pendekatan etnosains dan relevansinya dalam pembangunan Indonesia saat ini. Jika diringkas, maka artikel ini terdiri dari beberapa bagian yaitu etnosains, etnometodologi, data dan analisis, dan perbandingan dibagian akhir artikel.

Etnosains dan Etnometodologi

            Mengutip pendapat Warner dan Fenton (1970:537), penulis menjelaskan kata ethnoscience berasal dari bahasa Yunani, ethnos yaitu bangsa. Sedangkan kata scientio berasal dari bahasa lain yang bearti pengatahun. Dengan demikian penulis mengambil kesimpulan ethnoscience adalah pengetahuan yang ada atau dimiliki suatu bangsa atau lebih tepat suatu suku bangsa tertentu atau subkultur tertentu. Hal ini sesuai dengan tujuan antropologi sendiri yaitu mendapatkan pengetahuan yang dimiliki oleh suatu suku bangsa tertentu. Jadi sebenarnya lebih tepat dikatakan bahwa ethnoscience adalah “system of knowledge and cognition typical of given culture” (Sturtevant, 1964:99-100). Penulis menjelaskan bahwa penekanannya di sini adalah pada sistem pengetahuan, yang merupakan pengetahuan yang khas dari suatu masyarakat, dan berbeda dengan sistem pengetahuan masyarakat yang lain.
            Istilah lain etnosains adalah The News Ethnography. Dalam memberikan depenisi tentang The News Ethnography, penulis mengutip pendapat Brukman yang dijelaskan bahwa penekanan Brukman terletak pada prosedur-prosedur yang memberikan pernyataan-pernyataan yang replicable dan valid, jadi porsedur pelukisan suatu kebudayaan yang dapat ditiru serta sahih.
            Pada bentuknya yang mula-mula, peneliti awal antropologi yang terkenal adalah W.H.R. Rivers dari Inggris dan Franz Boas dari Amerika. Pada tahap ini, metode wawancaranya secara khas disebut dengan istilah “genealogical method”. Teknik etnografinya yang utama adalah wawancara yang panjang, berkali-kali, dengan beberapa informan kunci. Tipe penelitiannya lebih bertujuan mendapatkan gambaran masa lalu suatu kelompok masyarakat (Spradley 2006:x).
            Selain The News Ethnography, penulis juga menjelaskan pandangan para ahli antropologi lainnya yang menyebut etnosains sebagai Cognitive Antropology, Descriptive Semantics (Goodenough, 1964b:12), dan Ethnographic Semantics (Sparadley, 1979:7). Cognitive Antropology merupakan data data kognitif (mental codes), sedangkan descriptive semantics dan ethnographic semantics dipakai oleh para ahli yang beranggapan bahwa apa yang didiskripsikan dalam etnografi merupakan makna-makna yang hidup dalam masyarakat yang diteliti, atau atas dasar makna yang diberikan oleh orang-orang yang diteliti.
            Menurut penulis, walaupun ahli-ahli antropologi menggunakan istilah yang bermacam-macam namun dalam hal metode penelitian mereka menerapkan prosedur-prosedur yang pada garis besarnya adalah sama, jikapun berbeda maka perbedaan tersebut tidak begitu besar dan merupakan penyesuaian terhadap situasi yang ditemukan di lapangan.
            Berdasarkan implikasi-implikasi yang diuraikan dalam masalah-masalah antropologi, penulis menggolongkan dalam tiga kelompok yaitu kelompok pertama dalam etnosains lebih menekankan pada upaya mengungkap model-model yang digunakan masyarakat untuk mengklasifikasikan lingkungan atau situasi sosial yang dihadapi.pada akhirnya akan mengungkap prinsip-prinsip yang digunakan anggota masyarakat yang menjadi landasan perikaku mereka. Karenanya, peneliti akan terkesan pada beberapa istilah-istilah seperti barang rongsokan, kertas, plastik, koran, karton, dan sebagainya (hlm.118). Melalui suatu wawancara dalam etnosains, lalu diperoleh suatu bentuk kategorisasi-kategorisasi menurut masyarakat yang diteliti. kelompok ini juga menekankan pada pengkajian yang bertujuan untuk mengetahui gejala-gejala materi mana yang dianggap penting oleh warga masyarakat dan bagaimana mereka mengorganisir berbagai gejala tersebut dalam sistem pengetahuan mereka (halaman 108 paragraf 2). 
            Di dalamnya terdapat pengklasifikasian oleh masyarakat sendiri dalam mereka menghadapi lingkungan dan hasil akhirnya adalah peta kognitif. Prinsip-prinsip universal yang dihasilkan dilakukan dengan sistem perbandingan. Kelompok kedua menekankan pada aturan-aturan. Kelompok ini memberikan perhatian lebih pada kategori-kategori yang dipakai dalam interaksi sosial serta hak-hak dan kewajiban. Seperti halnya kelompok pertama, prinsip-prinsip universal juga dihasilkan melalui sistem perbandingan. Kelompok yang ketiga atau yang g terakhir memandang kebudayaan sebagai alat atau sarana yang dipakai untuk “perceiving” dan “dealing with circumstances”. Penekanan peneliti pada kelompok ini adalah pada makna-makna yang hidup dalam suatu masyarakat atau subkultur tertentu, yang juga dilakukan oleh kelompok pertama dan kedua namun tidak diungkapkan secara eksplisit, dan kemudian hasil akhirnya adalah tema-tema budaya. Ada empat cara yang yang menurut Spradley dapat digunakan dalam mendapatkan tema-tema budaya. Pertama, setelah mendapatkan berbagai macam kategorisasi, peneliti membaca kembali data tersebut dan kemudian melihat kaitan antar berbagai macam kategorisasi.
            Kelompok kedua lebih mengarahkan perhatiannya pada rule atau aturan-aturan. Masih tetap menggunakan kategorisasi-kategorisasi seperti pada kelompok pertama, tetapi lebih banyak ditujukan pada kategori-kategori sosial yang dipakai dalam interaksi sosial (hlm.108). Mengikuti Goudenough deskripsi tentang aturan-aturan yang menyangkut berbagai interaksi sosial akan membawa pada pengkajian konsep kedudukan dan peranan. Hubungan sosial menyangkut hubungan antara dua pihak yang dibatasi oleh serangkaian hak dan kewajiban seseorang terhadap orang lain. Metode descriptive semantics dengan menggunakan Guttman Scale digunakan untuk mengetahui distribusi hak dan kewajiban dalam berbagai hubungan sosial dalam masyarakat. Etnografi Goudenough yang diperoleh melalui penelitiannya yang mewawancarai salah satu warga masyarakat Truk, seperti dikutip penulis artikel ini, sangat membantu kita dalam memahami model kategorisasi salah satu warga yang mendiskripsikan masyarakatnya secara luas (hlm.108,120-121).
            Kelompok ini juga memperhatikan dimensi-dimensi kontras dan melihat persamaan yang ada. Ketiga adalah dengan menganalisis secara mendalam sistem kategorisasi mengenai cara-cara atau langkah-langkah yang dijalankan oleh si informan dalam suatu kegiatan tertentu. Dan yang terakhir adalah menggambarkan hubungan-hubungan yang ada antar berbagai bidang tertentu dari kebudayaan yang diteliti. Seperti pada kelompok kedua, kelompok ini juga memperhatikan sistem klasifikasi yang ada di masyarakat menggunakan landasan teori tentang makna. Berbeda dengan kelompok pertama dan kedua, kelompok terakhir ini mencari prinsip-prinsip universal melalui pemahaman secara mendalam atas sesuatu hal.
            Kelompok ketiga menekankan pada makna-makna yang hidup dalam suatu masyarakat atau sub-kultur tertentu, lalu mengusahakan mengungkapkan tema-tema budaya (cultural themes) yang ada di dalamnya. Meski kelompok pertama dan kedua juga mempelajari tentang makna, tetapi pada kelompok ketiga ini cara pengungkapan maknanya lebih eksplisit.
            Etnometodologi, menurut penulis dasar pendekatan ini dimulai dari filsafat fenomenologi transedental Husserl yang memusatkan perhatian pada kesadaran sama seperti fenomenologi eksistensial. Fenomenologi transedental berupaya untuk menggambarkan kesadaran manusia serta bagaimana kesadaran tersebut terbentuk atau muncul dan tidak dipersoalkan apakah kesadaran ini benar atau salah.

            Etnometodologi adalah suatu aliran sosiologi Amerika yang muncul pada tahun 1960-an. Pada awalnya aliran ini berasal dari kampus-kampus California, lalu menyebar ke beberapa universitas di Amerika, dan akhirnya ke Eropa, khususnya di Inggris dan Jerman. Seperti diakui Coulon (2008) bahwa pentingnya etnometodologi disebabkan oleh dua hal. Pertama, dari sudut teori dan epistemologi, etnometodologi sangat berbeda dengan cara berpikir sosiologi tradisonal. Kedua, etnometodologi merupakan suatu wawasan penelitian (une perspective de recherche), suatu sikap intelektual baru (Coulon 2008:v).
            Untuk menjelaskan tentang etnometodologi, penulis lebih banyak mengutip pendangan-pandangan para ahli tentang pendekatan tersebut. Penulis mengutip pendapat Goodenough yang menyatakan bahwa phenomenal order adalah peristiwa-peristiwa atau pola-pola tingkah-laku yang diamati. Kesadaran memiliki dua aspek yaitu proses sadar dan obyek dari kesadaran tersebut. Dan hal ini berkaitan dengan maksud dari orang tersebut yang nantinya akan memberi makna pada obyek yang dihadapi. Makna itu selalu diarahkan pada bidang kehidupan yang juga ada orang-orang lain di dalamnya yang saling berhubungan dan menjadi apa yang disebut intersubjective dimana terjadi timbal balik perspektif. Dari pengalaman pribadi dan pengalaman orang lain ini kemudian menjadi pengalaman bersama. Dreitzel menegaskan bahwa makna yang diberikan oleh orang-orang yang terlibat dalam interaksi tersebut, bagaimana makna itu muncul, dimiliki bersama serta dipertahankan untuk selama jangka waktu tertentu dan bagaimana kenyataan sehari-hari yang selalu berbeda-beda dipandang sebagai hal-hal yang wajar, biasa dan nyata bagi mereka yang menghadapinya. Karena dipandang sebagai hal-hal yang wajar, biasa dan nyata kemudian ini disebut sebagai natural attitude. Jadi bisa dikatakan bahwa Etnometodologi berdasarkan pada maksud. Sejarah hidup sangat mempengaruhi hal-hal tersebut, jadi landasan kedua dari etnometodologi adalah konsepnya tentang natural attitude.
            Pendapat lainnya yang dikutip penulis adalah konsepsi Schutz, yang menyatakan bahwa interaksi sosial merupakan proses interpretasi yang terus-menerus ini kemudian membangkitkan permasalahan dalam etnometodolgi tentang bagaimana interpretive procedures digunakan untuk memahami dan membangun interaksi sosial. Selanjutnya, ide-ide ini lalu mempengaruhi Harold Garfinkel, seorang ahli sosiologi, yang selanjutnya dikenal pula sebagai pelopor etnometodologi. Pada intinya, idenya menyangkut masalah bagaimana proses terjadinya suatu proses interaksi sosial (hlm.114).
            Berdasarkan upaya perbandingan yang telah dilakukan oleh penulis dalam artikel ini, bisa disimpulkan ada empat persamaan antara etnosains dan etnometodologi yaitu: Pertama, keduanya sama-sama menggunakan bahasa atau pernyataan-pernyataan yang diucapkan oleh orang yang diteliti sebagai bahan untuk analisis. Kedua, keduanya sama-sama terlibat dalam relativisme budaya sebab salah satunya tidak menyatakan bahwa satu kebudayaan lebih tinggi dari kebudayaan lainnya. Ketiga, baik etnometodologi dan sebagian etnosciencetist berusaha mendapatkan aturan-aturan yang mendasari tingkah laku manusia, dengan caranya masing-masing. Keempat, bahwa keduanya berangkat dari asumsi yang sama tentang manusia, bahwa manusia pada dasarnya memberikan makna terhadap gejala yang dihadapi. Pemberian makna terhadap situasi inilah yang membedakan manusia dengan binatang.
            Sedangkan perbedaan dari kedua pendekatan ini, menurut penulis adalah antara keduanya adalah bahwa etnosains lebih banyak memperhatikan komponen-komponen yang ada dalam sistem pengetahuan si pelaku, sedangkan etnometodologi lebih menyibukkan diri dengan usaha untuk menemukan “basic features (essence, perhaps) of everyday interaction so that the problem of how meanings are constructed and how social reality…”(hlm.128).
            Menurut saya, artikel ini menjadi lebih menarik karena penulis tidak sekedar meramaikan perdebatan tentang etnosains dan etnometodologi yang telah ada, namun juga menunjukkan keberpihakannya pada pengembangan pemikiran teoritis dan metodologis disiplinnya untuk kemajuan ilmu itu sendiri.
            Melalui artikel ini, perspektif etnosains sepertinya sangat sesuai diterapkan di Indonesia untuk mengungkap tentang nilai-nilai, aturan-aturan, pandangan hidup serta berbagai kebiasaan yang ada di tengah masyarakat. Meski penulis mengakui bahwa etnosains bukan satu-satunya perspektif yang dapat turut mensukseskan pembangunan, namun pengetahuan mengenai sistem ide suatu masyarakat sangat penting bagi perencanaan pembangunan. Penulis juga menegaskan, jika menginginkan suatu upaya pembangunan yang manusiawi dan secara etika menghargai pandangan-pandangan dan sistem pengetahuan masyarakat yang menjadi sasaran pembangunan, maka perspektif etnosains tidak bisa diabaikan.
            Mengakhiri review ini, menurut pandangan saya, kelebihan utama artikel ini adalah cara penyajian yang sangat sistematis dan runut tentang asumsi dasar kedua pendekatan, sehingga sangat mudah dimengerti dan dipahami oleh pembaca. Kelebihan lainnya artikel ini menyajikan perdebatan di antara kedua pendekatan, termasuk argumen-argumen dan pandangan-pandangan dari masing-masing pihak pendukungnya. Selain itu, kekayaan referensi yang ditunjukkan penulisnya memberi bobot yang bermakna bagi artikel ini.
            Beberapa tanggapan atas kritik yang ditujukan pada etnosains dijelaskan penulisnya dengan mengemukakan argumen-argumen logis dan pemaparan yang singkat tetapi langsung pada inti persoalan. Di samping kelebihan lainnya yaitu pengutipan yang dilakukan penulis tentang pendapat atau pandangan atas suatu permasalahan yang dikutip langsung dari sumber aslinya. Hal ini menunjukkan orisinalitas pustaka sekaligus meminimalisir kekeliruan dalam memahami pandangan dari penulis aslinya.
            Namun kutipan langsung yang dilakukan penulis tanpa diikuti penafsiran, tentu akan menyulitkan sebagian pembaca yang tidak memahami bahasa Inggris dengan baik dan benar, kesulitan terutama dalam mengambil makna dan maksud yang hendak disampaikan. Hal ini menjadi satu kelemahan dari artikel ini, walaupun secara umum artikel ini sangat begitu mudah dipahami.


DAFTAR PUSTAKA

§  Ahimsa-Putra, H.S. 1985. “Etnosains dan Etnometodologi: Sebuah Perbandingan” dalam “Masyarakat Indonesia” Majalah Ilmu-ilmu Sosial Indonesia. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jilid XII Nomor 2. Hlm.103-133

§  Coulon, A. 2008. Etnometodologi. Jakarta: Lengge. Kerjasama Kelompok Kajian Studi Kultural (KKSK) Jakarta dan Yayasan Lengge Mataram.

§  Soeseno, Slamet. 1993. Teknik Penulisan Ilmiah Populer, Kiat Menulis Nonfiksi untuk Majalah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

§  Spradley, J.P. 1997. Metode Etnografi. Terj. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.


Agama dan Masyarakat

Agama dan Masyarakat
Oleh: SETIONO


             Setiap agama pasti akan kerap dengan lingkungan masyarakat, sebab sebuah agama pasti didalamnya ada penggerak dan penggeraknya adalah manusia atau masyarakat. Dalam sebuah studi dari Feurbach ada beberapa poin yang penting dan secara garis besarnya yaitu antara Tuhan dan manusia sebagai ilusi, karena agama sendiri sesungguhnya adalah ekspresi fantasi dari ideal-ideal manusia dalam mencapai eksistensi manusia, melalui cinta, kebebasan, dan akal. Hal ini, karena agama dipahami sebagai psikogenesisnya dari sifat manusia sendiri, maka hubungan terbaik antara sifat-sifat yang dilekatkan pada Tuhan dan sifat-sifat yang dilekatkan pada manusia dan dunia yang terbatas. Apa yang ditolak oleh manusia untuk dilekatkan pada dirinya sendiri kemudian dilekatkan pada Tuhan. Dan dalam melihat agama sebagai suatu image yang diproyeksikan oleh watak esensial manusia. Pada dasarnya manusia juga merupakan sesuatu yang aktif, karena memiliki rasa ingin tahu sehingga manusia juga bersifat aktif untuk mencapai suatu cinta, kebijakan, keadilan, atau bukan merupakan sebuah ilusi. Dengan demikian, agama juga merupakan sebuah hasil yang telah muncul karena adanya sebuah ide, konsep yang dimana dapat menghasilkan sebuah nilai dan keyakinan dalam kehidupan manusia serta dijadikan sebagai falsafah atau ideologi dalam kehidupan sehari-hari.

            Sebab agama adalah realisasi fantastis dari esensi manusia karena esensi manusia tidak memiliki realitas yang sesungguhnya. Oleh karena itu agama juga merupakan sebuah spirit dan sebagai candu bagi masyarakat serta adanya kepentingan kelas. Dimana Marx dan Engels yang memiliki pendekatan struktural menegaskan, seperti yang dikemukanan Turner, yakni: Agama memiliki fungsi ganda, yaitu kompensasi terhadap orang-orang miskin yang menderita dengan menjanjikan kekayaan spiritual, dan pada saat yang sama member legitimasi terhadap kekayaan kelas dominan. Maka salah satu solusi atas kontradiksi antara solidaritas kelas versus integrasi sosial adalah dengan menyatakan bahwa dengan menyatakan bahwa dengan melegitimasi kekayaan dan memberi kompensasi terhadap kemiskinan, agama menyatukan masyarakat sembari juga mengekspresikan kepentingan kelas yang berbeda.

Bidang Kajian Antropologi

        Antropolog mempelajari manusia dimanapun dan kapanpun mereka menemukan mereka. Antropologi adalah eksplorasi keanekaragaman manusia dalam ruang dan waktu. Antropologi mempelajari seluruh kondisi manusia: masa lalu, sekarang, dan masa depan, biologi, masyarakat, bahasa, dan budaya. Yang sangat  menarik adalah keragaman yang datang melalui adaptasi manusia. Mengeksplorasi keanekaragaman hayati dan budaya yang ada di kehidupan  manusia dalam ruang dan waktu, antropologi menghadapi pertanyaan dasar eksistensi manusia dan kelangsungan hidup: bagaimana kita berasal, bagaimana kita telah berubah, dan bagaimana kita dapat merubah.
            Antropologi memiliki empat bidang yaitu budaya, arkeologi, biologi dan linguistik. Begitu pula ada yang disebut adaptasi, variasi, dan perubahan. Adaptasi mengacu pada proses yang dapat mengatasi kekuatan lingkungan dan tekanan, seperti yang ditimbulkan oleh iklim dan topografi atau medan, juga disebut bentang alam. Kita ketahui bahwa arti antropologi secara umum merupakan suatu disiplin ilmu dalam kajian antropologi, atau juga dikenal sebagai antropologi umum yang memiliki empat bidang utama dalam disiplin ilmu. Antropologi juga terbagi beberapa sub kajian dalam displin ilmu diantaranya ada antropologi budaya, antropologi arkeolog, biologi atau fisik, antropologi; dan antropologi linguistik. Dari keempat hal tersebut sangatlah penting dalam kajian antropologi. Kita pun akan mengenal pendekatan baru untuk agama, dimana seperti sejarah dan masyarakat, sekarang materi pelajaran yang bisa diselidiki secara obyektif dan tidak hanya diserahkan kepada gereja, kritikus rasionalis, dan filsafat spekulatif. Meskipun penganut pendekatan ini cenderung menerima beberapa keprihatinan ideologis baik bible, rasionalis, atau sudut pandang universal, tujuan gerakan itu untuk mewakili sebuah fokus yang berbeda keseluruhannya dan tujuannya.
            Untuk pertama kalinya agama menjadi suatu bidang penelitian langsung, dan merupakan sesuatu yang harus dipelajari dan dipahami, dan tidak hanya menjadi ajang pembuktian diri dalam sebuah teori sikap. Untuk mengejar ilmu agama berarti mengambil posisi yang baik dapat memberikan pelanggaran untuk kedua kubu teologis dan rasionalistik. Muller memiliki kritik dari keduanya. Di satu sisi adalah mereka yang berpikir agama "terlalu suci subjek untuk pengobatan ilmiah", di sisi lain adalah mereka yang menaruhnya "pada tingkat dengan kimia dan astrologi, hanya suatu kesalahan atau halusinasi, jauh dari pemberitahuan orang sains.


Note: Lihat Buku The Seven Theories of Religion

Agama: Generric vs Differensial

Agama : Generric vs Differensial 
Oleh: SETIONO  

            Kita semua secara naluriah telah mempunyai pengetahuan tentang agama. Tetapi untuk memperoleh definisi agama secara sosiologis kita perlu menelusuri premis dasar dari agama-agama besar dunia agar definisi kita terarah kepada spectrum pengalaman agama manusia, lalu menelusuri arti agama secara etimologis atau terminologis. Dengan hal ini, kita pun harus memahami terlebih dulu mengenai sosiologi dan antropologi. Mungkin dapat kita pahami, bahwa sosiologi merupakan sebuah cabang ilmu sosial yang mempelajari masyarakat dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia. Sedangkan antropologi merupakan studi yang mempelajari tentang kehidupan manusia baik dari segi fisik, sosial dan budayanya. Maka, semenjak era ilmu pengetahuan ini, humanitas telah menggantikan agama dan filsafat masa lalu telah dikesampingkan. Dengan hal ini, Durkheim akhirnya menyadari bahwa kebutuhan utama manusia akan selalu terikat kepada satu komunitas.
            Semakin berkembangnya suatu peradaban yang tak dapat dihindari lagi, maka akan memunculkan berbagai pemikiran dari ilmuan-ilmuan. Berbagai jenis perubahan muncul dari dalam dan sekelilingnya. Dari ini, Durkheim membagi kondisi saat itu menjadi empat pola yakni; (1) Adanya tatanan sosial masyarakat Eropa tradisional yang dulu terikat dengan tali kekeluargaan, komunitas dan agama, sekarang telah digantikanoleh munculnya kontrak sosial baru, dimana individualism dan kepentingan pragmatis kelihatan lebih berkuasa. (2) Dalam hal perilaku dan moral, nilai-nilai sacral dan keyakinan keagamaan yang disetujui oleh gereja, sekarang ditantang oleh kepercayaan baru yang lebih menekankan rasionalitas. (3) Di bidang politik, munculnya masa demokratis dalam masyarakat arus bawah dan pusat kekuasaan yang kuat di arus atas telah mengubah kontrol sosial alami masyarakat. (4) Dalam urusan pribadi (perasaan kesepian dan terisolasi).
            Pada hal ini Durkheim telah mengatakan hanya sosiologilah yang akan bisa membantu memahami gejolak masyarakat yang bergerak di atas kaki mereka sendiri. Durkheim dalam penyelidikannya menggunakan dua prinsip utama yaitu; (1) Sifat alami masyarakat ialah objek penyelidikan sistematik yang paling cocok dan menjanjikan, khususnya dalam sejarah saat ini, (2) Semua fakta sosial harus diinvestigasi melalui metode ilmiah subjektif dan semurni mungkin. Maka, dengan ini akan sangat memudahkan dalam memahami suatu masyarakat ataupun masyarakat beragama. Dia menjelaskan bahwa kehidupan sosial telah membentuk corak paling mendasar dalam kebudayaan manusia. Namun sayangnya, yang menjadi perhatian utama para pemikir sebelumnya bukanlah kenyataan tersebut. Bahkan Durkheim melangkah lebih jauh dari para ahli ini. Dia menegaskan bahwa fakta sosial tidak ada bedanya dengan batu atau kerang di lautan. Fakta sosial sama “riil” dan sama “padat”-nya dengan kedua benda tersebut. Karena sebuah masyarakat bukanlah suatu yang kecil, tetapi memiliki banyak fakta, sepert bahasa, hukum, kebiasaan, ide, nilai, tradisi, teknik, sampai kesebutpada aneka jenis produk yang dihasilkan masyarakat tersebut.
            Menurut Durkheim, metode-metode yang diterapkan dalam studi sosiologi tidak ada bedanya dengan metode disiplin ilmiah. Kunci untuk memahami setiap ilmu, baik ilmu sosial maupun alam, terletak pada pengumpulan bukti, diikuti pembandingan, pengelompokan dan diakhiri sengan penarikan sebuah kesimpulan umum atau hukum yang setiap saat bisa dibuktikan validitasnya. Sehingga, sosiologi tidak saja untuk menerapkan sebuah metode yang ada pada ilmu-ilmu lain. Dia pun dalam memberi definisi tentang agama, bahwa agama adalah satu sistem kepercayaan dengan perilaku-perilaku yang utuh dan selalu dikaitkan dengan Yang Sakral, yaitu sesuatu yang terpisah dan terlarang. Dengan demikian, teori Durkheim menegaskan bahwa tidak aka nada bedanya dari sudut manapun kita memandang apa yang menimbulkan satu agama, bahkan setiap agama, karena pasti terpulang kembali kepada aspek sosial masyarakat pemeluknya.


Dimensi Antropologi
            Sebuah agama merupakan suatu hal positif dalam mengembangkan kehidupan yang teratur dan terarah. Dengan agama, manusia mampu menjaga hubungan atau interakasi di lingkungan masyarakat. Begitu juga, dengan adanya antropologi, maka manusia akan mudah dalam mengatur hidupnya serta membangun kerja sama yang baik. Antropologi tidak sekedar sebagai ilmu saja, tetapi antropologi juga merupakan praktik yang dapat kita lihat dalam kehidupan bermasyarakat. Karena antropologi bukan ilmu yang eksotis dijalankan oleh para pemikir kuno di menara gading. Sebaliknya, itu adalah holistik, komparatif, lapangan biokultur dengan kesatuan untuk memberitahukan kepada publik. Kita lihat pada American Anthropological Association (AAA), telah secara resmi mengakui peran pelayanan publik dengan mengakui antropologi yang memiliki dua dimensi penting yakni:
(1) antropologi akademik,
(2) menjalankan atau diterapkan (antropologi terapan)
            Antropologi memiliki dua dimensi yaitu sebagai akademik dan diterapkan atau dipraktikan. Di berbagai pengaturan antropologi teratur adalah "diterapkan" - digunakan untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang melibatkan perilaku manusia, kondisi sosial, dan kesehatan masyarakat. Terapan, alias "berlatih", antropolog bekerja untuk berbagai kelompok dan organisasi, termasuk pemerintahan, lembaga, dan bisnis. Sebuah antropologi merupakan sebuah halayak yang mampu membangun sebuah kinerja yang baik dalam kehidupan sosial, bahkan agama dan antropologi dapat membangun sebuah tindakan yang dapat berguna dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab agama itu di dalamnya terdapat pemeluknya yang dapat kita arahkan dalam sebuah antropologi. Banyak antropolog terapan bekerja sama dengan masyarakat lokal untuk mengidentifikasi dan menyadari kebutuhan mereka dirasakan dan untuk merencanakan dan menerapkan perubahan sesuai dengan budaya, sementara juga usaha untuk melindungi orang-orang dari kebijakan yang merugikan. Sehingga, antropologi diterapkan dalam pendidikan, perkotaan, pedesaan, kesehatan, dan bisnis pengaturan. Domain tersebut dapat memiliki teoritis maupun terapan, dan biologi serta sosial budaya, dimensi. Antropolog pendidikan bekerja dalam ruang kelas, rumah, lingkungan, dan pengaturan lain yang relevan dengan pendidikan. Antropolog perkotaan mempelajari masalah dan kebijakan yang melibatkan migrasi, kehidupan kota, dan urbanisasi.
            Antropolog medis memeriksa penyakit dan kesehatan sistem lintas-budaya. Untuk bisnis, aspek kunci dari antropologi termasuk etnografi dan observasi sebagai cara pengumpulan data, keahlian lintas-budaya, dan fokus pada keanekaragaman. Pandangan komparatif Antropologi menyediakan latar belakang yang berharga untuk bekerja di luar negeri. Fokus pada keragaman budaya dan juga sangat relevan untuk bekerja di kontemporer Utara America. Para antropolog memiliki sebuah peran yang baik dalam membangun sebuah intelektual yang baik dan mengembangkan kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
            Kemajuan zaman yang sudah tak dapat kita elakan, membuat manusia memiliki pemikiran untuk membangun sebuah etika hidup serta membangun sebuah perkumpulan atau organisasi yang berbasis agama. Dimana manusia mulai yakin dengan adanya sebuah semangat hidup yang mengglobal, maka dapat mewujudkan atau tercipta sebuah kehadiran dalam dirinya sebuah spiritual yang meningkat, sehingga mengakibatkan munculnya sebuah organisasi yang bersifat keagaamaan. Dari sini, manusia tercipta dalam sebuah kinerja hidup untuk menjadi sejahtera. Karena manusia mampu melakukan sebuah kerja dan membangun sebuah bisnis yang dapat menjadi kelengkapan hidupnya. Sehingga, agama dapat membangun atau memunculkan sebuah gagasan yang penting dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Fokus pada kebangkitan agama di banyak bagian dunia berkembang menggarisbawahi gagasan, bahwa banyak orang sekarang merasa peningkatan semangat keagamaan yang baik dapat menanamkan organisasi berbasis agama dari mana mereka berasal dan bahkan mungkin mengkompensasi kurangnya kemampuan materi dan kenyamanan (Berger 1999; Thomas 2005). Dengan demikian, manusia mulai mencoba dan membangun sebuah kenyamanan hidup dengan adanya ide-ide yang bersifat positif, sehingga mampu membuat manusia lebih mudah dalam berinteraksi dan memenuhi kebutuhan hidupnya.


Note: Lihat Buku The Seven Thories of Religion

Pendekatan Budaya dalam Studi Agama

Pendekatan Budaya dalam Studi Agama
Oleh: SETIONO

            Agama merupakan suatu sistem yang terdiri atas kompleksitas unit yang saling terkait antara satu dengan lainnya. Sehingga hal itu berpengaruh terhadap bagaimana cara orang memandang dan meneliti, termasuk dalam memilah-milah metodologinya. Sebagai fenomena universal yang kompleks, keberadaan agama dalam masyarakat telah mendorong lahirnya banyak kajian tentang agama. Kajian-kajian tentang agama berkembang bukannya karena agama ternyata tak dapat dipisahkan dari realitas sosial, tetapi ternyata realitas keagamaan berperan besar dalam perubahan sosial dan transformasi sosial.
            Berbicara tentang antropologi, maka para antropolog abad XIX selalu mengaitkannya dengan evolusi. Dalam perspektifnya, masyarakat diibaratkan sebagai eskalator besar yang terdiri atas bagian puncak, tengah, dan bawah. Mereka selanjutnya, menempatkan entitas (Amerika) mereka sendiri dalam posisi  puncak. Sementara itu Eropa dan Asia ditempatkan pada posisi tengah, dan sebagai peradaban Asia diklasifikasikan sebagai “kaum” primitive. Pendapat itu  pun diperkuat dengan karya sejarah evolusi biologis Darwin, meski tidak sepenuhnya, pendapat mereka tergantung pada Darwin. Akan tetapi pendapat tersebut tidak serta-merta diterima di seluruh kalangan intelektual Amerika, terutama Fundamentalis populis. Sementara itu, Frazer lebih mengemukakan suatu skema evolusi sederhana, suatu ekspresi dari keyakinan rasionalmenya, manusia mengalami tiga fase yang secara berurutan didominasi oleh fase magic, agama, dan ilmu. Hanya saja, pendapat tersebut kemudian berbeda dengan Durkheim di mana ia menyadari bahwa pengambilan contoh dari seluruh dunia dengan kurang memperhatikan konteks aslinya dan menimbulnya terlalu tinggi adalah metode antropologis yang keliru. Ia memperkuat pendapatnya bahwa eksperimen yang dilakukan dengan baik dapat membuktikan adanya aturan tunggal. Kemudian ia menegaskan bahwa dalam kajian antropologi perlu menguji contoh secara mendalam sebagaimana yang dimaksudkan adalah agama Aborigin di Australia Tengah, khususnya Arunto. Atas pendapatnya tersebut Durkheim dituduh mengasumsikan kebenaran teorinya dengan menggunakan data Australia semata sebagai ilustrasi bukan tes  penguji. Akan tetapi, kekayaan analisisnya menjadikan karya etnografik yang subur dan abadi, serta menjadi inspirasi bagi antropolog-antropolog setelahnya, baik fungsionalis struktural maupun strukturalis yang keduanya sama-sama menolak evolusionisme. Menurut Durkheim, pada dasarnya tidak ada agama yang salah. Semua agama adalah benar menurut modelnya masing-masing. Semua memenuhi kondisi-kondisi tertentu dari eksistensi manusia meskipun dengan cara yang berbeda-beda. Durkheim menegaskan bahwa agama adalah satu hal, satu aspek kemanusiaan fundamental dan permanen.
            Pada topik ini Geertz lebih memfokuskan ataupun menekankan pada pendapatnya bahwa ada pendekatan yang bisa dilakukan terhadap studi mengenai agama selain dari pendekatan-pendekatan yang diproposikan oleh Freud dengan teori identitas seksual dan status kedewasaannya, Durkheim dengan teori kesakralan masyarakatnya, dan lain-lain. Geertz mempromosikan pendekatan dimensi kebudayaan dari analisis agama. Sebuah pendekatan baru dalam studi-studi antropologi, khususnya mengenai agama. Apa yang dimaksud atau apa arti dari pendekatan dimensi kebudayaan dalam agama itu? Geertz mengartikannya dalam bentuk sebuah definisi agama yang cukup kompleks. Dan dalam hal ini, analisa kebudayaan bukanlah satu ilmu eksperimental yang mencari sebuah hukum, tapi adalah satu penafsiran yang mencari makna (Cliforord Geertz, The Interpretation of Culture).
            Pertama-tama ia menekankan pada penggunaan kata simbol, merupakan segala hal yang dapat memberi seseorang ide-ide dan dapat berarti banyak hal dan memiliki arti sendiri. Bisa berarti representasi dari asosiasi antar dua hal terkait, bisa juga berarti sesuatu yang mengekspresikan hal-hal yang tidak dapat dijelaskan lewat verbal atau dijelaskan secara langsung. Geertz melihat simbol sebagai dasar yang digunakan dalam apa yang disebut konsepsi. Konsepsi itu yang menjadi arti dari simbol. Konsepsi itu merupakan ide, sikap, penilaian, formulasi dan abstraksi dari pikiran dan pengalaman dituangkan dalam representasi konkrit (simbol). Pola budaya  memiliki sifat yaitu bahwa ia merupakan sumber informasi yang eksternal. Ia berada di luar organisme dan dapat memberikan konsepsi yang bisa didefinisikan secara internal. Manusia membutuhkan konsepsi-konsepsi yang masuk internal ini melalui simbol eksternal. Tanpanya, manusia bagaikan berang-berang yang tidak mampu membuat dam. Terkadang bentuk pola budaya dianggap sebagai sebuah model. Model sendiri memiliki dua arti yaitu “dari” dan “untuk”. Dalam arti “dari”, berarti memanipulasi struktur simbol sesuai dengan konsepsi internal mengenai simbol. Misalnya pengembangan ide mengenai ideologi politik tertentu dimanifestasikan dalam bentuk bendera. Sementara dalam arti “untuk”, konsepsi internal dimanipulasi dalam hubungannya dengan simbol. Misalnya bentuk bendera yang terletak di seragam prajurit membangun konsepsi kita bahwa ideologi politik tertentu berkuasa atas militer.
            Kemudian yang kedua, dikatakan bahwa agama membentuk perasaan dan motivasi yang kuat dan bertahan dalam manusia. Simbol-simbol agama mampu mengekspresikan iklim dunia dan membentuknya. Simbol-simbol itu membentuknya dengan menginternalisasi disposisi-disposisi kepada penyembah yang memberikan karakter terhadap aktivitas-aktivitasnya dan kualitas dari pengalamannya. Disposisi ini sendiri sebenarnya merupakan pola dari aktivitas atau kejadian, bukan hanya sekedar satu kejadian atau aktivitas tertentu. Disposisi-disposisi tersebut terbagi menjadi dua, yaitu perasaan dan motivasi. Motivasi merupakan kecenderungan dimana terdapat kemampuan untuk melakukan tindakan tertentu atau berperasaan tertentu. Orang muslim termotivasi untuk tidak memakan daging babi, sementara orang Hindu termotivasi untuk tidak memakan daging sapi. Perasaan akan dirasakan oleh penyembah misalnya, ketika orang Hindu memakan daging sapi, terdapat perasaan muak dan perasan tidak menyenangkan. Atau misalnya ketika umat kristiani pergi ke Bethlehem dan umat Islam pergi ke Mekkah akan timbul perasaan tenteram. Perasaan ini dapat kemudian berganti-ganti menjadi perasaan lainnya. Motivasi memiliki arah, sementara perasaan tidak. Motivasi bertahan sementara perasaan berlangsung begitu saja. Motivasi bermakna karena memberikan tujuan, sementara perasaan bermakna karena kondisi yang menyebabkannya terjadi.
            Pada hal yang ketiga ini, ditekankan bahwa konsepsi mengenai tatanan eksistensi yang diformulasikan ini diberikan oleh sistem simbol agama. Kekacauan akan terjadi apabila manusia tidak mampu memformulasikan konsepsi mengenai struktur atau tatanan eksistensi itu. Sehingga, simbol-simbol selalu memberikan orientasi atau petunjuk bagi manusia atas segala fenomena yang terjadi pada diri mereka maupun pada alam.
Ada tiga dimensi dimana kekacauan tersebut bisa terjadi, diantaranya ialah:
a.       Karena keterbatasan kapasitas analitis manusia
b.      Karena keterbatasan kapasitas menahan penderitaan manusia
c.       Karena keterbatasan kapasitas penilaian moral manusia
            Manusia akan selalu mencari cari untuk memahami fenomena yang terjadi, dan mereka tidak akan meninggalkannya tanpa jawaban. Mereka akan menemukan jawabannya itu tidak peduli seberapa terbatasnya kapasitas analitis mereka. Tanpa jawaban itu, meskipun jawaban itu sendiri tidak konsisten dan cenderung tidak akurat, maka kekacauan dalam diri manusia terjadi. Agama memberikan perannya disini sebagai pemberi konsepsi mengenai fenomena-fenomena yang tidak dapat dipahami oleh manusia seutuhnya. Manusia juga memiliki keterbatasan kapasitas dalam menahan penderitaan. Masalah-masalah kehidupan yang dihadapi dapat membuat manusia menderita. Manusia tidak akan pernah mampu menghindari semua penderitaan yang dialaminya. Dengan ketidakmampuan untuk menghindar dan terbatasnya kapasitas menahan penderitaan itu, kekacauan dalam diri manusia bisa terjadi. Agama dalam hal ini memberikan tuntunan, rasa aman, dan tempat berteduh dan berlindung dari penderitaan yang dialami manusia. Selain kedua dimensi itu, manusia juga terbatas dalam kemampuannya untuk membuat penilaian moral. Manusia tidak mengetahui secara sempurna apa yang baik dan apa yang buruk, selain itu manusia terus bergerak kearah pemenuhan diri dan aktualisasi diri. Manusia juga dihadapkan pada rasa tidak aman akan segala sesuatu, termasuk yang menyangkut dirinya seperti kematian dan kemiskinan. Hal ini secara langsung membuat manusia terpaksa menilai apa yang baik dan apa yang buruk bagi dirinya. Namun dengan kemampuan yang terbatas itu kekacauan dalam diri bisa terjadi. Oleh karenanya, agama memberikan patokan-patokan moral yang bisa diikuti manusia agar konsepsi manusia akan apa yang baik dan buruk tidak mengarah pada kekacauan.
            Tahap keempat ataupun yang terakhir, dikatakan bahwa konsepsi itu diberikan atribut dengan nuansa yang faktual. Hal ini dapat menunjukkan seberapa figur otoritas yang dipercaya dalam agama mampu membuat manusia patuh karena mereka mengatribusikan konsepsi-konsepsi yang tertuang dalam simbol itu dengan fakta-fakta yang meyakinkan. Disini, agama berbeda dengan sistem-sistem simbolis lain. Agama meyakinkan bahwa terdapat sesuatu yang benar-benar nyata dimana hal itu dianggap lebih penting dari apapun. Melalui ritual keagamaan yang didalamnya selalu terdapat etos dan pandangan dunia, Geertz menjelaskan dinamika yang terjadi dalam motivasi dan perasaan manusia. Ia mengambil contoh mengenai kisah Rangda dan Barong di Bali. Ritual yang begitu melibatkan banyak orang dan melibatkan perasaan yang mendalam. Hal ini menunjukkan bahwa perasaan yang dihasilkan atas fakta-fakta yang ditampilkan dalam ritual itu begitu diyakini oleh masyarakat Bali. Mereka termotivasi untuk terus melakukan ritual itu. Kecenderungan tradisi terlihat disini sementara pandangan dunia terlihat dari representasi dari figur-figur dalam ritual itu. Lebih dari itu, nilai-nilai dalam ritual tersebut dituangkan ke dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kejadian-kejadian religius berbeda dengan kejadian-kejadian sehari-hari. Telah dikatakan sebelumnya bahwa motivasi dan perasaan dalam ritual agama akan konsisten dengan pandangannya mengenai dunia. Makna tarian Barong dan Rangda itu adalah keabadian pertentangan akan kebaikan dan kejahatan. Pandangan mengenai dunia ini terkombinasi dengan etos membentuk motivasi yang pada akhirnya mengontrol kehidupan sehari-hari. Ia kemudian memberikan karakteristik tertentu yang menjadi ciri khas tertentu.

            Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa Geertz menyatakan kembali bahwa pentingnya agama adalah untuk memberikan konsepsi mengenai dunia, diri, dan hubungan antar keduanya. Baginya, agama juga harus dipelajari secara antropologis melalui dua babak: yang pertama,  Analisa sistem pengartian yang ada dalam simbol dan kedua, mengaitkannya dengan proses struktur sosial dan psikologis. Geertz merasa bahwa studi-studi yang ada terlalu memfokuskan pada tahap kedua, namun mengabaikan tahap pertama, padahal sistem simbol baru bisa dipahami secara struktur sosial atau psikologis hanya dengan terlebih dahulu memahami apa yang ada dibalik simbol itu (sebuah makna). Menurut Durkheim, pada dasarnya tidak ada agama yang salah. Semua agama adalah benar menurut modelnya masing-masing. Semua memenuhi kondisi-kondisi tertentu dari eksistensi manusia meskipun dengan cara yang berbeda-beda. Durkheim menegaskan bahwa agama adalah satu hal, satu aspek kemanusiaan fundamental dan permanen.

Pendekatan Klasik Terhadap Agama (Animisme dan Magis)

    Pendekatan Klasik Terhadap Agama     
Oleh: SETIONO

            Ketika kita melihat para teori-teori klasik dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan, seperti apa itu agama dan kenapa manusia memiliki dan melakukan praktik keagamaan, hampir seusia dengan sejarah manusia itu sendiri. Teori klasik ini muncul dari satu suku atau dari satu tempat dengan melakukan perjalanan dari satu tempat ketempat lain maupun dari suku ke suku dan mendapati suku lain itu memiliki Tuhan yang berbeda dengan apa yang dia miliki di tempat asalnya. Kemudian dengan pemikiran para filosof yang senada berpendapat bahwa dewa-dewa merupakan personifikasi langit, laut dan kekuatan alam. Dari hal ini para filosof mencoba menjelaskan lebih intensif, bagaimana kekuatan-kekuatan itu menjadi bagian dari keyakinan agama. Dengan hal ini pula mereka percaya bahwa hal itu sangat mungkin dalam menjelaskan seluruh agama dan mereka pun yakin hal tersebut dapat terwujud melalui penelitian yang sebagian besar harus bermuatan sejarah (historis).
            Apakah kekuatan yang mengendalikan dunia ini berbentuk sebuah “kesadaran” dan personal, ataukah bukan sebentuk kesadaran dan bukan personal? Agama sebagai sebuah pendamai kekuatan manusia telah memilih jawaban pertama. Sebuah jawaban yang sangat berseberangan dengan magis dan sains, tempat proses alam ini bergantung. Alam bekerja tidak tergantung pada kehendak atau pikiran sebuah pribadi, tapi alam selamanya akan diatur oleh hukum alam makanis (James Frazer, The Golden Bough). Maka dengan hal ini dua tokoh akan menjelaskan atau mengemukakan pendapatnya tentang animisme dan magis (E.B. Tylor dan J.G Frazer).
            Tylor dan Frazer menganggap atau memiliki asumsi bahwa agama sebagai bentuk kepercayaan yang keliru dan kedudukannya telah digantikan oleh ilmu pengetahuan sebagai dasar pemahaman fenomena. Menurut Tylor, esensi dari agama adalah roh (anima), yaitu kepercayaan terhadap sesuatu yang hidup dan punya kekuatan yang ada di balik segala sesuatu. Bagaimana hal ini bermula? Dulu, para filosof-filosof liar (sebutan Tylor untuk dukun-dukun pada masa lampau dan pemikir-pemikir pada masa lampau) menginterpretasi mimpi dan kematian sebagai sesuatu yang diwarnai oleh roh yang memiliki kepribadian dan terpisah dari tubuh. Mereka kemudian melakukan analogi dan ekstensi bahwa roh dapat mengendalikan banyak hal diluar manusia, seperti alam. Lalu, muncullah pertanyaan. Tidakkah sebenarnya ada roh-roh yang mengendalikan elemen tertentu? Lalu muncullah dewa-dewi yang punya tugas-tugas tertentu. Lalu muncullah juga malaikat dan setan. Lalu, tidakkah mungkin ada kekuasaan tertinggi? Lalu Zeus, Odin, Amon-Ra, Amaterasu, dan Allah, Tuhan Bapa, dan Jehovah pun muncul.
            Jiwa bersifat lebih kekal daripada tubuh. Ini menunjukkan mengapa pada kepercayaan agama tertentu ada yang disebut reinkarnasi dan agama lainnya menekankan pada hari pembalasan. Namun, peneliti-peneliti modern telah membuktikan bahwa anima atau roh tidaklah ada dalam semua elemen-elemen alam. Jika yang menjadi pondasi dasar pemikiran munculnya agama adalah kekuatan roh, maka sejak awal sudah terjadi kekeliruan besar. Pemahaman manusia yang terbatas pada masa lampau telah menyebabkan pemikiran mengenai agama muncul. Sebuah kesalahan yang tidak bisa diubah akibat belum majunya pemikiran pada masa lampau. Sedangkan Frazer sendiri bahwa ia lebih menekankan pada relasi agama dengan magis. Agama muncul terlebih dahulu diawali oleh kepercayaan sistem magis. Sejak dahulu, manusia memahami bahwa alam memiliki sifat-sifatnya yang representatif dengan sifat-sifat yang dimiliki manusia. Itulah sebabnya kenapa kita bisa merepresentasikan laut sebagai elemen yang tenang sekaligus penuh amarah, hutan yang misterius dan menyimpan banyak rahasia, petir yang dapat menghukum, kesuburan tanaman sebagai lambang reproduksi, dan masih banyak lagi.
            Dari sini, manusia mengasumsikan bahwa mereka dapat melakukan imitasi dan diasumsikan pula bahwa ada keterikatan antara imitasi yang dilakukan manusia dengan fenomena alam. Manusia merasa dengan imitasi yang mereka lakukan, mereka dapat melakukan kontak dengan alam sehingga mengubah alam bagi manusia bukanlah suatu hal yang mustahil. Dengan magis, mereka merapal mantera-mantera dan melakukan penumbalan-penumbalan demi satu hal, yakni mengubah alam. Menurut mereka, jika magis dilakukan dengan tepat, maka akan benar dapat mengubah alam. Tarian hujan, misalnya, jika dilakukan dengan tepat maka akan benar-benar mendatangkan hujan. Namun, seiring waktu manusia merasa bahwa mereka tidak mampu mengontrol alam. Yang dapat mereka lakukan adalah memohon kepada roh-roh totem atau dewa-dewi agar mendatangkan kebaikan pada manusia, dan memohon agar totem dan dewa tidak murka pada manusia. Mereka hanya bisa berdoa. Lalu, disanalah peran Tuhan yang dapat mendatangkan kebaikan pada manusia yang mengikuti perintahnya dan menjauhi larangannya lalu memberikan hukuman dan murka pada manusia yang melakukan sebaliknya. Dengan demikian, kritik teori mereka adalah masalah pengambilan data yang tidak memperhitungkan konteks tempat dan waktu sehingga diragukan apakah memang bisa dilakukan perbandingan lintas budaya seperti yang mereka lakukan.

            Dari pembahasan diatas, dapat kita lihat bahwa Tylor dan Frazer ini menganggap bahwa agama sebagai hal yang negatif. Meski demikian, mereka juga mendapatkan kritik dari teori agama. Bahkan oleh para manusia waktu itu, jika melakukan magisnya dengan baik dan benar, maka alam itu akan mudah dikelolanya dan dipeliharanya dengan baik. Sebenarnya dari hal ini dapat menjadikan sebuah awal dari perubahan pemahaman keagamaan yang lebih baik dan dari sebuah kesederhanaan menuju ke hal yang lebih sempurna. Maka, dengan adanya metode antropologi ini, manusia mudah dalam berinteraksi dalam bidang pemikiran, interaksi dan berbagai macam bentuk cara hidup dan cara beragama dengan baik.


Note: Buka Buku The Seven Theories of Religion, Daniel Pales.

Sabtu, 19 Maret 2016

Politich Jews (Politik Yahudi)

             Politich Jews


               The Jews of New York City have had for the past thirty years a kind of split political personality that can be matched only in such areas as the Southern cities that now vote Republican nationally and Democratic locally. No group in the city supports national Democratic candidates as strongly and consistently as the Jews; none except perhaps the white Protestants has been as uncomfortable about voting Democratic locally. The American Labor Party and the Liberal Party have developed in New York City partly in response to this Jewish dilemma.
                Jews are not alone in their partisan irregularity in a city where the local machines have often been poor representatives of national Democratic administrations. But no other group is quite so irregular. The white Protestant old stock generally votes for Republicans locally and nationally. The Irish and Italians are torn between a traditional attachment to local Democratic organizations and an attraction, as a result of their own increased social mobility and the Democrats' interventionism in World War II, to the Republicans. The Negroes and Puerto Ricans, following in the path of other new immigrant groups, are solidly committed to the Democrats, both locally and nationally.
                What attracts Jews is liberalism, using the term to refer to the entire range of lefitist positions, from  the mildest to the most extreme. The Jewish vote is primarily an "ideological" rather than a party or even an ethnic one. There is little question that Jews are moved, as other groups are, by issues that affect them alone, such as policy toward Israel. But it is impossible to test the effect of pro-Israel feeling on voting, for political candidates in New York City all profess an enthusiasm for Israel. Nor is it easy to test the pull of a Jewish versus a non-Jewish name in the city. In cases where the non-Jew is clearly identified with the "more liberal" position? as in the i960 primary between Ludwig Teller, regular organization Democrat, and William Fitts Ryan, Reform Democrat, in the 20th Congressional District on the West Side? there has been little question that the Jewish name helped hardly at all with Jewish voters. The races between Franklin D. Roosevelt, Jr., and Jacob Javits for Attorney General in 1954, and between Robert F. Wagner and Javits for U.S. Senator in 1956, are not as simple to analyze, for in both cases there was some question as to who was more liberal. It was hard in either case to demonstrate a "Jewish" vote for Javits. In 1932, when three liberal heroes, Franklin D. Roosevelt, Herbert Lehman, and Robert Wagner, Sr., were running for President, Governor, and Senator, Wagner pulled a higher vote in some Jewish districts than Roosevelt or Lehman even though he ran against a Jewish Republican candidate, George Z. Medalie.
                The Jewish liberal voting pattern has been of great persistence. The transformation of Jews from a working-class group (as they were in the time of Al Smith) to a middle-class group (as they are in the time of John F. Kennedy) has affected hardly at all their tendency to vote for liberal Democratic candidates. The Jewish vote for a national Democratic candidate has dropped only once in thirty years?  in 1948, when Truman ran against Dewey. But then Jews defected not to Dewey, as one might expect of a business and professional community, but to Henry Wallace. The Jewish vote for Truman and Wallace was almost everywhere equal to the Jewish vote for Roosevelt in 1944.
                At the same time, the candidates of the local Democratic organization have generally been unappealing. The same Jewish voters who turned out enthusiastically for Roosevelt in 1940 and 1944 were cold to O'Dwyer, running against La Guardia, in 1941, and they hardly warmed up by 1945, even though O'Dwyer, campaigning in uniform, no longer appeared to Jews to be clearly the favored choice of isolationists and Christian Frontiers.

                Upper-income Jews do not seem to be importantly differentiated from lower-income ones in voting habits. All economic levels were enthusiastically for Roosevelt, Lehman, and La Guardia in the 1930's and 1940's. If enthusiasm for Truman was considerably less, it was hardly a class matter? both upper- and lower-income Jews voted heavily for Wallace. Again, both upper- and lower-income Jews were fervently for Stevenson, and both, emerging from their Stevenson mania, decided that Kennedy was perhaps the heir of Roosevelt, and they voted for him more heavily than did the Irish Catholics!
                The voting of ethnic groups, as Samuel Lubell pointed out long ago, is not simply a function of ethnic issues or candidates, though it is true that a group wants representatives, and almost any Jewish candidate gets some Jewish votes running against a non-Jew. Rather, ethnic tendencies in voting express the entire culture and traditions of the group. As Lubell said:
Ethnic groups do not now?  if they ever did? act simply as cohesive voting blocs. Rather, their influence is exerted through common group consciousness, through the effect of common antecedents and cultural traditions which enable them to view developing issues from a common point of view.
The Jewish commitment to the Democratic party is virtually complete today because the Democrats, since 1928, have nominated liberal candidates for the Presidency. East European Jews found the Democratic party much less attractive in the period from the Civil War to Alfred E. Smith, when its candidates were as likely to be conservatives like Alton Parker and John Davis as to be crusaders like William Jennings Bryan and Woodrow Wilson. Indeed, German  Jews, coming to political maturity and consciousness in the period of the Civil War, were perhaps predominantly Re- publican. Their preference for the Republicans on the national level coincided with their local interests, since the Democratic party, in the hands of the Irish, had no room for them. Instead, Jews held office in the Republican party organization. In the 1870's and i88o's Greenpoint had Jewish Republican leaders, and there were Jewish Republican county leaders in Brooklyn before the end of the century. In the 1920's Meier Steinbrink and Samuel Koenig were Republican county leaders in Brooklyn and Manhattan.
                Some East European Jews followed the German Jews into the Republican party, and some, like other immigrants, went into the Democratic party. But at least as many became strong Socialists. It was for this reason, as well as because the Irish held tenaciously to their posts, that Jewish progress in the Democratic party was slow.
                Woodrow Wilson aroused some enthusiasm among Jews in 1912 and 1916. Henry Morgenthau, Sr., was chairman of the Democratic Financial Committee in 1912, Bernard Baruch was one of the President's advisers, Louis D. Brandeis became the first Jew to serve on the Supreme Court. But it was Al Smith who challenged the power of the Socialists on the East Side and taught Jews to vote for Democratic state and national candidates. In 1922, with Smith heading the Democratic ticket for Governor, four Jews?  three Democrats and a Republican?  went to Congress from New York City. Two years before, six Jews were elected to Congress from the city, but all except one were Republicans, and the sixth was a Socialist. It was in 1922 that Sol Bloom, Nathaniel Dickstein, and Emanuel Celler began their long service in Congress, in seats that became as safe as any in the South.
                If many Jews had entered the Democratic party, it is very likely that they could have dominated it. They formed, after all, one-quarter of the population from the early twenties on. In addition, Jews became citizens rapidly? much more rapidly, for example, than Italians?they were politically conscious, and they had a high rate of voting participation. But so much of their energy was devoted to the Socialist party that it was not difficult for the Irish to maintain control of the Democratic party. Between 1933 and 1945, when Jews were drawn away from sociaHsm by the New Deal, they still did not enter the local Democratic party on a massive scale, for this was the age of La Guardia, and Jews preferred the American Labor Party and Liberal Party and good government groups to the Democratic party clubs. But since the middle forties there has been less and less to keep Jews from becoming Democrats locally as well as nationally. Many have become active as Reform Democrats in the struggle against the regular party organization. In this conflict. Democrats who are identified closely with the liberal Northern wing of the party have sought to take over and reform the party organization in the city, so as to end the power of the old regular party leaders. Control is being shifted from the Irish and their junior partners, the Italians, who organized masses of regular voters from immigrant groups, to professionals and in- tellectuals who appeal to independent voters. The elections of the past ten years in New York have shown the greater effectiveness of their approach as compared to that of the traditional machine. The college man is taking over in politics as in business; inevitably many Jews are included. With white Protestants, they dominate the reform movement.
                This newer generation of Jews in politics has of course very little in common with the Jews who were in the old Democratic machine. These did very well indeed with the old politics. They have received a high proportion of the judicial posts and nominations for the past thirty years. One-third of the Congressmen from the city, and rather more of the judges. State Senators, and Assemblymen are Jewish. Jews have in fact held more judicial and elective offices than their numerical strength in the organization would seem to warrant. Their prominence in this respect reflects their financial contributions to electoral campaigns, the large number of lawyers among them, and their high rate of voting participation, rather than strength on the clubhouse floor. Still, Jews do have an important place in the organization, and in the struggle between the organization and the Reform Democrats we see  manifested the same social change that separates the Jewish businessman father from his college-trained son. The fathers are slow to realize that in the rich America of today the material reward of the job (in business or politics) is not as important as personal fulfillment. And in defending itself the organization has failed to see that its attackers are not merely a new wave of seekers after jobs but rather a group that hopes to change the nature of local politics.
                How successful this new group will be in transforming the politics of the city, which has resisted many such movements in the past, we shall discover in the next few years.
                But the reform movement in politics has already become one of those areas in city life in which people of different backgrounds, from different groups, come together not as representatives of groups, not to bargain for group rights and positions, but to work in a common task, as individuals. This happens often enough in New York business, but there the common end is gain. The fact that it happens in politics, where the common end is a general good, is a cause for satisfaction. This is after all the only real basis of "integration"? common work in which one's group characteristics are not primary and therefore of no great account. Another great area of New York life in which this kind of integration proceeds is in the fields of

cultural activity.

Makna Tahlilan

  PROSESI DAN MAKNA TAHLILAN DI DESA KLORON PLERET BANTUL SETIONO    A.    Latar Belakang Tahlilan sangat erat sekali kaitannya de...