Selasa, 30 Maret 2021

TEOLOGI KEMISKINAN DI ASIA

 TEOLOGI KEMISKINAN DI ASIA

(Amirul Auzar Ch, Fitriyani, Setiono, Siti Rahma, Nur Hanifah, Hairullah)

Tugas Makul Perkembangan Teologi Kristen Modern (PTKM) Tahun 2014


PENDAHULUAN

Invasi dan kolonialisasi bangsa Eropa terhadap beberapa negara di Asia telah mengakibatkan berbagai permasalahan sosial dan politik. Problem utamanya adalah tingkat kemiskinan yang tinggi serta penderitaan-penderitaan fisik dan non fisik dialami oleh negara-negara di Asia. Terlepas dari belenggu kolonialisme, Asia dihadapkan pada tekanan neo-kolonialisme yang mengancam struktur budaya dan ekonomi rakyat dengan membawa paham kapitalisme yang mengakibatkan kesenjangan sosial semakin meningkat, relasi-relasi sosial yang menyimpang dan beberapa pergesaran kebudayaan. Bahkan banyak daerah-daerah yang kumuh dan para petani-petani miskin yang telah di usir dari tempat tinggalnya, sehingga semakin terjadinya kesenjangan sosial dan hal itu akibat dari kontradiksi kelas sosial, karena adanya kekuatan kapitalis dari dalam maupun dari luar. Dari sinilah suatu kondisi yang memprihatinkan dan perlu adanya perubahan menuju kehidupan yang lebih layak dan mempertahankan atau memperjuangkan hak-hak mereka serta keadilan.

Perjuangan mengatasi kekuatan-kekuatan ini telah di emban dengan berani oleh para pemuka-pemuka sosialis. Orde sosio-politik ini ternyata searah dengan aspirasi rakyat Asia, di kawasan desa dan kota, karena menjanjikan hak menentukan nasib sendiri serta menetapkan kondisi sosial ekonomi yang menentukan kesejahteraan mereka.[1] Tetapi hal ini tidak sepenuhnya berhasil menyejahterahkannya, karena hanya beberapa negara saja yang berhasil di Asia melalui perjuangan yang panjang ini dalam menuju masyarakat yang baik dalam kehidupan. Namun, perlu adanya gerakan-gerakan lain untuk dapat menciptakan kesejahteraan lain dan menyelesaikan ketimpangan-ketimpangan sosial lainnya, dengan menggunakan segala macam cara agar terciptanya kelayakan rakyat. Dari pengalaman dan studi para pakar sosialis selama bertahun-tahun di dalam realitas asia, seperti halnya pieris merumuskan bahwa “setiap pembicaraan tentang teologi asia harus bergerak Antara dua kutub, yaitu sifat ke-dunia Ketigaan benua kita dan sifat keasiaannya yang khas. Kesamaan umum asia dan dunia ketiga lain ialah kemiskkinannya yang bertumpuh ruah (overwhelming poverty), sedangkan sifat khas yang membedakan asia dengan Negara-negara miskin lainnya ialah keregiusannya yang majemuk (multifaceted religiousnes).[2] Kemerdekaan yang seharusnya sebagai sebuah arah hidup lebih baik dan layak, pada  kenyataannya justru membuat sengsara pada rakyat di Asia dengan adanya paham kapitalis. Dimana paham kapitalis ini cenderung lebih memaksa dan menekan rakyat, sehingga terjadi kesenjangan sosial atau kemiskinan.

 

PEMBAHASAN

A.    Sejarah Teologi Kemiskinan di Asia

Asia merupakan salah satu benua terbesar di dunia baik secara geografis maupun juga demografis. Laporan UNPFA tahun 2011 (State of World Population) memperlihatkan bahwa jumlah penduduk Asia saat ini mencapai 4,5 miliar jiwa atau sekitar 62,29% dari jumlah populasi dunia yang saat ini mencapai 7 miliar jiwa. Sebagai benua dengan populasi terbesar, maka tentu saja realitas Asia sangat kompleks baik secara sosial, politik, ekonomi, religiusitas, dan budaya. Kompleksitas ini cenderung menjadi problematika tersendiri bagi orang-orang Asia. Realitas konteks Asia yang sangat dominan ialah kemajemukan agama-agama, tapi juga kemajemukan budaya, etnis, dan bahasa serta kemiskinan yang merajalela. A. A. Yewangoe yang mengikuti Pieris juga mempertegas hal ini, bahwa kemiskinan dan kemajemukan agama merupakan dua realitas yang dominan di Asia. Oleh karena itu, memahami Asia tidak dapat dilepaspisahkan dari dua kenyataan yang membelenggunya ini.  Suatu wilayah di Asia tidak pernah bebas dari dua potret ini, bahkan dalam konteks geografis tertentu kedua-duanya merupakan bagian dari pergumulan konteks yang sama. Misalnya, India sebagai salah satu negara di Asia yang populasinya terbanyak pada satu sisi diwarnai dengan hamparan jutaan manusia yang menderita karena kemiskinan, dan pada saat yang bersaman entitas India dibentuk oleh beragam tradisi agama dan keyakinan. Sebagai bagian dari Asia, Indonesia juga berwajah yang sama; kemiskinan yang membuat Indonesia menduduki peringkat ketiga dunia dan keragaman agama dan budaya yang membuat Indonesia dijuluki sebagai negara majemuk.[3]

            Sejarah orang Asia sebetulnya merupakan sejarah penderitaan. Orang-orang yang hidup di Asia mayoritasnya ialah orang-orang yang menderita karena kelaparan, terkapar di jalanan karena tidak memiliki tempat tinggal, diperlakukan tidak adil dan diskriminatif, dan terbelenggu dalam penyakit yang mematikan. Semua realitas ini ialah fakta dari kemiskinan yang merajalela. Yewangoe memperlihatkan bahwa dalam pertemuan Dewan Gereja-gereja Asia pada tahun 1980 di Kandy, gereja menyadari bahwa Asia secara khusus dipengaruhi oleh masalah kemiskinan yang amat dashyat. Hal ini yang membuat mayoritas Negara Asia disebut sebagai Negara berkembang dimana orang-orang termiskin di dunia ini berada. Konsentrasi massa orang miskin di Asia lebih banyak berada di wilayah Asia Selatan.

Sebagaimana telah disinggung di atas, kemiskinan yang terjadi di Asia pada dasarnya merupakan kemiskinan struktural yang diakibatkan oleh penguasa elit politik, sosial, dan ekonomi. Masalah kemiskinan Asia sebetulnya ialah masalah ketidakadilan. Nimelka mengungkapkan bahwa 80% pekerja di Asia merupakan orang miskin yang menjadi korban dari kapitalisme barat yang mengendalikan pasar dunia. Dua per tiga penduduk dunia yang hidup dalam sektor pertanian pun tidak mempunyai hak kepemilikan atas tanah, sebab tanahnya dipaksa untuk dijual kepada para kapitalis. Oleh karena itu mereka harus menjadi buruh di atas tanah mereka sendiri dengan upah kerja yang sangat rendah. Di sini Nimelka merumuskan tiga faktor penyebab kemiskinan yakni, ketidakadilan struktural, penindasan dari sistem kapitalis, dan perampokan sistematis oleh Negara-negara maju. Konferensi Teolog Dunia Ketiga (Asian Conference of Third World Theologians) juga menyoroti hal yang sama. Salah satu isu yang dibahas dalam konferensi ini ialah isu kemiskinan sebagai kemiskinan yang dipaksakan. Penderitaan yang berabad-abad ini merupakan akibat dari kolonialisme dan neokolonialisme. Hal ini memperlihatkan bahwa orang-orang Asia kehilangan hak atas hidupnya dan hidupnya menjadi obyek diskriminasi penguasa ekonomi barat. Bahkan, mereka tidak hanya mengalami penderitaan secara ekonomis, tetapi pada saat yang bersamaan mereka kehilangan nilai kemanusiaannya.[4] 

B.     Tokoh dan Pemikirannya

            Diantara beberapa Negara Asia tersebut, hanya ada beberapa tokoh yang dapat dikatakan benar-benar berpengaruh atau memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam mengatasi masalah kemiskinan. Diantara tokoh-tokoh tersebut adalah:

1.      Kosuke Koyama di Thailand

Kosuke Koyama adalah seorang teolog yang lahir di Tokyo tetapi menjadi misionaris dan mengajar seminari di Thailand. Kosuke Koyama adalah salah satu tokoh yang menjadikan social dalam focus teologinya melalui bukunya yang berjudul Teologi Kerbau (1974). Teologi ini terinspirasi dari kerbau-kerbau yang dilihat Koyama ketika dalam perjalanan menuju gereja untuk memberikan khotbah pada umatnya. Ia teringat dengan kenyataan umatnya yang ada, sehingga dalam mengambil keputusan ia memprioritaskan petani diatas pemikiran teologi agung seperti Thomas Aquinas dan Barth. Dalam teologi ini Koyama lebih menekankan pada realitas yang ada di Thailand, sedangkan kondisi Thailand pada saat itu telah terdapat konsep Buddha. Seperti contoh ketika membahas tentang murka Allah. Dalam kebudayaan Buddha bebas emosi dan penderitaan serta keheningan dianggap sebagai puncak dari segala yang baik. Ide tentang Allah yang murka, Allah yang cemas karena dosa manusia adalah suatu batu sandungan dalam kebudayaan tersebut. Jawaban Koyama bukan dengan tidak menonjolkan kemurkaan Allah, sebagai- mana dibuat banyak orang. Pembicaraan tentang kasih Allah menjadi menyimpang dari kebenaran dan dangkal kalau dipisahkan dari kemurkaan-Nya.   Pemikiran Thailand melihat Allah sebagai tak beremosi, tidak dapat menderita, karena menempatkan Allah melampaui batas waktu dan sejarah, sebab pemikir- an Buddhis Thailand mengabaikan sejarah. Pemikiran ini lebih dipupuk lagi dengan siklus alam yang cukup teratur dan baik di Thailand. Di sana jarang ada bencana alam seperti gempa bumi dan taufan. Doktrin tentang murka Allah dapat digunakan untuk menantang pemikiran Thailand pada tingkat yang lebih dalam ini, dan dengan demikian menyatakan doktrin Allah yang terlibat dalam sejarah.[5]

Teologi Koyama dapat dikatakan lebih focus pada masalah dogma, yaitu menguraikan tentang ajaran-ajaran pokok iman Kristen. Khususnya di bidang kristologi yang membahas tentang siapa Allah, siaoa Kristus dan siapa yang dinamakan Kristus, yang mana beberapa pemikiran tersebut disesuaikan dengan kondisi yang ada di Thailand.

2.      Kuan-Hsung Ting di Cina

            Kuang-Hsun Ting adalah mantan Presiden Nanking Theological College dan uskup dari Keuskupan Chekiang dari Sheng Kung Hui, Gereja Anglikan di Cina. Teologi Kuan-Hsung Ting hampir sama dengan teologi Koyama yang mengambil focus pada masalah dogma, tetapi Kuan-Hsung Ting mengkontekstualisasikan dengan kondisi Cina terutama dalam menghadapi tekanan komunisme, atheism, idealisme, materialisme dan persoalan mengenai agama sebagai candu.

            Dalam menghadapi maslah seputar idealisme dan materialisme, Kuan-Hsung Ting mencoba menengahinya. Beberapa orang Kristen menaruh perhatian untuk menyangkal bahwa kekristenan itu idealis, sebab menjadi idealistis adalah terbelakang. Sebagian lainnya mencoba membuktikan bahwa kekristenan itu materialis, sebab yang materialistis adaah progresif. Taoisme pada tahap awal, lalu Lautze dan Chuangtze, tidak percaya kepada Allah atau roh-roh apapun, tetapi menjelaskan sesuatu dengan Tao surgawi yang hadir di seluruh alam. Dengan demikian mereka sangat condong pada pemikiran ateistis dan materialis. Pada saat yang sama mereka berjiwa sangat aristokratis dan mewakli kepentingan- kepentingan aristokratis. Doktrin Wang Yang- ming tentang nurani instingtif tampaknya bersifat idealistis (dan sebab itu defektif), tetapi merangsang jiwa inisiatif individual, pengenalan mana yang benar dan mana yang salah, sikap mempertanyakan tradisi, baik kini maupun dulu mempengaruhi pandangan ke depan dan terlalu penting untuk dibaikan. Lebih mustahil mengklasifikasikan kekristenan sebagai idealis maupun materialis, karena meskipun dalam bentuknya merupakan produk sejarah, namun dalam hakikatnya bukanlah ideologi, bukan struktur yang dibangun di atas landasan ekonomi. Substansi sebenarnya adalah wahyu, inkarnasi, jadi ia mentransendensikan semua garis pemisahan manusia. Beberapa orang Kristen masa kini tidak memahami pokok ini, sehingga mereka mencoba menarik garis di antara idealisme dan materialisme, dan berkata: “Semua ini sama sekali tidak perlu, sebab orang Kristen tidak perlu menerima bahkan klasifikasi itu sendiri.” Kekristenan di dalam organi- sasinya, pemilikannya, upacara-upacara- nya dan struktur resminya sudah sangat dipengaruhi oleh sejarah manusia, namun di dalam dirinya ia bukanlah buah hasil sejarah, dan Injil bukanlah suatu ideologi. Injil berasal dari karya wahyu yang bebas dari Allah. Injil adalah Kristus itu sendiri, melalui dia segala sesuatu telah dijadikan. Seorang teolog Eropa Barat telah berkata bahwa bahaya terbesar yang dihadapi teolog Barat masa kini ialah mereduksikan kekristenan mejadi sebuah ideologi, sesuatu yang bergerak di dalam orbit yang berbeda dari pada sistem penalaran manapun. Maka orang Kristen akan memperoleh pemahaman yang jelas, dari mana orang Kristen dapat menyadari bahwa semua pem- bicaraan mengenai persoalan antara kekristenan dan komunisme, kemiripan atau perbedaan, adalah di luar garis dan terlalu berlebihan.[6]

·         Pandangan Agama-agama Mengenai Kemiskinan

Kemiskinan seringkali dipandang secara pesimistis. Hal ini yang membuat orang seringkali pasif dalam menghadapi realitas penderitaannya. Dalam tradisi masyarakat Jawa misalnya, kita mengenal apa yang disebut dengan nrimo. Semangat nrimo ini yang membuat orang Asia yang menderita melihat kemiskinan sebagai kehendak Tuhan yang harus dijalani. Sikap fatalistis ini menurut D. P. Niles didukung dan disahkan oleh keyakinan-keyakinan agama tertentu. Yewangoe pun sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Niles ini dan menegaskan bahwa pandangan agama-agama mengenai penderitaan nampaknya bersifat ambigu (dwiarti), sebab pada satu sisi agama-agama dapat menyediakan kelepasan dari penderitaan, tetapi di pihak lain agama-agama pun dapat mengungkung orang dalam penderitaan untuk selama-lamanya. Dengan menggunakan istilah Pieris, ia menyatakan bahwa wajah agama-agama ialah membebaskan dan memperbudak, baik secara psikologis maupun sosiologis. Dalam wajahnya yang secara psikologis, agama-agama menjadi semacam takhayul, ritualisme, dogmatisme, dan transendentalisme, sementara secara sosiologis, agama-agama nampaknya melegalkan status quo yang opresif.

Dengan ini Yewangoe mengemukakan pandangan agama-agama di Asia mengenai penderitaan. Menurutnya, dalam tradisi Hinduisme ada keyakinan bahwa kehidupan manusia berada dalam sebuah proses yang tanpa akhir yang disebut dengan samsarai. Manusia terikat dalam proses ini dan terus mengalami reinkarnasi, namun tidak bisa mengalami kelepasan. Manusia hanya bisa mengalami kelepasan jika tercapai kesatuan dengan Brahman. Sementara itu, dalam tradisi Budhisme diyakini bahwa asal mula penderitaan atau dukkha ialah nafsu. Nafsu melahirkan perbuatan, dan perbuatan menimbulkan hasil (akibat) yang ialah penderitaan. Oleh karena itu, untuk bebas dari penderitaan orang harus melepaskan diri dari nafsu.

Dalam ajaran Kong Hu Cu, penderitaan dilihat sebagai ungkapan kejahatan dan bersifat tidak wajar. Penderitaan hanya membatasi manusia untuk mencapai status ideal dan oleh karena itu harus diatasi. Berbeda dengan Kong Hu Cu, Taoisme menganggap penderitaan sebagai cara untuk menemukan Tao, atau Realitas Tertinggi. Budhaisem Zen juga memandang penderitaan sebagai sesuatu yang mistis. Dalam tradisi Islam, penderitaan dipahami secara ambigu. Pada satu sisi, ini dianggap sebagai kehendak Allah yang mahakuasa. Oleh karena Allah yang mengatur segala sesuatu dan tidak ada sesuatu pun yang berada di luar kehendak Allah, maka penderitaan juga merupakan kehendak Allah. Di sini penderitaan dapat juga dipahami sebagai hukuman dari Allah. Pada sisi yang lain, ada ajaran Islam yang memandang penderitaan sebagai ujian bagi iman yang sejati.

Sebagaimana telah dikatakan bahwa di Asia tidak hanya ada agama-agama yang diakui secara resmi di dunia, melainkan juga ada begitu banyak tradisi keyakinan lokal atau yang disebut dengan agama suku. Setiap agama suku juga memiliki pandangan yang berbeda terhadap realitas ini. Samanisme Korea dan jepang memahami penderitaan sebagai akibat dari perbuatan jahat manusia, dan sebagai gangguan terhadap keseimbangan kosmos. Bagi agama suku bangsa Filipina penderitaan dianggap sebagai kehendak “bahala na” atau kehendak Allah. Sekalipun ada terdapat perbedaan cara pandang agama-agama suku, namun semuanya sama-sama melihat bahwa penderitaan merupakan akibat dari kesalahan manusia.

Tradisi kekristenan juga memiliki pandangan yang agak mirip dengan pandangan-pandangan yang telah dikemukakan di atas. Dalam tradisi Perjanjian Lama, konsep kemiskinan dipengaruhi oleh tradisi hikmat. Tradisi ini menganggap bahwa satu – satunya factor penyebab orang menjadi miskin karena ia tidak mau berusaha atau bekerja untuk membangun hidup. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, khusunya pada zaman para nabi, taggapan ini mulai berubah. Para nabi mengatakan bahwa bukan hanya faktor individu, tapi juga ada peranan strukur – strukur sosial yang menciptakan kemiskinan. Oleh karena itu Nabi–nabi PL seperti Hosea, Amos dll. mengecam strukur–struktur sosial yang ada. Dalam tradisi Sinoptis, kemiskinan juga dikritisi oleh Yesus sebagai realitas ini dilihatNya sebagai dampak dari kualitas hidup yang berat sebelah, yang hanya mengedepankan ritus dari pada praktek social. Yang dimaksudkan disini ialah praktek sosial oleh struktur atau lembaga sosial yang menciptkan ketergantungan. Pandangan gereja mula-mula (abad pertama) juga bersifat amibgu. Pada satu sisi, Paulus memberi posisi yang seimbang antara orang kaya dan orang miskin, sebab baginya Allah tidak hanya berpihak pada orang miskin, tapi juga pada orang kaya yang menggunakan kekayaannya untuk kepentingan bersama. Tetapi pada sisi yang lain, Yakobus menekankan bahwa kekayaan atau orang kaya ialah kelompok yang opresif, sebab kekayaan dipergunakan untuk menindas orang miskin. Dengan ini ia mempertentangkan antara orang kaya dan Allah (Yak.5).

Apapun pandangan keagamaan mengenai penderitaan dan kemiskinan, menurut saya realitas ini telah mengancam kualitas hidup manusia, bahkan seluruh alam semesta. Kemiskinan tidak hanya memenderitakan manusia, tetapi juga memenderitakan alam. Oleh karena itu, pengentasan kemiskinan dan penderitaan harus menjadi sebuah keharusan. Oleh karena penderitaan merupakan masalah global, maka upaya untuk mengatasinya bukan hanya menjadi upaya suatu agama tertentu, melainkan menjadi upaya agama-agama. Song juga mengindikasikan hal ini, bahwa apapun yang terjadi di Asia saat ini solusinya harus dicari secara bersama-sama oleh semua agama; perjuangan Kristen untuk HAM, kebebasan, dan demokrasi ialah perjuangan bersama. Perjuangan pengentasan kemiskinan juga ialah persoalan Hindu, Budha, dan Islam, sebab ketiganya diperhadapkan dengan masalah yang sama, sebagaimana yang telah saya singgung di bagian pendahuluan mengenai konteks di India. Dalam konteks inilah saya akan berbicara mengenai pandangan teologi agama-agama Raimundo Panikkar tentang dialog intrareligius dan dari situ melihat bagaimana dialog seperti ini mampu memberi konstribusi dalam menyikapi realitas kemiskinan di Asia.

            Dalam agama Kristen sendiri, hal ini menjadi tanggung jawab gereja sebagaI lembaga agama yang memiliki pengaruh, baik kepada jemaatnya, masyarakat di mana dia tinggal, maupun kepada pemerintahannya. Nilai-nilai yang lebih diutamakan dan ditekankan biasanya pada niai-nilai prikemanusiaan dan prikeadilan. Pelanggaran nilai-nilai tersebut di sejumlah negara telah membangkitkan keprihatinan yang pada akhirnya melahirkan Teologi Pembebasan. Sebagai contoh, Umat Kristen dengan ajaran Kristologi yang menafsirkan bahwa Kristus adalah Tuhan yang hadir dalam situasi karut marut dan membawa pembebasan bagi rakyat kecil dan tertindas. Dari dasar inilah, maka orang Kristen mengikuti teladan Yesus dan menentang ketidakadilan. Mereka merasa mendapat tugas untuk meneruskan perjuangan Tuhan yang disembahnya.[7] Bahwasannya teologi Kristen mulai adanya desas desus setelah adanya goncangan-goncangan dari para penguasa atau penganut paham kapitalis, sehingga mereka mulai bangkit dari kesengsaraan dan pada akhirnya mulai adanya perlawanan dan mengentaskan dari kesenjangan sosial yang terjadi dan membebaskan diri dari ketertindasan. Di samping itu, suatu fakta yang jelas bagi kita, bahwa bangsa Asia adalah bangsa yang religius, bukan semata-mata karena kebanyakan agama yang dikenal umat manusia lahir di Asia, hinduisme dan Buddhaisme di India, Kong Hu Cu dan Taoisme di Cina, Shintoisme di Jepang, Yudaisme dan Kekristenan di Asia Barat, Islam di Arab, tetapi juga karena orang-orang di Asia, dalam usaha mereka untuk memahami dan mengatasi kemiskinan. Biasanya mengaitkan kemiskinan itu dengan keberagamannya.

C.     Analisis

Munculnya kemiskinan di asia ini tidak lepas dari pengaruh permainan politik dan adanya dominasi kapitalais sehingga timbul kontradiksi kelas sosial, sehingga para petani miskin mulai terusir dari tanah garapannya. Hal ini memberikan gambaran bahwa kemiskinan terjadi akibat keserakahan suatu kelompok maupun individu. Dari keadaan tersebut maka muncul gerakan  pembebasan bagi kaum tertindas. Keterlibatan sosial Gereja Indonesia untuk masa depan adalah perjuangan cinta kasih dan keadilan, membangun persaudaraan semua orang, mendahulukan kaum miskin. Pentingnya “Komunitas Basis Manusiawi” dan “Komunitas Basis Antar Iman”. Dalam hubungannya dengan keyakinan lain, Iman mempunyai dimensi keterlibatan besama untuk kesejahteraan hidup bersama, melawan ketidakadilan. Namun realitas yang terjadi di Indonesai masih banyak kaum miskin yang tertindas dan tidak terpelihara. Kaum kapitalis (pemilik modal) mencoba memonopoli dari berbagai sudut perekonomian negara Indonesia sehingga kaum miskin tidak memiliki celah untuk masuk dan mengalami perubahan kelas sosial.

Seharusnya persoalan-persoalan yang melanda masyarakat Asia memiliki perhatian khusus. Tindakan teologi harusnya memiliki komitmen yaitu memberi respon atas tantangan kaum miskin yang berjuang untuk mencapai kemanusiaan seutuhnya bukan sekedar budak yang diperlakukan sekehendak hati para kaum kapital (pemilik model). Serta teologi yang berkarya demi pembebasan kaum miskin harusnya mereka mampu menganalisis kondisi sosial kaum miskin, dengan memahami struktur sosial-politik, ekonomi dan budaya yang telah menghambakan kaum miskin itu sendiri. Sehingga tidak ada penyelewengan atas dasar kepentingan para penguasa saja.

Adapan tindakan kedepan yang dapat kita lakukan, antara lain:

Ø  Kita perlu melanjutkan pendalaman pengertian kita atas realitas Asia melalui keterlibatan aktif dalam perjuangan rakyat untuk mencapai kemanusiaan penuh, artinya kita berjuang bersama mereka para petani, nelayan, buruh, penghuni kawasan kumuh, dan sebagainya.

Ø  Teologi harus menuntun kita pada transformasi masyarakat dimana kita hidup, sehingga dapat memungkinkan orang Asia mengalami makna hidup yang sebenarnya

Ø  Terus membantu pengembangan teologi yang relevan untuk Asia melalui interaksi yang baik.

Ø  Kita membangun jaringan kerja sama pada persekutuan yang kuat dengan memberi pemahaman kepada mereka serta menunjukkan kelompok-kelompok yang telah sadar untuk memperjuangkan keadilan dan kehidupan para kaum miskin serta menghenytikan adanya penindasan secara tidak manusia.

 

DAFTAR PUSTAKA

Douglas j. Elwood Teologi Kristen Asia: tema-tema yang tampil ke permukaaan. (Gunung mulia, 1993)

Vitus Rabianto, S.X. Pertautan Kemiskinan dan Kereligiusan dalam teologii Aloysius Pieris, Kanisius, Yogyakarta

Lane, Tony. Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani. BPK Gunung Mulia, 2005

Elwood, Douglas J. Teologi Kristen Asia : Tema-tema Yang Tampil ke Permukaan. Jakarta: BPK Gunung Muilia, 2004

Francis Wahono Nitiprawira Teologi pembebasan, Yogyakarta

 


[1] Douglas j. Elwood Teologi Kristen Asia: tema-tema yang tampil ke permukaaan. (Gunung mulia, 1993), hlm. 75-76

[2] Vitus Rabianto, S.X. Pertautan Kemiskinan dan Kereligiusan dalam teologii Aloysius Pieris hlm 42, Kanisius, Yogyakarta

[3] Ibid Paradigma Asia hlm 43-44

[4]  Ibid 64

[5]  Lane, Tony. Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani. BPK Gunung Mulia, 2005, hlm. 265-266

[6] Elwood, Douglas J. Teologi Kristen Asia : Tema-tema Yang Tampil ke Permukaan. Jakarta: BPK Gunung Muilia, 2004, hlm. 275-276

[7] Francis Wahono Nitiprawira Teologi pembebasan, Yogyakarta hlm 188

#KOMDUKHAN #KOMCAD KESADARAN BELA NEGARA

Selasa, 01 Desember 2020

Peran dan Tantangan FBNGO

 

Peran dan Tantangan FBNGO Humanitarian Internasional  Di Indonesia yang Multikultur

(Studi atas Muslim Aid dan Catholic Relief Services)

OLEH : SETIONO 


Kemajuan zaman yang begitu deras tidak dapat dipungkiri dengan berbagai perkakasnya. Dibalik semua itu nilai-nilai kemanusiaan terasa luntur dan degradasi moral semakin kuat. Nilai-nilai ke gotong royongan seolah-olah mulai luntur dan menghilang, gotong royong juga merupakan identitas dari bangsa Indonesia sendiri. Hakikat dengan adanya kemajuan zaman tantangan semakin banyak, namun masalah kemanusiaan semakin kompleks. Tantangan krisis kemanusiaan global yang kompleks dan Indonesia yang memiliki beragam keunikan, disamping ragam etnis, agama, dan budaya. Indonesia yang begitu beragam bukan berarti Indonesia menjadi negara yang maju, namun Indonesia juga memiliki tantangan sendiri. Dengan keragaman yang ada, maka Indonesia semakin diuji dengan nilai-nilai persatuan dan kemanusiaan dalam menghargai perbedaan dan gotong royong. Namun, Indonesia dalam menjawab dan menghadapi krisis kemanusiaan, kegiatan-kegiatan kemanusiaan di Indonesia yang diakibatkan konflik, kemiskinan, kelaparan, dan bencana, sudah relatif dapat dikelola dengan baik. Semua itu, karena dengan adanya kerjasama dan partisipasi dari berbagai organisasi atapun lembaga kemanusiaan dan keagamaan baik nasional maupun imternasional.

Lembaga-lembaga humanitarian dapat dilihat dari sejarah Indonesia berdiri sejak tahun 1970, namun pusatnya di Amerika Serikat. Jika dilihat dari paradigma studi agama, maka lembaga internasional secara umum dapat dibedakan menjadi dua yaitu lembaga humaniter sekuler dan lembaga humaniter berbasis agama. Lembaga yang disebut terakhir sering disebut dengan istilah faith-based non-government organization (FBNGO). Oleh karenanya, lembaga humaniter yang berbasis agama mengajak semua orang dari berbagai keyakinan, agama dan latar belakang yang berbeda-beda untuk dapat berbagi nilai-nilai yang dapat membantu meningkatkan dan membangkitkan semangat hidup serta dapat membawa pada berbagai manfaat yang baik. Keberadaan FBNGO selama ini sangat mewarnai dunia humaniter internasional. FBNGO telah mampu memberikan manfaat besar bagi aksi-aksi kemanusiaan dan memperkaya corak gerakan kemanusiaan tersebut. Meskipun demikian hal itu tidak berarti FBNGO bebas dari masalah. Identitas dasarnya sebagai lembaga humaniter keagamaan membuat FBNGO menghadapi tantangan, terutama dalam konteks masyarakat yang multikultur. Khususnya Indonesia yang begitu terkenal sebagai negara yang pluralisme atau mulitkulturalisme dan mayoritas adalah Muslim. Namun bagi FBNGO hal itu bukan menjadi sebuah kendala yang besar, sebab semua itu bisa diatasi dengan berbagai nilai-nilai yang ada dalam ajaran agama yaitu membantu dalam kebaikan (menerapkan nilai-nilai kasih). FBNGO memiliki orientasi keagamaan yang sangat jelas dengan menempatkan agama sebagai motivasi utama dalam aksi kemanusiaannya. Dan terbukti bahwa mereka mampu melebur dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Artikel ini juga menjelaskan MA (Muslim Aid) dan CRS (Catholic Relief Services) yang merupakan lembaga dalam kategori humanitarian sintesis. Sebagai lembaga humanitarian sintesis, MA dan CRS masing-masing menempatkan teologi Islam dan Kristen sebagai prinsip, semangat, dan sumber inspirasi gerakannya. Dalam company profile-nya, CRS menyebut dirinya dimotivasi oleh ajaran Yesus Kristus untuk menghormati, melindungi, dan menegakkan martabat kehidupan semua manusia, mengembangkan kedermawanan dan keadilan. Sedangkan, MA menyandarkan identitas institusinya dan kegiatannya pada ajaran-ajaran kemanusiaan dari nilai-nilai luhur Islam. Namun, pada hakikatnya antara MA dan CRS mengaplikasikan nilai-nilai ajaran agama yaitu implementasi dari kasih itu sendiri. Sebab, setiap agama mengajarkan kasih. Meskipun terdapat program khusus keagamaan, porsi program keagamaan di CRS dan MA sangat kecil dibandingkan dengan program kemanusiaannya. Pada dasarnya keberadan mereka sangat memiliki pengaruh yang baik untuk masyarakat Indonesia. Merekapun memiliki peran yang penting bagi masyarakat Indonesia. Namun, apakah hanya misi kemanusiaan saja yang mereka terapkan? Jika dalam kaca mata pembaca, mungkin tidak hanya misi kemanusiaan saja, tidak sekedar misi dakwah. Namun, ada misi lain yang secara eksplisit tidak dijelaskan, karena adanya prinsip-prinsip humanitarian internasional. Dengan demikian, bahwa lembaga-lembaga tersebut memiliki andil yang besar disaat adanya krisis kemanusiaan, baik itu terjadinya konflik maupun bencana. Disinilah peran-peran lembaga kemanusiaan dibutuhkan, namun akan lebih baik lagi jika tidak hanya saat terjadinya konflik ataupun bencana saja.

JIHADIS dan Kembalinya dari Syiria

 

JIHADIS dan RETURNEE dari Syiria

Oleh: Tio Jagat

Kemajemukan bangsa Indonesia menjadi hal yang berbeda dengan negara-negara lain. Namun, dengan kemajemukan yang ada dapat memicu seseorang untuk melakukan hal-hal yang bersifat extremisme, separatisme bahkan dapat mengarah pada gerakan radikal. Hal ini tidak dapat dibiarkan begitu saja, apalagi bangsa Indonesia dengan mayoritas Muslim, setiap Muslim memiliki pemahaman agama yang berbeda yang menurut keyakinannya benar, teks-teks suci ada yang dipahaminya secara tekstual dan adapula yang dipahami secara kontekstual. Pemahaman agama yang sempit dapat mudah untuk dipengaruhi dengan doktrin-doktrin yang bersifat jihad. Maka perlu adanya sinergitas antara umat Islam dan pemerintah untuk melakukan upaya-upaya dan strategi untuk melakukan preventif, penilaian, mengawasi ataupun memonitor, karena pernah terjadi di Indonesia banyak orang Indonesia yang ingin bergabung dengan ISIS di Suriah, namun banyak yang ditangkap dan dikirim pulang ke Indonesia. Bahkan pada tahun 2018, lebih dari 500 WNI telah dideportasi, sebagian besar dari Turki.

Gerakan ISIS yang begitu sistematis dan masif sangat mudah untuk mempengaruhi seseorang untuk bergabung. Seruan jihad yang dilakukan ISIS cukup membuat seseorang tergoyah pola pikirnya, apalagi dengan pemahaman agama yang masih minim dan apalagi belajar secara online melalui media sosial itu sangat mengkhawatirkan. Jadi perlu ada upaya perbaikan dan penjaminan terhadap mereka yang terkena faham ISIS atau terindikasi sebagai pendukung ISIS melalui rehabilitasi yang kontinyu. Sejumlah WNI telah diizinkan pulang seletah mengikuti program-program rehabilitasi yang belum pernah diikuti dengan sempurna. Indonesia hampir tidak mempunyai kapasitas untuk mengawasi mereka atau menilai risiko yang mungkin mereka bawa, dalam upaya aksi teroris dan atau radikalisasi. Pada bulan Mei 2018, orang-orang yang dideportasi dari Turki telah berhenti tetapi kebutuhan untuk melacak orang-orang yang telah kembali masih tetap tinggi.

Pada bulan Juni 2016, ISIS mulai memanggil para pendukungnya di Asia Tenggara untuk bermigrasi ke Mindanao karena menyeberang ke Suriah sudah lebih sulit. Namun, sedikit yang menjawab seruan tersebut, bahkan dengan kondisi yang mudah untuk bepergian dari Indonesia dan militer aliansi pro-ISIS di Marawi yang memungkinkan mereka menahan serangan pasukan keamanan Filipina selama lima bulan. Namun, sekitar 40 ekstreamis Indonesia telah berupaya pergi ke Mindanao pada tahun 2016 dan 2018. Di antara mereka, 9 orang telah dideportasi, 6 tewas dalam pertempuran, 12 ditangkap di Indonesia sebelum mereka pergi, 3 ditangkap di Filipina, 5 ditangkap di Sabah, dan sisanya masih di Mindanao. Hal ini menjadi kekhawatiran kita semua, artinya pemerintah harus lebih tegas lagi dalam menangani permasalahan-permasalahan teroris dan radikalisme. Apalagi dengan adanya keberadaan ISIS ini sangat dapat mempengaruhi warga negara Indonesia, maka pemerintah dengan upayanya untuk merehabilitasi mereka yang dideportasi dan melakukan monitoring atau pengawasan diharapkan dapat menjadi salah satu strategi yang baik. Namun, menurut saya upaya-upaya tersebut masih belum maksimal, karena masih banyak usaha-usaha mereka yang dideportasi untuk kembali ke ISIS, perlu adanya peningkatan dalam penanganan masalah serius ini, perlu adanya sinergitas antara pemerintah dan lembaga-lembaga keagamaan ataupun dengan BIN dan BNPT. Upaya-upaya yang sudah ada ditingkatkan kembali, undang-undang harus tegas, sehingga upaya-upaya tersebut dapat berjalan sesuai dengan target dan sasaran. Dengan demikian, semua elemen tersebut harus memiliki komitmen yang berkelanjutan dalam penanganan masalah tersebut.

Rabu, 08 Juli 2020

Peran Pancasila dalam Beragama

PERAN PANCASILA DALAM BERAGAMA

Setiono

            Pancasila merupakan bentuk dari kesepakatan leluhur bangsa dimana sebuah kesepakatan tidak akan berfungsi jika tidak memiliki status yang jelas, dengan itulah pancasila sebagai bentuk kesepakatan leluhur dijadikan sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara. Pancasila sebagai ideologi bangsa mengikat warga negara dengan berbagai ketentuan – ketentuan yang sangat mendasar. Pengamalan pancasila sendiri harus diresapi secara keseluruhan bukan hanya masing – masing sila.

            Indonesia memiliki karakteristik masyarakat mengedepankan nilai spiritualitas yakni berkaitan dengan nilai keagamaan. Pancasila memberikan petunjuk arah kebersamaan dalam keberagaman menjadi penting mengingat bangsa Indonesia adalah  bangsa yang memiliki corak umum sebagai bangsa yang ber-Tuhan. Bukti dari segi krohanian bangsa Indonesia yang tertuang dalam pancasila adalah pada sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu lebih jelas lagi tertuang dalam pembukaan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 disebutkan bahwa bangsa Indonesia merrdeka atas berkat rahmat dari Allah.

            Namun, sebagai ideologi bangsa masih dirasa adanya tumpang tindih antara Pancasila dengan sisi kehidupan beragama. Seperti yang telah kita ketahui bahwa agama memiliki jangkauan yang universal berlaku bagi seluruh umat manusia, dan akan sulit jika hanya dibatasi dari segi ke- Indonesiaan saja. Kita mengetahui bahwa Indonesia sendiri terdiri atas beberapa agama dimana keberadaan agama – agama yang berbeda harus diupayakan untuk menunjukan sisi harmonis atas perbedaan itu. Terkait perbedaan beragama, sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan dasar pengikat dari kehidupan beragama di Indonesia bahwa Indonesia pada dasarnya ber Tuhan dan mengakui adanya banyak agama untuk berkembang. Sangat wajar dengan adanya banyak agama di Indonesia memunculkan banyak persepsi tentang Tuhan, tetapi sebagai nilai dasar maka Ketuhanan Yang Maha Esa itulah yang menjadi corak umum bangsa Indonesia.

            Banyak kalangan agama melihat adanya suatu keharusan bagi Pancasila untuk membatasi diri dalam batas – batas minimal untuk pengaturan kehidupan beragama. Peran pancasila disini dapat dianalogikan sebagai “Polisi Lalu lintas” kehidupan beragama. Oleh karena itu perlu adanya suatu pengaturan yang perlu disepakati dan ditunduki bersama. Fungsi dari pancasila sendiri juga terwujud dalam membuat aturan permainan antar ummat beragama. Dengan kata lain fungsi dari Pancasila itu sendiri minimal dapat memberikan batasan – batasan minimalnya yang tidak boleh ditundukkan kepada kehendak agama itu sendiri.

            Pada prinsipnya Pancasila memberikan penguatan sekaligus kontribusi terhadap agama, hal ini dilihat dari ruh sila pertama bangsa Indonesia untuk mengakui adanya Tuhan dan berTuhan. Bertuhan dengan baik harus melalui pemahaman agama, jadi Pancasila secara tersirat mewajibkan bangsa Indonesia untuk beragama agar dapat bertuhan dengan benar.

            Untuk menyelenggarakan kehidupan beragama yang tertib damai maka Pancasila sebagai fondasi bangunan negara menjadi sesuatu yang sifatnya statis dan hal itu tidak dapat menjadikan sekelompok golongan untuk merubahnya atas dalih apapun. Di Indonesia sendiri yang penduduknya mayoritas muslim, pancasila sangat dibutuhkan untuk menjaga keberagaman dalam kerukunan. Pancasila akan menjaga posisi mayoritas muslim untuk mewujudkan dirinya sebagai pengayom perbedaan agama yang melindungi minoritas.

            Sedangkan menurut pandangan para tokoh agama di Indonesia menyerukan pentingnya Pancasila dalam membina kehidupan bermasyarakat. Adanya konflik berbasis SARA (suku, agama, ras, dan anatar golongan) yang terjadi selama ini karena dampak dari kemerosotan penghayatan nilai – nilai Pancasila. Menurt Maftuh Basyumi menegaskan bahwa pancasila harus menjadi acuan dari seluruh sistem hukum dan sistem politik negara.

            Dalam suatu kongres tokoh agama, dihasilkan 3 rekomendasi yang meliputi:

  1. Negara diminta menjamin kebebasan beribadah dan mendorong peningkatan penghayatan serta pengamalan nilai agama yang dianut oleh masing – masing pemeluknya.
  2. Adanya rencana aksi dari tindak lanjut kongres tokoh agama
  3. Memberdayakan forum kerukunan umat beragama (FKUB) dalam meningkatkan kesejahteraan dan kerukunan umat beragama.

DAFTAR REFERENSI

Anonim. Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Beragama. STIMIK Triguna Darma.

Anonim.2006. Para Tokoh Agama Serukan Pentingnya Peran Pancasila. From http://www.nuonline.or.id (diakses tanggal 12 November 2012)

Wijayanto, Janu.2011.Pancasila, Gotong Royong dalam Perbedaan Agama. From :http://www.ipabionline.com/2011/12/pancasila-gotong-royong-dalamperbedaan.html (diakses tanggal 12 November 2012)


Ilmu Perbandingan Agama (Comparative Study of Religion) *Studi Agama-Agama

Perkembangan, Arti, dan Metode dalam Ilmu Perbandingan Agama

Setiono

           

            Membicarakan disiplin ilmu sejarah agama harus dibedakan dengan filsafat agama. Metode religo-ilmiah (Religionswissenschaft) menjadi titik awal perbedaan penyelidikannya. Ketika kita ingin mempelajari tentang suatu perkembangan, suatu arti (makna), dan metode dalam Ilmu Perbandingan Agama tidaklah mudah dalam kita memahaminya. Sebab banyak hal yang perlu kita pahami tentang suatu ilmu dan kita tidak hanya sekedar memahaminya, tetapi harus disiplin ilmu agar kita mampu sedikit demi sedikit mengambil pelajaran atau ilmu dalam Ilmu Perbandingan Agama. Dalam bukunya Joachim Wach (Ilmu Perbandingan Agama) yang dimana dalam pembahasanya ada tentang Perkembangan, Arti dan Metode Ilmu Perbandingan Agama. Dari hal itu kita ketahui perkembangan ilmu perbandingan agama diwarnai antusias yang sangat kuat dan baik untuk memahami agama-agama lain, dan adanya kebutuhan secara spekulatif.  Dengan adanya “Science of religion” dimaksudkan agar kita mampu membedakan antara ilmu dari filsafat agama dan terutama teologi.

            Perkembangan ilmu perbandingan agama tidak lepas dari unsur spekulatif, meski terkadang masih terpengaruh dengan sebuah sifat historis. Karena hal itu tak dapat dipungkiri dengan adanya rangkaian kejadian, seperti sejarah agama tetapi tidak hanya itu saja ada ceritera, sosiologi, dan psikologi semua itu sangat membantu disiplin ilmu. Berangkat dari hal itu mulai munculnya antropologi, dan fenomenologi. Dalam hal itu ada tiga hal penting diantaranya :

1.  Keinginan untuk mengatasi perselisihan-perselisihan yang timbul akibat spesialisasi dan pembidangan yang terlalu berlebihan, melalui pandangan yang terpadu.

2.   Keinginan penetrasi yang lebih jauh ke dalam hakikat pengalaman keagamaan.

3.   Pembahasan masalah-masalah epistemologis yang wujud akhirnya bersifat metafisis.

Dari hal itu muncul respon positif dan sebagian sarjana percaya bahwa hasil karya generasi sebelunya tidak boleh dilupakan, tetapi harus tetap terpelihara.

            Dari semua itu muncul kerja sama internasional dikalangan para sarjana Eropa, Asia, dan Amerika. Kerja sama ini terdiri dari berbagai sandang seperti Muslim, Hindu, Cina, dan Jepang pantas menerima perhatian istimewa (Birma, Siam, Pilipina, Arab, Pakistan, Indonesia). Kerja sama itu terpelihara hingga lima puluh tahun. Setelah itu tidak dapat dipungkiri mengenai politik dan adanya pengaruh perang dunia mempersulit untuk mempertahankan standar dalam pertemuan.

            Dalam sikap batin sendiri sudah dapat mensifati  seseorang sebagai anggota yang sebenarnya. Sudah barang tentu dalam hal tersebut belakangan akan lebih sulit menunjukkan apakah diperlukan adanya pemahaman lengkap daripada dalam kasus yang terdahulu dimana keikut sertaan diatur secara lebih otomatis atau mekanis. Ada tingkatan-tingkatan tertentu dalam pemahaman yang bersifat sebagian (partial) dan bersifat  menyeluruh (integral). Hal itu menjadikan kita mengetahui syarat-syarat yang harus ada, bila hendak memperoleh pemahaman yang integral. Ada tiga syarat yang harus kita ketahui, yaitu :

1  Kita meninjau perlengkapan apa saja yang diperlukan. Seperti diketahui kelengkapan itu sebagian akan bersifat intelektual. Jangan harap dapat memahami suatu agama atau gejala keagamaan tanpa adanya informasi yang cukup luas. 

   2. Berhasil tidaknya suatu upaya memahami agama yang bukan agama sendiri tergantung dari ada atau tidaknya persyaratan emosional yang tepat.

3.  Kemauan (vilition).

    Dari ketiga hal pokok itu masih ada kelengkapan lain yang merupakan perlengkapan utama dalam mempelajari agama, yaitu pengalaman (experience). Jadi, dapat diperkirakan bahwa kita mampu menilai dengan tepat dalam mahami agama itu ada berbagai cara atau  tindakan kritis. Sebuah hal yang tak dapat dipungkiri mengenai banyak pertentangan yang timbul selama sepuluh tahun terakhir ini yang berkisar antara dua macam aliran pemikiran. Sebenarnya kita telah dituntut agar melakukan metode secara ilmiah, itulah metode yang sah. Karena dengan ilmiah kita mampu melakukan pemahaman dan dengan pemikiran yang kritis. Dan ada filsafat North yang telah mengemukakan satu sistem filsafat yang terpadu untuk memahami alam, akal, dan jiwa (spirit). Inilah yang seharusnya mampu menggantikan kebiasaan laten. Secara metodologis berarti bahwa wujud yang tampil tidak harus dijelaskan dari sudut strata atau tingkatan proses yang mendahuluinya. Karena itu dibuatlah perkiraan untuk memahami penampilan keadaan-keadaan baru yang dapat diramalkan sebelumnya. Maka dari itu harus adanya pemahaman secara ilmiah atau secara kritis, kritis dalam keadaan dan kritis dalam pemikiran.

Sebenarnya ada beberapa macam cara memahami atau mempelajari agama yaitu :

1.      Secara Teologi (Theology)

2.      Secara Historis (History of Religion)

3.      Secara Sosiologis (Sociology of Religion)

4.      Secara Antropologis (The Anthropological Study of Religion)

5.      Secara Evaluasi atau Kritik Intern (Literary Criticism)

6.      Secara Filosofis (Philosophy of Religion)

7.      Secara Psikologis (Psychology of Religion)

8.      Secara Fenomenologis (Phenomenology)

            Dengan hal diatas kita akan mudah memahami tentang ilmu perbandingan agama, karena semuanya sangat penting dalam kita melakukan pemahaman keagamaan. Semua itu terjadi sebab adanya perkembangan-perkembangan, maka muncullah berbagai ilmu yang mampu menelaahnya sebuah pemahaman yang kritis. Dengan demikian, bahwa dalam memahami keagamaan atau ilmu perbandingan agama tidak lepas dari historis, teologi, sosiologis, antropologis, evaluasi (intrepretasi penulisan atau kritik intern), filsafat, psikologis dan fenomenologis. Maka, marilah kita sebagai generasi penerus harus lebih memahami segala hal secara kritis dan disiplin ilmu. Sehingga dapat mengaktualisasikan nilai-nilai moral dalam kehidupan beragama di era kontemporer saat ini.


Rabu, 27 November 2019

IDEOLOGI ULTRA-KONSERVATIF DI MEDIA SOSIAL



PENYEBARAN IDEOLOGI ULTRA-KONSERVATIF DI MEDIA SOSIAL

 SETIONO 


Perkembangan zaman dan arus globalisasi yang nampak begitu pesat tidak dapat dibendung lagi, bahkan sekat-sekat interakasi terasa sempit dan tanpa batas. Dengan pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi (HP, TV, Internet dan sebagainya) telah mempengaruhi pola hidup masyarakat, hingga masyarakat tradisional mengalami perubahan ke arah masyarakat yang lebih modern. Tentu kemajuan teknologi menyebabkan perubahan-perubahan yang begitu signifikan pada kehidupan masyarakat dengan segala peradaban dan kebudayaan yang baru.
Perubahan tersebut juga memberikan dampak dan mempengaruhi pola-pola interaksi serta perubahan transformasi nilai-nilai yang ada di masyarakat. Komunikasi yang terjadi saat ini semakin mudah dengan kemajuan teknologi melalui media sosial seperti WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter, Youtube, Google dan sebagainya. Sebagai salah satu media komunikasi, media sosial tidak hanya dimanfaatkan untuk memberikan informasi dan ide-ide, tetapi juga ekspresi diri, pencitraan diri, bahkan untuk update status terbaik yang memiliki inforamasi dan inspiratif.
Namun, di saat perkembangan media sosial yang cukup pesat, justru akar permasalahan dari persoalan-persoalan yang akhir-akhir ini terjadi. Seperti mengenai disintegrasi bangsa, karena melalui media sosial banyak kalangan yang kurang bijak dalam memanfaatkan dan menyalahgunakannya untuk menebar kebohongan (berita hoax), ujaran kebencian, hujatan dan hasutan hingga paham radikal. Hal-hal tersebut yang dapat menjadikan masyarakat memiliki pikiran yang cenderung apatis terhadap kehidupan sosial, bahkan tidak peduli dengan adanya tindakan kejahatan.
Hal ini menggambarkan bahwa pengguna internet dan media sosial memiliki keterhubungan yang cukup signifikan dalam pesan-pesan yang dikonsumsi sehingga mereka percaya terhadap pesan-pesan tersebut. Dalam hal ini, teori stimulus-respon bisa melihat keterhubungan tersebut. Karena teori ini berbicara pada di mana efek merupakan reaksi terhadap stimulus tertentu. Seseorang dapat menjelaskan suatu kaitan erat antara pesan-pesan media dan reaksi audience (McQuail, 1994). Dennis McQuail menjelaskan elemen utama dari teori ini adalah pesan (stimulus), seorang penerima atau receiver (organisme) dan efek (respon).
Kita ketahui bahwa media sosial juga memiliki pengaruh yang besar untuk tatanan kehidupan masyarakat, apalagi dengan adanya internet yang mudah diakses oleh siapapun. Bahkan gerakan-gerakan radikalisme dan extrimisme justru banyak menggunakan media sosial untuk dakwah dan menyebarakan ideologi. Meski tidak hanya gerakan radikalisme yang memanfaatkan media sosial, namun banyak media sosial digunakan organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah. Namun, pada realitanya gerakan-gerakan radikalisme banyak memiliki pengaruh di media sosial, tidak hanya melalui situs-situsnya yang menebar hasutan, ujaran kebencian dan syiar-syiar yang cenderung mengarah pada gerakan kekerasan.
Ajakan-ajakan jihad untuk membantu orang-orang yang tertindas dan kebencian terhadap pemerintahan di negara mereka tinggal secara jelas nampak dalam ulasan mereka. Pembahasan terkait aqidah dan muamalah juga sangat tekstual dalam menafsirkan al-Quran dan hadits, sering kali mereka menulis kata-kata kafir dan menjastifikasi kufar pada orang atau sekelompok orang yang tidak sejalan dengan pemikirannya atau ajarannya. Hal demikian, dapat mengubah pola pikir pembaca ataupun pendengar menuju kebencian. Kalimat-kalimat tersebut dapat mempengaruhi pembaca untuk pembenaran dalam melakukan aksi ataupun tindakan extrimisme maupun terorisme. Sehingga dapat dikatakan bahwa media sosial sangat memiliki pengaruh yang besar dalam mengubah nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, bahkan mudah menghasut masyarakat untuk bertindak anarkis atas nama agama.
Catatan Kritis :
Meskipun arus media sosial tidak dapat dibendung dan tidak semuanya bisa terawasi. Tentu kita sebagai pengguna harus pandai-pandai atau harus bijak dalam menggunakan media sosial dan menyaring informasi secara baik. Sebab, media sosial akhir-akhir ini pada pertumbuhannya justru banyak informasi-informasi yang tidak benar (hoax), banyaknya ujaran kebencian, hasutan-hasutan untuk bertindak rasis, anarkis, extrimisme dan sebagainya. Hal demikian dapat merusak eksistensi diri kita bahkan bangsa dan negara kita. Karena media sosial juga dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki faham radikal untuk menyuarakan ajaran-ajarannya. Bahkan banyak sekali para pengguna atau pencari informasi di media sosial tanpa dibarengi dengan ilmu agama yang cukup, sehingga hal itu bisa berpengaruh pada pembaca untuk bertindak extrimisme maupun terorisme.

Makna Tahlilan

  PROSESI DAN MAKNA TAHLILAN DI DESA KLORON PLERET BANTUL SETIONO    A.    Latar Belakang Tahlilan sangat erat sekali kaitannya de...