Para
Filsuf, Teologi, dan Sejarawan
Mengenai Simbol dalam Kehidupan Manusia (Agama)
Oleh: SETIONO
Dapat dipahami, bahwa simbol
merupakan alat yang kuat untuk memperluas penglihatan kita, merangsang daya
imajinasi kita, dan memperdalam pemahaman kita. Kalau lebih spesifiknya, simbol
merupakan sebuah objek yang berfungsi sebagai sarana untuk mempresentasikan
sesuatu hal yang bersifat abstrak, misalnya burung merpati sebagai simbol
kedamaian. Berbicara mengenai simbol sama dengan masuk dalam sebuah diskusi
panjang mengenai pencarian arti dan makna dari simbol. Sejenak
kita akan melihat pandangan beberapa filsuf maupun teolog mengenai bagaimana
mereka memahami dan memaknai simbol.
A. Ernst Cassirer
Dalam bukunya yang berjudul An Essay
on Man ia memulai dengan bab yang berjudul The Crisis of Man’s Knowledge of
Himself. Ia menunjukkan bahwa pada masa sekarang manusia memiliki kelimpahan
sumber-sumber pengetahuan. Kelimpahan sumber pengetahuan tersebut telah
membanjiri manusia dengan kelimpahan data. Tepat pada kondisi tersebut Cassirer
melihat bahwa manusia sebenarnya sedang mengalami krisis. Manusia berkelimpahan
data tetapi manusia tidak mempunyai metode untuk menata data-data tersebut.
Krisis itu digambarkannnya seperti sebuah labirin. Pertanyaaanya ialah
bagaimana mencari benang Ariadne untuk keluar dari labirin tersebut.
Untuk keluar
dari labirin tersebut ia menyatakan bahwa manusia memiliki “hubungan ketiga”.
Manusia sama seperti semua mahluk hidup lainnya, ia mempunyai sistem reseptor
dan sistem efektor. Tetapi, manusia juga memiliki daya kemampuan untuk
memasukkan di antara kedua sistem tersebut suatu sistem simbol. Sistem simbol
inilah yang membuat manusia tidak merespon secara langsung dan segera atas
stimulus yang datang. Manusia dapat menafsirkan stimulus-stimulus yang ada.
Bentuk-bentuk simbol yang digunakan manusia dalam usaha menafsirkan stimulus
itu berpotensi memperbesar pengetahuan dan kepekaan serta mengarahkan pada
tindakan yang kreatif. Manusia hidup dalam alam semesta simbolis. Bahasa, mite,
kesenian dan agama ialah bagian-bagian dari alam semesta itu.
Berkeyakinan
bahwa dalam hiudpnya manusia membutuhkan hubungan ketiga yang adalah sistem
simbol. Dengan menggunakan bentuk-bentuk simbolis, manusia telah mencapai
kemajuan sampai tingkat yang sangat tinggi di dunia sekarang ini, dan hanya
dengan membangun bentuk-bentuk simbolis yang baru kemajuaan tingkat tinggi itu
dapat dipertahankan.
B. Paul Tillich
Kalau dilihat dari pemahaman Tillich
itu, ada beberapa hal penting yakni bahwa fungsi simbol yang sejati, ialah
membukakan kepada manusia adanya tingkat-tingkat realitas yang tidak dapat
dimengerti dengan cara lain. Hal ini secara khusus berlaku untuk simbol-simbol
seni. Simbol juga berfungsi untuk membuka dimensi-dimensi roh bathiniah manusia
sehingga terwujudlah korespondensi atau korelasi dengan segi-segi realitas
tertinggi.
Dalam membicarakan simbol Tillich
memberikan ciri-ciri dasar dari simbol. Simbol bersifat figuratif, selalu menunjuk sesuatu yang
diluarnya. Baginya simbol berbeda dengan tanda. Simbol mengambil bagian dalam
realitas yang ditunjuknya dan mewakili sesuatu yang diwakilinya sampai tingkat
tertentu. Sedangkan tanda bersifat univok, arbitrer dan dapat diganti, tanda
tidak mempunyai hubungan intrinsik dengan sesuatu yang ditunjuknya.
Simbol dapat
dicerap baik sebagai bentuk objektif maupun sebagai konsepsi imaginatif.
Simbol juga memiliki daya kekuatan yang melekat. Sehingga
simbol dapat membuka dimensi-dimensi roh batiniah manusia sehingga terwujudlah
suatu korespondensi dengan segi-segi realitas tertinggi. Simbol memperluas
penglihatan tentang realitas transenden. Simbol mempunyai akar dalam masyarakat
dan mendapat dukungan dari masyarakat. Simbol hidup oleh karena hubungannya
dengan suatu kebudayaan yang khusus. Jika simbol tidak lagi membangkitkan
respon yang vital maka simbol itu mati.
C. Paul Ricoeur
Ricoeur mendefinisikan simbol
sebagai struktur makna di mana suatu arti yang langsung, primer, harafiah
menunjukkan arti lain yang tidak langsung, sekunder dan figuratif serta yang
hanya dapat dipahami hanya melalui yang pertama.
Dalam bukunya The Symbolism of Evil ia melukiskan arti
kotor, tercemar secara jasmani sebagai simbol ketidakmurnian manusia dalam
hubungannya dengan Yang Kudus. Tercemar atau terkena noda secara alami disebutnya
sebagi intensionalitas pertama.
Kemudian Ricoeur melanjutkan pada
intensionalitas kedua yaitu melalui apa yang secara jasmani tidak bersih,
menggambarkan situasi di mana manusia dalam hubungannya dengan Yang Kudus
mengalami ketercemaran, ketidakmurnian. Jadi arti harfiah itu menunjukkan sesuatu arti yang lebih jauh.
Kotor dan tercemar secara jasmani di sana menggambarkan ketidakmurnian manusia
dalam hubungan dengan Yang Kudus. Dengan itu, arti yang pertama menujuk secara
analogis kepada yang arti kedua yang tidak diberikan secara lain kecuali dalam
arti pertama. Kotor dan tercemar secara jasmani menjadi simbol ketidakmurnian
dalam hubungan manusia dengan Yang-Kudus. Sehingga dapat diketahui bahwa
Ricoeur lebih menaruh perhatian tentang makna kebebasan.
Sehingga dapat dipahami bahwa dalam
keragaman pemikiran mengenai simbol tersebut, dua refren utama yang disepakati
bersama ialah simbol sampai detik ini masih mempunyai peranan yang sangat
penting dalam kehidupan manusia. Jadi, simbol merupakan alat yang kuat untuk
memperluas pengetahuan kita, merangsang daya imaginasi kita dan memperdalam
pemahaman kita. Selama manusia masih mencari arti dari sebuah kehidupan, manusia tidak akan pernah bisa lepas dari simbol.
Next:
Simbol
merupakan alat yang kuat untuk memperluas penglihatan kita, merangsang daya
imajinasi kita, dan memperdalam pemahaman kita. Kalau lebih spesifiknya, simbol
merupakan sebuah objek yang berfungsi sebagai sarana untuk mempresentasikan sesuatu
hal yang bersifat abstrak. Berbicara mengenai simbol sama dengan masuk dalam
sebuah diskusi panjang mengenai pencarian arti dan makna dari simbol. Sejenak kita akan melihat pandangan beberapa filsuf maupun
teolog mengenai bagaimana mereka memahami dan memaknai simbol.
Minggu yang lalu kita membahas
beberapa pemikiran, seperti Ernst Cassirer yang mengatakan bahwa titik tekan
pemikirannya adalah tentang sebuah bentuk-bentuk
simbol yang mampu membuat peradaban manusia yang kreatif. Paul Tillich
lebih menekankan pada fungsi simbol
itu sendiri. Sedangkan Paul Ricoeur, lebih menekankan pada struktur makna yang cenderung pada sebuah bahasa. Dari pembahasan
tiga tokoh tersebut, maka kita mencoba melanjutkan lagi dengan para pemikir
atau tokoh yang lainnya.
A.
Karl
Rahner
Seluruh teologi tidak dapat dipahami jika teologi itu pada
hakikatnya bukan teologi simbol, meskipun pada umumnya sangat sedikit perhatian
diberikan, secara sistematis dan jelas, kepada ciri khas pokok ini. Contoh
tertinggi ungkapan simbolis adalah ungkapan diri Allah sendiri dalam Sang Sabda
(Logos): ‘Logos adalah simbol Bapa”.
Simbol adalah realitas yang diwujudkan oleh hal yang
disimbolkan sebagai momen batin dan dirinya sendiri, yang menyingkapkan serta
memaklumkan hal yang disimbolkan dan dirinya sendiri dipenuhi oleh hal yang
disimbolkan, karena merupakan bentuk konkret eksistensinya. Menurut Rahner
proses simbolisasi mempunyai kata kunci yaitu ungkapan, pencurahan diri sendiri
kedalam yang lain, realisasi diri dalam yang lain, hadir dalam yang lain.
Pembahasan tema
simbol oleh Rahner dibahas dalam kerangka teologi simbol. Baginya sistem
simbolisme itu sendiri termasuk dalam kodrat ke-Allah-an itu sendiri. Maka dari
itu ia memahami simbol sebagai berikut.
1. Simbol
tidak pernah boleh dipandang sebagai suatu yang terpisah dari hal yang
disimbolkannya.
2. Suatu
objek atau suatu diri terungkap dalam simbol dan dengan demikian menjadi hadir
dalam simbol.
3. Simbol
merupakan kehadiran nyata.
4. Simbol
tidak memisahkan ketika mengantarai, tetapi mempersatukan dengan segera.
5. Simbol
dipersatukan dengan hal yang disimbolkannya karena hal yang disimbolkannya
membentuk simbol sebagai realisasi dirinya sendiri.
Ia mengatakan, “…Allah sendiri merupakan realitas keselamatan
sebab realitas keselamatan ini diberikan kepada manusia dan ditangkap dengan
simbol; simbol bukan merupakan realitas yang tidak hadir dan terjanji
semata-mata, tetapi menujukkan realitas sebagai sesuatu yang hadir melalui
simbol yang dibentuknya”.
B.
Bernard Lonergan
Dalam pemikirannya Lonergan lebih menggunakan pendekatan
psikologis, berbeda dengan Rahner yang menggunakan pendekatan filosofis. Sebuah
simbol adalah gambaran dari suatu objek nyata atau khayal yang menggugah
perasaan atau digugah oleh perasaan. Lonergan sendiri menegaskankan bahwa
simbol sendiri mendahului setiap penafsiran
atau penjelasan. Simbol adalah intensionalitas yang mendasar artinya.
Subjek merasa tertarik pada suatu objek atau sebaliknya; subjek menanggapi
secara spontan dalam bentuk simbolis.
Simbol dapat melakukan apa yang tidak dapat dilakukan oleh
logika dan dialektika, terutama karena bentuknya yang biasa ialah bentuk
gambaran dan bukan bentuk pernyataan atau proposisi. Menurut pandangan
Lonergan, simbol adalah ungkapan tertinggi atau perekam perasaan. Jadi, dapat
dipahami bahwa simbol merupakan sebuah objek yang mampu menggugah perasaan yang
mendasar dan memilik rasa tertarik.
C.
Austin Farrer
Pemikiran Farrer lebih sering mengacu kepada
gambaran-gambaran, penglihatan, pencerminan, baying-bayang dan cermin. Namun,
mediumnya adalah bahasa, meskipun pengalaman bersifat visual dan reflektif. Simbol
adalah bayang-bayang, cerminan, dan pengetahuan tentang Allah, sampai kepada kita
melalui proses yang berjalan terus menerus di mana bayang-bayang itu secara
tidak sempurna mencerminkan realitas tetapi pada gilirannya realitas itu
mentransformasikan bayang-bayang tersebut.
Menurut Farrer lama sebelum wacana prosa yang logis, ilmiah
ada, manusia saling berkomunikasi melalui cerita-cerita, perumpamaan,
perumpamaan, gambaran-gambaran, dan kiasan-kiasan. Apa yang harfiah baginya
bersifat sekunder, gambaran atau simbol bersifat primer. Ia sangat mempedulikan
apa yang dapat menggetarkan hati, meskipun ia tidak pernah meremehkan arti
penting kritik dan pemikiran rasional terutama untuk menciptakan “teologi
kodrati”.
D.
Mircea
Eliade
Hierofani, menurut Eliade merupakan manifestasi yang kudus
dalam konteks dunia yang sekuler. Manifestasi-manifestasi tersebut selalu
diwujudkan dan di kemudian hari dikenang sebagai simbol-simbol. Simbol dan
penciptaan simbollah yang paling memadai untuk mencakup aneka segi ungkapan
pengalaman manusia yang dilukiskannya. Melalui bentuk-bentuk simbolislah
manusia menanggapi hierofani-hierofani, tidak sekadar dengan berusaha
menghasilkan suatu refleksi atau cerminan dari apa yang sudah dilihat atau
didengar tetapi dengan menghubungkan dirinya pada apa yang menciptakan
manifestasi itu melalui semacam tanggapan timbal balik.
a. Dalam
pemakanaan mengenai simbol Eliade mengarahkan pemikirannya kepada;
(1)
barang dan peristiwa khusus.
(2)
mencari arti penting dari barang dan peristiwa khusus tersebut, untuk akhirnya.
(3)
menghubungkan manusia dengan yang Ilahi.
b. Ia
menekankan secara khusus apa yang disebutnya hierofani, yaitu manifestasi dari
yang kudus dalam konteks dunia sekular. Baginya manifestasi-manifestasi itu
mengambil tempat sebagai simbol-simbol.
c. Fungsi simbol baginya ialah mengubah suatu
barang atau tindakan menjadi sesuatu yang lain daripada yang kelihatan dari
barang atau tindakan itu di mata profan.
Dalam bukunya “The History of
Relogions: Essay in Methodology” ia mengemukakan ciri-ciri simbol:
1) Multivalen,
metaempiris, artinya simbol selalu menunjuk sesuatu yang lebih jauh yaitu
kepada Yang-Kudus, realitas tertinggi.
2) Simbol
bukanlah sebuah penujuk yang tidak ada hubungannya dengan manusia aktif. Simbol
selalu tertuju pada suatu realitas atau situasi yang melibatkan esksistensi
manusia.
3) Dengan
demikian simbol memberi makna dan arti ke dalam eksistensi manusia.
E.
Ernst Gombrich
Dalam menafsirkan karya-karya seni. Gombrich menggunakan
tiga kata kunci: representasi, simbolisasi, dan ekspresi. Sebuah gambar tentu
saja, dapat dimaksudkan untuk merepresentasikan (menggambarkan) suatu
pemandangan alam, seorang manusia, suatu keadaan sosial, atau semacam
konfigurasi abstrak. Gabungan representasi, simbolisasi, dan ekspresi merupakan
gabungan yang berguna berkenaan dengan lukisan dan pahatan. Simbolisasi adalah
proses sentralnya dan inilah rahasia kekuatan karya seni, apakah referensi
simbolis ditafsirkan secara intuitif ataukah melalui proses lebih luas lewat
penalaran diskursif.
Note :
Dengan
melihat makna atau arti simbol dari beberapa tokoh di atas sebenarnya secara
tidak langsung fungsi dari simbol tersebut sedikit banyak telah terpaparkan.
Secara garis besar fungsi simbol dapat dilihat sebagai
berikut :
·
menggugah
kesadaran, kepercayaan, perasaan dan gambaran mengenai komponen-komponen dari
pengalaman-pengalaman.
·
Mengungkapkan
yang universal bukan sebagai impian atau bayangan, melainkan sebagai wahyu yang
hidup.
·
Memperluas
pengetahuan, merangasang daya imaginasi dan memperdalam pemahaman manusia.
·
Mengambil
bagian dalam realitas yang ditunjuknya dan mewakili sesuatu yang diwakilinya
sampai tingkat tertentu.
·
Membukakan
kepada manusia adanya tingkat-tingkat realitas yang tidak dapat dimengerti
dengan cara lain. Hal ini khususnya berlaku pada simbol-simbol seni.
·
Membuka
dimensi-dimensi roh batiniah manusia sehingga terwujudlah suatu korespondensi
dengan segi-segi realitas tertinggi.
·
Mengubah
suatu barang atau tindakan menjadi sesuatu yang lain daripada yang kelihatan
dari barang atau tindakan itu di mata profan.
·
Dan
menyatakan suatu realitas suci atau kosmologis yang tidak dapat dinyatakan oleh
manifestasi lainnya. Simbol menciptakan solidaritas tetap antara manusia dan
yang kudus.
·
Serta memberi
arti atau makna ke dalam eksistensi manusia.
Dari beberapa pandangan mengenai
arti dan fungsi simbol di atas kini dapat ditarik sebuah benang merah yang
dapat diterima bersama. Simbol dapat dipandang sebagai
a. suatu
kata atau barang atau objek atau tindakan atau peristiwa atau pola atau pribadi
atau hal yang kongkret;
b. yang
mewakili atau menggambarkan atau mengisyaratkan atau menandakan atau
mengungkapkan atau menerangi
c. sesuatu
yang lebih tinggi atau transenden atau yang lebih besar atau sebuah makna, atau
realitas atau kepercayaan atau suatu keadaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar