Rabu, 23 Maret 2016

Pemahaman Simbol



Para Filsuf, Teologi, dan Sejarawan
Mengenai Simbol dalam Kehidupan Manusia (Agama)
Oleh: SETIONO
 
            Dapat dipahami, bahwa simbol merupakan alat yang kuat untuk memperluas penglihatan kita, merangsang daya imajinasi kita, dan memperdalam pemahaman kita. Kalau lebih spesifiknya, simbol merupakan sebuah objek yang berfungsi sebagai sarana untuk mempresentasikan sesuatu hal yang bersifat abstrak, misalnya burung merpati sebagai simbol kedamaian. Berbicara mengenai simbol sama dengan masuk dalam sebuah diskusi panjang mengenai pencarian arti dan makna dari simbol. Sejenak kita akan melihat pandangan beberapa filsuf maupun teolog mengenai bagaimana mereka memahami dan memaknai simbol.
A.    Ernst Cassirer
            Dalam bukunya yang berjudul An Essay on Man ia memulai dengan bab yang berjudul The Crisis of Man’s Knowledge of Himself. Ia menunjukkan bahwa pada masa sekarang manusia memiliki kelimpahan sumber-sumber pengetahuan. Kelimpahan sumber pengetahuan tersebut telah membanjiri manusia dengan kelimpahan data. Tepat pada kondisi tersebut Cassirer melihat bahwa manusia sebenarnya sedang mengalami krisis. Manusia berkelimpahan data tetapi manusia tidak mempunyai metode untuk menata data-data tersebut. Krisis itu digambarkannnya seperti sebuah labirin. Pertanyaaanya ialah bagaimana mencari benang Ariadne untuk keluar dari labirin tersebut.
            Untuk keluar dari labirin tersebut ia menyatakan bahwa manusia memiliki “hubungan ketiga”. Manusia sama seperti semua mahluk hidup lainnya, ia mempunyai sistem reseptor dan sistem efektor. Tetapi, manusia juga memiliki daya kemampuan untuk memasukkan di antara kedua sistem tersebut suatu sistem simbol. Sistem simbol inilah yang membuat manusia tidak merespon secara langsung dan segera atas stimulus yang datang. Manusia dapat menafsirkan stimulus-stimulus yang ada. Bentuk-bentuk simbol yang digunakan manusia dalam usaha menafsirkan stimulus itu berpotensi memperbesar pengetahuan dan kepekaan serta mengarahkan pada tindakan yang kreatif. Manusia hidup dalam alam semesta simbolis. Bahasa, mite, kesenian dan agama ialah bagian-bagian dari alam semesta itu.
            Berkeyakinan bahwa dalam hiudpnya manusia membutuhkan hubungan ketiga yang adalah sistem simbol. Dengan menggunakan bentuk-bentuk simbolis, manusia telah mencapai kemajuan sampai tingkat yang sangat tinggi di dunia sekarang ini, dan hanya dengan membangun bentuk-bentuk simbolis yang baru kemajuaan tingkat tinggi itu dapat dipertahankan.
B.     Paul Tillich
            Kalau dilihat dari pemahaman Tillich itu, ada beberapa hal penting yakni bahwa fungsi simbol yang sejati, ialah membukakan kepada manusia adanya tingkat-tingkat realitas yang tidak dapat dimengerti dengan cara lain. Hal ini secara khusus berlaku untuk simbol-simbol seni. Simbol juga berfungsi untuk membuka dimensi-dimensi roh bathiniah manusia sehingga terwujudlah korespondensi atau korelasi dengan segi-segi realitas tertinggi.
            Dalam membicarakan simbol Tillich memberikan ciri-ciri dasar dari simbol. Simbol bersifat figuratif, selalu menunjuk sesuatu yang diluarnya. Baginya simbol berbeda dengan tanda. Simbol mengambil bagian dalam realitas yang ditunjuknya dan mewakili sesuatu yang diwakilinya sampai tingkat tertentu. Sedangkan tanda bersifat univok, arbitrer dan dapat diganti, tanda tidak mempunyai hubungan intrinsik dengan sesuatu yang ditunjuknya.
            Simbol dapat dicerap baik sebagai bentuk objektif maupun sebagai konsepsi imaginatif. Simbol juga memiliki daya kekuatan yang melekat. Sehingga simbol dapat membuka dimensi-dimensi roh batiniah manusia sehingga terwujudlah suatu korespondensi dengan segi-segi realitas tertinggi. Simbol memperluas penglihatan tentang realitas transenden. Simbol mempunyai akar dalam masyarakat dan mendapat dukungan dari masyarakat. Simbol hidup oleh karena hubungannya dengan suatu kebudayaan yang khusus. Jika simbol tidak lagi membangkitkan respon yang vital maka simbol itu mati.
C.     Paul Ricoeur
            Ricoeur mendefinisikan simbol sebagai struktur makna di mana suatu arti yang langsung, primer, harafiah menunjukkan arti lain yang tidak langsung, sekunder dan figuratif serta yang hanya dapat dipahami hanya melalui yang pertama. Dalam bukunya The Symbolism of Evil ia melukiskan arti kotor, tercemar secara jasmani sebagai simbol ketidakmurnian manusia dalam hubungannya dengan Yang Kudus. Tercemar atau terkena noda secara alami disebutnya sebagi intensionalitas pertama.
            Kemudian Ricoeur melanjutkan pada intensionalitas kedua yaitu melalui apa yang secara jasmani tidak bersih, menggambarkan situasi di mana manusia dalam hubungannya dengan Yang Kudus mengalami ketercemaran, ketidakmurnian. Jadi arti harfiah itu menunjukkan sesuatu arti yang lebih jauh. Kotor dan tercemar secara jasmani di sana menggambarkan ketidakmurnian manusia dalam hubungan dengan Yang Kudus. Dengan itu, arti yang pertama menujuk secara analogis kepada yang arti kedua yang tidak diberikan secara lain kecuali dalam arti pertama. Kotor dan tercemar secara jasmani menjadi simbol ketidakmurnian dalam hubungan manusia dengan Yang-Kudus. Sehingga dapat diketahui bahwa Ricoeur lebih menaruh perhatian tentang makna kebebasan.
            Sehingga dapat dipahami bahwa dalam keragaman pemikiran mengenai simbol tersebut, dua refren utama yang disepakati bersama ialah simbol sampai detik ini masih mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Jadi, simbol merupakan alat yang kuat untuk memperluas pengetahuan kita, merangsang daya imaginasi kita dan memperdalam pemahaman kita. Selama manusia masih mencari arti dari sebuah kehidupan, manusia tidak akan pernah bisa lepas dari simbol. 

Next:

         Simbol merupakan alat yang kuat untuk memperluas penglihatan kita, merangsang daya imajinasi kita, dan memperdalam pemahaman kita. Kalau lebih spesifiknya, simbol merupakan sebuah objek yang berfungsi sebagai sarana untuk mempresentasikan sesuatu hal yang bersifat abstrak. Berbicara mengenai simbol sama dengan masuk dalam sebuah diskusi panjang mengenai pencarian arti dan makna dari simbol. Sejenak kita akan melihat pandangan beberapa filsuf maupun teolog mengenai bagaimana mereka memahami dan memaknai simbol.
            Minggu yang lalu kita membahas beberapa pemikiran, seperti Ernst Cassirer yang mengatakan bahwa titik tekan pemikirannya adalah tentang sebuah bentuk-bentuk simbol yang mampu membuat peradaban manusia yang kreatif. Paul Tillich lebih menekankan pada fungsi simbol itu sendiri. Sedangkan Paul Ricoeur, lebih menekankan pada struktur makna yang cenderung pada sebuah bahasa. Dari pembahasan tiga tokoh tersebut, maka kita mencoba melanjutkan lagi dengan para pemikir atau tokoh yang lainnya.
A.    Karl Rahner
Seluruh teologi tidak dapat dipahami jika teologi itu pada hakikatnya bukan teologi simbol, meskipun pada umumnya sangat sedikit perhatian diberikan, secara sistematis dan jelas, kepada ciri khas pokok ini. Contoh tertinggi ungkapan simbolis adalah ungkapan diri Allah sendiri dalam Sang Sabda (Logos): ‘Logos adalah simbol Bapa”.
Simbol adalah realitas yang diwujudkan oleh hal yang disimbolkan sebagai momen batin dan dirinya sendiri, yang menyingkapkan serta memaklumkan hal yang disimbolkan dan dirinya sendiri dipenuhi oleh hal yang disimbolkan, karena merupakan bentuk konkret eksistensinya. Menurut Rahner proses simbolisasi mempunyai kata kunci yaitu ungkapan, pencurahan diri sendiri kedalam yang lain, realisasi diri dalam yang lain, hadir dalam yang lain.
            Pembahasan tema simbol oleh Rahner dibahas dalam kerangka teologi simbol. Baginya sistem simbolisme itu sendiri termasuk dalam kodrat ke-Allah-an itu sendiri. Maka dari itu ia memahami simbol sebagai berikut.
1.      Simbol tidak pernah boleh dipandang sebagai suatu yang terpisah dari hal yang disimbolkannya.
2.      Suatu objek atau suatu diri terungkap dalam simbol dan dengan demikian menjadi hadir dalam simbol.
3.      Simbol merupakan kehadiran nyata.
4.      Simbol tidak memisahkan ketika mengantarai, tetapi mempersatukan dengan segera.
5.      Simbol dipersatukan dengan hal yang disimbolkannya karena hal yang disimbolkannya membentuk simbol sebagai realisasi dirinya sendiri.

            Ia mengatakan, “…Allah sendiri merupakan realitas keselamatan sebab realitas keselamatan ini diberikan kepada manusia dan ditangkap dengan simbol; simbol bukan merupakan realitas yang tidak hadir dan terjanji semata-mata, tetapi menujukkan realitas sebagai sesuatu yang hadir melalui simbol yang dibentuknya”.

B.     Bernard Lonergan
Dalam pemikirannya Lonergan lebih menggunakan pendekatan psikologis, berbeda dengan Rahner yang menggunakan pendekatan filosofis. Sebuah simbol adalah gambaran dari suatu objek nyata atau khayal yang menggugah perasaan atau digugah oleh perasaan. Lonergan sendiri menegaskankan bahwa simbol sendiri mendahului setiap penafsiran  atau penjelasan. Simbol adalah intensionalitas yang mendasar artinya. Subjek merasa tertarik pada suatu objek atau sebaliknya; subjek menanggapi secara spontan dalam bentuk simbolis.
Simbol dapat melakukan apa yang tidak dapat dilakukan oleh logika dan dialektika, terutama karena bentuknya yang biasa ialah bentuk gambaran dan bukan bentuk pernyataan atau proposisi. Menurut pandangan Lonergan, simbol adalah ungkapan tertinggi atau perekam perasaan. Jadi, dapat dipahami bahwa simbol merupakan sebuah objek yang mampu menggugah perasaan yang mendasar dan memilik rasa tertarik.
C.     Austin Farrer
Pemikiran Farrer lebih sering mengacu kepada gambaran-gambaran, penglihatan, pencerminan, baying-bayang dan cermin. Namun, mediumnya adalah bahasa, meskipun pengalaman bersifat visual dan reflektif. Simbol adalah bayang-bayang, cerminan, dan pengetahuan tentang Allah, sampai kepada kita melalui proses yang berjalan terus menerus di mana bayang-bayang itu secara tidak sempurna mencerminkan realitas tetapi pada gilirannya realitas itu mentransformasikan bayang-bayang tersebut.
Menurut Farrer lama sebelum wacana prosa yang logis, ilmiah ada, manusia saling berkomunikasi melalui cerita-cerita, perumpamaan, perumpamaan, gambaran-gambaran, dan kiasan-kiasan. Apa yang harfiah baginya bersifat sekunder, gambaran atau simbol bersifat primer. Ia sangat mempedulikan apa yang dapat menggetarkan hati, meskipun ia tidak pernah meremehkan arti penting kritik dan pemikiran rasional terutama untuk menciptakan “teologi kodrati”.

D.    Mircea Eliade
Hierofani, menurut Eliade merupakan manifestasi yang kudus dalam konteks dunia yang sekuler. Manifestasi-manifestasi tersebut selalu diwujudkan dan di kemudian hari dikenang sebagai simbol-simbol. Simbol dan penciptaan simbollah yang paling memadai untuk mencakup aneka segi ungkapan pengalaman manusia yang dilukiskannya. Melalui bentuk-bentuk simbolislah manusia menanggapi hierofani-hierofani, tidak sekadar dengan berusaha menghasilkan suatu refleksi atau cerminan dari apa yang sudah dilihat atau didengar tetapi dengan menghubungkan dirinya pada apa yang menciptakan manifestasi itu melalui semacam tanggapan timbal balik.
a.       Dalam pemakanaan mengenai simbol Eliade mengarahkan pemikirannya kepada;
(1) barang dan peristiwa khusus.
(2) mencari arti penting dari barang dan peristiwa khusus tersebut, untuk akhirnya.
(3) menghubungkan manusia dengan yang Ilahi.
b.      Ia menekankan secara khusus apa yang disebutnya hierofani, yaitu manifestasi dari yang kudus dalam konteks dunia sekular. Baginya manifestasi-manifestasi itu mengambil tempat sebagai simbol-simbol.
c.        Fungsi simbol baginya ialah mengubah suatu barang atau tindakan menjadi sesuatu yang lain daripada yang kelihatan dari barang atau tindakan itu di mata profan.

            Dalam bukunya “The History of Relogions: Essay in Methodology” ia mengemukakan ciri-ciri simbol:
1)    Multivalen, metaempiris, artinya simbol selalu menunjuk sesuatu yang lebih jauh yaitu kepada Yang-Kudus, realitas tertinggi.
2)    Simbol bukanlah sebuah penujuk yang tidak ada hubungannya dengan manusia aktif. Simbol selalu tertuju pada suatu realitas atau situasi yang melibatkan esksistensi manusia.
3)    Dengan demikian simbol memberi makna dan arti ke dalam eksistensi manusia.

E.     Ernst Gombrich
Dalam menafsirkan karya-karya seni. Gombrich menggunakan tiga kata kunci: representasi, simbolisasi, dan ekspresi. Sebuah gambar tentu saja, dapat dimaksudkan untuk merepresentasikan (menggambarkan) suatu pemandangan alam, seorang manusia, suatu keadaan sosial, atau semacam konfigurasi abstrak. Gabungan representasi, simbolisasi, dan ekspresi merupakan gabungan yang berguna berkenaan dengan lukisan dan pahatan. Simbolisasi adalah proses sentralnya dan inilah rahasia kekuatan karya seni, apakah referensi simbolis ditafsirkan secara intuitif ataukah melalui proses lebih luas lewat penalaran diskursif.

Note :
Dengan melihat makna atau arti simbol dari beberapa tokoh di atas sebenarnya secara tidak langsung fungsi dari simbol tersebut sedikit banyak telah terpaparkan. Secara garis besar fungsi simbol dapat dilihat sebagai berikut :
·         menggugah kesadaran, kepercayaan, perasaan dan gambaran mengenai komponen-komponen dari pengalaman-pengalaman.
·         Mengungkapkan yang universal bukan sebagai impian atau bayangan, melainkan sebagai wahyu yang hidup.
·         Memperluas pengetahuan, merangasang daya imaginasi dan memperdalam pemahaman manusia.
·         Mengambil bagian dalam realitas yang ditunjuknya dan mewakili sesuatu yang diwakilinya sampai tingkat tertentu.
·         Membukakan kepada manusia adanya tingkat-tingkat realitas yang tidak dapat dimengerti dengan cara lain. Hal ini khususnya berlaku pada simbol-simbol seni.
·         Membuka dimensi-dimensi roh batiniah manusia sehingga terwujudlah suatu korespondensi dengan segi-segi realitas tertinggi.
·         Mengubah suatu barang atau tindakan menjadi sesuatu yang lain daripada yang kelihatan dari barang atau tindakan itu di mata profan.
·         Dan menyatakan suatu realitas suci atau kosmologis yang tidak dapat dinyatakan oleh manifestasi lainnya. Simbol menciptakan solidaritas tetap antara manusia dan yang kudus.
·         Serta memberi arti atau makna ke dalam eksistensi manusia.
            Dari beberapa pandangan mengenai arti dan fungsi simbol di atas kini dapat ditarik sebuah benang merah yang dapat diterima bersama. Simbol dapat dipandang sebagai
a.       suatu kata atau barang atau objek atau tindakan atau peristiwa atau pola atau pribadi atau hal yang kongkret;
b.      yang mewakili atau menggambarkan atau mengisyaratkan atau menandakan atau mengungkapkan atau menerangi
c.       sesuatu yang lebih tinggi atau transenden atau yang lebih besar atau sebuah makna, atau realitas atau kepercayaan atau suatu keadaan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makna Tahlilan

  PROSESI DAN MAKNA TAHLILAN DI DESA KLORON PLERET BANTUL SETIONO    A.    Latar Belakang Tahlilan sangat erat sekali kaitannya de...