Selasa, 15 Maret 2022

Makna Tahlilan

 

PROSESI DAN MAKNA TAHLILAN

DI DESA KLORON PLERET BANTUL


SETIONO 

 


A.   Latar Belakang

Tahlilan sangat erat sekali kaitannya dengan kematian, karena tujuan utama tahlilan adalah untuk mendoakan arwah-arwah yang terlebih dahulu dipanggail oleh Allah SWT. Semua umat Islam meyakini bahwa setiap anak Adam (manusia) yang mati akan menemui dua kemungkinan. Yang pertama siksa kubur, karena amal buruknya ketika si mayit hidup di dunia. Sedangkan yang kedua nikmat kubur, karena amal baik yang pernah diperbuat ketika hidup di dunia. Yang menakutkan bagi mereka (orang-orang muslim) dan merusak ketenangan mereka, sehingga muncul kecemasan, adalah siksaan yang menyertai kematian itu.[1] Berawal dari kepercayaan tersebut, maka sebagai seorang muslim yang baik akan selalu mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapi datangnya kematian. Tak hanya itu saja, bagi orang-orang yang ditinggal mati sanak saudaranya juga berdoa kepada Allah SWT agar Allah menerima segala amal baiknya, mengampuni dosa-dosanya dan meringankan siksanya.

Upacara keagamaan yang berupa ritus kematian yang disebut dengan tahlil adalah suatu upaya yang dilakukan oleh orang-orang muslim yang masih hidup untuk mendoakan saudaranya yang telah mati.[2] Memang pada dasarnya upacara kematian seperti tahlil bukan mutlak mengadopsi dari ajaran Islam, akan tetapi merupakan akulturasi dari nilai-nilai budaya antara Islam dengan budaya-budaya yang ada di negeri kita ini. Maka bukan suatu yang mengherankan apabila tahlilan ini hanya ada di Indonesia saja.

Kematian yang berkaitan dengan masalah tahlilan menitik beratkan pada masalah ruh (keadaan ruh si mayat) yang menurut kepercayaan orang muslim, khususnya masyarakat Jawa, bahwa ruh si mayat turun ke bumi atau berkeliaran di muka bumi seperti ketika orang itu masih hidup, sehingga memandang penting untuk diadakan suatu ritus atau upacara keagamaan.[3] Nahdhotul Ulama adalah sebuah ormas Islam di Indonesia yang menjadikan tahlilan sebagai salah satu ciri darinya. Pasalnya diseluruh pelosok negeri ini terlebih-lebih pulau Jawa yang apabila secara kuantitas penduduknya didominasi oleh warga Nahdiyyin, maka pasti akan kita temui kegiatan tahlilan tersebut terlebih pada saat terjadi peristiwa kematian, atau peringat kematian yang disebut Haul. Budaya tahlilan yang telah mengakar kuat khususnya bagi warga Nahdiyyin seakan-akan merupakan consensus yang harus dilaksanakan oleh semua warga masyarakat tanpa terkecuali, karena kenyataan di dalam masyarakat apabila ada warga yang tidak menyukai atau tidak melaksanakan kegiatan tahlilan tersebut akan termarjinalkan dari masyarakat.

Fenomena tahlilan yang terjadi hampir di seluruh pelosok pulau Jawa juga terjadi pada masyarakat Desa Kloron Pleret Bantul. Mereka juga melaksanakan kegiatan tahlilan tersebut dalam berbagai hal seperti: upacara kematian, peringatan kematian, mendoakan orang sakit agar lekas sembuh, menempati rumah baru, pada saat hajatan warga sebagai wujud rasa syukur dan acara-acara yang berbau keagamaan. Akan tetapi secara umum tahlilan dilaksanakan apabila terjadi peristiwa kematian atau peringatan kematian.

Akan tetapi yang menjadi fokus perhatian kami adalah prosesi tahlilan tiga hari (peringatan kematian) dan makna serta tujuan diadakannya tahlilan di Desa Kloron Pleret Bantul tersebut. Sebagaimana tahlilan merupakan ritus kematian yang mempunyai tujuan menghadiahkan pahala bacaan kepada mayit agar Allah mengampuni dosa dan kesalahannya serta meringankan siksanya sekaligus mengajak para jama’ah tahlilan tersebut agar senantiasa mengingat bahwa suatu saat semua orang pasti akan menyusulnya.

 

B.  Tahlilan Sebagai Tradisi

Tahlilan seperti yang kita lihat adalah salah satu bentuk upacara keagamaan yang muncul karena adanya akulturasi kebudayaan Jawa yang pada waktu itu didominasi oleh Hindu, Budha dengan kebudayaan Islam. Pada masa pra Islam di Jawa, tradisi membaca mantra-mantra disertai selamatan hampir terjadi pada setiap peristiwa penting dalam kehidupan, seperti kelahiran, kematian, pernikahan, panenan, dan lain sebagainya. Artinya acara tahlilan pada mulanya bersumber dari luar Islam yang oleh wali disusupi nilai-nilai keislaman. Dakwah para wali tidak serta merta mengikis nilai buadaya yang sudah ada. Dengan kata lain, para wali berdakwah tidak menggunakan metode normatif (istilah dalam bahsa hukum sekarang), yaitu bersitegang mempertahankan kemurnian syari’at Islam, tetapinjuga menggunakan pendekatan sosiologis, yaitu metode dakwah yang didasarkan atas kenyataan yang ada dalam masyarakat itu sendiri dan baru dicarikan dalil yang memperkuatnya.[4]

Dari berbagai uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya tahlilan bukan hanya berupa suatu bentuk ritual ibadah, tetapi sebenarnya didalam tahlilan itu sendiri terdapat nilai-nilai budaya dan tradisi yang sudah menyatu dalam masyarakat Jawa, terutama masyarakat Jawa Islam. Sehingga keberadaan tahlilan itu tidak dapat dipisahkan dari kondisi sosial dari suatu masyarakat. Adapun mengenai bagaimana bentuk atau macam-macam tahlilan yang berbeda dari setiap daerah merupakan sesuatu yang sangat mungkin terjadi karena beragamnya kultur masyarakat yang berbeda satu sama lain, tetapi dari perbedaan itu semua terdapat titik kesamaan diantaranya, yakni inti dari tahlilan itu sendiri, diantara semuanya intinya adalah perkumpulan warga melakukan do’a bersama.

 

C. Prosesi Tahlilan di Desa Kloron, Pleret, Bantul

1.      Perkumpulan

Acara tahlilan yang ada di Jawa ini merupakan acara dzikir dan baca do’a bersama merupakan acara yang melibatkan banyak orang, sehingga dibutuhkan suatu perkumpulan orang untuk melakukannya. Dalam mengumpulkan orang tersebut biasanya ada undangan, pengumuman di masjid atau semacamnya, tetapi ada yang berbeda dengan kondisi yang ada di Desa Kloron Kecamatan Pleret, Bantul ini, yang mana di desa ini acara pengumpulan ada secara kesadaran. Disini tidak ada semacam undangan-undangan resmi atau pengumuman-pengumuman di masjid seperti kebanyakan. Para warga mengetahui adanya tahlilan tersebut dengan cara informasi yang menyebar antar mulut dari warga satu ke warga yang lainnya, selain itu warga juga sudah tahu sejak awal bahwa dalam adat Desa Kloron, setiap ada orang meninggal maka akan ada acara tahlilan diadakan pada sekitar harinya.

 Dalam acara pengumpulan jama’ah tahlil ini tidak ada paksaan ataupun suatu keharusan untuk mengikuti acara tahlilan. Setiap warga kebanyakan memiliki kesadaran sendiri. Misalkan ada orang yang tidak mengikuti acara tahlilan ini, menurut Pak Sutopo tidak pernah ada sanksi sosial seperi cibiran, gunjingan atau semacamnya atas orang tersebut.  Disini acara tahlilan merupakan suatu budaya yang menyatukan warga. Acara ini menjaga kerukunan antar warga Desa Kloron, sehingga tidak memandang aliran ataupun madzhab yang digunakan, karena tahlilan merupakan tradisi dan budaya yang sudah ada sejak dahulu.[5]

2.    Jamuan Makan

Sudah lazim dalam budaya Jawa bahwa setiap ada perkumpulan atau hajatan terdapat jamuan makanan yang disediakan oleh tuan rumah atau pihak yang bersangkutan dengan hajatan tersebut. Begitu juga dengan acara tahlilan juga terdapat jamuan makan dan minum. Ada yang berbeda dari jamuan makan yang ada di acara tahlilan Desa Kloron ini yang menurut kelompok kami merupakan suatu hal yang unik, yaitu jamuan makan dibagikan pada awal. Setelah jama’ah sudah berkumpul dan duduk, pihak tuan rumah membagikan makanan berupa nasi dan lauk serta minumannya. Hal ini berbeda dengan kebanyakan yang mana jamuan makan biasanya dibagikan setelah acara do’a selesai kemudian baru dibagikan. Mengenai makanan apa saja yang disajikan tidak ada ketentuan yang berlaku untuk jenis makanannya, semua terserah tuan rumah yang menyajikan sesuai dengan kemampuan ekonomi tuan rumah tersebut.

3.    Tausiyah

Setelah acara jamuan makan tersebut selesai, rangkaian acara yang selanjutnya adalah tausiyah yang disampaikan oleh peuka agama Desa Kloron yang sekaligus imam dari acara tahlilan ini. Tausiyah ini biasanya berisi tentang nasehat-nasehat kematian dan juga mengingatkan kepada para jama’ah agar senantiasa ingat dan sadar bahwa suatu saat orang akan mati agar kita mempersiapkan diri dan senatiasa berbuat baik. Selain berisi nasehat-nasehat tersebut, tausiyah ini juga bermaksud untuk menghibur bagi keluarga yang ditinggalkannya agar selalu bersabar, tabah dan ikhlas. Acara tausiyah tersebut berlangsung selama kurang lebih 20 sampai dengan 30 menit.

4.    Pembacaan Dzikir Tahlil

Tahlilan pada hakekatnya merupakan serangkaian dzikir dan ucapan-ucapan kalimat thoyyibah yang dirangkum menjadi satu, sehingga inti dari prosesi Tahlilan itu sendiri adalah acara pembacaan dzikir kepada Allah SWT secara serentak bersama-sama. Sedangkan dzikir-dzikir yang dibaca pada prosesi tahlilan tersebut adalah:

a.       Bacaan ayat-ayat dalam Al-Qur’an

Dalam setiap prosesi tahlilan, pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an merupakan suatu komponen yan pokok. Al-Qur’an akan mendatangkan pahala bagi siapa yang membacanya, bahkan kepada orang yang mendengarkan, Allah akan memberikan pahala kepadanya. Dalam kegiatan tahlilan, Al-Qur’an dibaca mendatangkan kemanfaatan bagi si mayit yang menerima hadiah pahala dari bacaan-bacaan Al-Qur’an yang dihadiahkan kepadanya. Ayat-ayat yang dibaca pada prosesi tahlilan tersebut diantaranya adalah: Surat Al Fatihah, Al Ikhlas, Al Falaq, An Nas, Al Baqarah ayat 1-5, ayat Kursi dan Al Ahzab ayat 56 dan sebagainya.[6] Pemilihan ayat-ayat tersebut bukan berarti meniadakan atau menafikkan eksistensi surat-surat lain dalam Al-Qur’an, tetapi karena keterbatasan waktu maka dipilih ayat-ayat tertentu berdasarkan faedah-faedah yang terkandung dalam setiap bacaan tersebut.

 

b.      Istighfar

Istighfar artinya meminta ampun kepada Allah SWT atas suatu dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan.[7] Dalam Prosesi tahlilan terdapat bacaan-bacaan istighfar yang dilantunkan secara serempak bersama-sama. Hal tersebut bermaksud untuk mengajak setiap jama’ah agar merenungi kesalahan dan mohon ampun kepada Allah SWT melalui istighfar tersebut, karena pada dasarnya setiap manusia tidak lepas dari suatu kesalahan dan dosa, oleh karena itu sudah merupakan kewajiban setiap manusia untuk bertaubat kepada Allah SWT.[8]  Bahkan dalam kehidupan sehari-hari sudah jelas dalam Al-Qur’an yang artinya : “Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (Q.S An-Najm 53 : 39)[9] Jika dipahami makna ayat tersebut, maka sejatinya manusia itu tergantung pada tindakannya, perilaku kehidupannya, sebab manusia dalam kehidupannya memiliki etika ataupun norma. Dengan demikian, istighfar merupakan salah satu kendali dalam kehidupan manusia.

c.       Sholawat kepada Nabi Muhammad SAW

Yang dimaksudkan dengan Sholawat Nabi adalah membaca Sholawat kepada Nabi Muhammad SAW dengan lafadz-lafadz tertentu, karena bersholawat kepadanya termasuk amal ibadah yang diberi pahala dan ganjaran oleh Allah kepada mereka yang mengerjakannya.[10]

d.      Bacaan Tasbih

Kata tasbih berasal dari bahasa Arab dengan kata kerjanya sabbaha, yusabbihu yang berarti mensucikan atau mengagungkan. Yang dimaksudbmembaca tasbih adalah mengucapkan kata subhanallah, artinya maha suci Allah dan mengingat serta menunjukkan seluruh keyakinan kepada mempersucikan Tuhan itu.[11] Makna kalimat tasbih juga dapat diartikan meyakini kesucian Allah SWT dari segala sesuatu yang tidak layak bagi-Nya dan dari segala sifat kekurangan.[12]

Sebagaimana inti dari acara tahlilan yang merupakan kumpulan dari dzikir dan do’a, dalam acara tahlilan pembacaan kalimat tahlil termasuk salah satu bagian utama dari dzikir tahlilan tersebut. Bacaan tasbih dalam tahlilan mempunyai tujuan untuk mengajak jama’ah agar selalu mengagungkan Allah SWT dan untuk mengingatkan bagi yang masih hidup agar selalu mengingat dan bertakwa kepada Allah SWT, dan dalam acara tahlilan itu khususnya, bacaan tasbih dibaca dengan maksud dikirimkan kepada si mayit agar diberikan ketenangan dan kedamaian dalam kubur melalui perantara bacaan tasbih tersebut.[13]

e.       Bacaan Tahmid dan Takbir

Kata Tahmid berasal dari bahasa Arab dengan kata kerjanya Hammida, Yuhammidu yang artinya memuji. Bentuk dasarnya Tuhmidan yang berarti pujian. Dimaksudkan dengan tahmid disini ialah mengucapkan Alhamdulillah (segala puji bagi Allah SWT). Adapun kata takbir juga berasal dari bahasa Arab dengan kata kerjanya Kabbara, yukabbiru yang artinya membesarkan, mengagungkan dan sebagainya. Bentuk masdarnya adalah Takbiran.[14]

Sama seperti fungsi tasbih pada uraian sebelumnya, bacaan takbir dan tahmid dalam tahlilan ditujukan untuk mengajak jama’ah berdzikir besama-sama  dan senantiasa mengingat akan keagungan Allah SWT dan selalu mensyukuri atas segala ni’mat yang telah dianugerahkan olehNya kepada kita manusia sebagai makhlukNya.

f.       Do’a

Secara etimologi do’a berasal dari kata kerja Da’a Yadu’u dengan bentuk masdarnya Du’aan, Wada’watun yang berarti panggilan atau seruan, ajakan, permohonan dan sebagainya.[15] Abdul Basyit mengatakan bahwa doa adalah intisari ibadah, mengandung arti mengakui atas kelemahan diri dan meyakinkan atas kekuatan dan kekuasaan Allah Yang Maha Esa. Nabi besar Muhammad SAW bersabda bahwa:  do’a adalah otak ibadah, do’a adalah senjata orang mukmin, tiang agama, nur di langit dan di bumi.[16]

Dalam acara tahlilan, do’a merupakan acara paling pokok. Pada intinya do’a yang diucapkan pada tahlilan adalah memohon kepada Allah SWT agar diberikan kelapangan kubur, ketenangan dan kedamaian bagi si mayit. Acara do’a tersebut diposisikan pada terakhir karena dimaksudkan agar kita mensucikan dengan dzikir-dzikir yang telah diuraikan pada pembahasan  sebelumnya , sehingga dalam berdo’a kita dalam posisi yang bersih dimata Allah SWT.[17] Hakikatnya manusia adalah mendoakan sesamanya, baik yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal. Al-Qur’an secara eksplisit juga menjelaskan, bahwa manusia agar senantiasa memohon ampunan kepada Allah SWT, sebab manusia tidak lepas dari kesalahan. Dalam Al-Qur’an diterangkan yang artinya : “Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata : Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman, dan jangan Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sungguh Engkau Maha Penyantun dan Maha Penyayang.” (QS Al-Hasyr 59 : 10)[18] Ayat tersebut secara tidak langsung menjelaskan pentingnya mendoakan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang sudah meninggal. Bahkan ayat itu secara inklusif menjelaskan, bahwa manusia hidup harus memiliki sifat dan budi pekerti yang baik dan saling tolong menolong.

5.      Penutupan dan Pembagian Makanan

Acara terakhir dalam prosesi tahlilan di Desa Kloron ini adalah penutupan, yang mana penutupan ini diisi dengan berbagai sambutan-sambutan dari tuan rumah atau pihak yang bersangkutan serta imam yang memimpin acara tahlilan mengenai acara tahlilan ini. Pada acara penutupan ini selain sambutan-sambutan tersebut, sekaligus dibagikan bingkisan-bingkisan makanan kepada para jama’ah.

Dalam acara tahlilan di Desa Kloron  Bantul ini ada ciri khas yang sedikit berbeda dengan prosesi tahlilan di tempat lainnya. Yakni dalam sedekah atau pembagian makanannya,  disini pembagian makanan ada dua kali yaitu pada saat awal seperti yang telah dibahas sebelumnya, kemudian pada saat setelah penutupan dibagi lagi makanan dalam bentuk bahan mentah seperti teh, gula, beras dan telur. Selain itu terdapat snack didalamnya terdapat makanan yang sudah dimasak seperti roti, ketan, singkong rebus dan sebagainya. Menurut penelitian ini, acara tahlilan ini terkesan mewah dan mungkin menghabiskan cukup banyak biaya yang dibutuhkan jika dilihat dari jenis makanan dan jumlah jama’ah yang ada lebih dari 50 orang.[19] Dalam penyediaan makanan tersebut tidak ada paksaan ataupun keharusan dalam jumlahnya harus seperti itu, tetapi setiap warga punya kesadaran dan memang mau untuk menyediakan sebanyak itu, karena hal ini memang sudah tradisi sejak dahulu.

 

D.    Kesimpulan

Tahlilan dalam budaya masyarakat Jawa pada khususnya tidak hanya berupa suatu ritual atau upacara peribadatan saja. Tahlilan disini sudah menjadi suatu budaya yang sudah melekat pada masyarakat Jawa, hal ini bisa dilihat dari sisi sejarahnya yang mana asal mula tahlilan itu sendiri sudah ada sejak zaman pra Islam di Jawa yang pada saat itu didominasi oleh Hindu-Budha yang kemudian tradisi tersebut dirombak ulang oleh para wali dengan penyisipan nilai-nilai Islam didalamnya. Setiap daerah memiliki ciri khas dalam prosesi tahlilanya, tetapi hal tersebut memiliki kesamaan dalam nilai dan tujuannya. Begitu juga tahlilan yang ada di Desa Kloron, Bantul.

Di desa tersebut memiliki tahlilan yang prosesinya hampir sama seperti prosesi tahlilan di daerah lainnya di Jawa, tetapi di desa tersebut memiliki suatu ciri khas dalam tahlilan yang menurut kelompok kami itu sangat unik. Diantaranya adalah pada saat pengumpulan jama’ah tidak ada suatu undangan atau apapun semacamnya tetapi lebih pada kesadaran akan solidaritas warga masing-masing. Selain itu hal yang membuat unik dari tahlilan yang ada di Desa Kloron ini adalah waktu dan jenis jamuan makanannya yang sedikit berbeda dari tahlilan di daerah lain. Meskipun dalam prosesi tahlilan di Desa Kloron sedikit berbeda dengan tahlilan di daerah lainnya, tetapi diantara semuanya memiliki satu makna dan tujuan, sebagaimana bentuk tahlilan itu sendiri merupakan serangkaian dzikir-dzikir dan do’a. Secara umum hal tersebut memiliki tujuan  untuk mengajak para jama’ah mengingat Allah dan arti kematian dan pada khususnya acara tahlilan kematian memiliki tujuan untuk mendoakan arwah si mayit agar diampuni oleh Allah SWT serta diringankan siksanya dan dilapangkan kuburnya agar diberikan ketenangan dan kedamaian. Sebab, secara eksplisit Al-Qur’an tidak melarang untuk tahlilan, namun dari nilai-nilai prosesi dan makna tahlilan dapat diartikan sebagai pemupuk rasa persatuan, solidaritas, kekeluargaan, kegotong-royongan. Bahkan tidak sedikit ayat-ayat Al-Qur’an yang menyeru kepada kebaikan dan menyeru agar manusia senantiasa mengingat Allah SWT. Karena memang secara tertulis Al-Qur’an menyeru kepada manusia untuk berdoa, tolong menolong, memohon ampunan kepada Allah SWT. Maka dengan demikian, dapat diartikan bahwa Al-Qur’an tidak hanya sebatas wahyu, melainkan sebagai nilai-nilai dan norma dalam kehidupan beragama maupun sosial.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Aceh, Abu Bakar. Pengantar Ilmu Tarekat: Kajian Historis Tentang Mistik.  Solo: Ramadhan, 1995.

Bahreisy, Salim. Tarjamah Riyadhus Shalihin II. Bandung: PT. Al Ma’arif, 1987.

Bashiron, Abdul Basyit. Pedoman Do’a dan Dzikir. Surabaya: Bintang Terang, 1999.

Ridwan, Kafrawi. Ensiklopedi Islam.  Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Jilid V, 1997.

Soan, Sholeh. Tahlilan Penelusuran Historis Atas Makna Tahlilan di Indonesia.  Bandung: Agung Ilmu, cet. Ke-2, 2002.

Syarif, Adnan. Psikologi Qur’ani. Bandung: Pustaka Hidayah, Cet. Ke-1, 2001.

 

 

 

 

 



[1] Adnan Syarif, Psikologi Qur’ani, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), Cet. Ke-1, hlm. 107.

[2] Wawancara dengan Bapak Sutopo warga desa, pada Rabu, 10 Oktober 2018.

[3] Sholeh So’an, Tahlilan Penelusuran Historis atas Makna Tahlilan di Indonesia, (Bandung: Agung Ilmu, 2002), Cet. Ke-1, hlm. 108.

[4] Sholeh Soan, Tahlilan Penelusuran Historis Atas Makna Tahlilan di Indonesia,  hlm. 96.

 

[5] Wawancara dengan Bapak Sutopo pada Rabu, 10 Oktober 2018.

[6] Wawancara dengan Bapak H. Muryono sebagai pemuka agama pada Kamis, 11 Oktober 2018.

[7] Sholeh Soan, Tahlilan Penelusuran Historis Atas Makna Tahlilan di Indonesia, hlm. 136.

[8] Wawancara dengan Bapak H. Muryono sebagai pemuka agama pada Kamis, 11 Oktober 2018.

[9] Departemen Agama RI, Al-Qur’an : Tajwid dan Terjemah (Q.S An-Najm [53] : 39) (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2010), hlm. 527.

[10] Sholeh Soan, Tahlilan Penelusuran Historis Atas Makna Tahlilan di Indonesia, hlm. 143.

[11] Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat: Kajian Historis Tentang Mistik, (Solo: Ramadhan, 1995), hlm. 290.

[12] Kafrawi Ridwan, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Jilid V, 1997), hlm. 86.

[13] Wawancara dengan Bapak KH. Imam Baihaki sebagai pemuka agama pada Kamis, 11 Oktober 2018.

[14] Sholeh Soan, Tahlilan Penelusuran Historis Atas Makna Tahlilan di Indonesia, hlm. 147.

[15] Salim Bahreisy, Tarjamah Riyadhus Shalihin II, (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1987), hlm.353.

[16] Abdul Basyit Bashiron, Pedoman Do’a dan Dzikir, (Surabaya: Bintang Terang, 1999), hlm. 1.

[17] Wawancara dengan Bapak KH. Imam Baihaki sebagai pemuka agama pada Kamis, 11 Oktober 2018.

[18] Departemen Agama RI, Al-Qur’an : Tajwid dan Terjemah (Q.S An-Hasyr [59] : 10) (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2010), hlm. 547.

[19] Wawancara dengan Bapak Sutopo sebagai pemuka agama pada Rabu, 10 Oktober 2018.

Kebijakan Sosial

 

Kebijakan Sosial : James Midgley

 SETIONO

 

Kebijakan Sosial merupakan salah satu bentuk dari kebijakan publik. Kebijakan Sosial adalah ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial – ekonomi aatau kebutuhan masyarakat banyak (kesejahteraan Sosial). Kebijakan Sosial menunjuk pada apa yamg dilakukan oleh pemerintah sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pemberian beragam pelayanan kemasyarakatan dan program-program  tunjangan sosial lainnya. Secara spesifik organisasi atau lembaga memiliki fungsi sosial yang lebih luas lagi, baik ekonomis, dan maupun lingkungan politik. Pemerintah membakukannya dalam pemgambilan keputusan untuk meningkatkan kemudahan organisasi dalam memfasilitasi pencapaian tujuan.

Dalam pendekatan administrasi sosial yang juga dikenal dengan kebijakan sosial (social policy) atau pelayanan sosial menurut James Midgley, yaitu berusaha untuk mengangkat kesejahteraan rakyat dengan membentuk program kerja pemerintah yang dapat meningkatkan kesejahteraan warga melalui berbagai macam pelayanan sosial. Sehingga pemerintah dalam hal ini memiliki peran untuk menyediakan pelayanan sosial dalam meningkatkan kesejahteraan sosial warga negaranya.

James Midgley membagi kebijakan sosial kedalam dua aspek. Pertama, kebijakan sosial dipahami sebagai kebijakan dan program yang dijalankan oleh pemerintah, yang didesain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kedua, kebijakan sosial dipahami sebagai kegiatan akademik yang mencakup deskripsi, eksplanasi, dan evaluasi terhadap kebijakan sosial. Dari kedua hal tersebut, dapat dikatakan bahwa kebijakan sosial berkaitan  dengan kesejahteraan sosial.

Kebijakan sosial dan kesejahteraan sosial dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebab, tujuan dari kebijakan sosial itu sendiri adalah untuk meningkatkan kesejahteraan sosial. Kebijakan sosial merupakan sebuah sistem yang memiliki maksud dan tujuan yang berdasarkan aturan-aturan yang terarah. Maka dari itu, kebijakan sosial memiliki dampak yang baik ataupun dampak positif dalam memperbaiki suatu kondisi sosial, meningkatkan kesejahteraan sosial atau kesejahteraan. Karena kesejahteraan sosial adalah bagian atau kunci dari sebuah kebijakan sosial.

Menurut James Midgley istilah kesejahteraan sosial melihat pada sebuah kondisi sosial bukan pada kegiatan amal yang dilakukan kelompok-kelompok philantropi, juga bukan bantuan publik yang diberikan pemerintah. Namun, bahwa kondisi kesejahteraan sosial akan terjadi ketika keluarga, masyarakat semua mengalami kesejahteraan sosial. Sedangkan para ilmuwan sosial dalam mencari atau mengukur tingkat kesejahteraan sosial ada tiga indikator yaitu hasil sensus, jumlah populasi penduduk yang terdaftar, dan data statistik yang rutin atau kontinyu.

Kebijakan sosial sebagai salah satu aktivitas pemerintah dalam menjalankan program-programnya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial. Namun ada beberapa tipe kesejahteraan sosial yang terintervensi diantaranya tentang ekonomi, transportasi, lingkungan, dan kebijakan lainnya. Maka dalam hal ini pemerintah harus lebih dalam lagi mengkaji kebijakan sosial untuk kesejahteraan sosial bagi warga negaranya, sehingga tepat pada sasaran dan tidak sekedar hanya sebagai program kerja pemerintah.

Sehingga secara garis besar, kebijakan sosial ataupun pelayanan sosial secara konvensional diwujudkan dalam tiga hal, yakni pelayanan sosial, dan sistem perpajakan. Berdasarkan tiga hal ini maka dapat dinyatakan bahwa setiap perundang-undangan, hukum atau peraturan daerah yang menyangkut masalah dan kehidupan sosial adalah wujud dari kebijakan sosial. Namun, tidak semua kebijakan sosial berbentuk perundang-undangan. Sebab, kebijakan sosial merupakan satu tipe kebijakan publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial dan kebijakan sosial adalah bagian dari kebijakan publik (public policy) maka harus ada sebuah implementasi dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Karena sebuah implementasi dilihat dalam pengertian luas merupakan alat administrasi hukum dan berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik untuk bekerja sama menjalankan kebijakan guna untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Namun secara konvensional pelayanan sosial memiliki tiga hal, yang pertama program pelayanan sosial (social service), sebagian besar kebijakan ini diwujudkan dalam bentuk pelayanan sosial yang berupa bantuan barang, tunjangan uang, perluasan kesempatan, pelayanan kesehatan, pelatihan, tempat tinggal, keamanan atau perlindungan sosial, dan kesejahteraan keluarga atau bimbingan sosial. Kedua, peraturan perundang-undangan (statutory regulation) yaitu pemerintah memiliki kewenangan membuat kebijakan publik yang mengatur pengusaha, lembaga pendidikan, perusahaan swasta agar mengadopsi ketetapan-ketetapan yang berdampak langsung pada kesejahteraan. Yang ketiga, Sistem Perpajakan (tax system) yaitu dipahami sebagai kesejahteraan fiskal. Selain sebagai sumber utama pendanaan kebijakan sosial, pajak juga sekaligus merupakan instrumen kebijakan yang bertujuan langsung mencapai distribusi pendapatan yang adil.

 

Selasa, 30 Maret 2021

TEOLOGI KEMISKINAN DI ASIA

 TEOLOGI KEMISKINAN DI ASIA

(Amirul Auzar Ch, Fitriyani, Setiono, Siti Rahma, Nur Hanifah, Hairullah)

Tugas Makul Perkembangan Teologi Kristen Modern (PTKM) Tahun 2014


PENDAHULUAN

Invasi dan kolonialisasi bangsa Eropa terhadap beberapa negara di Asia telah mengakibatkan berbagai permasalahan sosial dan politik. Problem utamanya adalah tingkat kemiskinan yang tinggi serta penderitaan-penderitaan fisik dan non fisik dialami oleh negara-negara di Asia. Terlepas dari belenggu kolonialisme, Asia dihadapkan pada tekanan neo-kolonialisme yang mengancam struktur budaya dan ekonomi rakyat dengan membawa paham kapitalisme yang mengakibatkan kesenjangan sosial semakin meningkat, relasi-relasi sosial yang menyimpang dan beberapa pergesaran kebudayaan. Bahkan banyak daerah-daerah yang kumuh dan para petani-petani miskin yang telah di usir dari tempat tinggalnya, sehingga semakin terjadinya kesenjangan sosial dan hal itu akibat dari kontradiksi kelas sosial, karena adanya kekuatan kapitalis dari dalam maupun dari luar. Dari sinilah suatu kondisi yang memprihatinkan dan perlu adanya perubahan menuju kehidupan yang lebih layak dan mempertahankan atau memperjuangkan hak-hak mereka serta keadilan.

Perjuangan mengatasi kekuatan-kekuatan ini telah di emban dengan berani oleh para pemuka-pemuka sosialis. Orde sosio-politik ini ternyata searah dengan aspirasi rakyat Asia, di kawasan desa dan kota, karena menjanjikan hak menentukan nasib sendiri serta menetapkan kondisi sosial ekonomi yang menentukan kesejahteraan mereka.[1] Tetapi hal ini tidak sepenuhnya berhasil menyejahterahkannya, karena hanya beberapa negara saja yang berhasil di Asia melalui perjuangan yang panjang ini dalam menuju masyarakat yang baik dalam kehidupan. Namun, perlu adanya gerakan-gerakan lain untuk dapat menciptakan kesejahteraan lain dan menyelesaikan ketimpangan-ketimpangan sosial lainnya, dengan menggunakan segala macam cara agar terciptanya kelayakan rakyat. Dari pengalaman dan studi para pakar sosialis selama bertahun-tahun di dalam realitas asia, seperti halnya pieris merumuskan bahwa “setiap pembicaraan tentang teologi asia harus bergerak Antara dua kutub, yaitu sifat ke-dunia Ketigaan benua kita dan sifat keasiaannya yang khas. Kesamaan umum asia dan dunia ketiga lain ialah kemiskkinannya yang bertumpuh ruah (overwhelming poverty), sedangkan sifat khas yang membedakan asia dengan Negara-negara miskin lainnya ialah keregiusannya yang majemuk (multifaceted religiousnes).[2] Kemerdekaan yang seharusnya sebagai sebuah arah hidup lebih baik dan layak, pada  kenyataannya justru membuat sengsara pada rakyat di Asia dengan adanya paham kapitalis. Dimana paham kapitalis ini cenderung lebih memaksa dan menekan rakyat, sehingga terjadi kesenjangan sosial atau kemiskinan.

 

PEMBAHASAN

A.    Sejarah Teologi Kemiskinan di Asia

Asia merupakan salah satu benua terbesar di dunia baik secara geografis maupun juga demografis. Laporan UNPFA tahun 2011 (State of World Population) memperlihatkan bahwa jumlah penduduk Asia saat ini mencapai 4,5 miliar jiwa atau sekitar 62,29% dari jumlah populasi dunia yang saat ini mencapai 7 miliar jiwa. Sebagai benua dengan populasi terbesar, maka tentu saja realitas Asia sangat kompleks baik secara sosial, politik, ekonomi, religiusitas, dan budaya. Kompleksitas ini cenderung menjadi problematika tersendiri bagi orang-orang Asia. Realitas konteks Asia yang sangat dominan ialah kemajemukan agama-agama, tapi juga kemajemukan budaya, etnis, dan bahasa serta kemiskinan yang merajalela. A. A. Yewangoe yang mengikuti Pieris juga mempertegas hal ini, bahwa kemiskinan dan kemajemukan agama merupakan dua realitas yang dominan di Asia. Oleh karena itu, memahami Asia tidak dapat dilepaspisahkan dari dua kenyataan yang membelenggunya ini.  Suatu wilayah di Asia tidak pernah bebas dari dua potret ini, bahkan dalam konteks geografis tertentu kedua-duanya merupakan bagian dari pergumulan konteks yang sama. Misalnya, India sebagai salah satu negara di Asia yang populasinya terbanyak pada satu sisi diwarnai dengan hamparan jutaan manusia yang menderita karena kemiskinan, dan pada saat yang bersaman entitas India dibentuk oleh beragam tradisi agama dan keyakinan. Sebagai bagian dari Asia, Indonesia juga berwajah yang sama; kemiskinan yang membuat Indonesia menduduki peringkat ketiga dunia dan keragaman agama dan budaya yang membuat Indonesia dijuluki sebagai negara majemuk.[3]

            Sejarah orang Asia sebetulnya merupakan sejarah penderitaan. Orang-orang yang hidup di Asia mayoritasnya ialah orang-orang yang menderita karena kelaparan, terkapar di jalanan karena tidak memiliki tempat tinggal, diperlakukan tidak adil dan diskriminatif, dan terbelenggu dalam penyakit yang mematikan. Semua realitas ini ialah fakta dari kemiskinan yang merajalela. Yewangoe memperlihatkan bahwa dalam pertemuan Dewan Gereja-gereja Asia pada tahun 1980 di Kandy, gereja menyadari bahwa Asia secara khusus dipengaruhi oleh masalah kemiskinan yang amat dashyat. Hal ini yang membuat mayoritas Negara Asia disebut sebagai Negara berkembang dimana orang-orang termiskin di dunia ini berada. Konsentrasi massa orang miskin di Asia lebih banyak berada di wilayah Asia Selatan.

Sebagaimana telah disinggung di atas, kemiskinan yang terjadi di Asia pada dasarnya merupakan kemiskinan struktural yang diakibatkan oleh penguasa elit politik, sosial, dan ekonomi. Masalah kemiskinan Asia sebetulnya ialah masalah ketidakadilan. Nimelka mengungkapkan bahwa 80% pekerja di Asia merupakan orang miskin yang menjadi korban dari kapitalisme barat yang mengendalikan pasar dunia. Dua per tiga penduduk dunia yang hidup dalam sektor pertanian pun tidak mempunyai hak kepemilikan atas tanah, sebab tanahnya dipaksa untuk dijual kepada para kapitalis. Oleh karena itu mereka harus menjadi buruh di atas tanah mereka sendiri dengan upah kerja yang sangat rendah. Di sini Nimelka merumuskan tiga faktor penyebab kemiskinan yakni, ketidakadilan struktural, penindasan dari sistem kapitalis, dan perampokan sistematis oleh Negara-negara maju. Konferensi Teolog Dunia Ketiga (Asian Conference of Third World Theologians) juga menyoroti hal yang sama. Salah satu isu yang dibahas dalam konferensi ini ialah isu kemiskinan sebagai kemiskinan yang dipaksakan. Penderitaan yang berabad-abad ini merupakan akibat dari kolonialisme dan neokolonialisme. Hal ini memperlihatkan bahwa orang-orang Asia kehilangan hak atas hidupnya dan hidupnya menjadi obyek diskriminasi penguasa ekonomi barat. Bahkan, mereka tidak hanya mengalami penderitaan secara ekonomis, tetapi pada saat yang bersamaan mereka kehilangan nilai kemanusiaannya.[4] 

B.     Tokoh dan Pemikirannya

            Diantara beberapa Negara Asia tersebut, hanya ada beberapa tokoh yang dapat dikatakan benar-benar berpengaruh atau memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam mengatasi masalah kemiskinan. Diantara tokoh-tokoh tersebut adalah:

1.      Kosuke Koyama di Thailand

Kosuke Koyama adalah seorang teolog yang lahir di Tokyo tetapi menjadi misionaris dan mengajar seminari di Thailand. Kosuke Koyama adalah salah satu tokoh yang menjadikan social dalam focus teologinya melalui bukunya yang berjudul Teologi Kerbau (1974). Teologi ini terinspirasi dari kerbau-kerbau yang dilihat Koyama ketika dalam perjalanan menuju gereja untuk memberikan khotbah pada umatnya. Ia teringat dengan kenyataan umatnya yang ada, sehingga dalam mengambil keputusan ia memprioritaskan petani diatas pemikiran teologi agung seperti Thomas Aquinas dan Barth. Dalam teologi ini Koyama lebih menekankan pada realitas yang ada di Thailand, sedangkan kondisi Thailand pada saat itu telah terdapat konsep Buddha. Seperti contoh ketika membahas tentang murka Allah. Dalam kebudayaan Buddha bebas emosi dan penderitaan serta keheningan dianggap sebagai puncak dari segala yang baik. Ide tentang Allah yang murka, Allah yang cemas karena dosa manusia adalah suatu batu sandungan dalam kebudayaan tersebut. Jawaban Koyama bukan dengan tidak menonjolkan kemurkaan Allah, sebagai- mana dibuat banyak orang. Pembicaraan tentang kasih Allah menjadi menyimpang dari kebenaran dan dangkal kalau dipisahkan dari kemurkaan-Nya.   Pemikiran Thailand melihat Allah sebagai tak beremosi, tidak dapat menderita, karena menempatkan Allah melampaui batas waktu dan sejarah, sebab pemikir- an Buddhis Thailand mengabaikan sejarah. Pemikiran ini lebih dipupuk lagi dengan siklus alam yang cukup teratur dan baik di Thailand. Di sana jarang ada bencana alam seperti gempa bumi dan taufan. Doktrin tentang murka Allah dapat digunakan untuk menantang pemikiran Thailand pada tingkat yang lebih dalam ini, dan dengan demikian menyatakan doktrin Allah yang terlibat dalam sejarah.[5]

Teologi Koyama dapat dikatakan lebih focus pada masalah dogma, yaitu menguraikan tentang ajaran-ajaran pokok iman Kristen. Khususnya di bidang kristologi yang membahas tentang siapa Allah, siaoa Kristus dan siapa yang dinamakan Kristus, yang mana beberapa pemikiran tersebut disesuaikan dengan kondisi yang ada di Thailand.

2.      Kuan-Hsung Ting di Cina

            Kuang-Hsun Ting adalah mantan Presiden Nanking Theological College dan uskup dari Keuskupan Chekiang dari Sheng Kung Hui, Gereja Anglikan di Cina. Teologi Kuan-Hsung Ting hampir sama dengan teologi Koyama yang mengambil focus pada masalah dogma, tetapi Kuan-Hsung Ting mengkontekstualisasikan dengan kondisi Cina terutama dalam menghadapi tekanan komunisme, atheism, idealisme, materialisme dan persoalan mengenai agama sebagai candu.

            Dalam menghadapi maslah seputar idealisme dan materialisme, Kuan-Hsung Ting mencoba menengahinya. Beberapa orang Kristen menaruh perhatian untuk menyangkal bahwa kekristenan itu idealis, sebab menjadi idealistis adalah terbelakang. Sebagian lainnya mencoba membuktikan bahwa kekristenan itu materialis, sebab yang materialistis adaah progresif. Taoisme pada tahap awal, lalu Lautze dan Chuangtze, tidak percaya kepada Allah atau roh-roh apapun, tetapi menjelaskan sesuatu dengan Tao surgawi yang hadir di seluruh alam. Dengan demikian mereka sangat condong pada pemikiran ateistis dan materialis. Pada saat yang sama mereka berjiwa sangat aristokratis dan mewakli kepentingan- kepentingan aristokratis. Doktrin Wang Yang- ming tentang nurani instingtif tampaknya bersifat idealistis (dan sebab itu defektif), tetapi merangsang jiwa inisiatif individual, pengenalan mana yang benar dan mana yang salah, sikap mempertanyakan tradisi, baik kini maupun dulu mempengaruhi pandangan ke depan dan terlalu penting untuk dibaikan. Lebih mustahil mengklasifikasikan kekristenan sebagai idealis maupun materialis, karena meskipun dalam bentuknya merupakan produk sejarah, namun dalam hakikatnya bukanlah ideologi, bukan struktur yang dibangun di atas landasan ekonomi. Substansi sebenarnya adalah wahyu, inkarnasi, jadi ia mentransendensikan semua garis pemisahan manusia. Beberapa orang Kristen masa kini tidak memahami pokok ini, sehingga mereka mencoba menarik garis di antara idealisme dan materialisme, dan berkata: “Semua ini sama sekali tidak perlu, sebab orang Kristen tidak perlu menerima bahkan klasifikasi itu sendiri.” Kekristenan di dalam organi- sasinya, pemilikannya, upacara-upacara- nya dan struktur resminya sudah sangat dipengaruhi oleh sejarah manusia, namun di dalam dirinya ia bukanlah buah hasil sejarah, dan Injil bukanlah suatu ideologi. Injil berasal dari karya wahyu yang bebas dari Allah. Injil adalah Kristus itu sendiri, melalui dia segala sesuatu telah dijadikan. Seorang teolog Eropa Barat telah berkata bahwa bahaya terbesar yang dihadapi teolog Barat masa kini ialah mereduksikan kekristenan mejadi sebuah ideologi, sesuatu yang bergerak di dalam orbit yang berbeda dari pada sistem penalaran manapun. Maka orang Kristen akan memperoleh pemahaman yang jelas, dari mana orang Kristen dapat menyadari bahwa semua pem- bicaraan mengenai persoalan antara kekristenan dan komunisme, kemiripan atau perbedaan, adalah di luar garis dan terlalu berlebihan.[6]

·         Pandangan Agama-agama Mengenai Kemiskinan

Kemiskinan seringkali dipandang secara pesimistis. Hal ini yang membuat orang seringkali pasif dalam menghadapi realitas penderitaannya. Dalam tradisi masyarakat Jawa misalnya, kita mengenal apa yang disebut dengan nrimo. Semangat nrimo ini yang membuat orang Asia yang menderita melihat kemiskinan sebagai kehendak Tuhan yang harus dijalani. Sikap fatalistis ini menurut D. P. Niles didukung dan disahkan oleh keyakinan-keyakinan agama tertentu. Yewangoe pun sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Niles ini dan menegaskan bahwa pandangan agama-agama mengenai penderitaan nampaknya bersifat ambigu (dwiarti), sebab pada satu sisi agama-agama dapat menyediakan kelepasan dari penderitaan, tetapi di pihak lain agama-agama pun dapat mengungkung orang dalam penderitaan untuk selama-lamanya. Dengan menggunakan istilah Pieris, ia menyatakan bahwa wajah agama-agama ialah membebaskan dan memperbudak, baik secara psikologis maupun sosiologis. Dalam wajahnya yang secara psikologis, agama-agama menjadi semacam takhayul, ritualisme, dogmatisme, dan transendentalisme, sementara secara sosiologis, agama-agama nampaknya melegalkan status quo yang opresif.

Dengan ini Yewangoe mengemukakan pandangan agama-agama di Asia mengenai penderitaan. Menurutnya, dalam tradisi Hinduisme ada keyakinan bahwa kehidupan manusia berada dalam sebuah proses yang tanpa akhir yang disebut dengan samsarai. Manusia terikat dalam proses ini dan terus mengalami reinkarnasi, namun tidak bisa mengalami kelepasan. Manusia hanya bisa mengalami kelepasan jika tercapai kesatuan dengan Brahman. Sementara itu, dalam tradisi Budhisme diyakini bahwa asal mula penderitaan atau dukkha ialah nafsu. Nafsu melahirkan perbuatan, dan perbuatan menimbulkan hasil (akibat) yang ialah penderitaan. Oleh karena itu, untuk bebas dari penderitaan orang harus melepaskan diri dari nafsu.

Dalam ajaran Kong Hu Cu, penderitaan dilihat sebagai ungkapan kejahatan dan bersifat tidak wajar. Penderitaan hanya membatasi manusia untuk mencapai status ideal dan oleh karena itu harus diatasi. Berbeda dengan Kong Hu Cu, Taoisme menganggap penderitaan sebagai cara untuk menemukan Tao, atau Realitas Tertinggi. Budhaisem Zen juga memandang penderitaan sebagai sesuatu yang mistis. Dalam tradisi Islam, penderitaan dipahami secara ambigu. Pada satu sisi, ini dianggap sebagai kehendak Allah yang mahakuasa. Oleh karena Allah yang mengatur segala sesuatu dan tidak ada sesuatu pun yang berada di luar kehendak Allah, maka penderitaan juga merupakan kehendak Allah. Di sini penderitaan dapat juga dipahami sebagai hukuman dari Allah. Pada sisi yang lain, ada ajaran Islam yang memandang penderitaan sebagai ujian bagi iman yang sejati.

Sebagaimana telah dikatakan bahwa di Asia tidak hanya ada agama-agama yang diakui secara resmi di dunia, melainkan juga ada begitu banyak tradisi keyakinan lokal atau yang disebut dengan agama suku. Setiap agama suku juga memiliki pandangan yang berbeda terhadap realitas ini. Samanisme Korea dan jepang memahami penderitaan sebagai akibat dari perbuatan jahat manusia, dan sebagai gangguan terhadap keseimbangan kosmos. Bagi agama suku bangsa Filipina penderitaan dianggap sebagai kehendak “bahala na” atau kehendak Allah. Sekalipun ada terdapat perbedaan cara pandang agama-agama suku, namun semuanya sama-sama melihat bahwa penderitaan merupakan akibat dari kesalahan manusia.

Tradisi kekristenan juga memiliki pandangan yang agak mirip dengan pandangan-pandangan yang telah dikemukakan di atas. Dalam tradisi Perjanjian Lama, konsep kemiskinan dipengaruhi oleh tradisi hikmat. Tradisi ini menganggap bahwa satu – satunya factor penyebab orang menjadi miskin karena ia tidak mau berusaha atau bekerja untuk membangun hidup. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, khusunya pada zaman para nabi, taggapan ini mulai berubah. Para nabi mengatakan bahwa bukan hanya faktor individu, tapi juga ada peranan strukur – strukur sosial yang menciptakan kemiskinan. Oleh karena itu Nabi–nabi PL seperti Hosea, Amos dll. mengecam strukur–struktur sosial yang ada. Dalam tradisi Sinoptis, kemiskinan juga dikritisi oleh Yesus sebagai realitas ini dilihatNya sebagai dampak dari kualitas hidup yang berat sebelah, yang hanya mengedepankan ritus dari pada praktek social. Yang dimaksudkan disini ialah praktek sosial oleh struktur atau lembaga sosial yang menciptkan ketergantungan. Pandangan gereja mula-mula (abad pertama) juga bersifat amibgu. Pada satu sisi, Paulus memberi posisi yang seimbang antara orang kaya dan orang miskin, sebab baginya Allah tidak hanya berpihak pada orang miskin, tapi juga pada orang kaya yang menggunakan kekayaannya untuk kepentingan bersama. Tetapi pada sisi yang lain, Yakobus menekankan bahwa kekayaan atau orang kaya ialah kelompok yang opresif, sebab kekayaan dipergunakan untuk menindas orang miskin. Dengan ini ia mempertentangkan antara orang kaya dan Allah (Yak.5).

Apapun pandangan keagamaan mengenai penderitaan dan kemiskinan, menurut saya realitas ini telah mengancam kualitas hidup manusia, bahkan seluruh alam semesta. Kemiskinan tidak hanya memenderitakan manusia, tetapi juga memenderitakan alam. Oleh karena itu, pengentasan kemiskinan dan penderitaan harus menjadi sebuah keharusan. Oleh karena penderitaan merupakan masalah global, maka upaya untuk mengatasinya bukan hanya menjadi upaya suatu agama tertentu, melainkan menjadi upaya agama-agama. Song juga mengindikasikan hal ini, bahwa apapun yang terjadi di Asia saat ini solusinya harus dicari secara bersama-sama oleh semua agama; perjuangan Kristen untuk HAM, kebebasan, dan demokrasi ialah perjuangan bersama. Perjuangan pengentasan kemiskinan juga ialah persoalan Hindu, Budha, dan Islam, sebab ketiganya diperhadapkan dengan masalah yang sama, sebagaimana yang telah saya singgung di bagian pendahuluan mengenai konteks di India. Dalam konteks inilah saya akan berbicara mengenai pandangan teologi agama-agama Raimundo Panikkar tentang dialog intrareligius dan dari situ melihat bagaimana dialog seperti ini mampu memberi konstribusi dalam menyikapi realitas kemiskinan di Asia.

            Dalam agama Kristen sendiri, hal ini menjadi tanggung jawab gereja sebagaI lembaga agama yang memiliki pengaruh, baik kepada jemaatnya, masyarakat di mana dia tinggal, maupun kepada pemerintahannya. Nilai-nilai yang lebih diutamakan dan ditekankan biasanya pada niai-nilai prikemanusiaan dan prikeadilan. Pelanggaran nilai-nilai tersebut di sejumlah negara telah membangkitkan keprihatinan yang pada akhirnya melahirkan Teologi Pembebasan. Sebagai contoh, Umat Kristen dengan ajaran Kristologi yang menafsirkan bahwa Kristus adalah Tuhan yang hadir dalam situasi karut marut dan membawa pembebasan bagi rakyat kecil dan tertindas. Dari dasar inilah, maka orang Kristen mengikuti teladan Yesus dan menentang ketidakadilan. Mereka merasa mendapat tugas untuk meneruskan perjuangan Tuhan yang disembahnya.[7] Bahwasannya teologi Kristen mulai adanya desas desus setelah adanya goncangan-goncangan dari para penguasa atau penganut paham kapitalis, sehingga mereka mulai bangkit dari kesengsaraan dan pada akhirnya mulai adanya perlawanan dan mengentaskan dari kesenjangan sosial yang terjadi dan membebaskan diri dari ketertindasan. Di samping itu, suatu fakta yang jelas bagi kita, bahwa bangsa Asia adalah bangsa yang religius, bukan semata-mata karena kebanyakan agama yang dikenal umat manusia lahir di Asia, hinduisme dan Buddhaisme di India, Kong Hu Cu dan Taoisme di Cina, Shintoisme di Jepang, Yudaisme dan Kekristenan di Asia Barat, Islam di Arab, tetapi juga karena orang-orang di Asia, dalam usaha mereka untuk memahami dan mengatasi kemiskinan. Biasanya mengaitkan kemiskinan itu dengan keberagamannya.

C.     Analisis

Munculnya kemiskinan di asia ini tidak lepas dari pengaruh permainan politik dan adanya dominasi kapitalais sehingga timbul kontradiksi kelas sosial, sehingga para petani miskin mulai terusir dari tanah garapannya. Hal ini memberikan gambaran bahwa kemiskinan terjadi akibat keserakahan suatu kelompok maupun individu. Dari keadaan tersebut maka muncul gerakan  pembebasan bagi kaum tertindas. Keterlibatan sosial Gereja Indonesia untuk masa depan adalah perjuangan cinta kasih dan keadilan, membangun persaudaraan semua orang, mendahulukan kaum miskin. Pentingnya “Komunitas Basis Manusiawi” dan “Komunitas Basis Antar Iman”. Dalam hubungannya dengan keyakinan lain, Iman mempunyai dimensi keterlibatan besama untuk kesejahteraan hidup bersama, melawan ketidakadilan. Namun realitas yang terjadi di Indonesai masih banyak kaum miskin yang tertindas dan tidak terpelihara. Kaum kapitalis (pemilik modal) mencoba memonopoli dari berbagai sudut perekonomian negara Indonesia sehingga kaum miskin tidak memiliki celah untuk masuk dan mengalami perubahan kelas sosial.

Seharusnya persoalan-persoalan yang melanda masyarakat Asia memiliki perhatian khusus. Tindakan teologi harusnya memiliki komitmen yaitu memberi respon atas tantangan kaum miskin yang berjuang untuk mencapai kemanusiaan seutuhnya bukan sekedar budak yang diperlakukan sekehendak hati para kaum kapital (pemilik model). Serta teologi yang berkarya demi pembebasan kaum miskin harusnya mereka mampu menganalisis kondisi sosial kaum miskin, dengan memahami struktur sosial-politik, ekonomi dan budaya yang telah menghambakan kaum miskin itu sendiri. Sehingga tidak ada penyelewengan atas dasar kepentingan para penguasa saja.

Adapan tindakan kedepan yang dapat kita lakukan, antara lain:

Ø  Kita perlu melanjutkan pendalaman pengertian kita atas realitas Asia melalui keterlibatan aktif dalam perjuangan rakyat untuk mencapai kemanusiaan penuh, artinya kita berjuang bersama mereka para petani, nelayan, buruh, penghuni kawasan kumuh, dan sebagainya.

Ø  Teologi harus menuntun kita pada transformasi masyarakat dimana kita hidup, sehingga dapat memungkinkan orang Asia mengalami makna hidup yang sebenarnya

Ø  Terus membantu pengembangan teologi yang relevan untuk Asia melalui interaksi yang baik.

Ø  Kita membangun jaringan kerja sama pada persekutuan yang kuat dengan memberi pemahaman kepada mereka serta menunjukkan kelompok-kelompok yang telah sadar untuk memperjuangkan keadilan dan kehidupan para kaum miskin serta menghenytikan adanya penindasan secara tidak manusia.

 

DAFTAR PUSTAKA

Douglas j. Elwood Teologi Kristen Asia: tema-tema yang tampil ke permukaaan. (Gunung mulia, 1993)

Vitus Rabianto, S.X. Pertautan Kemiskinan dan Kereligiusan dalam teologii Aloysius Pieris, Kanisius, Yogyakarta

Lane, Tony. Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani. BPK Gunung Mulia, 2005

Elwood, Douglas J. Teologi Kristen Asia : Tema-tema Yang Tampil ke Permukaan. Jakarta: BPK Gunung Muilia, 2004

Francis Wahono Nitiprawira Teologi pembebasan, Yogyakarta

 


[1] Douglas j. Elwood Teologi Kristen Asia: tema-tema yang tampil ke permukaaan. (Gunung mulia, 1993), hlm. 75-76

[2] Vitus Rabianto, S.X. Pertautan Kemiskinan dan Kereligiusan dalam teologii Aloysius Pieris hlm 42, Kanisius, Yogyakarta

[3] Ibid Paradigma Asia hlm 43-44

[4]  Ibid 64

[5]  Lane, Tony. Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani. BPK Gunung Mulia, 2005, hlm. 265-266

[6] Elwood, Douglas J. Teologi Kristen Asia : Tema-tema Yang Tampil ke Permukaan. Jakarta: BPK Gunung Muilia, 2004, hlm. 275-276

[7] Francis Wahono Nitiprawira Teologi pembebasan, Yogyakarta hlm 188

Makna Tahlilan

  PROSESI DAN MAKNA TAHLILAN DI DESA KLORON PLERET BANTUL SETIONO    A.    Latar Belakang Tahlilan sangat erat sekali kaitannya de...