The
Sociology of Islam : Knowledge, Power, and Civilty
Sosiologi sebagai disiplin ilmu yang
mempelajarai interaksi manusia, sejatinya mencakup ruang lingkup yang luas.
Segala sesuatu yag dilakukan oleh manusia dalam hubungannya dengan manusia lain
dipandang sebagai wilayah kepentingan analisis sosiologi. Oleh karena itu, selain
sebagai disiplin ilmu yang luas, sosiologi pun dipandang memiliki nilai
strategis bagi pengembangan dan penataan kehidupan manusia. Hal ini disebabkan,
karena eksistensi manusia akan lebih
terlihat dalam kebersamaannya dengan manusia lain. Kualitas manusia dan
kemanusiaannya lebih banyak diuji dalam interaksi sosialnya. Teori-teori
sosiologi yang dikembangkan didunia pendidikan saat ini dibangun atas dasar
pengalaman masyarakat barat. Pada umumnya, mereka memperlakukan agama, termasuk
Islam sebagai salah satu dari institusi-institusi dalam masyarakat. Padahal
bagi kaum muslim, Islam bukan sekedar satu diantara sekian institusi, melainkan
ideologi yang dipandang menentukan totalitas kehidupan muslim.
Sosiologi juga merupakan sebuah
metode dalam ilmu sosial dan sebagai disiplin ilmu yang berinterkasi dengan
beberapa subdivisi dan dimensi kemanusiaan, terutama dengan filsafat dan
sejarah. Salah satu ciri utama sosiologi adalah kebangkitannya sebagai cerminan
ilmiah dari proses modern, konstitutif dan transformatif. Ini adalah disiplin
yang tidak hanya meneliti, akan tetapi juga menjelaskan tentang masyarakat
modern dan asal-usulnya. Bagaimana kita memahami modernitas mungkin lebih
bergantung pada pemahaman dan definisi sosiologi tentang istilah tersebut
daripada karya sejarawan atau filsuf. Sementara Sosiologi memilki fokus yang
kuat pada modernitas, disiplin ini sering memungkinkan gelombang-gelombang
pembongkaran transdisipliner menuju cakrawala keilmuan lain.
Bourdieu dan Wacquant mengatakan
bahwa langkah ini bertepatan dengan perubahan refleksif dalam sosiologi yang
dipimpin oleh inisiatif beberapa penulis baik di jantung sosiologi sebagai
disiplin akademis maupun pada marginnya, sering menggunakan paradigma yang
lebih mengkontekstualisasikan karya-karya mereka dan biografi intelektual.
Sementara 'pergantian refleksif' ini tidak dapat dianggap sebagai perwakilan dari
disiplin yang lain secara utuh, itu pasti akan mempengaruhi, jika bukan
asal-usul dari Sosiologi Islam. Alasan mengapa sosiologi Islam cocok dengan
pergantian refleksif, karena tantangan awal bahwa studi tentang Islam telah
disajikan untuk memadatkan kategori sosiologis, termasuk modernitas. Selama
abad ke-19 beragam disiplin ilmu yang menargetkan studi yang semakin komparatif
terhadap agama, budaya (terutama bahasa), dan peradaban telah membangun Islam
sebagai kontra-model yang kuat namun tidak secara eksplisit mewakili potensi
resistensi, baik dalam sejarah dan masa kini, bagaimana modernitas Barat
menundukkan dan menyesuaikan kekuatan tradisi agama.
A. Max Weber
Max Weber merupakan salah satu
bapak sosiologi yang memperjuangkan gagasan mengenai rasionalisasi perilaku
hidup sebagai kunci universal akses modernitas kapitalisme dan birokrasi
negara. Weber pada dasarnya memandang kekuasaan sebagai mesin dasar hubungan
manusia sebagai instrumental. Sejalan dengan itu, ia memahami modernitas
sebagai tahap perkembangan manusia di mana instrumental sebagai hubungan
kekuasaan, khususnya di barat. Instrumentalisasi ini sangat jelas dalam proses
yang disebutnya sebagai "rasionalisasi." Prosesnya, yang merupakan
tempat lahirnya adalah Eropa Utara-Barat, keduanya memiliki sistem ekonomi
dalam bentuk kapitalisme dan kekuasaan politik yang berkedok birokrasi. Alat
utama rasionalisasi instrumental ini terdiri dari kepercayaan pada kalkulatif.
Hal ini menghasilkan optimalisasi kekuasaan instrumental yang belum pernah
terjadi sebelumnya, yang diukur dalam hal output produksi ekonomi dan keefektifan
tatanan hukum.
Weber lebih tertarik pada proses kekuasaan
yang diperintahkan oleh para elit sosial dalam mengendalikan kekayaan dan
kekerasan yang dilawan dan sebagian besar ditundukkan di berbagai masyarakat
sejak jaman dahulu. Perlawanan ini dikaitkan dengan produksi budaya pengetahuan
dan makna melalui intelektual dan ilmiah. Di sinilah tradisi agama memasuki
tahap pusat sosiologi Weberian. Ajaran dan praktik yang memberikan instruksi
tentang keselamatan manusia dan pembebasan dari dinamika seperti kekuasaan
belaka, dan telah mengantarkan dalam bentuk-bentuk yang tidak material, namun berbasis
pengetahuan dan kekuasaan sebagai alternatif. Proses terakhir ini juga harus
dipahami, menurut Weber, sebagai rasionalisasi, meskipun berorientasi pada
penyempurnaan apa yang ia sebut nilai-nilai budaya daripada kekuasaan semata.
Salah satu hubungan utama di mana para elit budaya menundukkan kekuasaan adalah
dengan mendefinisikan proses yang sah dengan memberlakukan nilai-nilai agama
dan budaya.
Dengan cara ini para elit, sering
bertindak untuk memperoleh kekuasaan sebagai bentuk otoritas yang dapat
diterima secara sosial dan politik. Mereka telah melegitimasi diri mereka
sendiri dan memperoleh legitimasi penguasa. Para elit budaya (yang
didefinisikan sebagai elit yang bertanggung jawab atas produksi pengetahuan)
mungkin tidak memahami proses ini dalam hal rasionalisasi, yang memang
merupakan label konseptual yang diperolehnya melalui perspektif Weber. Namun
tampaknya masuk akal bahwa para elit menyatakan pengetahuan sebagai legitimasi
kekuasaan dengan mengambil peran utama — dalam cara yang cukup sadar — dalam
definisi otoritatifnya.
Namun, orang akan salah memahami
perspektifnya Weber jika tidak mengaitkannya dengan argumennya yang lebih luas.
Dia bermaksud menjelaskan kemajuan dalam rasionalisasi kekuasaan sebagai faktor
sosial otonom yang mirip dengan modernitas secara universal. Hal ini berlaku
khususnya untuk negara modern yang semakin sekuler dan untuk pembangunan
kapitalis yang dipromosikan oleh negara. Tetapi inti dari penjelasan Weber
adalah untuk menyoroti suatu kebetulan, dan sampai batas tertentu,
pengembangan, atau lebih tepatnya metamorfosis. Proses ini berlangsung di
tingkat budaya dan agama yang lebih spesifik. Model rasionalitas kejayaan ini secara
eksklusif dipandu oleh pengejaran kekayaan murni (yang dapat kita lihat sebagai
bentuk kekuasaan yang lebih cair, namun juga simbolis efektif,) melalui
perhitungan (kapitalisme) dan regulasi (birokrasi).
Begitu dinamika rasionalisasi
tersebut telah digerakkan, dorongan agama yang memberi jalan kepada
sekularisasi. "Semangat kapitalisme", Weber menjelaskan sebagai
produk dari Etika Protestan tidak lagi membutuhkan kebajikan agama. Namun,
perbedaan Weberian antara pola rasionalisasi modern dan premodern tetap menjadi
sumber utama untuk menangani proses yang lebih luas penjelasannya mengenai
komitmen sosiologi dari ilmu sosial modern lainnya, yaitu transformasi
masyarakat dari panggung yang didominasi oleh tradisi ke fase modernitas.
Sebab, tradisi dan modernitas bekerja sebagai kutub yang bertentangan dalam wacana
sosiologis. Sebuah tradisi pada umumnya diidentifikasi dengan praktik keagamaan
dan doktrin. Namun mereka juga melihat hubungan yang dinamis, bukan statis. Dua
tokoh Sosiolog lainnya, yaitu Emile Durkheim dan Georg Simmel mengatakatan
bahwa agama melintasi batas yang diakui antara tradisi dan modernitas. Berakar
dalam konstruksi tradisional dari nilai-nilai budaya yang berbasis pengetahuan,
agama ditransformasikan dan ditransmisikan ke masyarakat modern dengan cara menjadikannya
sumber utama yang diperlukan dalam pola rasionalisasi modern itu sendiri,
bahkan ketika tidak ada intervensi khusus dari etika agama Weberian.
B. Bryan
S Turner
Bryan S Turner berpendapat bahwa bentuk
agama modern pada dasarnya menghilang daripada manifestasinya sebagai unsur dari
kesopanan, sebagai penyedia yang disebut Durkheim sebagai 'moral
kewarganegaraan'. Dengan kata lain, agama tidak hanya berada di sisi yang
berlawanan dengan munculnya rasionalitas instrumental modern, individualisasi
modern, dan solidaritas modern. Sekularitas itu sendiri merupakan kelanjutan agama
dengan cara lain (yang lebih kuat), hal itu memanfaatkan, dan mentransformasi,
bentuk agama yang kohesif murni agar bisa menghasilkan individu-individu yang
bertanggung jawab yang berkomitmen pada pembagian sosial yang rasional dan pola
solidaritas yang sesuai.
Hal itu merupakan perspektif sosiologi
yang dinamis, bukan statis, tentang agama yang pada dasarnya memaksa untuk
memperumit hubungan antara tradisi dan modernisme, dengan cara-cara yang
melampaui para pemikir sebelumnya. Komplikasi ini seharusnya membantu menyusun
ulang dan mempermudah gagasan agama dalam perspektif yang mengatasi analisis
perbandingan perannya dalam berbagai masyarakat (Barat dan non-Barat).
Sosiologi Islam berkontribusi besar dengan mengatasi kekhususan komitmen Islam
dalam sejarah dan pada masa sekarang sebagai akar pada ajaran dan praktik agama
serta kebutuhan melampaui keimanan. Kelahiran sosiologi Islam dapat ditelusuri
kembali ke publikasi Weber dan Islam oleh Bryan S. Turner. Ini terjadi
di pertengahan dasawarsa yang melihat jatuhnya teori modernisasi, munculnya reislamisasi,
dan kritik global Orientalisme, yang pada tahun 1960-an telah dibatasi pada
intervensi intelektual yang secara ketat terbingkai dalam anti-kolonial dan
wacana pembebasan. Perspektif Turner tentang sosiologi Islam menangani
perkembangan tumpang tindih dalam istilah Weberian ini. Namun, dari awal gagasan
itu tidak begitu banyak menerapkan Weberian dan Islam, tetapi lebih kepada
memperbaiki melalui ortodoksi 'Weberist' dengan mempelajari kompleksitas Islam
sebagai agama, peradaban, dan matriks kompleks pengaturan sosial dan
kelembagaan. Namun, muncul beberapa konsep paradigma teori sosiologis, seperti
karisma, kohesi sosial, perkembangan sosial, dan rasionalisasi. Turner juga
mengungkapkan pertanyaan terkait dengan bagaimana beberapa konseptualisasi yang
cacat dalam korpus Weber mungkin berasal dari cara yang dilakukan oleh
Heidelberg dengan warisan konseptual pemikir utama.
Armando Salvatore mengatakan bahwa
Sosiologi Islam ini memperoleh relevansi yang kuat sepanjang tahun 1980-an,
satu dekade yang menyaksikan pertentangan interpretatif yang serius (seringkali
melalui prisma buram 'reislamisasi') tentang sifat hubungan antara agama,
masyarakat, dan politik dalam konteks Muslim. Kontur sebuah 'misi' untuk
Sosiologi Islam mulai terbentuk yaitu membantu sosiologi untuk membebaskan
dirinya dari suatu 'dosa asal' yang sangat berpengaruh, yaitu keengganan untuk
mengenali dinamisme sosial dan sipil dari artikulasi agama.
C. Arah
Pemikiran Armando Salvatore
Sosiologi
Islam dapat membantu dalam mengangkat isu 'modernitas Islam' sebagai pertanyaan
penelitian untuk mengejar dan tidak lagi sebagai sebuah oxymoron (tumpang
tindih). Tidak mungkin seorang pemikir terkemuka seperti Michel Foucault telah
mengunjungi Iran selama revolusi dan menyarankan bahwa mesin transformasi
sejarah, 'roh' revolusi, telah meninggalkan Barat dan pindah ke Timur,
mengadopsi Islam. Dalam sebuah perkembangan, kumpulan tulisan yang
diterjemahkan oleh intelektual Islam Iran Ali Syari'ati, yang meninggal sesaat
sebelum peristiwa revolusioner di negaranya, diterbitkan dengan judul The Sociology
of Islam. Seseorang mulai mempertimbangkan dengan serius kemungkinan
melihat munculnya potensi transformatif yang sesungguhnya dari masyarakat Islam,
bahkan tanpa adanya faktor-faktor rasionalisasi modern yang telah bekerja di
lintasan Barat. Islam tidak lagi statis tetapi 'bergerak.'
Kunci
untuk menilai kembali agama sebagai gabungan pengetahuan dan kekuasaan yang
diartikulasikan melalui prisma peradaban
adalah untuk membedakan antara gagasan kelembagaan agama, yang akhirnya
bertepatan dengan otoritas, keyakinan, praktik, dan kreatif, dan dalam arti
yang rasional dengan dorongan meta-institusional. Kekuatan kreatif ini
termanifestasi dalam bentuk pengetahuan sosial yang memiliki kapasitas untuk
menciptakan dan memulai tipe-tipe baru institusi manusia yang melayani berbagai
kebutuhan sosial. Gagasan agama yang lebih kaya ini tidak dari penekanan pada
pluralitas dan dimensi agama yang sinkretik tetapi lebih berfokus pada agama
sebagai lembaga yang berpotensi universal, meta-institusional, dan kekuasaan
berbasis pengetahuan.
Oleh
karena itu Sosiologi Islam tidak hanya untuk masyarakat mayoritas Muslim dari
pendekatan sosiologis Barat dengan cara agama pertama dibentuk dan kemudian
berubah di dunia modern. Sosiologi Islam lebih menghargai ketegangan dan
antinomi yang mendasari proyek sosiologis modernitas yang awalnya Barat, namun
seiring waktu, dan peran ambivalen agama di dalamnya. Yang paling krusial di
antara ketegangan semacam itu sangat berkaitan dengan dilema sosiologi yang
belum terpecahkan dalam menghadapi tantangan Islam. Namun dari perspektif yang
diilhami oleh berat dan kekayaan tertentu dari praktik dan interpretasi Muslim
historis tentang agama, teori yang memprediksi baik privatisasi atau hilangnya
agama cukup bermasalah dalam hal sosiologis.
Hal
ini merupakan sebuah permasalahan bahkan jika kita merumuskan gagasan
sekularisasi dalam hal pengungkung agama ke bidang masyarakat tertentu. Menurut
Pierre Bourdie, hal ini merupakan 'bidang keagamaan.' Dalam pengertian ini
bahwa Sosiologi Islam bukan hanya sosiologi agama atau peradaban tertentu
tetapi sebuah intervensi dalam pertanyaan inti dan konsep sosiologi, ilmu
sosial secara luas, dan humaniora. Sosiologi Islam harus menjadi pemicu yang
dapat membuat proyek sosiologis menjadi lebih dialogis dan lebih berguna untuk
mempertanggungjawabkan pola multikultural yang banyak bermunculan di dunia.
Dengan mengintegrasikan Islam, sosiologi, bersama dengan sejumlah konsep-konsep
yang berhasil dihasilkan dan disebarluaskan tidak tampak sama. Salvatore
mengacu pada adopsi perspektif yang semakin refleksif, secara teoritis
terinformasi, namun juga secara historis, pada interaksi antara ide dan praktik
modernitas di Barat, Selatan, Timur, dan Asia Tenggara, dan ecumene Islam.
Namun,
sementara Sosiologi Islam jelas mendapat manfaat dari mengadopsi perspektif
komparatif dan fokus teoritis, itu tidak bisa sepenuhnya dilengkapi oleh
keduanya. Sejauh ia mempelajari Islam sebagai komitmen kesalehan, sebagai
gagasan tatanan moral dan sosial, dan sebagai ekumene historis yang melampaui
batas-batas peradaban, sosiologi Islam pasti akan mengganggu postulat
evolusionis yang melihat kehidupan modern dan masyarakat modern sebagai
'tradisi' yang tidak jelas. Postulat semacam itu terbukti tahan dalam
memberikan tolok ukur untuk perbandingan sosial dan peradaban. Dalam pengertian
ini, Sosiologi Islam menentang kebijaksanaan (universal) dan asumsi yang tidak
perlu dipertanyakan tentang konsep-konsep inti sosiologi dan dengan demikian
juga mempertanyakan nilai perbandingan sebagai Eurocentrism. Dalam perbandingan
yang kecil dapat memiliki potensi heuristik dengan membantu membuka cakrawala
baru analisis meta-institusional yang berorientasi untuk memahami cara kerja
pengetahuan dan kekuasaan dan dengan itu apa yang kita sebut agama. Salvatore
mengacu pada Islam sebagai 'ecumene.' Istilah ini hampir tidak digunakan dalam
sosiologi dan harus dipertimbangkan baik dari peradaban dan komunitas. Jika
konsep Islam dilihat dari ummah, yang dimaksudkan sebagai suatu badan
kolektif 'anorganik' yang dapat membentuk konstelasi menjadi kelompok-kelompok
kohesif pada tingkat lokal, translokal, dan global, itu akan menjadi 'ecumene.'
Dengan
demikian, ia memiliki potensi untuk menyerap dan dinamisasi makna sosiologis
dari peradaban dan masyarakat. Ecumene juga menunjukkan proses pembuatan peta
yang diperlukan untuk konstitusi perhubungan global ini, mengingat fakta bahwa
itu adalah sulit untuk mempertimbangkan ecumene sebagai pengendapan pada pusat
eksklusif. Ekumenis Islam dipahami sebagai seperangkat pola normativitas dan
kesopanan yang sangat mobile baik kohesi dan orientasi ke jaringan translokal
dan berbagai lokal. Ecumene seperti itu memelihara kehidupan sosial dengan
memfasilitasi dan melegitimasi mode untuk membangun institusi yang menyediakan
berbagai kebutuhan sosial, dari kerjasama hingga pendidikan, dari kesehatan
hingga produksi, dari penyediaan untuk orang miskin hingga pengkodean budaya,
termasuk budaya pengadilan. Yang terakhir dapat berfungsi sebagai alat untuk
memilih, menginstruksikan (atau menasihati) elit, dan menerapkan tata kelola.
Dekonstruksi
radikal dari kategori-kategori Barat sering mengarah pada penghilangan
kekuasaan dengan produksi pengetahuan yang terkait, tanpa mempertanyakan apakah
dekonstruksi seperti itu benar-benar menantang pengertian sendiri tentang pengetahuan
dan kekuasaan atau artikulasi itu sendiri dari pengetahuan – kekuasaan seperti
yang terlihat dari perspektif hegemonik Barat. Yang paling menonjol di sini
adalah karya Michel Foucault, inspirator dari beberapa kritik semacam itu dan
penulis reformulasi populer definisi Barat tentang bagaimana pengetahuan
dilipat menjadi kekuatan tanpa residu. Foucault membingkai persamaan
pengetahuan-kekuasaan melalui prisma kekuatan historis dari disiplin Barat,
kelembagaan, dan kekuatan subjektif yang ia temukan dalam serangkaian
'arkeologi' dan 'genealogi' brilian.
Pada
akhirnya, sosiologi Islam tidak hanya memiliki potensi untuk memberikan
koherensi terhadap gelombang baru, posorientalis studi historis dan kontemporer
tentang Islam, tetapi juga dan bahkan lebih untuk kebijaksanaan konvensional
sosiologi itu sendiri sebagai pertanda pemahaman diri yang tercerahkan
masyarakat modern. Sosiologi Islam dapat melakukan kritik terhadap gagasan
sosiologis modernitas yang dilakukan oleh perdebatan tentang posmodernisme dan
poskolonialisme. Sudut kritis yang dibuka oleh sosiologi Islam di dalam
penyelidikan dan teori sosiologis memungkinkan kita untuk tidak hanya melihat
modernitas Barat seolah-olah dari marginnya tetapi juga untuk mengkritik gagasan
itu sendiri dari inti modernitas dalam global yang berkembang pesat. Hal ini
dimungkinkan karena Islam menyediakan, dalam sejarahnya tentang 'pembuatan
peta' sebagai ekumene yang semakin transcivilizational,
suatu perspektif alternatif pada tatanan semacam itu. Dengan cara ini, modernitas
Barat dapat membebaskan dirinya sendiri dari ilusi-ilusinya karena dengan
tradisi melalui suatu subjektivitas yang unik namun universal. Melalui jalan
yang diprakarsai oleh sosiologi Islam, modernitas Barat itu sendiri dapat
membuka diri terhadap konsepsi yang lebih pluralistik dan crosscivilizational
dari masyarakat modern dan agen di dalamnya yang lebih cocok untuk menghadapi
tantangan global, termasuk geopolitik yang jelas, meskipun lambat, sentralitas-gelap
dari Barat.
Kekuatan
meta-institusional membentuk realitas sosial bukan melalui solusi institusional
yang siap pakai (seperti syariat yang sering disalah-artikan sebagai
kode hukum yang siap untuk diterapkan) tetapi dengan memberdayakan aktor sosial
untuk menggunakan waduk peradaban untuk secara kreatif membentuk solusi bagi
masalah sosial berdasarkan keadaan khusus lokal dan usia. Sosiolog Islam, yang
menjadi produk dari gelombang panjang modernisasi dan globalisasi, hanya bisa
duduk di perbatasan peta untuk mengamati dan mendiagnosa keruwetan dan
ketidakstabilan dalam gerakan kompas persegi yang diwakili oleh kekuatan Islam
ini.
Jika
kita menghubungkan perkembangan terbaru dalam gerakan Islam dengan hal-hal baru
yang disebutkan di atas dalam teori sosiologis dan yang digerakkan oleh kritik
Orientalisme, kita dapat meningkatkan pemahaman kita tentang imperatif untuk
mengubah studi tentang Islam jauh dari dominan berorientasi teks. Metodologi
untuk menganalisanya sebagai proses 'pemetaan' yang berkelanjutan. Proses ini
digerakkan oleh aspirasi dan konflik yang dihasilkan oleh kompromi sosial dan
ekspansi geopolitik, menarik dari wacana diskursif yang kaya dan mudah kita
kaitkan dengan hanya satu, kata yang sebagian besar diaktifkan (namun masih
bersifat dinamis), yaitu Islam . Menjadi kata benda verbal dari bentuk keempat
dan dengan demikian memiliki kekuatan sentimentatif yang ditandai. Perhatian
kontemporer yang dibayar oleh para pengamat terhadap keterlibatan sosial yang
semakin kompleks dari gerakan-gerakan, kelompok-kelompok, dan asosiasi-asosiasi
Islam, dari program-program dan visi-visi mereka, memungkinkan kita untuk
melihat hanya puncak gunung es dari dinamika historis dan kontemporer yang
dimanifestasikan oleh metafora. kekuatan institusional Islam. Dengan mengungkap
keterlibatan rumit seperti itu di mana konfrontasi memenuhi asimilasi,
sosiologi Islam dapat memainkan peran penting dalam mengembangkan studi tentang
berbagai tradisi dan modernitas yang terjerat saat mempertimbangkan silsilah
dan artikulasi non-Barat alternatif dari persamaan kekuasaan dan pengetahuan.
Sudut ini mengubah perspektif komparatif dan memfasilitasi hubungan refleksif
dengan agama, politik, dan sekularitas, sekarang dianggap bukan hanya sebagai
medan yang dipadatkan tetapi sebagai arena pengetahuan dan kekuasaan yang
kontroversial. Dalam prosesnya, Islam sebagai matriks keagamaan,
meta-institusional yang terdiversifikasi, sebagai gagasan peradaban dan sebagai
cetak biru kehidupan yang memfasilitasi pengabdian individual dan aspirasi
kolektif, tidak lenyap dari panggung modern
Islam
sebagai usaha pembuatan peta terbukti penting untuk menghidupkan proyek
sosiologi Islam dengan cara yang tidak menumbangkan sosiologi dan teori sosial
semata tetapi mendorong mereka ke arah yang lebih selaras dengan melemahnya
sentralitas pemikiran sosial Barat pada skala global. Pendekatan ini juga lebih
selaras dengan kesadaran yang muncul bahwa universalisme Barat telah mewakili
perendaman sementara dari multi perspektif globalisasi sebelumnya pada agensi
manusia dalam sejarah dunia.
Daripada
sosiologi agama tertentu yang diterapkan pada Islam, sosiologi Islam
mengeksplorasi cara pengetahuan dan kekuasaan berinteraksi untuk membentuk
tradisi Islam dan transformasi mereka melalui pola sosiabilitas, tata krama,
dan kesopanan yang 'membentuk konstelasi' menjadi bentuk kelembagaan yang
paling lunak. Pola-pola ini dan bentuk-bentuk yang dihasilkan dianalisis
sebagai peradaban khusus di satu sisi, tetapi juga sebagai kontribusi dan
berbagi dalam suatu kesopanan global yang muncul, di sisi lain. Oleh karena itu
sosiologi Islam dapat dilihat sebagai sosiologi komparatif dari agama dan
kesopanan merupakan sifat yang mengeksplorasi mode membangun dan menghuni dunia
sosio-budaya. Bentuk-bentuk semacam itu tidak bertentangan tetapi mempunyai
rasa transendensi yang kuat, yang tidak dapat disangkal salah satu ciri dari
apa yang kita sebut agama. Pandangan kesopanan ini harus mengimunisasi kita
dari pemikiran dalam hal peradaban sebagai monolit budaya yang sederhana.
Peradaban adalah kontingen dan bersaing dari proses peradaban, yang dimaksudkan
sebagai transformasi di mana pola-pola kesopanan terbentuk dan tidak
terselesaikan. Dengan ini tradisi keagamaan sering memainkan peran yang
menentukan dalam melengkapi para praktisi dengan jenis pengetahuan yang secara
meyakinkan dipelihara — meskipun tidak selalu lancar — proses peradaban yang
lebih luas.
Perhatian
khusus pada pengetahuan dan kekuasaan sebagai kunci koordinasi kesopanan, yang
dihasilkan dari pelampiasan bersama mereka. Pengetahuan ada di mana-mana
sebagai kekuatan, karena pengetahuan ada di dalam kekuasaan dan sebaliknya.
Mereka tidak untuk menggunakan istilah ilmu pengetahuan sosial, variabel yang
berbeda atau kekuatan yang bersaing dalam pembuatan ikatan sosial dan sipil.
Mereka adalah metafora yang tidak sempurna dari dialektika manusia yang sedang
berlangsung antara pemaksaan materi dan kohesi simbolis. Kedua alam ini tidak
dapat dibatasi secara rapi dalam setiap kasus yang dianalisis. Kita harus lebih
sadar bahwa apa yang merupakan konstelasi peradaban yang khas adalah contoh
pertama, pengetahuan spesifik dalam kekuasaan. Hal ini sering terjadi dengan
membedakan kekuasaan semata-matas dari kekuasaan yang sah. Proses definisi
kekuasaan ini tercermin dalam hubungan antara penguasa dan administrator di
satu sisi dan para ahli ulama dan agama di sisi lain. Dengan demikian foil ultimate
dari program peradaban adalah cara tertentu untuk membatasi pengetahuan,
kekuasaan dan kekuatan untuk mengatur.
DAFTAR PUSTAKA
Salvatore,
Armando.1999. Islam dan Wacana Politik
Modernitas. Bacaan: Ithaca Press.
_______.
2016. The Sociology of Islam: Knowledge,
Power, and Civilty. Oxford: John Wiley dan Sons Ltd.