IMAN, ISLAM dan IHSAN
Oleh:
SETIONO
A.
Latar Belakang
Agama yang diturunkan tuhan
dengan perantaraan rasul-rasulnya, ialah memberi pimpinan bagi manusia di dalam
usahanya memberi nilai hidupnya sendiri. Karena dasar yang asli daripada jiwa
manusia itu, karena dia berakal dan berfikir, ialah mencari rahasia yang
tersembunyi di belakang kenyataan itu.
Banyak sudah bukti bahwa
tuhan menciptakan manusia itu secara sempurna. Salah satunya terdapat dalam
surah at-tin.
Tetapi walaupun sudah
banyak tuhan memberikan bukti yang amat sangat nyata, masih saja kita dapati
manusia yang seakan-akan mereka tidak mempunyai akal dan fikiran.
Oleh karena itu ALLAH
mengutus seorang pemimpin yang paling sempurna dari pemimpin-peminpin yang
lain, paling luar biasa kegigihannya yang bahkan sampai-sampai imam bushiri
pengarang syair yanng berjudul qasidah burdah menulis tentang kehidupan beliau
yang amat sangat menyayat hati apabila kita menyelami kalimat demi kalimatnya
dengan seksama.
ALLAH ta’ala mengutus nabi
yang luar biasa tersebut dikarenakan umat manusia sudah terlalu banyak yang
lalai terhadap tuhannya, terlalu banyak penyimpangan yang mereka perbuat, dan
yang lebih memprihatinkan, mereka sudah tidak mempunyai akhlak yang baik.
Disinilah bukti nyata kasih
sayang tuhan terhadap hambaNYA. Disampaikan perjalanan itu kepada ujungnya,
tidak lagi terhenti di tengah jalan karena tidak ada kesanggupan lagi.
DiberiNYA manusia itu pimpinanan. Pimpinan yang membawa mereka kembali menjadi
manusia yang diciptakan sesuai dengan kodratnya.
Di utusnya nabi akhir zaman
tidak lain adalah untuk membentuk dan mengembalikan manusia menjadi manusia
yang berakhlak kembali. Memiliki iman yang akan membawa mereka kepada
keselamatan, islam sebagai jalan dan ihsan hasil dari keduanya
tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Iman, Islam
dan Ihsan
1. Iman
Kita tidak mungkin menjadi mukmin yang hakikitanpa mengenal profil nabi kita
Muhammad S.A.W.. sebab, hanya dengan itu kita tahu bagaimana seharusnya
mengamalkan agama islam ini.[1]
Membahas tentang prihal
iman maka pembahasan tersebut menjurus kepada ilmu tauhid. Ilmu tauhid tidak
dapat dipisahkan dengan permasalahan keimanan. Dengan demikian, membahas ilmu
tauhid berarti juga menerangkan segala sesuatu tentang keimanan serta
rukun-rukunnya sebab yang diisyaratkan dengan tauhid ialah al-iman.[2]
Iman berasal dari kata : " ايمان " merupakan bentuk masdar yang fi’il madhinya adalah " امن "
Yang
menurut lughah (bahasa) artinya adalah :
صد قه ووثق
به
Secara etimologi berarti:
اٰمَنَ
- يُؤْمِنُ - اِيْمَانًا -aamana-yu
minu-iimaanan = Mengamankan.
Menurut para ahli kalam
yang termaktub (tercantum) dalam kitab al-a’lamah as-syayid husein affandi
al-jisri at-tharabilisi yang berjudul al husunul hamidiyyah, pengertian iman
adalah sebagai berikut :
“membenarkan
apa-apa yang dibawa Rasulullah SAW. Yang diketahui
kedatangannya secara pasti, maksudnya tekad membenarkan apa-apa yang dibawa
nabi itu dari sisi Allah SWT, yang diketahui secara yakin kedatangannya
disertai ketundukan hati.[5]
Menurut imam bukhari
sendiri, iman adalah:الايمان قول وعمل يزيد
وينقص
ucapan dan amalan (pekerjaan), bertambah dan
berkurang.[6]
Menanggapi pernyataan beliau tersebut tentang bertambah serta berkurangnya
iman di jawab berbeda oleh ulama yang masuk
dalam pembahasan ilmu kalam.
Apakah
benar iman itu bisa bertambah serta bisa pula berkurang?
Senada
dengan pernyataan tersebut imam al-asy’ari menyatakan bahwa iman itu bisa naik
serta bisa pula turun. Dapat bertambah akan tetapi dapat pula berkurang.
Pernyataan
beliau tersebut menyatakan bahwa bukan pengertian iman secara esensi yang dapat
bertambah serta berkurang akan tetapi yang disebutkan beliau itu adalah
pengertian iman secara sifat.
Kemudian menurut al-bazdawi iman tidak bisa naik maupun turun atau tidak dapat
bertambah maupun berkurang. Hanya saja beliau mencontohkan bahwa iman tersebut
adalah suatu benda yang terkena cahaya yang mana cahaya tersebut akan membuat
bayangan, bayangan benda tersebut dapat berupa bayangan yang sedikit bisa pula
berupa bayangan yang banyak sesuai dengan cahaya yang di berikan kepada benda
tersebut. Nah jika benda tersebut dimisalkan dengan iman, apakah benda tadi
dengan sendirinya bisa bertambah serta bisa berkurang? Tentu tidak bukan,
karena yang dapat bertambah serta berkurang adalah bayangan dari benda tersebut
dan bayangan itulah yang dimaksudkan sebagai iman yang bisa bertambah dan
berkurang.
Seseorang yang telah
beriman wajib menjaga keimanannya dari segala perbuatan buruk yang akan
mengakibatkan rusaknya iman tersebut.[7]
Iman
itu belumlah cukup apabila hanya diucapkan dengan lidah saja, tetapi harus
disertai dengan amal saleh, yaitu melaksanakan semua perintah syari’ah agama.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW.:
“Iman
ialah kepercayaan (diyakini) di dalam hati, ditetapkan (diucapkan) dengan
lidah, dan dilaksanakan dengan anggota badan (perbuatan).”
Ada pula riwayat hadits yang menjelaskan
tentang keagungan iman, seperti riwayat berikut.
Dikeluarkan oleh Bukhari (6443) dan Muslim (94) dari Abi Dzar r.a. ia berkata:
“pada suatu malam aku keluar rumah, tba-tiba kulihat Rasulullah s.a.w. berjalan
sendirian tidak ada seorangpun yang bersamanya, lalu aku berkata dalam hati:
mungkin Rasulullah saw. Ingin sendirian, “ Abu Dzar r.a. berkata “ aku kemudian
berjalan di bawah bayang-bayang rembulan, Rasulullah saw. Menoleh dan melihatku,
“kemudian berkata: “siapakah ini?”, aku menjawab: ” aku Abu Dzar, “ beliau
berkata: “ wahai Abu Dzar kemarilah,” abu dzar r.a. berkata: “ lalu aku
berjaalan bersamanya sejam lamanya, “ maka beliau bersabda: “ sesungguhnya
orang yang memperbanyakharta didunia mereka itulah yang akan kemiskinan pada
hari kiamat, kecuali orang yang diberi kebaikan oleh Allah subhanahu wa taala,
hingga ia membelanjakan hartanya dari samping kanan, kiri, dari depan, belakang
dan selalu berbuat kebaikan, : Abu Dzar berkata: “ aku berjalan bersama beliau
sejam lamanya”, kemudian beliau berkata kepadaku: “duduklah di sini! “, Abu
Dzar berkata: “Rasulullah saw. Menyuruhku duduk di sebuah tempat luas yang
dipenuhi dengan batu, “ beliau berkata: “ tunggu di sini sampai aku kembali,”
Abu Dzar r.a. berkata: “Rasulullah saw. Pergi ke sebuah tempat yang
dipenuhi batu hitam, hingga aku tidak melihatnya, dan akupun lama menunggu
beliau, tidak lama kemudian aku mendengar suaranya ketika hendak dekat
padaku, “ setelah datang dan aku tidak sabar aku langsung bertanya kepadanya:
“wahai nabi Allah ! dengan siapa kau berbicara disana?: ”, aku tidak mendengar
seorangpun yang menjawabmu?, beliau menjawab: “ itu Jibril yang sedang datang
dengan membawa wahyu “, ia berkata kepadaku: “ Wahai Muhammad! Berilah kabar
gembira umatmu dengan surga bagi siapapun yang mati dan tidak berbuat syirik
kepada Allah sekalipun,“ lalu aku bertanya: “ Wahai Jibril! Meski ia melakukan
zina dan mencuri? “, Jibril menjawab: “Ya”, aku (Abu Dzar) bertanya: “ wahai
Rasulullah! Meski berzina dan mencuri?”, beliau menjawab: “Benar”, aku bertanya
lagi:” meski berzina dan mencuri?”, kemudian beliau menjawab: “ Ya, meskipun ia
meminum khomer (minuman keras)”. (demikian disebutkan dalam jam’ul
fawaid jilid 1 hal 7, dan ada tambahan dalam Riwayat Bukhari, Muslim Dan
Tarmidzi dalam pertanyaan keempat: “ meski kau tidak bisa menerimanya wahai Abu
Dzar”)[8]
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa setiap orang beriman harus mengamalkan
keimanannya dalam perbuatan lahiriah dan batiniah (keyakinan hati yang didasari
oleh keikhlasan). Bila tidak demikian, maka keimannya belum sempurna.[9]
2. Islam
Islam berasal dari kata Arab
Aslama-Yuslimu-Islaman yang secara kebahasaan berarti 'Menyelamatkan'. beberapa
istilah terpenting dalam pemahaman mengenai keislaman, yaitu Islam dan Muslim.
Kesemuanya berakar dari kata Salam yang berarti kedamaian. Kata Islam lebih
spesifik lagi didapat dari bahasa Arab Aslama, yang bermakna "untuk
menerima, menyerah atau tunduk" dan dalam pengertian yang lebih jauh
kepada Tuhan.
Pengertian Islam
bisa kita bedah dari dua aspek, yaitu aspek kebahasaan dan aspek peristilahan.
Dari segi kebahasaan, Islam berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata salima
yang mengandung arti selamat, sentosa, dan damai. Dari kata salima selanjutnya
diubah menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian.
Oleh sebab itu orang yang berserah diri, patuh, dan taat kepada Allah swt.
disebut sebagai orang Muslim.
Dari uraian
tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kata Islam dari segi kebahasaan mengandung
arti patuh, tunduk, taat, dan berserah diri kepada Allah swt. dalam upaya
mencari keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Hal itu
dilakukan atas kesadaran dan kemauan diri sendiri, bukan paksaan atau
berpura-pura, melainkan sebagai panggilan dari fitrah dirinya sebagai makhluk
yang sejak dalam kandungan telah menyatakan patuh dan tunduk kepada Allah.
Adapun pengertian
Islam dari segi istilah, banyak para ahli yang mendefinisikannya di antaranya
Prof. Dr. Harun Nasution. Ia mengatakan bahwa Islam menurut istilah (Islam
sebagai agama) adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada
masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad saw. sebagai Rasul. Islam pada
hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenal satu segi, tetapi
menganal berbagai segi dari kehidupan manusia.
Sementara itu
Maulana Muhammad Ali mengatakan bahwa Islam adalah agama perdamaian; dan dua
ajaran pokoknya, yaitu keesaan Allah dan kesatuan atau persaudaraan umat
manusia menjadi bukti nyata bahwa agama Islam selaras benar dengan namanya.
Islam bukan saja dikatakan sebagai agama seluruh Nabi Allah, sebagaimana
tersebut dalam Al Qur’an, melainkan pula pada segala sesuatu yang secara tak
sadar tunduk sepenuhnya pada undang-undang Allah.
Kemudian menurut Hamka
setelah manusia menerawang, berfikir, merenung, membanding, mengukur,
menjangka, pendeknya memfilosof, akhirnya sampailah dia di ujung perjalanan. Di
dinding yang tidak tersebrangi itu. Segala macam telah dicobanya. Akhirnya
yakinlah dia bahwa memang ada sesuatu itu, dialah yang Mutlak, Dialah
Yang Maha Kuasa, Dialah puncak (kata plato). Dialah Tao, yang tak dapat
diberi nama (kata Lao Tze). Maka insyaflah manusia akan kelemahan dirinya, dan
insyaf akan kemaha besarnya yang ada itu. Maka menyerahlah dia dengan
segala rela hati. Penyerahan yang demikian dalam bahasa arab dinamai Islam.[10]
Dari pengertian Islam tersebut, adanya
3 aspek, yaitu:
a.
Aspek vertikal
Mengatur antara makhluk dengan kholiknya (manusia dengan
Tuhannya). Dalam hal ini manusia bersikap berserah diri pada Allah.
b.
Aspek horizontal
Mengatur hubungan antara manusia dengan manusia. Islam
menghendaki agar manusia yang satu menyelamatkan, menentramkan dan mengamankan
manusia yang lain.
c.
Aspek batiniah
Mengatur ke dalam orang itu sendiri, yaitu supaya dapat
menimbulkan kedamaian, ketenangan batin maupun kemantapan rohani dan mental.
Jadi,
dapat ditarik kesimpulan bahwa pengetian islam adalah sebuah agama yang tidak
membebani tidak pula memanjakan pemeluknya ( agama pertengahan) yang mana tanpa
ada paksaan untuk pemeluknya menyerah atau tunduk sesuai dengan fitrahnya
dan selamatlah mereka yang taat serta benar-benar memegangnya.
3. Ihsan
Ihsan ( ناسحI
) adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti “kesempurnaan” atau “terbaik.”
Dalam terminologi agama Islam, Ihsan berarti seseorang yang menyembah Allah
seolah-olah ia melihat-Nya, dan jika ia tidak mampu membayangkan melihat-Nya,
maka orang tersebut membayangkan bahwa sesungguhnya Allah melihat perbuatannya.[11]
Ihsan ialah
melaksanakan ibadah dengan sepenuh hati karena menyadari bahwa Allah selalu
melihatnya, hingga ia merasakan berhadapan langsung dengan Allah dan bahkan ia
melihat Allah SWT. dengan hati nurani. Semua itu dilakukannya dengan ikhlas.[12]
Seseorang tidak akan
merasakan nikmatnya ibadah apabila dia tidak merasa melihat dengan tuhannya. Bila kita ingkar kepada Allah, maka akan mengalami
kesesatan yang nyata. Orang yang sesat tidak akan merasakan kebahagiaan dalam
hidup. Oleh karena itu, beriman kepada Allah sesungguhnya adalah untuk kebaikan
manusia.
Dalam sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW
bersabda:
“sesungguhnya Allah mewajibkan
al-Ihsan dalam segala masalah, oleh karena itu jika kalian berperang harus
dengan satria, dan jika menyembelih binatang pun harus dengan cara yang baik
(tidak sadis)”.[13]
Syaikh ‘Abdurrahman as
Sa’di Rahimahullah menjelaskan bahwa ihsan mencakup dua macam, yakni ihsan
dalam beribadah kepada Allah dan ihsan dalam menunaikan hak sesama makhluk.
Ihsan dalam beribadah kepada Allah maknanya beribadah kepada Allah seolah-olah
melihat-Nya atau merasa diawasi oleh-Nya.
Sedangkan ihsan
dalam hak makhluk adalah dengan menunaikan hak-hak mereka.
Ihsan kepada makhluk ini terbagi dua, yaitu:
a. Wajib
Yang hukumnya wajib, misalnya
berbakti kepada orang tua dan bersikap adil dalam bermuamalah.
b. Sunnah
Yang hukumnya sunnah, misalnya
memberikan bantuan tenaga atau harta yang melebihi batas kadar kewajiban seseorang.
Salah satu bentuk ihsan yang paling utama
adalah berbuat baik kepada orang yang berbuat jelek kepada kita, baik dengan
ucapan atau perbuatannya.[14]
B. Hubungan antara iman, islam dan ihsan
Islam, Iman dan Ihsan adalah satu
kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Iman adalah keyakinan
yang menjadi dasar akidah. Keyakinan tersebut kemudian diwujudkan melalui
pelaksanaan kelima rukun Islam. Sedangkan pelaksanaan rukun Islam dilakukan
dengan cara ihsan, sebagai upaya pendekatan diri kepada Allah.
Untuk mempelajari ketiga pokok ajaran
agama tersebut, para ulama mengelompokkannya lewat tiga cabang ilmu
pengetahuan. Rukun Islam berupa praktek amal lahiriah disusun dalam ilmu Fiqh,
yaitu ilmu mengenai perbuatan amal lahiriah manusia sebagai hamba Allah. Iman
dipelajari melalui ilmu Tauhid (teologi) yang menjelaskan tentang
pokok-pokok keyakinan. Sedangkan untuk mempelajari ihsan sebagai tata cara
beribadah adalah bagian dari ilmu Tasawuf.
QS Ali-Imran ayat 19 :
¨bÎ) šúïÏe$!$# y‰YÏã
«!$#
ÞO»n=ó™M}$#
3 $tBur
y#n=tF÷z$#
šúïÏ%©!$#
(#qè?ré&
|=»tGÅ3ø9$# žwÎ) .`ÏB ω÷èt/ $tB
ãNèduä!%y`
ÞOù=Ïèø9$#
$J‹øót/ óOßgoY÷t/ 3
`tBur öàÿõ3tƒ ÏM»tƒ$t«Î/ «!$# cÎ*sù ©!$# ßìƒÎŽ|
É>$|¡Ïtø:$#
ÇÊÒÈ
Artinya:
“Sesungguhnya
agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang
yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka,
karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap
ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”
Di dalam ayat tersebut dijelaskan kata
Islam dan selalu diikuti dengan kata addin yang artinya agama. Addin terdiri
atas 3 unsur yaitu, iman, Islam, dan ihsan. Dengan kata lain dapat dinyatakan
bahwa iman merupakan keyakinan yang membuat seseorang ber-Islam dan menyerahkan
sepenuh hati kepada Allah dengan menjalankan syareatnya dan meninggalkan segala
yang dilarang oleh syariat Islam.
Selain itu iman, islam, dan ihsan
sering juga diibaratkan hubungan diantara ketiganya adalah seperti segitiga
sama sisi yang sisi satu dan sisi lainya berkaitan erat. Segitiga tersebut
tidak akan terbentuk kalau ketiga sisinya tidak saling mengait. Jadi manusia
yang bertaqwa harus bisa meraih dan menyeimbangkan antara iman, islam dan
ihsan.
C. Perbedaan Antara Iman, Islam, Dan Ihsan
Disamping adanya hubungan diantara
ketiganya, juga terdapat perbedaan diantaranya sekaligus merupakan
identitas masing-masing. lebih menekankan pada segi keyakinan dalam hati. Islam
merupakan sikap untuk berbuat dan beramal, dan Ihsan merupakan pernyataan dalam bentuk tindakan
nyata. Dan dengan ihsan,
seseorang bisa diukur tipis atau tebal iman dan islamnya.
Islam dan iman bila disebutkan secara
bersamaan, maka yang dimaksud dengan Islam adalah amal perbuatan yang nampak,
yaitu rukun Islam yang lima, dan pengertian iman adalah amal perbuatan yang
tidak nampak, yaitu rukun iman yang enam. Dan bila hanya salah satunya (yang
disebutkan) maka maksudnya adalah makna dan hukum keduanya.
Ruang lingkup ihsan lebih umum daripada iman, dan iman
lebih umum daripada Islam. Ihsan lebih umum dari sisi maknanya, karena ia
mengandung makna iman. Seorang hamba tidak akan bisa menuju martabat ihsan
kecuali apabila ia telah merealisasikan iman dan ihsan lebih spesifik dari sisi
pelakunya, karena ahli ihsan adalah segolongan ahli iman. Maka, setiap
muhsin adalah mukmin dan tidak setiap mukmin adalah muhsin.
Iman lebih umum daripada Islam dari
maknanya, karena ia
mengandung Islam. Maka, seorang hamba tidak akan sampai kepada tingkatan iman
kecuali apabila telah merealisasikan Islam dan iman lebih spesifik dari sisi
pelakunya, karena ahli iman adalah segolongan dari ahli Islam (muslim), bukan
semuanya. Maka, setiap mukmin adalah muslim dan tidak setiap muslim adalah
mukmin.
D. Keutamaan Iman, Islam dan Ihsan bagi Manusia
Di antara perbendaharaan
kata dalam agama Islam ialah iman, Islam dan
ihsan. Berdasarkan sebuah hadits, ketiga istilah itu memberi
umat Islam (Sunni) ide tentang Rukun Iman yang enam,
Rukun Islam yang lima dan ajaran tentang
penghayatan terhadap Tuhan Yang Maha Hadir dalam hidup.
penghayatan terhadap Tuhan Yang Maha Hadir dalam hidup.
Setiap pemeluk Islam
mengetahui dengan pasti bahwa Islam (al-Islam) tidak
absah tanpa iman (al-iman), dan iman tidak
sempurna tanpa ihsan (al-ihsan). Sebaliknya, ihsan
adalah mustahil tanpa iman, dan iman juga tidak mungkin tanpa
inisial Islam. Ternyata pengertian antara ketiga istilah itu terkait
satu dengan yang lain, sehingga setiap satu dari ketiga
istilah itu mengandung makna dua istilah yang lainnya. Dalam iman terdapat
Islam dan ihsan, dalam Islam terdapat iman dan
ihsan dan dalam ihsan terdapat iman dan Islam. Dari sudut
pengertian inilah kita melihat iman, Islam dan ihsan sebagai
trilogi ajaran Ilahi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
·
Iman adalah ucapan yang disertai
dengan perbuatan diiringi dengan ketulusan niat dan dilandasi dengan Sunnah.
·
Islam adalah inisial seseorang masuk ke dalam
lingkaran ajaran Ilahi.
·
Ihsan adalah cara bagaimana
seharusnya kita beribadah kepada Allah.
Islam, Iman dan Ihsan adalah satu
kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Iman adalah keyakinan
yang menjadi dasar aqidah. Keyakinan tersebut kemudian diwujudkan melalui
pelaksanaan kelima rukun Islam. Sedangkan pelaksanaan rukun Islam dilakukan
dengan cara ihsan, sebagai upaya pendekatan diri kepada Allah.
DAFTAR PUSTAKA
AL Kaff
Abdullah Zakiy KH. dan Drs. Maman Abdul Djaliel MUTIARA ILMU TAUHID. CV. PUSTAKA SETIA.
HAMKA, Prof.
DR. PELAJARAN AGAMA ISLAM. PT. BULAN BINTANG.
Hasan, Muhammad
Tholhah. Islam dalam Perspektif Soaial Kultural. Lantabora Press,
Jakarta, cet III, 2005
Purnomo,
sanggit. Tips cerdas emosi dan spiritual islami. MPDMKPN, Jakarta, 2010
Yusuf Al-
Kandahlawy, Muhammad. Kehidupan para sahabat rasulullah saw.PT. BINA
ILMU, Surabaya, 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar