Senin, 19 Oktober 2015

Pemahaman Mistisisme



 PEMAHAMAN MISTISISME
 Oleh: SETIONO
Manusia dan masyarakat hidup dalam dua lingkungan, yaitu lingkungan alam dan masyarakat. Lingkungan alam meliputi benda organis yang hidup disekitar manusia dan lingkungan masyarakat adalah masa manusia yang berada di sekitarnya. Dalam kedua macam lingkungan ini manusia mempertahankan dan mengembangkan hidupnya. Bagi manusia yang kurang pengalaman dan pengetahuan terpaksa menyerah dalam menghadapi keadaan lingkungan ini dan terpaksa menyesuaikan diri dengan kehendak keadaan, maka timbul dari keinginan mereka  untuk mencari jalan agar pengaruh alam itu tidak merugikan  dan membinasakan mereka. Berdasarkan keadaan sosial budaya yang mereka miliki  dicarilah usaha untuk menguasai alam dengan kekuatan gaib sejalan dengan kekuatan alam yang bagi mereka merupakan kekuatan gaib.
      Diciptakanya mantra-mantara yang dianggap sakti untuk menguasai, menangkal atau membinasakan kekuatan gaib perkembangan itu melibatkan masyarakat umum dan individu yang bersifat umum berkembang menjadi kultus dan individualis berkembang menjadi perdukunan. Perkembangan masyarakat pada kenyataan selalu membawa berkas dari generasi terdahulu. Demikian pula perkembangan kepercayaan dari tahap politeisme menjadi monoteisme.[1]
      Pada dasarnya manusia merasakan adanya sesuatu pada dirinya, sesuatu yang bebas dari ikatan waktu dan tempat, serta aktif pada saat jaga dan tidurnya serta dapat menerima aneka gambar dalam mimpi serta khayalan dalam saat sadarnya walau tanpa dia mengusahakan kehadirannya, khayalan menyangkut masa lalu yang sangat jauh atau masa yang akan datang. Sesuatu itu adalah ruh, hingga kini walaupun diakui wujudnya, namun hakekatnya masih misterius.
            Bagi sebagian masyarakat yang mengklaim diri sebagai masyarakat peradaban modern, westernism bahkan sebagian yang mengesankan perilaku agamis yakni hanya bermain-main sebatas pada simbol-simbol agama saja tanpa mengerti hakekatnya, dan kesadarannya masih sangat terkotak oleh dogma agama-agama tertentu. Manakala mendengar istilah mistik, akan timbul konotasi negatif. Meskipun pada dasarnya bermakna sama, namun perbedaan bahasa dan istilah yang digunakan, terkadang membuat orang dengan mudah terjerumus ke dalam pola pikir yang sempit dan hipokrit. Selama puluhan tahun, kata-kata mistik mengalami intimidasi dari berbagai kalangan terutama kaum modernism, westernisme dan agamisme. Mistik dikonotasikan sebagai pemahaman yang sempit, irasional, dan primitif.
                Istilah “mistisisme” telah menjadi salah satu isu kontroversial dalam kajian modern tentang mistisisme sejak awal kemunculannya di paruh kedua abad ke-19 Masehi. Beberapa penulis menggunakan istilah tersebut dengan merujuk pada subjek yang berlainan. Mistisime itu sendiri berasal dari akar kata mistisisme adalah “mistik”. Kata mistik itu sendiri berasal dari bahasa Yunani mystikos yang artinya rahasia (geheim), serba rahasia (geheimzinnig), tersembunyi (verborgen), gelap (donker) atau terselubung dalam kekelaman (in het duister gehuld).  Dalam kamus bahasa indonesia, mistis di artikan sebagai hal-hal yang gaib yang tidak terjangkau oleh akal manusia, tetapi ada dan nyata.[2] Berdasarkan arti ini, mistik sebagai sebuah paham yaitu paham mistik atau mistisisme merupakan “Paham yang memberikan ajaran yang serba mistis (misal ajarannya berbentuk rahasia atau ajarannya serba rahasia, tersembunyi, gelap atau terselubung dalam kekelaman) sehingga hanya dikenal, diketahui atau dipahami oleh orang-orang tertentu saja, terutama sekali penganutnya.”[3]
            Mistisisme secara harfiah berarti pengalaman batin, yang tidak terlukiskan, khususnya yang memiliki ciri religius. Dalam arti paling luas, ia dimengerti sebagai jenis apa pun dari kesatuan mendalam dengan Allah. Dan dalam arti sempit, ia berarti kesatuan luar biasa dengan Allah. Mistisisme selaku pengalaman hendaknya dibedakan dari mistisisme sebagai ilmu tentang pengalaman mistik. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mistisisme diartikan sebagai ajaran yang menyatakan bahwa ada hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal manusia. Kemudian dalam pengertian lain, mistisisme juga dapat diartikan sebagai keyakinan bahwa kebenaran terakhir tentang kenyataan tidak dapat diperolehnya melalui pengalaman biasa, pun pula tidak melalui intelek (akalbudi), tetapi hanya melalui pengalaman mistik atau melalui suatu intuisi mistik yang nonrasional. Hakikat realitas tak dapat diungkapkan dan tidak dialami melalui pengalaman dan pemikiran biasa.[4].
            Umumnya, mistisisme dapat dimengerti sebagai suatu pendekatan spiritual dan non-diskursif kepada persekutuan jiwa dengan Allah, atau dengan apa saja yang dipandang sebagai realitas sentral alam raya. Jika realitas ini dipandang sebagai Allah yang transenden, satu cara khas ialah kebatinan, jauh dari dunia, menuju persekutuan dengan Sang Satu yang transenden. Tetapi mistisisme kebatinan (introversif) bukan satu-satunya tipe. Ada juga mistisisme ekstraversif (ke luar), di mana subjek merasakan kesatuannya dengan alam semesta, dengan semua yang ada. Ini sering diiringi, entah sebagai sebab atau akibat, identifikasi panteistik Allah dengan semua yang ada. Akhirnya, terdapat penggunaan teknik-teknik meditatif, bernada mistis, untuk mencapai keadaan pencerahan, terlepas dari konsep mana pun tentang yang Ilahi. Masing-masing pendekatan ini sudah dikembangkan baik di Barat maupun di Timur.
            Dalam ilmu Psikologi, bahwa kata mistisisme berasal dari bahasa Yunani Meyein, yang artinya “menutup mata”. Kata mistik biasanya digunakan untuk menunjukkan hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan tentang misteri. Dalam arti luas, mistik dapat didefinisikan sebagai kesadaran terhadap kenyataan tunggal, yang mungkin disebut kearifan, cahaya, cinta atau nihil.[5] Menurut Prof. Harun Nasution dalam tulisan Orientalis Barat, mistisisme yang dalam Islam adalah tasawuf disebut sufisme, sebutan ini tidak dikenal dalam agama-agama lain, melainkan khusus untuk sebutan mistisisme Islam. Sebagaimana halnya mistisisme, tasawuf atau sufisme mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada dihadirat Tuhan.[6] Menurut Inge menganggap inti terdalam dari mistisisme adalah “kesadaran akan realitas Yang Melampaui, Yang Maha” (“consciousness of the beyond”) yang tampak sebagai suatu prinsip aktif yang independen. Meski demikian, Inge meyakini mistisisme telah membangun suatu “sistem spekulasi dan praksis”nya sendiri yang berada di luar inti mistisisme itu sendiri. Hal dikarenakan setiap prinsip aktif seyogyanya menemukan instrumennya sendiri yang layak. Dalam pengertian ini, mistisisme dapat dipandang sebagai suatu model atau bentuk agama.[7] Dia pun berasumsi bahwa “kehidupan yang memadu (unitive) atau kontemplatif yang mewadahi persaksian langsung antara manusia dan Tuhan, serta melebur dengan-Nya” merupakan langkah akhir yang menjadi tujuan jalan mistis.[8]
            Rufus M. Jones menyatakan, bahwa mistisisme mencakup “(1) pengalaman yang dirasakan dari perjumpaan langsung dengan Ilahi dan (2) doktrin teologiko-metaisis mengenai penyatuan yang mungkin terjadi antara jiwa dengan Realitas Absolut, Tuhan.” Dia yakin hal tersebut dapat mendorong pada kejelasan untuk membatasi penguanan istilah “mistisisme” pada signiikansi belakangan yaitu “doktrin hitoris tentang hubungan dan penyatuan yang bersifat potensial antara jiwa antara jiwa manusia dengan Realitas Tertinggi,” serta pada penggunaan istilah “pengalaman mistis” sebagai perjumpaan langsung dengan Tuhan.[9] Sembari membedakan antara istilah dalam bahasa Jerman Mystizizmus dan Mystik, jones menganggap “mistisisme” sepadan dengan istilah yang terakhir, Mystik.[10]
            Secara terminologi para tokoh antropolog atau sosiolog mengartikan mistik sebagai subsistem yang ada pada hampir semua sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan bersatu dengan tuhan.[11] Lebih lanjut William James dalam bukunya “Perjumpaan dengan Tuhan” mengungkapkan bahwasannya kata-kata mistis hanya sebagai istilah untuk menjatuhkan pendapat apa saja yang dipandang kabur, sentimental, dan longgar, serta tidak memiliki landasan, baik dari segi fakta maupun logika.[12] Menurut Prof. Harun Nasution dalam tulisan Orientalis Barat, mistisisme orang Islam adalah disebut tasawuf (sufisme), sebutan ini tidak dikenal dalam agama-agama lain, melainkan khusus untuk sebutan mistisisme Islam.[13] Sebagaimana halnya mistisisme, tasawuf atau sufisme mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada dihadirat Tuhan.[14]
            Pengalaman mistis adalah suatu kejadian yang dialami seseorang, baik orang tersebut dalam kondisi sadar atau tidak. Pengalaman mistis berbeda dengan pengalaman yang lain. Pengalaman mistis berhubungan dengan sesuatu yang sifatnya non-materi atau eksistensi non-materi. Pengalaman mistis sangat dekat sekali hubungannya dengan agama; misalnya pengalaman mistis merasakan hadirnya Tuhan, surga, atau merasakan menyatunya Tuhan dalam diri seseorang, melihat malaikat atau berbicara dengannya. William James dalam bukunya perjumpaan dengan tuhan mengatakan bahwasannya ada empat karakter pengalaman keagamaan :
·         Tidak bisa di ungkapkan
            Orang yang mengalami pengalaman mistik mengatakan bahwa pengalaman itu tidak bisa diungkapkan; bahasa atau kata-kata tidak bisa mewakili apa yang pernah dialami kecuali mengalami sendiri. Dalam keadaan mistik, seseorang lebih menggunakan perasaan ketimbang akalnya.
·         Kualitas noetik
            Meskipun lebih menggunakan perasaan, bagi orang yang mengalaminya situasi mistik itu juga adalah situasi pengetahuan. Dalam situasi ini, orang mendapatkan wawasan tentang kedalaman kebenaran yang tidak bisa digali melalui intelek yang bersifat diskursif. Semua ini merupakan peristiwa pencerahan dan pewahyuan yang penuh dengan makna dan arti, tetapi tidak bisa di ungkapkan lewat kata-kata meskipun tetap dirasakan. Umumnya pengalaman ini juga membawa perasaan tentang adanya otoritas yang melampaui waktu.
·         Situasi transien
            Keadaan mistik tidak bisa dipertahankan dalam waktu yang cukup lama. Kecuali pada kesempatan-kesempatan yang jarang terjadi, batas-batas yang bisa dialami seseorang sebelum kemudian pulih keadaan biasa adalah sekitar setengah jam, atau paling lama satu atau dua jam. Sering kali saat mulai melemah, kualitas situasi ini bisa diproduksi di dalam ingatan meskipun tidak terlalu sempurna. Akan tetapi, saat ia dating kembali akan dapat dikenali dengan mudah. Kemudian, dari berulangnya peristiwa-peristiwa ini, mudah sekali dimengerti adanya perkembangan yang kontinu pada suasana batin yang dirasakan kaya dan penting.
·         Kepasifan
            Datangnya situasi mistik bisa dikondisikan oleh beberapa tindakan pendahuluan yang dilakukan secara sengaja, seperti melakukan pemusatan pikiran, gerakan tubuh tertentu, atau menggunakan cara-cara yang diuraikan dalam perbagai buku panduan mistisme. Meskipun demikian, saat kesadaran mistiknya muncul, sang mistikus merasa bahwa untuk sementara hasratnya menghilang, dan ia merasa direngkuh dan dikuasai oleh suatu kekuatan yang lebih tinggi.[15]

Menurut Bertrand Russell, ada empat karakteristik mistisime, yakni :
·         Keyakinan atas intuisi dan pemahaman batin sebagai metode pengetahuan, sebagai kebalikan dari pengetahuan sosial.
·         Keyakinan atas ketunggalan (wujud), serta pengingkaran atas kontradiksi dan diferensiasi, bagaimana pun bentuknya.
·         Pengingkaran atas realitas zaman.
·         Keyakinan dan kejahatan sebagai sesuatu yang hanya sekedar lahiriah dan ilusi saja, yang dikenakan pada kontradiksi dan diferensiasi yang dikendalikan rasio analitis.

            Mistisisme juga dapat diartikan sebagai keyakinan, bahwa kebenaran terakhir tentang kenyataan tidak dapat diperolehnya melalui pengalaman biasa, begitu pula tidak melalui akal budi, tetapi hanya melalui pengalaman mistik atau melalui pengalaman intuisi music yang non-rasional. Hakekatnya realitas tidak dapat diungkapkan dan tidak dialami melalui pengalaman dan pemikiran biasa.
            Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa mistisisme itu berkaitan dengan aspek kerohanian manusia, aspek kebatinan, aspek spiritual, bersifat non-rasional dan melibatkan ruh atau jiwa manusia. Dengan ruh atau jiwanya, manusia mampu menjangkau hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh panca indra dan tidak bisa dipikirkan oleh akalnya. Dalam pandangan mistisisme, ruh atau jiwa inilah yang merupakan esensi dan entitas manusia. Meski manusia telah mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar untuk mengetahui dirinya. Tetapi, manusia hanya mengetahui beberapa segi tertentu dari dirinya. Manusia tidak mampu mengetahui dirinya secara utuh.
            Dengan demikian, mistisisme merupakan ajaran yang menyatakan bahwa ada hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal manusia. Mistisisme juga dapat diartikan sebagai keyakinan bahwa kebenaran terakhir tentang kenyataan yang tidak dapat diperoleh melalui pengalaman biasa, juga tidak melalui intelek akal budi. Tetapi hanya melalui pengalaman intuitif atau mistik yang non-rasional.
            Maka dari itu, mistisisme merupakan suatu kepercayaan atau pengalaman yang tidak dapat dijangkau dengan akal. Namun, mistisisme merupakan pengalaman spiritual yang luar biasa dan tidak biasa serta diluar diri kita. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa mistisisme merupakan ajaran yang menyatakan adanya hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal manusia. Mistisisme juga dapat dipahami sebagai keyakinan tentang kebenaran puncak tertinggi tentang kenyataan (realitas tertinggi) yang tidak dapat diperolehnya melalui pengalaman biasa, juga tidak melalui akal budi, tetapi hanya melalui pengalaman mistik atau melalui suatu intuisi mistik yang non-rasional.














DAFTAR PUSTAKA
Jalaluddin. 2010. Psikologi agama. Jakarta: Rajawali Pers, cet 14.
Suyono, R.P. 2007. Dunia Mistik Orang Jawa. Yogyakarta : LKiS.
James, William. 2004. The Varieties of Religious Experience, di Terjemahkan oleh Gunawan Admiranto, Perjumpaan Dengan Tuhan, Bandung : Mizan.
Nasution, Harun. 2008. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Jones, Rufus M. 1924. “Mysticism,Encyclopædia of Religion and Ethics. diedit oleh        James Hastings, New York: Scribner´s, vol. IX.
Jalauddin dan Ramayulis.1993. Pengantar Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Kalam Mulia,          cet. ke-2.
Bagus, Lorens. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Syamsul Arifin, Bambang. 2008. Psikologi Agama. Bandung: Pustaka Setia, cet I.



                [1] Jalaluddin, Psikologi agama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), cet.-14, hlm. 133-135.
                [2] Kamus Bahasa Indonesia, (jakarta : pusat bahasa departemen pendidikan nasional, 2008), hlm. 962.
                [3] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 653.
                [4] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000),  hlm. 653.
                [5] Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2008) cet I, hlm. 207.
                [6] Jalauddin dan Ramayulis. Pengantar Ilmu Jiwa Agama. (Jakarta: Kalam Mulia, 1993), cet. ke-2., hlm. 125.
                [7] Di antara kajian mistisisme modern, beberapa peneliti meyakini Christian Mysticism karya Inge memunculkan tumbuhnya kembali minat masyarakat Ingris pada mistisisme Kristen (Crook, Paul, “W. R. Inge and Cultural Crisis, 1899—1920,” dalam Journal of Religious History, (Oxford: Blackwell, vol. 16, 1977), hlm, 5-6.
                [8] Ibid, hlm. 12.
                [9] Rufus M. Jones, “Mysticism,” Encyclopædia of Religion and Ethics, diedit oleh James Hastings, (New York: Scribner´s, vol. IX, 1924), hlm. 83. Dia menjelaskan bahwa dalam arti yang sempit ini, mengimplikasikan konsepsi metaisis tertentu tentang Tuhan dan jiwa serta suatu “langkah mistis” (mystical way) untuk mencapai suatu kesatuan dengan sang Absolut, hlm. 84.
                [10] Mystizismus, ditulisnya, berarti pemujaan terhadap sesuatu yang supernatural, pengejaran kekuatan kebatinan, dan eksploitasi spiritualistis bagi penelitian atas entitas isik, sementara Mystik bermakna pengalaman atas perjumpaan dan relasi tuhan-manusia yang berlangsung secara langsung. (hlm. 83).
                [11] R.P. Suyono, Dunia Mistik Orang Jawaa, (Yogyakarta : LKiS 2007), hlm. V.
                [12] William James, The Varieties of Religious Experience, di Terjemahkan oleh Gunawan Admiranto, Perjumpaan Dengan Tuhan, (Bandung : Mizan 2004), hlm. 506.
                [13] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2008), hlm. 43.
                [14] Ibid, hlm. 56.
                [15] William James, Perjumpaan Dengan Tuhan, hlm. 506-509.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makna Tahlilan

  PROSESI DAN MAKNA TAHLILAN DI DESA KLORON PLERET BANTUL SETIONO    A.    Latar Belakang Tahlilan sangat erat sekali kaitannya de...