PEMAHAMAN MISTISISME
Oleh: SETIONO
Manusia dan masyarakat hidup dalam
dua lingkungan, yaitu lingkungan alam dan masyarakat. Lingkungan alam meliputi
benda organis yang hidup disekitar manusia dan lingkungan masyarakat adalah
masa manusia yang berada di sekitarnya. Dalam kedua macam lingkungan ini
manusia mempertahankan dan mengembangkan hidupnya. Bagi manusia yang kurang
pengalaman dan pengetahuan terpaksa menyerah dalam menghadapi keadaan
lingkungan ini dan terpaksa menyesuaikan diri dengan kehendak keadaan, maka
timbul dari keinginan mereka untuk mencari jalan agar pengaruh alam itu
tidak merugikan dan membinasakan mereka. Berdasarkan keadaan sosial
budaya yang mereka miliki dicarilah usaha untuk menguasai alam dengan
kekuatan gaib sejalan dengan kekuatan alam yang bagi mereka merupakan kekuatan
gaib.
Diciptakanya
mantra-mantara yang dianggap sakti untuk menguasai, menangkal atau membinasakan
kekuatan gaib perkembangan itu melibatkan masyarakat umum dan individu yang
bersifat umum berkembang menjadi kultus dan individualis berkembang menjadi
perdukunan. Perkembangan masyarakat pada kenyataan selalu membawa berkas dari
generasi terdahulu. Demikian pula perkembangan kepercayaan dari tahap
politeisme menjadi monoteisme.[1]
Pada dasarnya
manusia merasakan adanya sesuatu pada dirinya, sesuatu yang bebas dari ikatan
waktu dan tempat, serta aktif pada saat jaga dan tidurnya serta dapat menerima
aneka gambar dalam mimpi serta khayalan dalam saat sadarnya walau tanpa dia
mengusahakan kehadirannya, khayalan menyangkut masa lalu yang sangat jauh atau
masa yang akan datang. Sesuatu itu adalah ruh, hingga kini walaupun diakui
wujudnya, namun hakekatnya masih misterius.
Bagi sebagian masyarakat yang mengklaim
diri sebagai masyarakat peradaban modern, westernism bahkan sebagian yang
mengesankan perilaku agamis yakni hanya bermain-main sebatas pada simbol-simbol
agama saja tanpa mengerti hakekatnya, dan kesadarannya masih sangat terkotak
oleh dogma agama-agama tertentu. Manakala mendengar istilah mistik, akan timbul
konotasi negatif. Meskipun pada dasarnya bermakna sama, namun perbedaan bahasa
dan istilah yang digunakan, terkadang membuat orang dengan mudah terjerumus ke
dalam pola pikir yang sempit dan hipokrit. Selama puluhan tahun, kata-kata
mistik mengalami intimidasi dari berbagai kalangan terutama kaum modernism,
westernisme dan agamisme. Mistik dikonotasikan sebagai pemahaman yang sempit,
irasional, dan primitif.
Istilah “mistisisme”
telah menjadi salah satu isu kontroversial dalam kajian modern tentang
mistisisme sejak awal kemunculannya di paruh kedua abad ke-19 Masehi. Beberapa
penulis menggunakan istilah tersebut dengan merujuk pada subjek yang berlainan.
Mistisime itu sendiri berasal dari akar kata mistisisme adalah “mistik”. Kata
mistik itu sendiri berasal dari bahasa Yunani mystikos yang artinya rahasia (geheim),
serba rahasia (geheimzinnig),
tersembunyi (verborgen), gelap (donker) atau terselubung dalam kekelaman
(in het duister gehuld). Dalam kamus bahasa indonesia, mistis di
artikan sebagai hal-hal yang gaib yang tidak terjangkau oleh akal manusia,
tetapi ada dan nyata.[2] Berdasarkan
arti ini, mistik sebagai sebuah paham yaitu paham mistik atau mistisisme
merupakan “Paham yang memberikan ajaran yang serba mistis (misal ajarannya
berbentuk rahasia atau ajarannya serba rahasia, tersembunyi, gelap atau
terselubung dalam kekelaman) sehingga hanya dikenal, diketahui atau dipahami
oleh orang-orang tertentu saja, terutama sekali penganutnya.”[3]
Mistisisme secara harfiah berarti
pengalaman batin, yang tidak terlukiskan, khususnya yang memiliki ciri
religius. Dalam arti paling luas, ia dimengerti sebagai jenis apa pun dari
kesatuan mendalam dengan Allah. Dan dalam arti sempit, ia berarti kesatuan luar
biasa dengan Allah. Mistisisme selaku pengalaman hendaknya dibedakan dari
mistisisme sebagai ilmu tentang pengalaman mistik. Sementara dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, mistisisme diartikan sebagai ajaran yang menyatakan bahwa ada
hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal manusia. Kemudian dalam pengertian
lain, mistisisme juga dapat diartikan sebagai keyakinan bahwa kebenaran
terakhir tentang kenyataan tidak dapat diperolehnya melalui pengalaman biasa,
pun pula tidak melalui intelek (akalbudi), tetapi hanya melalui pengalaman
mistik atau melalui suatu intuisi mistik yang nonrasional. Hakikat realitas tak
dapat diungkapkan dan tidak dialami melalui pengalaman dan pemikiran biasa.[4].
Umumnya, mistisisme dapat dimengerti
sebagai suatu pendekatan spiritual dan non-diskursif kepada persekutuan jiwa
dengan Allah, atau dengan apa saja yang dipandang sebagai realitas sentral alam
raya. Jika realitas ini dipandang sebagai Allah yang transenden, satu cara khas
ialah kebatinan, jauh dari dunia, menuju persekutuan dengan Sang Satu yang
transenden. Tetapi mistisisme kebatinan (introversif)
bukan satu-satunya tipe. Ada juga mistisisme ekstraversif (ke luar), di mana
subjek merasakan kesatuannya dengan alam semesta, dengan semua yang ada. Ini
sering diiringi, entah sebagai sebab atau akibat, identifikasi panteistik Allah
dengan semua yang ada. Akhirnya, terdapat penggunaan teknik-teknik meditatif,
bernada mistis, untuk mencapai keadaan pencerahan, terlepas dari konsep mana
pun tentang yang Ilahi. Masing-masing pendekatan ini sudah dikembangkan baik di
Barat maupun di Timur.
Dalam ilmu Psikologi, bahwa kata
mistisisme berasal dari bahasa Yunani Meyein,
yang artinya “menutup mata”. Kata mistik biasanya digunakan untuk menunjukkan
hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan tentang misteri. Dalam arti luas,
mistik dapat didefinisikan sebagai kesadaran terhadap kenyataan tunggal, yang
mungkin disebut kearifan, cahaya, cinta atau nihil.[5]
Menurut Prof. Harun Nasution dalam tulisan Orientalis Barat, mistisisme yang
dalam Islam adalah tasawuf disebut sufisme, sebutan ini tidak dikenal dalam
agama-agama lain, melainkan khusus untuk sebutan mistisisme Islam. Sebagaimana
halnya mistisisme, tasawuf atau sufisme mempunyai tujuan memperoleh hubungan
langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang
berada dihadirat Tuhan.[6]
Menurut Inge menganggap inti terdalam dari mistisisme adalah “kesadaran akan realitas
Yang Melampaui, Yang Maha” (“consciousness
of the beyond”) yang tampak sebagai suatu prinsip aktif yang independen.
Meski demikian, Inge meyakini mistisisme telah membangun suatu “sistem
spekulasi dan praksis”nya sendiri yang berada di luar inti mistisisme itu
sendiri. Hal dikarenakan setiap prinsip aktif seyogyanya menemukan instrumennya
sendiri yang layak. Dalam pengertian ini, mistisisme dapat dipandang sebagai
suatu model atau bentuk agama.[7]
Dia pun berasumsi bahwa “kehidupan yang memadu (unitive) atau kontemplatif yang mewadahi persaksian langsung antara
manusia dan Tuhan, serta melebur dengan-Nya” merupakan langkah akhir yang
menjadi tujuan jalan mistis.[8]
Rufus M. Jones menyatakan, bahwa
mistisisme mencakup “(1) pengalaman yang dirasakan dari perjumpaan langsung
dengan Ilahi dan (2) doktrin teologiko-metaisis mengenai penyatuan yang mungkin
terjadi antara jiwa dengan Realitas Absolut, Tuhan.” Dia yakin hal tersebut
dapat mendorong pada kejelasan untuk membatasi penguanan istilah “mistisisme” pada
signiikansi belakangan yaitu “doktrin hitoris tentang hubungan dan penyatuan
yang bersifat potensial antara jiwa antara jiwa manusia dengan Realitas
Tertinggi,” serta pada penggunaan istilah “pengalaman mistis” sebagai
perjumpaan langsung dengan Tuhan.[9]
Sembari membedakan antara istilah dalam bahasa Jerman Mystizizmus dan Mystik,
jones menganggap “mistisisme” sepadan dengan istilah yang terakhir, Mystik.[10]
Secara
terminologi para tokoh antropolog atau sosiolog mengartikan mistik sebagai
subsistem yang ada pada hampir semua sistem religi untuk memenuhi hasrat
manusia mengalami dan merasakan bersatu dengan tuhan.[11]
Lebih lanjut William James dalam bukunya “Perjumpaan dengan Tuhan”
mengungkapkan bahwasannya kata-kata mistis hanya sebagai istilah untuk menjatuhkan
pendapat apa saja yang dipandang kabur, sentimental, dan longgar, serta tidak
memiliki landasan, baik dari segi fakta maupun logika.[12]
Menurut Prof. Harun Nasution dalam tulisan Orientalis Barat, mistisisme orang
Islam adalah disebut tasawuf (sufisme), sebutan ini tidak dikenal dalam
agama-agama lain, melainkan khusus untuk sebutan mistisisme Islam.[13]
Sebagaimana halnya mistisisme, tasawuf atau sufisme mempunyai tujuan memperoleh
hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa
seseorang berada dihadirat Tuhan.[14]
Pengalaman
mistis adalah suatu kejadian yang dialami seseorang, baik orang tersebut dalam
kondisi sadar atau tidak. Pengalaman mistis berbeda dengan pengalaman yang
lain. Pengalaman mistis berhubungan dengan sesuatu yang sifatnya non-materi
atau eksistensi non-materi. Pengalaman mistis sangat dekat sekali hubungannya
dengan agama; misalnya pengalaman mistis merasakan hadirnya Tuhan, surga, atau
merasakan menyatunya Tuhan dalam diri seseorang, melihat malaikat atau berbicara
dengannya. William James dalam bukunya perjumpaan dengan tuhan mengatakan
bahwasannya ada empat karakter pengalaman keagamaan :
·
Tidak bisa di
ungkapkan
Orang
yang mengalami pengalaman mistik mengatakan bahwa pengalaman itu tidak bisa
diungkapkan; bahasa atau kata-kata tidak bisa mewakili apa yang pernah dialami
kecuali mengalami sendiri. Dalam keadaan mistik, seseorang lebih menggunakan
perasaan ketimbang akalnya.
·
Kualitas
noetik
Meskipun
lebih menggunakan perasaan, bagi orang yang mengalaminya situasi mistik itu
juga adalah situasi pengetahuan. Dalam situasi ini, orang mendapatkan wawasan
tentang kedalaman kebenaran yang tidak bisa digali melalui intelek yang
bersifat diskursif. Semua ini merupakan peristiwa pencerahan dan pewahyuan yang
penuh dengan makna dan arti, tetapi tidak bisa di ungkapkan lewat kata-kata
meskipun tetap dirasakan. Umumnya pengalaman ini juga membawa perasaan tentang
adanya otoritas yang melampaui waktu.
·
Situasi
transien
Keadaan
mistik tidak bisa dipertahankan dalam waktu yang cukup lama. Kecuali pada
kesempatan-kesempatan yang jarang terjadi, batas-batas yang bisa dialami
seseorang sebelum kemudian pulih keadaan biasa adalah sekitar setengah jam,
atau paling lama satu atau dua jam. Sering kali saat mulai melemah, kualitas
situasi ini bisa diproduksi di dalam ingatan meskipun tidak terlalu sempurna.
Akan tetapi, saat ia dating kembali akan dapat dikenali dengan mudah. Kemudian,
dari berulangnya peristiwa-peristiwa ini, mudah sekali dimengerti adanya
perkembangan yang kontinu pada suasana batin yang dirasakan kaya dan penting.
·
Kepasifan
Datangnya
situasi mistik bisa dikondisikan oleh beberapa tindakan pendahuluan yang
dilakukan secara sengaja, seperti melakukan pemusatan pikiran, gerakan tubuh
tertentu, atau menggunakan cara-cara yang diuraikan dalam perbagai buku panduan
mistisme. Meskipun demikian, saat kesadaran mistiknya muncul, sang mistikus
merasa bahwa untuk sementara hasratnya menghilang, dan ia merasa direngkuh dan
dikuasai oleh suatu kekuatan yang lebih tinggi.[15]
Menurut Bertrand Russell, ada empat karakteristik
mistisime, yakni :
·
Keyakinan
atas intuisi dan pemahaman batin sebagai metode pengetahuan, sebagai kebalikan
dari pengetahuan sosial.
·
Keyakinan
atas ketunggalan (wujud), serta pengingkaran atas kontradiksi dan diferensiasi,
bagaimana pun bentuknya.
·
Pengingkaran
atas realitas zaman.
·
Keyakinan dan
kejahatan sebagai sesuatu yang hanya sekedar lahiriah dan ilusi saja, yang dikenakan
pada kontradiksi dan diferensiasi yang dikendalikan rasio analitis.
Mistisisme
juga dapat diartikan sebagai keyakinan, bahwa kebenaran terakhir tentang
kenyataan tidak dapat diperolehnya melalui pengalaman biasa, begitu pula tidak
melalui akal budi, tetapi hanya melalui pengalaman mistik atau melalui
pengalaman intuisi music yang non-rasional. Hakekatnya realitas tidak dapat
diungkapkan dan tidak dialami melalui pengalaman dan pemikiran biasa.
Berdasarkan
uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa mistisisme itu berkaitan dengan aspek
kerohanian manusia, aspek kebatinan, aspek spiritual, bersifat non-rasional dan
melibatkan ruh atau jiwa manusia. Dengan ruh atau jiwanya, manusia mampu
menjangkau hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh panca indra dan tidak bisa
dipikirkan oleh akalnya. Dalam pandangan mistisisme, ruh atau jiwa inilah yang
merupakan esensi dan entitas manusia. Meski manusia telah mencurahkan perhatian
dan usaha yang sangat besar untuk mengetahui dirinya. Tetapi, manusia hanya mengetahui
beberapa segi tertentu dari dirinya. Manusia tidak mampu mengetahui dirinya
secara utuh.
Dengan
demikian, mistisisme merupakan ajaran yang menyatakan bahwa ada hal-hal yang
tidak terjangkau oleh akal manusia. Mistisisme juga dapat diartikan sebagai
keyakinan bahwa kebenaran terakhir tentang kenyataan yang tidak dapat diperoleh
melalui pengalaman biasa, juga tidak melalui intelek akal budi. Tetapi hanya
melalui pengalaman intuitif atau mistik yang non-rasional.
Maka
dari itu, mistisisme merupakan suatu kepercayaan atau pengalaman yang tidak
dapat dijangkau dengan akal. Namun, mistisisme merupakan pengalaman spiritual yang luar
biasa dan tidak biasa serta diluar diri kita. Dengan demikian dapat dipahami,
bahwa mistisisme merupakan ajaran yang menyatakan adanya hal-hal yang tidak
terjangkau oleh akal manusia. Mistisisme juga dapat dipahami sebagai keyakinan
tentang kebenaran puncak tertinggi tentang kenyataan (realitas tertinggi) yang
tidak dapat diperolehnya melalui pengalaman biasa, juga tidak melalui akal
budi, tetapi hanya melalui pengalaman mistik atau melalui suatu intuisi mistik
yang non-rasional.
DAFTAR
PUSTAKA
Jalaluddin. 2010. Psikologi
agama. Jakarta: Rajawali Pers, cet 14.
Suyono,
R.P. 2007. Dunia Mistik Orang Jawa. Yogyakarta
: LKiS.
James,
William. 2004. The Varieties of Religious
Experience, di Terjemahkan oleh Gunawan
Admiranto, Perjumpaan Dengan Tuhan, Bandung
: Mizan.
Nasution, Harun. 2008. Falsafat dan Mistisisme dalam
Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Jones, Rufus M. 1924. “Mysticism,” Encyclopædia of Religion and Ethics. diedit oleh
James Hastings, New York:
Scribner´s, vol. IX.
Jalauddin dan Ramayulis.1993. Pengantar Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Kalam Mulia, cet. ke-2.
Bagus,
Lorens. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Syamsul
Arifin, Bambang. 2008. Psikologi Agama.
Bandung: Pustaka Setia, cet I.
[7]
Di
antara kajian mistisisme modern, beberapa peneliti meyakini Christian
Mysticism karya Inge memunculkan tumbuhnya kembali minat masyarakat Ingris
pada mistisisme Kristen (Crook, Paul, “W. R. Inge and Cultural Crisis,
1899—1920,” dalam Journal of Religious History, (Oxford: Blackwell, vol.
16, 1977), hlm, 5-6.
[9]
Rufus
M. Jones, “Mysticism,” Encyclopædia of Religion and Ethics, diedit oleh
James Hastings, (New York: Scribner´s, vol. IX, 1924), hlm. 83. Dia menjelaskan
bahwa dalam arti yang sempit ini, mengimplikasikan konsepsi metaisis tertentu
tentang Tuhan dan jiwa serta suatu “langkah mistis” (mystical way) untuk
mencapai suatu kesatuan dengan sang Absolut, hlm. 84.
[10]
Mystizismus,
ditulisnya, berarti pemujaan terhadap sesuatu yang supernatural, pengejaran
kekuatan kebatinan, dan eksploitasi spiritualistis bagi penelitian atas entitas
isik, sementara Mystik bermakna pengalaman atas perjumpaan dan relasi
tuhan-manusia yang berlangsung secara langsung. (hlm. 83).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar