Minggu, 06 September 2015

Biografi Kong Hu Chu@



BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
            Agama-agama China yang populer di dunia adalah Konfusianisme, Buddhisme, dan Taoisme. Tiga ajaran ini saling melengkapi antara satu dengan lainnya, dan telah dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari orang China. Jika Konfusianisme lebih menekankan nilai-nilai etika kehidupan, Buddhisme lebih menekankan mengenai kehidupan setelah mati, maka Taoisme lebih menekankan keserasian hubungan antara manusia dengan alam.[1] Tiga ajaran di atas sangat berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari dan keagamaan orang China, sehingga sulit bagi kita untuk memisahkan mana di antara praktek-praktek keagamaan orang China ini yang benar-benar murni bersumber pada Konfusianisme, Buddhisme, serta Taoisme. Dan dalam makalah kami akan menjelaskan lebih lanjut tentang apa itu agama Taoisme, ajaran-ajarannya, serta praktek ibadahnya.
            Agama Kong Hu Chu dan Tao saling melengkapi satu sama lainnya. Keduanya menekankan dua segi agama yang berbeda, namun sama-sama penting. Kong Hu Chu menekankan segi kemasyarakatan, dan kepentingan utamanya adalah menegakkan suatu tata sosial yang adil di mana tidak ada kejahatan danpenindasan serta setiap orang melaksanakan kewajibannya dalam keserasian dengan rencana Tuhan. Di pihak lain, Lao Tzu menekankan aspek perseorangan dan bersangkut paut dengan penemuan dan penguraian Jalan Tuhan serta cara-cara jiwa pribadi yang akan membimbingnya agar dapat menemukan kedamaian abadi dalam bersatu dengan Tuhannya. Jika Kong Hu Chu manusia praktis, maka Lao Tzu seorang mistis.
            Lao Tzu seorang tokoh besar agama Tao yang juga di kenal sebagi penulis kitab terbesar agama Tao yang dikenal dengan nama Tao Te Ching. Kitab ini sangat legendaris dan selalu merebut perhatian banyak orang. Begitu juga dengan penulisnya, Lao Tzu tokoh yang dianggap unik oleh para sarjana yang sangat mengusik mereka untuk memastikan keberadaannya karna selama ini mreka tidak menemukan secara pasti tentang  sejarah hidupnya. Lebih jelasnya kita akan bahas pada makalah ini tentang sejarah hidup Lao Tzu menurut para sarjana beserta karya terbesarnya yakni Tao Te Ching yang merupakan kitab terbesar agama Tao. Selain Tao Te Ching dalam kita juga akan membahas dua kitab besar agama Tao lainnya yakni Chaungzu dan Liezi.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Biografi Lao Tzu itu?
2.      Bagaimana sejarah dan ajaran agama Taoisme itu?
3.      Bagaimana perkembangan agama Taoisme di Indonesia?
























BAB II
PEMBAHASAN


A.    Biografi Lao Tzu
            Lao Tzu pendiri agama Tao dilahirkan sekitar 570 SM di desa Li Propinsi Chu. Jadi dia lebih tua dari Kong Hu Chu. Lao Tzu berarti “Kakek Tua”, dan lebih merupakan titel dari pada nama. Nama asli kakek tua itu adalah Lai Tan. Di luar segudang legenda dan dongeng yang segera muncul di sekitar dirinya, hanya sedikit yang dapat diketahui mengenai kehidupan dan pribadi Lao Tzu. Akhirnya dipercayai oleh para pengikutnya, bahwa Tuan itu dilahirkan dari seorang dara perawan, yang mengandungnya setelah melihat bintang jatuh. Menurut legenda yang lain, dia tetap dalam kandungan ibunya selama delapan puluh satu tahun, dan telah menjadi orang bijak yang berjenggot putih pada saat dia dilahirkan.
            Kurangnya riwayat yang sahih tentang beliau menyebabkan beberapa sarjana menganggap bahwa Lao Tzu itu seorang tokoh dalam dongeng semata. Keraguan yang sama juga telah dinyatakan atau diriwayatkan kepada Krishna, Buddha, dan Yesus. Namun demikian berdasarkan biografi pendek dalam Shih Chi (Catatan Sejarah) dan Ssu-ma Chien pelopor sejarah China yang hidup pada abad kedua sebelum Masehi, sebagian besar sarjana masa kini menerima adanya Lao Tzu dalam sejarah.
            Lao Tzu bekerja sebagai pemelihara arsip kerajaan di ibukota Lo, di mana diceritakan bahwa Kong Hu Chu telah mengunjunginya. Berbeda dengan Kong Hu Chu yang berkelana dari satu propinsi ke propinsi lain untuk mengkampanyekan perombakan politik, Lao Tzu lebih suka mengerjakan karyakaryanya tanpa nama. Jelas bahwa dia tetap dalam kedudukan ini di kota Lo untuk masa yang cukup lama sampai dia mencium tanda-tanda keroposnya rumah tangga Chou. Mula-mula dia hanya mengundurkan diri, tetapi karena kecewa dengan semakin gawatnya perpecahan dan kekacauan, dia pergi ke pengasingan. Diriwayatkan bahwa sebelum dia memasuki apa yang sekarang dinamakan negeri Tibet, dia dihentikan di Hankao Pass oleh seorang pengawal yang memintanya agar menuliskan ajaranajarannya. Diperkirakan bahwa dia menetap di sana cukup lama untuk menulis buku kecilnya, Tao Te Ching. Setelah itu dia melenyapkan diri dan tidak ada yang diketahui lebih lanjut mengenai dirinya, meskipun diperkirakan dia hidup di pengasingan sampai usia lanjut.
            Ada sedikit yang dinyatakan Lao Tzu perihal dirinya sendiri dalam Tao Te Ching. Betapa pun dalam nada ironis, ini menunjukkan betapa dia berbeda dengan orang-orang lain:
“Orang-orang lain memiliki berbagai macam, sedangkan saya sendiri telah kehilangan segala sesuatu. Saya seorang yang bodoh dalam hati, tolol dan gelisah. Orang lain penuh cahaya, sedangkansaya sendiri seperti dalam kegelapan. Orang lain waspada dan siap siaga, saya sendiri mati tak berdaya. Saya gelisah bagaikan samudra, mengalir terus tidak punya tempat berhenti. Semua manusia mempunyai manfaat yang berguna, saya sendiri tolol dan badut. Meskipun saya kesepian dan tidak sama dengan orang lain, namun saya bernilai karena saya menyerahkan rezeki kepada Ibu Alam.”[2]
           
Pada akhir bukunya, dengan nada yang agak berbeda beliau mengamati:
“Kata-kataku sangat mudah dimengerti, sangat mudah dipraktikkan. Namun dunia tidak mengerti atau pun mau menjalankannya. Kata-kataku mempunyai kunci, tindakantindakanku mempunyai landasan prinsip. Adalah karena manusia tidak mengetahui kunci itu, sehingga mereka tidak memahami saya. Mereka yang mengenal saya hanyalah sedikit, dan karena hal itu maka kehormatanku lebih besar. Demikianlah pahlawan itu memakai pakaian sederhana, tetapi menggenggam permata dalam dadanya.” (Tao Te Ching, LXX).
            Lao Tzu, Orang yang dikatakan sebagai pelopor dan perintis Taoisme, yang dikenal dengan beberapa nama. Nama samarannya ialah Laozi yang berarti “Guru Tua”. Nama dirinya Li Erh dan Lao Tzu. Sedang nama dewasanya Lao-chun, T’ai-shang lao-chun, atau T’ai-shang Hsuan-yuan Huang-ti, juga disebut Lao Tuna tau Lao Tan.[3] Tokoh ini sangat unik dan tidak  jelas riwayat hidupnya, berdasarkan tulisan dari Huston Smit, Lao Tzu lahir di negeri China pada tahun 640 SM. Dikatakan juga bahwa dia hidup tiga abad kemudian dari tahun tersebut (640 SM), Sedangkan sarjana lain meragukan tokoh yang unik ini, apakah dia benar-benar ada atau hanya dongeng saja yang berkembang dalam masyarakat China.[4]
            Di balik ketenarannya, Lao Tzu tetap seorang tokoh yang kabur dalam hal kepastian keberadaannya. Sumber utama tentang kehidupannya adalah biografi yang terdapat didalam shih-chi (catatan-catatan historis) karya Ssu-ma ch’ien. Sejarawan yang menulis pada 100 SM ini mempunyai sedikit informasi yang dapat diandalkan mengenai Lao Tzu. Dia mengatakan bahwa Lao Tzu adalah seorang penduduk asli Chu-jen, sebuah desa di Distrik Hu di negeri Chu, yang sekarang adalah Lu-yi di bagian timur propinsi Honan.  Menurut kepercayaan popular, Dia lahir sekitar 570 SM.[5] Nama keluarganya adalah Li, nama dirinya Erh, nama panggilannya Tan. Dia diangkat menjadi shih di pengadilan kerajaan dinasti Chou. Sekarang shih berarti sejarawan, tetapi di China zaman kuno shih adalah sarjana yang menghususkandiri didalam masalah-masalah seperti astrologi dan ramalan dan bertanggung jawab mengurus kitab-kitab suci.
            Dalam akhir perjalananya, Lao Tzu dikabarkan menunggang seekor kerbau dan pergi ke arah barat, yang sekarang ini daerah ersebut dikenal sebagai Tibet. Dilembah Hanoko dia bertemu dengan seorang penjaga pintu gerbang negri tersebut yang melarangnya untuk pergi karena penjaga tersebut merasa tokoh yang di jumpai merupakan tokoh yang sangat luar biasa ilmunya, tapi usaha penjaga tersebut sia-sia karena lao-tse memaksa untuk meninggalkan negeri tersebut. Akhirnya Lao Tzu di perkenankan pergi dengan syarat harus meninggalkan suatu ajara yang dapat di manfaatkan masyarakat. Dengan penuh keikhlasan akhirnya Lao Tzu menyanggupi permintaan penjaga tersebut, kemudian dia bermalam tiga hari untuk menuliskan pikiran-pikirannya yang kemudian di sebut Tao-Te-Ching. kemudian menyerahkan kepada penjaga tersebut dan ajaran-ajaran ini tetap ada sampai sekarang.

·         Lao Tzu Sebagai Pribadi
            Sejarah mengenai Lao Tzu pertama kali diketahui lewat Ssu-ma Ch’ien, seorang sejarawan China, yang menuliskan biografi Lao Tzu dalam bukunya “Records of the Historian” (shi-chi) pada 100 SM. Dalam buku tersebut dikisahkan diri Lao Tzu secara sederhana karena selama menjalani ajarannya ia hidup menyepi dari dunia yang membuat namanya tidak terlalu dikenal oleh masyarakat luas pada waktu itu. Kehidupan pribadi Lao Tzu memang dipenuhi dengan misteri. Ini dikarenakan ia tengah menghidupi jalan Tao yang membuatnya harus menyingkir dari dunia dan bersatu dengan alam. Ia sama sekali tidak meninggalkan jejak yang jelas. Hanya buku Tao Te Ching saja yang bisa diketahui dengan pasti. Maka, banyak sejarawan dan filsuf menuliskan biografi Lao Tzu sesuai dengan apa yang mereka temukan.
            Dalam tulisan ini, kita akan berfokus pada tulisan Ssu-ma Ch’ien tanpa bermaksud menghilangkan tulisan para ahli lainnya. Ssu-ma Ch’ien menuliskan bahwa Lao Tzu diperkirakan lahir pada 600 atau 400 SM di sebuah negara bagian Ch’u, di kabupaten (district) K’u, kecamatan (county) Li, dan Desa (hamlet) Ch’ü-jen. Nama keluarga Lao Tzu adalah Li sedangkan namanya sendiri adalah Erh. Ia juga mempunyai sebutan atau gelar yaitu Tan. Ssu-ma Ch’ien sendiri merasa kurang yakin apakah Lao Tan yang legendaris adalah tokoh yang sama dengan Lao Tzu sang penulis Tao Te Ching. Umur Lao Tzu menurut Ssu-ma Ch-ien mungkin sekitar 150 tahun, namun beberapa orang mengatakan bahwa ia hidup hingga 200 tahun lebih. Usia yang sangat panjang ini diakui dan dipercaya dapat dicapai olehnya mengingat ia hidup di jalan Tao sebagai prinsip dasar hidupnya.
            Ssu-ma Ch’ien dalam bukunya juga mengkaitkan Lao Tzu dengan dua nama yang dentifikasinya kurang lebih sama. Mereka adalah Lao-Lai Tzu, seorang Taois yang diperkirakan pernah dikunjungi oleh Konfusius, dan Lao Tan , seorang ahli astronomi. Ketiga nama yang berbeda ini, menurut Ssu-ma Ch-ien, adalah satu orang yang sama. Nama Lao Tzu dalam buku Ch-ien memang penuh dengan misteri yang di kemudian hari akan selalu menjadi diskusi yang tidak pernah selesai. Dalam skripsi ini, penulis tidak menaruh perhatian lebih dengan perbedaan-perbedaan ini dan hanya akan lebih fokus pada hakekat manusia menurut Lao Tzu.
            Menurut Ssu-ma Ch-ien, Lao Tzu dan Lao Lai Tzu adalah orang yang sama, meskipun beberapa ahli menganggapnya berbeda. Ia mengisahkan bahwa Lao Lai Tzu pernah dikunjungi oleh Konfusius. Setelah kunjungan tersebut, Konfusius mendapatkan pemahaman darinya tentang kehidupan yang lepas dari keangkuhan dan kemewahan duniawi semata saja. Ia pernah menasehati Konfusius untuk pensiun dari pekerjaannya di kerajaan. Lao Tzu juga disebut sebagai seorang tua, yang biasa membawa sekeranjang rumput liar. Sebutannya seperti itu sering dikaitkan dengan asal kata namanya, yaitu Lao yang berarti orang tua dan Lai berarti merumput. Sedangkan mengenai Lao Tan, para ahli sampai sekarang ini masih belum sepakat apakah Lao Tzu dan Tan adalah orang yang sama atau bukan. Hal ini diketahuidari sejarah yang menceritakan Tan yang mengunjungi Pangeran Hsien dari Ch’in pada 374 SM. Beberapa ahli sejarah menyatakan Tan adalah Lao Tzu, namun ada juga yang menyangkal pernyataan ini. Dalam tulisan ini, tokoh Tan dimasukan karena masuk dalam penelitian Ssu-ma Ch-ien. Semasa mudanya, Lao Tzu pernah bertugas sebagai seorang pegawai kerajaan pada masa Dinasti Chou (1111-255 SM) di sebuah kantor penyimpanan dokumen-dokumen dan surat-surat kuno dan bersejarah. Dengan diterimanya di kantor seperti itu, dapat dipastikan kalau Lao Tzu merupakan seorang yang ahli dalam ilmu astrologi dan peramalan. Ia pun bertanggung jawab terhadap buku-buku suci dan rahasia. Dalam masa kerjanya, ia sudah mempraktekkan sebuah jalan hidup, yang kemudian dikenal sebagai aliran Taoisme. Keutamaannya merupakan buah dari refleksi hidupnya selama berada di dalam perpustakaan dokumen penting tersebut. Ia menekankan sebuah kehidupan yang jauh dari keinginan diri atau hasrat semata yaitu suatu kehidupan yang murni dan bersih. Pengetahuan seperti ini ia dapat dari pengalaman hidupnya yang kental dengan suasana kerjanya yaitu menekuni dokumen dan surat kuno. Ia ingin mengajak manusia kembali menghidupi Tao.

            Dalam masa pensiunnya, ia mempraktekkan prinsip jalan dan keutamaan tersebut. Ia semakin menjalankannya secara radikal yaitu dengan menjauh dari dunia dan hidup dihutan. Lewat usahanya tersebut, ia dapat hidup panjang dan ini merupakan buah dari usahanya menjalankan prinsip-prinsip kehidupan yang dibuatnya. Jalan Tao muncul karena suatu protes terhadap manusia yang sangat peduli pada dirinya sendiri, yang menurut Lao Tzu merusak dirinya sendiri. Contoh yang paling konkrit pada masa itu adalah perang. Perang sangat dibenci Lao Tzu karena perang sangat mementingkan diri penguasa saja. Rakyat dengan perang menjadi semakin tepuruk dan menderita. Tidak ada kebahagiaan dan kedamaian yang didapat dari peperangan Manusia memang harus menemukan kebahagiaan, bukan kesuksesan. Ini didiapat dengan mengikuti jalan Tao, bersatu dalam gerak Tao. Ssu-ma Ch’ien mengatakan bahwa Lao Tzu dalam hidup di jalan Tao juga merupakan seorang pribadi yang sangat asketis. Ia hidup menyendiri terpisah dari dunia yang ramai, mungkin di dalam gua, dengan menekankan prinsip hidup wu wei, yaitu kesederhanaan, penuh kedamaian, ketenangan batin, dan kemurnian pikiran atau budi
            Menurut Lao Tzu, hidup mengikuti dunia dan berusaha memperbaikinya merupakan suatu penurunan atau kemunduran kehidupan. Ia menyatakan bahwa praktek hidup dalam jalannya bisa membantu memperbaiki kehidupan manusia di dunia ini. Maka ketika ia hendak pensiun, ia mengungkapkan praktek hidupnya tersebut di atas kertas sebanyak 5000-an kata. Usaha ini sebenarnya dibuat atas permintaan Yin-hsi, seorang penjaga gerbang. Ide yang tertuang dalam satu buku tersebut yang kemudian dipisah menjadi dua bagian, yaitu jalan (Tao) dan daya hidup (Te), yang merupakan refleksi Lao Tzu mengenai kehidupan dan cara menanggapi kehidupan tersebut. Buku ini kemudian dikenal dengan kitab Tao Te Ching. Isi kitab ini berupa prinsip-prinsip dan hukum-hukum untuk kehidupan manusia agar tetap selaras dengan sesama dan alam. Lao Tzu, secara psikologis, mengembangkan jalan Tao ini dikarenakan ia berkembang dalam dunia yang lemah dan tak berdaya. Lingkungan daerahnya yang miskin dan kecil mendasarkan ajarannya untuk bersikap lembut dan selaras dengan alam. Ia tidak mengajak pengikutnya untuk mampu mengintrospeksi diri dan kemudian memperbaiki apa yang telah diperbuatnya. Ia juga tidak mengajak orang untuk berjuang meraih impian di masa depan. Kesatuan dan keselarasan dengan alam adalah tujuannya. Dalam kesatuan tersebut kebahagiaan akan ditemukan.
            Solusi yang digunakan Lao Tzu dalam memperbaiki negara adalah menghindar dari struktur pemerintahan karena oknum-oknum dalam dinastilah sumber utama ketidakberesan. Merekalah yang menciptakan adanya peperangan. Menurutnya jalan hidup sederhana ini adalah solusi tepat agar dinasti bisa maju dan berkembang dengan saling menghargai dan menghargai martabat manusia. Pada waktu buku Tao Te Ching ini ditulis, Dinasti Chou memang sedang mengalami masa kemunduran. Jika dinasti ingin terus bangkit, dinasti harus mengurangi peranannya dalam masyarakat. Dinasti tidak boleh terlalu ikut campur. Biarkan saja segalanya berjalan seperti adanya. Nama Lao Tzu sebagai pribadi selalu dikenang sepanjang masa. Para konfusianis mengenangnya sebagai seorang filsuf yang dihormati, di mana Konfusius sendiri juga mengaguminya dan mengkonotasikannya seperti seekor naga yang dengan lihai terbang menembus awan dan angin. Masyarakat luas juga mengenangnya sebagai seorang suci atau dewa. Para Taoist sendiri menyatakan bahwa Lao Tzu adalah emanasi dari Tao.

B.     Sejarah dan Ajaran Lao Tzu (ajaran Tao)
            Taoisme (Agama Tao) adalah Agama yang berasal dari Tiongkok, dan termasuk agama yang tertua di dunia ini, umumnya diakui sudah ada sejak abad ke-6 SM, dan juga merupakan agama yang dianut oleh sebagian besar orang Tionghoa. Nama Tao diambil dari huruf China yang artinya “jalan” yang oleh penganut Tao dianggap sumber dari segala sesuatu yang ada di alam ini. Dan berdasarkan sumber-sumber tertulis, umumnya Agama Tao diyakini berasal dari Kaisar Kuning (Wang-di), dikembangkan oleh Lao-zi dan terorganisasi menjadi sebuah institusi Keagamaan lengkap oleh Zhang Tao Ling.
            Pada zaman Wang-di mulai dikemukakan teori tentang kaidah-kaidah alamiah dan teori tentang masalah kehidupan dan kematian. Sejak Wang-di sampai 1500 tahun berikutnya, setiap pemimpin yang menggantikan pemimpin lainnya selalu memerintah masyarakatnya dengan teori ajaran Wang-di. Kemudian pada zaman Dinasti Kerajaan Chow, muncullah seorang bijaksana yang bernama Lao-zi. Beliau pernah bertugas sebagai pejabat yang menjaga dan merawat perpustakaan buku-buku yang dimiliki kerajaan Chow. Karena itu beliau mempunyai kesempatan untuk membaca semua buku-buku dan menguasai teori-teori yang diajarkan oleh Wang-di.
            Cara berpikir Lao-zi jauh melampaui zamannya ketika itu, ditambah ajaran-ajarannya yang menjunjung tinggi kebajikan dan menentang kebiadaban, maka akhirnya ajaran Lao-zi bersama-sama ajaran Wang-di dikenal orang sebagai Ajaran WANG-LAO sampai sekarang. Ajaran WANG-LAO ini makin berkembang dan mengakar di hati masyarakat, akhirnya dianut oleh hampir setiap orang terpelajar dan cendekiawan zaman itu.

·         Ajaran Lao Tzu
            Sangat sedikit buku yang ditulis Lao Tzu, Tao Te Ching telah mengemukakan sifat dan lingkup ajarannya. Ada dua kata yang penting dari yang sedikit ini. Pertama adalah Tao, yang berarti Jalan, yang oleh Lao Tzu diartikan sebagai Jalan Menuju Tuhan, Zat Yang Maha Kuasa. Tao Te Ching menyajikan suatu pandangan yang unik atas Jalan Tuhan (Tao), pertama dalam aspek transenden (diluar dirinya), dan kemudian dari sisi yang mendasar (imanen/keabadian) sebagaimana diwahyukan Tuhan dalam Hukum-Hukum Alam dan hubungan Tuhan dengan manusia. Kata lain yang penting dalam Tao Te Ching adalah Te, yang berarti akhlak mulia. Jadi tujuan utama Lao Tzu dalam bukunya ini adalah menerangi manusia tentang Jalan Tuhan dan mengajak mereka berakhlak mulia yang berasal dari iman yang penuh dan amal yang tulus sesuai dengan hukum-hukum itu. Lao Tzu percaya pada Keesaan Ilahi dan segala sesuatu itu ada karena Dia:
            “Sejak dahulu kala semua menerima sentuhan kehidupan dari Yang Esa: Langit demi kemuliaan dan Yang Esa menjadi terang; bumi demi kemulian dan Yang Esa diberi tenaga; lembah demi kemulian dan Yang Esa menjadi penuh bermilyar makhluk; para bangsawan demi kemulian dan Yang Esa dihidupkan; para raja dan pangeran demi kemulian dan Yang Esa menjadi pimpinan negeri. Adalah Yang Esa yang membuat segala-galanya menjadi apa adanya.” (Tao Te Ching, XXXIX).
            Beliau mengajarkan bahwa agama yang sejati ialah mengenal Tuhan dan menjadikan kehendak seseorang itu dalam keselarasan penuh dengan kehendak dan maksud Tuhan. Tersembunyi di dalam kedalaman segala sesuatu, katanya, adalah kekekalan dimana akar dari segala kehidupan dari semua nasib itu berlangsung. Tanpa ilmu atau akal kehidupan ini, yakni akar keabadian seseorang akan menjadi buta sehingga dia berbuat jahat:
            “Sentuhlah keabadian terakhir, pegang teguh erat-erat. Segala perkara berlangsung bersama. Saya telah perhatikan mereka muncul, dan melihat betapa mereka berkembang dan kembali ke asalnya masing-masing, keakarnya. Inilah yang saya katakana sebagai kekekalan suatu langkah surut ke akar permulaan hidup seseorang, atau yang lebih utama lagi kembali kepada Kehendak Tuhan yang saya katakan sebagai keabadian. Ilmu ke arah keabadian itu, saya namakan penerangan dan kukatakan bahwa tiada mengetahuinya berarti kebutaan yang mendorong ke arah perbuatan jahat.” (Tao Te Ching, XVI).

·         Agama Tao mempunyai 4 ajaran:
1.      Dao
            Dao adalah inti dari ajaran Taoisme, yang berarti tidak berbentuk, tidak terlihat, tapi merupakan proses kejadian dari semua benda hidup dan segala benda-benda yang ada di alam semesta. Dao yang berwujud dalam bentuk benda hidup dan kebendaan lainnya adalah De. Gabungan Dao dengan De dikenal sebagai Taoisme yang merupakan landasan kealamian. Keabadian manusia terwujud disaat seseorang mencapai kesadaran Dao, dan orang tersebut akan menjadi dewa. Penganut-penganut Taoisme mempraktekkan Dao untuk mencapai kesadaran Dao, dan menjadi seorang dewa.
2.      Yin dan Yang
            Dao melahirkan sesuatu, yang disebut dengan Yin (Positif) dan Yang (Negatif), Yin dan Yang saling melengkapi untuk menghasilkan tenaga atau kekuatan. Kekuatan tersebut bersumber dari jutaan benda di dunia. Setiap benda di alam semesta yang berupa benda hidup ataupun benda mati mengandung Yin dan Yang yang saling melengkapi untuk mencapai keseimbangan.
3.      Pandangan tentang Manusia
Manusia yang sombong dan melakukan hal di luar kemampuannya, maka suatu saat dia akan mendapat celaan yang dapat membuatnya berduka atau menderita. Karena itu, seorang bijaksana yang mengenal Dao dan hukum alam akan memilih mengundurkan diri dan menolak segala penghargaan yang diberikan padanya. Ia memilih untuk tidak menonjolkan dirinya. Meskipun demikian, Taoisme tidak mengajarkan bahwa seseorang harus menyingkirkan seluruh harta benda yang dimiliki untuk mencapai ketentraman batin. Hal yang perlu dibuang adalah rasa kemelekatan terhadap harta tersebut.
4.      Etika
            Agama Tao menggabungkan Ilmu pengetahuan, Filsafat dan Ilmu Kedewaan yang Agung sebagai dasar kepercayaan. Agama Tao menyembah banyak Dewa dan Dewi. Sosok Dewa dan Dewi dalam Agama Tao merupakan sosok yang telah mencapai kesempurnaan dalam perjalanan mengamalkan Ajaran Agama Tao. Agama Tao juga percaya bahwa Manusia sejati bisa mencapai Kesempurnaan menjadi Dewa atau Dewi, bila sanggup berbuat jasa yang sangat besar sekali terhadap masyarakat ataupun orang lain, perbuatan-perbuatan itu antara lain:
·         Bisa memberikan keteladanan yang luar biasa dalam perilaku kebijaksanaan untuk umat manusia.
·         Berjasa besar dalam membangun/memperjuangkan kedamaian bagi negara dan masyarakatnya.
·         Bisa mencegah atau menanggulangi bencana yang membahayakan umat manusia.
·         Sanggup menyumbangkan nyawanya demi membela keyakinan tentang kebenaran sejati
            Dengan demikian bisa dipahami, bahwa Agama Tao mengajarkan: “Meskipun manusia merupakan bagian dari alam semesta, namun sebagai manusia haruslah mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, serta bisa mengetahui mana yang baik / bijaksana dan mana yang jahat, juga yang paling penting adalah mampu melaksanakan ajaran-ajaran Agama Tao pada setiap tingkah laku dalam hidupnya, sebagai syarat untuk bisa menjadi manusia yang sejati.” Setelah mampu mencapai tahap manusia sejati, selanjutnya adalah tugas yang mulia untuk berusaha bisa menyatu dengan Tao yang Maha Esa dengan istilah yang popular Tian Ren He Yi (Kembali ke asal dengan sempurna).
Agama Tao menganjurkan 3 nasehat Lao-zi yaitu:
·         Welas Asih
·         Hemat tapi tidak kikir
·         Rendah Hati.
            Agama Tao juga mengajarkan sifat Qing Jing Wu Wei, suatu sifat dimana orang dianjurkan untuk selalu berusaha berbuat sesuatu demi kepentingan bersama, namun tetap menjaga sikap mental yang tulus tanpa pamrih, selain itu juga selalu mawas diri dalam usahanya mengajak masyarakat supaya mampu menjaga keharmonisan kehidupan masing-masing. Sifat demikianlah yang antara lain ikut mendorong terbangunnya klenteng-klenteng yang bisa dipakai untuk menginap bagi orang-orang yang sedang bepergian jauh, serta menyediakan makanan cuma-cuma bagi yang menginap di sana, ini semua bertujuan untuk melayani dan memudahkan masyarakat pada zamannya, sehingga sangat mendapat dukungan dari segala lapisan masyarakat.
Ajaran-ajaran Tao bersifat universal dan menekankan kepada manusia untuk kembali dan mencintai alam, karena alam merupakan bagian dari manusia. Oleh karena itu, dia tidak hanya dianut oleh sebagian besar orang China di seluruh dunia, tapi juga oleh orang-orang di luar suku bangsa China.[6]
            Dalam praktek peribadatan, penganut taoisme ini melaksanakan ritual ibadahnya di klenteng atau pekong. Pemujaan terhadap tuhan (Thien) dilakukan dihalaman bagian depan luar rumah atau klenteng dengan cara yang sederhana, yaitu membakar beberapa batang hio (dupa) dengan menengadah kearah langit , sedangkan pemujaan terhadap dewa-dewa dilakukan di dalam klenteng dengan menyuguhkan sesajen untuk melunakkan hati para dewa agar keinginan mereka dapat diijabahi.
·         Kitab Suci
            Suatu agama dapat dipahami melalui kitab-kitab yang dianggap sakral oleh penganutnya. Kitab pokok agama Tao adalah Tao Te Ching, sebuah kitab kecil hanya terdiri dari 5000 kata yang ditulis oleh Lao-zi pada abad 6 SM. Sangat sulit bagi orang awam untuk memahami kitab tersebut karena sangat puitis dan disampaikan secara lugas. Isi terpenting dari Tao Te Ching yaitu ajaran tentang Wu-wei. Wu-wei merupakan perintah termasyhur bagi para penganut Taoisme yang dijadikan sebagai pedoman-pedoman dan etika dalam memelihara kehidupan seseorang dan memberikan contoh “jalan” untuk menjadi orang yang bijaksana. Wu-wei adalah hidup yang dijalani tanpa ketegangan. Hal itu adalah merupakan perwujudan yang murni dari kelemah-lembutan, kesederhanaan, dan kebebasan. Jika Wu-wei dilihat dari luar, terlihatlah ia tanpa daya, karena tidak pernah memaksa dan tidak pernah terlihat tegang. “Bertindak tanpa aksi dan berbuat tanpa gaduh”.[7]

            Tao Te Ching  atau kadang di eja menjadi Daodejing adalah nama sebuah kitab klasik penganut Taoisme. Ada yang mengartikan judul buku ini sebagai klasik tentang jalan kuasa. Ada juga yang mengartikan sebagai kita  hukum dunia dan kekuatannya. Judul lainnya adalah 5000 kata LaTzu dan Laozi. Yang pertama menegaskan tentang pengarang kitab ini dan jumlah kata yang dikandungnya, yang dalam karakter China memang terdiri dari 5000 karakter. Judul kedua hanya menunjukkan kepada pengarangnya yakni Laozi (Lao Tzu) yang berarti “guru tua”. Tentu saja ini bukan nama sebenarnya tetapi samaran. Nama dirinya sebenarnya adalah Li Erh dan Lao Tzu. Sedang nama dewasanya Lao-chun, T’ai-shang lao-chun, atau T’ai-shang Hsuan-yuan Huang-ti, juga disebut Lao Tunatau Lao Tan.[8] Kitab ini di tulis Lao-tzu pada  abad ke-6 SM.[9] Ada yang menyebutkan bahwa kitab ini muncul pada  pertengahan abad ketiga sebelum masehi. Pendapat ini di ajukan oleh sejarawan besar china, Ssu-ma Ch’ien di dalam karyanya shih-chi (laporan-laporan historis) yang menulis sekitar tahun 100 SM. Menurutnya, kitab ini ditulis pada masa dinasti Chou yang berkuasa mulai kira-kira 1111 SM dan berakhir pada 255 SM. Sedang menurut sejarawan modern, kitab ini mulai di kenal pada masa dinasti Han yang mulai berkuasa pada 206 SM hingga 220 M.[10]
            Tao Te Ching dapat di artikan sebagai kitab klasik atau kuno tentang jalan dan keluhurannya, dapat di bagi menjadi dua bagian. Bagian yang pertama menjelaskan tentang Tao yang diyakini ada dimana-mana dan asal mula dari segala sesuatu yang ada di alam ini. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa Tao tidak dapat dibayangkan dan tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia. Sedangkan bagian kedua dari kitab tersebut adalah membicarakan tentang Te yaitu daya atau kekuatan yang diperoleh denganmengikuti Tao. Secara keseluruhan kitab ini terdiri dari 82 bab.[11] Laozi mengungkapkan Tao melalui lirik yang indah dan puitis sehingga membangkitkan semangat para pembacanya. Tao Te Ching mengungkapkan konsep-konsep yang saling berhubungan satu dengan yang lainnyasecara sistematis, sehingga memberikan dasar pemahaman bagi semua orang. Di samping kitab Tao Te Ching terdapat kitab-kitab lain yang dianggap oleh para ahli sebagai karya kedua terbesar dari filsafat Taoisme, yaitu: kitab Chuang-Tzu yang berisi tentang pemikiran guru Zhuang dan murid-muridnya, dan kitab Leizi yang berisi kumpulan cerita dan hiburan dalam filsafat.

Penulis : SETIONO (Mahasiswa Perbandingan Agama UIN SUKA)


                [1]  Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Tao, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2006), hlm.17.
                [2]  Tao Te Ching. Terjemahan yang dipetik dalam bab ini diambil dari (i) R.B. Blackeny (Mentor Books, New York), (ii) Lionel Giles (Wisdom of the East Series, London), (iii) Arthur Waley (Alen and Unwin, London), (iv) Witter Bynner (John Day, New York).
                [3] Lao tse, Tao Te Ching -81 filsafat hidup Tao, (Yogyakarta: new Diglossia Yogyakarta, 2010), hlm. 96.
                [4] Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Tao, hlm. 63.
                [5] Banyak sarjana yang berbeda pendapat tentang kelahiran Lao-tzu. Ada yang mengatakan 570 SM, 640 SM an ada juga yang mengatakan bukan 640 SM melainkan 604 SM.

                [6] Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Tao, hlm. 65.
                [7] H.G. Creel, Alam Pikiran Cina, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1989), hlm. 112-113.
                [8] Lao tse, Tao Te Ching -81 filsafat hidup Tao, hlm. 9.
                [9] Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Tao, hlm. 76.
                [10] Lao tse, Tao Te Ching -81 filsafat hidup Tao, hlm. 2.
                [11] Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Tao, hlm. 78.

Kamis, 30 April 2015

Agama Jepang



AGAMA SHINTO (JEPANG)
Oleh SETIONO
  
 A. Corak dan Macam Agama Shinto
            Agama Shinto tidak berdiri sendiri melainkan ada pengaruh-pengaruh dari beberapa agama, hal itu tidak dapat dipungkiri. Meski kepercayaan asli tetap terjaga, namun agama Shinto menyerap unsure-unsur dari agama lain, seperti Tao, Konfusianisme, Budha, dan sebagainya. Tetapi yang sangat berpengaruh adalah agama Budha. Pada abad Sembilan hingga abad Sembilan belas, agama Shinto memiliki pengaruh dari agama Budha. Agama Budha di Jepang memiliki cirri-ciri, yaitu :
·         Penyebarannya bermula dari lapisan kelas atas
·         Memiliki hubungan sangat erat dengan pemerintah
·         Terlibat dalam upacara-upacara kematian lingkungan keluarga Jepang
·         Bereperan dalam magi.[1]
                        Selama bertahun-tahun agama Shinto dan agama Budha telah terjadi percampuran sedemikian rupa, sehingga agama Shinto selalu mencoba untuk mempertahankan dirinya. Tetapi justru dengan adanya agama Budha ini lah yang menyebabkan digunakannya istilah Shinto sebagai agama asli Jepang. Dengan adanya percampuran tersebut, maka agama Shinto hampir kehilangan sebagian besar sifat aslinya. Kemudian, pada masa kebangkitan agama Shinto di abad sembilan belas, hasil percampuran antara kedua agama tadi banyak dihilangkan. Sungguhpun demikian, sumbangan agama Budha yang berupa pendalaman dan perluasan isi agama Shinto ataupun pandangan filsafatnya, hingga sekarang tetap terpelihara dengan baik.[2]
                        Pengaruh terbesar lainnya dari agama Konfusius. Ajaran agama ini didasarkan atas prinsip-prinsip duniawi, sehingga relative mudah bercampur dengan nilai-nilai tradisional bangsa Jepang. Dengan adanya agama Konfusius justru memperkokoh, karena adanya ideologis dan etis. Agama Konfusius setelah berbaur di Jepang, agama ini sangat berbeda dengan asal kelahirannya di Cina. Kemudian setelah restorasi Meiji agama Shinto dan agama Konfusius memiliki hubungan yang sangat erat dan mendorong tumbuhnya perhatian masyarakat pada tradisi Jepang kuno. Hal tersebut juga menjadikan keloyalitasan yang memperkokoh kembali kekuasaan kaisar, dan mengubah agama Shinto menjadi sebuah kultus nasional yang melebihi agama-agama lain.
                        Setelah restorasi Meiji agama Shinto dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu Jinja Shinto dan Kyoha Shinto. Jinja Shinto merupakan sistem kepercayaan dan peribadatan yang diselenggarakan di tempat-tempat suci agama Shinto dan memperoleh bantuan pemerintah (agama negara : Kokka Shinto). Tetapi pada akhirnya Kokka Shinto dibubarkan, meski masih hidup hingga sekarang dan disamakan dengan agama-agama lain. Sedangkan Kyoha Shinto memiliki tiga belas sekte agama Shinto. Ketiga belas sekte tersebut bisa dibagi dari beberapa cara. Jika dari segi ajarannya, dibagi menjadi lima kelompok, yaitu sekte agama asli, sekte yang terpengaruh ajaran agama Konfusius, sekte pemuja gunung, sekte penyucian, dan sekte penyembuhan. Pembagian lain membedakannya menjadi tiga kelompok, yaitu sekte tradisional, sekte pemuja gunung, dan sekte yang didasarkan wahyu. Kemudian setelah terjadinya peperangan banyak munculnya sekte baru yang diakibatkan adanya jaminan kebebasan beragama. Sekte-sekte tersebut dibedakan menjadi lima kategori, yaitu kelompok monoteistik, kelompok henoteistik, kelompok politeistik, kelompok messianistik, dan kelompok terpengaruh paham Cina.[3]
                        Disamping Jinja Shinto dan Kyoha Shinto, sebenarnya terdapat pula agama Shinto jenis lain yang disebut Minkan Shinto. Namun, Minkan Shinto tidak terorganisasi secara formal dan Minkan Shinto memilik sistem kepercayaan dan peribadatannya merupakan perpaduan antara agama Shinto, Bhudisme, Konfusianisme, filsafat Yin-Yang dan agama, serta filsafat lain yang telah membentuk kepercayaan umum rakyat Jepang.[4]

B.     Kepercayaan dab Peribadatan Agama Shinto
            Agama Shinto sebenarnya merupakan agama alam yang penuh dengan animisme. Sebab semua benda, baik yang hidup maupun mati dianggapanya memiliki ruh, spirit dan kekuatan-kekuatan, mampu berbicara dan dianggapnya ruh dan spirit tersebut memiliki daya kekuasaan. Daya-daya kekuasaan tersebut mereka puja dan disebut sebagai kami. Kami juga bisa diartikan sebagai dewa-dewa ataupun sebagainya. Kami dapat diartikan tunggal dan jamak. Hal ini diungkapkan dalam istilah yao yarozu no kami, yang berart delapan miliun dewa. Bagi agama Shinto semakin banyaknya dewa-dewa maka itu adalah bersifat positif dan baik. Dan istilah kami digunakan untuk menyebut kekuatan-kekuatan dan kekuasaan-kekuasaan tertentu, tanpa membedakan apakah objek tersebut mati ataupun hidup.
            Dalam agama Shinto ada dua dewa yang dianggapnya paling berkuasa, yaitu Dewa-dewa Langit (Amatsu-kami) dan Dewa-dewa Bumi (Kuni-tsu-kami). Dewa-dewa Langit bertempat tinggal di Takama no Hara, dan Dewa-dewa Bumi berada di Bumi. Memang begitu banyak dan beragam jumlah dewa yang dipuja dalam agama Shinto. Ada juga yang dikenal dengan Amaterasu-omi-kami (Dewa Agung Langit Bersinar) atau Amaterasu hirume (Langit-bersinar-matahari-putri) atau Amaterasu mi oya (Langit-bersinar-Orang tua-Agung). Namun yang menjadi simbolnya terdiri dari cermin disebut yata-kagami (delapan-tangan-cermin) atau hi-gata no kagami (matahari-bentuk-cermin), dan disimpan dalam sebuah tempat suci (Ise). Simbol tersebut sering dipuja dan disebut Dewi Ise yang Agung.[5]
Selain dewa-dewa di atas itu masih banyak jenis-jenis dewa yang lain[6], yaitu :
a.       Dewa Tanah (Ta-no-kami)
b.      Dewa Gunung (Yama-no-kami)
c.       Dewa Laut (umi-no-kami atau Wata-tsumi-no-kami)
d.      Dewa Air (Suijin)
e.       Dewa Api (Hino-kami)
f.       Dewa Pohon (Kukunochi)
g.      Dewa Manusia (mi-tama)
                        Selain dewa-dewa di atas yang telah disebutkan, masih banyak lagi dewa dalam agama Shinto, seperti Dewa Guntur (raijin), Dewa Hati (Kamado-gami), Dewa Pelindung Keluarga, Dewa Anak-anak (Mi-ko-gami), dan Dewa Pembimbing Perahu (Funa-dama). Dari uraian tentang kedewaan dalam agama Shinto di atas, dapatlah dikatakan bahwa agama Shinto pada hakikatnya merupakan paham politeisme yang didasarkan atas fenomena alam. Dalam hubungan ini, mitologi agama Shinto secara panjang lebar mengemukakan riwayat penjadian alam dan para dewa stermuat dalam kitab Kojiki dan Nihongi atau Nihon Shoki. Kedua kitab ini dianggap sebagai kitab-kitab suci, dan merupakan sumber utama pemikiran agama Shinto sejak dulu hingga sekarang.[7] Dalam kedua kitab tersebut banyak menceritakan tentang Dewi Matahri sebagai nenek moyang kaisar Jepang itulah inti mitologi purba.
                        Kita ketahui, bahwa konsep dosa tidak dikenal dalam agama Shinto, sebab hampir semua bentuk upacara keagamaan yang dilakukan pada hakikatnya adalah upacara penyucian dalam rangka menyongsong kehadiran kami. Cara pemeluk agama Shinto mendekati kami seperti menghormati dan menjamu tamu yang sangat dihormati. Mereka mencintai, bersyukur, dan ingin sekali menghibur serta menyenangkannya. Syarat utama dalam memuja kami itu adalah kesucian dan bersih dari berbagai macam kekotoran, seperti penyakit, luka, menstruasi, dan sebagainya. Untuk menghilangkan kekotoran-kekotoran itu, maka harus melakukan upacara-upacara penyucian yang disebut harae.[8]
                        Harae meruapakan upacara agama Shinto untuk menghilangkan segala macam kekotoran, kesalahan, dan kesengsaraan dengan memanjatkan doa kepada para dewa. Harae merupakan cara untuk mengembalikan seseorang pada kondisi atau keadaan yang dapat mendekatkannya dengan dewa. Harae juga sering dilakukan lebih awal sebelum pelaksanaan upacara-upacara agama Shinto dan menjadi hal yang penting. Alat yang digunakan dalam harae ada tiga macam, yaitu Harai-gushi (tongkat), O-nusa (ranting pohon suci), dan Ko-nusa. Dan doa yang ditujukan kepada dewa disebut norito.[9]
                        Selain upacara-upacara di atas juga ada upacara keagamaan Shinto lainnya yang disebut matsuri, yang umumnya terdiri dari ritus-ritus yang hidmat, diikuti dengan perayaan missal yang epnuh kegembiraan. Kemudian ada beberapa macam matsuri, seperti Gion matsuri, Iwa-shizimu-matsuri, Aoi-matsuri, Kanda-matsuri, Kasuga-matsuri, Sanno-matsuri, Tenjin-matsuri, dan Tenno-matsuri.[10]
                        Dari contoh-contoh matsuri di atas jelas bahwa agama Shinto merupakan sebuah agama yang penuh dengan perayaan keagamaan. Bahkan, setiap tempat suci agama Shinto menyelenggarakan festival-festival keagamaan dan secara garis besar ada empat macam festival[11], yaitu :
1.      Perayaan Musim Semi (Haru-matsuri). Tujuannya adalah untuk memohon rahmat dewa agar diberi hasil panen melimpah.
2.      Perayaan Musim Gugur (Aki-matsuri), sebagai pernyataan terima kasih atas hasil panen yang diperoleh.
3.      Perayaan Tahunan (reisai), biasanya dilakukan pada bulan-bulan tertentu.
4.      Perayaan Arak-arakan Dewa (Shinko-shiki), untuk memperoleh keselamatan dan dibebaskan dari berbagai macam penyakit.
                        Bahkan dalam pandangan agama Shinto, dunia ini adalah satu-satunya dunia kehidupan untuk manusia. Dalam pemikran agama Shinto ada tiga macam dunia, seperti Takama-no-hara, Yomi-no-kuni, dan Tokoyo-no-kuni. Ketiga dunia tersebut, sering pula disebut kakuri-yo yang berarti dunia tersembunyi, sementara dunia tempat tinggal manusia (dunia actual) disebut utsushi-yo, yang berarti dunia terlihat atau dunia terbuka.[12] Dengan kata lain, pandangan keduniaan dalam agama Shinto dipusatkan pada dunia kehidupan manusia sekarang, dan dunia ini merupakan satu-satunya dunia untuk manusia.


                [1] Hori Ichiro et.al. (eds.), Japanese Religion, (Tokyo : Kodhansa International Ltd., 1972), hlm. 50-53. Lihat Djam’annuri, dkk, Agama Jepang, cet. I (Yogyakarta : Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 69-70.
                [2] William K. Bunce, Religions in Japan, cet. II (Tokyo : Charles E. Tuttle Company, 1596), hlm. 104-105. Lihat, Ibid, hlm. 71.
                [3] Djam’annuri, dkk, Agama Jepang, cet. I (Yogyakarta : Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 73-74..

                [4] Ibid, hlm. 75.
                [5] Ibid, hlm. 78-79.
                [6] Ibid, hlm. 79-82.
                [7] Ibid, hlm. 82-83.
                [8] Ibid, hlm. 87.
                [9] Ibid, hlm. 88-89.
                [10] Ibid, hlm. 90-92.
                [11] Ibid, hlm. 92.
                [12] Ibid, hlm. 94-95.




Makna Tahlilan

  PROSESI DAN MAKNA TAHLILAN DI DESA KLORON PLERET BANTUL SETIONO    A.    Latar Belakang Tahlilan sangat erat sekali kaitannya de...