Sikap Manusia Beragama
PARALELISME
PARALELISME
Oleh : SETIONO
A. Latar Belakang
Masyarakat
memaknai agama sebagai suatu tatanan yang mengikat dan mengatur segala hal yang
berkaitan dengan keberlangsungan kehidupannya. Oleh karena itulah, agama
dijadikan sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dari yang bersifat individual sampai yang bersifat
komunal.
Zaman
yang bersifat dinamis mampu mempengaruhi respon manusia terhadap keyakinan yang
dipeluknya. Suatu masa yang dikenal sebagai “era globalisasi” menuntut pemeluk
agama untuk kembali mengkaji apakah tata nilai yang mengikatnya masih relevan
dengan masa sekarang atau bahkan dianggap sebagai suatu hal yang sudah tidak
layak diterapkan dalam kehidupan seiring dengan meluasnya pengaruh globalisasi
dalam berbagai sektor.
Pada
era globalisasi sekarang ini, umat beragama dihadapkan kepada serangkaian
tantangan baru yang tidak terlalu berbeda dengan yang pernah dialami
sebelumnya. Pluralitas agama adalah fenomena nyata yang ada dalam
kehidupan. Pluralitas merupakan hukum alam (sunnatullah) yang mesti terjadi dan
tidak mungkin terelakkan.
Penyebab beraneka ragamnya agama
yang di anut masyarakat Indonesia tidaklah lepas dari sejarah. Dimana Indonesia
terletak di jalur perdagangan dunia yang menyebabkan para pedagang yang singgah
di berbagai wilayah pesisir di Indonesia mulai menetap dan mengajarkan agama
serta kebudayaan para pedagang tersebut kepada masyarakat Indonesia yang waktu
itu belum beragama dan masih menganut kepercayaan animisme maupun dinamisme.
Masuknya agama di Indonesia yang
tidak merata ini menyebabkan terjadinya proses multikultural pada masyarakat
Indonesia terutama dalam hal keagamaan. Dengan perbedaan agama yang dianut
masyarakat Indonesia harus bisa hidup bertoleransi antar umat beragama karena
apabila antar umat beragama saling bermusuhan maka akan terjadi konflik yang
juga bisa merusak integrasi nasional bangsa Indonesia.
Begitu pula
pada dasarnya setiap agama atau pun umat beragama sudah pasti saling melakukan
sebuah interaksi atau relasi. Dengan adanya sejarah pertemuan agama-agama ini
menjadikan kebutuhan manusia untuk menciptakan sebuah kedamaian dan
kebersamaan, sehingga akan tercipta kehidupan beragama yang nyaman dan toleran.
Begitu pula banyak sekali sikap-sikap manusia beragama, yakni ada
eksklusivisme, inklusivisme dan paralelisme.[1]
Maka dalam makalah ini akan di paparkan mengenai sikap beragama yakni tentang
paralelisme.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa dan
bagaimana yang dimaksud dengan sikap Paralelisme itu (asumsi dasar)?
2.
Bagaimana sikap
paralelisme dalam kehidupan beragama?
3.
Apa sebab-sebab
timbulnya sikap paralelisme dalam kehidupan beragama?
4.
Bagaimana sikap
paralelisme dapat menjadi titik temu agama-agama?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Sikap Paralelisme
Pertemuan antarumat beragama telah menandai bangkitnya
teologi dialog. Banyak agama dewasa ini menampakkan tanda gerakan yang lebih
positif. Mereka meninjau ulang kecenderungan-kecenderungan terselubung atau
terang-terangan untuk menyatakan diri sebagai satu-satunya agama yang benar.
Mereka cenderung untuk beralih dari cara berpikir salah benar kepada apa yang
dapat disumbangkan untuk membangun dunia. Bila ada suatu agama yang berkutat
dalam pandangan lama, ia telah ketinggalan jaman. Dunia telah mengakui
pluralism agama. Bila ada suatu agama yang memandang dirinya paling benar dan
pada saat yang sama memvonis yang lain sebagai kafir atau sesat, maka agama
tersebut telah jatuh pada kesempitan.[2]
Sikap
dan perilaku seseorang terhadap agama-agama lain, sangat dipengaruhi oleh
pemahamannya. Dalam penelitian agama-agama, paling tidak terdapat
tiga pandangan keberagamaan, yang kemudian menjadi “cikal bakal”
munculnya teori-teori pluralime, yakni: eksklusivisme, inklusivisme dan
pluralisme-paralelisme.[3] Pertama, pandangan
eksklusivisme menyatakan bahwa agamanya adalah satu-satunya yang paling benar
dan menawarkan keselamatan. Dengan kata lain, eksklusivisme merupakan sebuah
pandangan yang berprinsip keselamatan tunggal, sedemikian rupa sehingga
agama-agama selainnya dipandang sesat dan salah. Pandangan inilah yang
mendominasi sikap keberagamaan komunitas agama dari zaman ke zaman. Kedua,
pandangan inklusivisme yang bertolak belakang dengan pandangan eksklusivisme.
Menjadi inklusif berarti percaya bahwa kebenaran tidak menjadi monopoli
agama tertentu, tetapi juga bisa ditemukan dalam agama-agama lain. Ketiga,
pandangan paralelisme yang kemudian dielaborasi menjadi pendukung teologi
pluralisme, berpandangan bahwa setiap agama secara paralel adalah
sama. Ketiga sikap keberagamaan tersebut, dijumpai dalam tradisi agama-agama
Ibrahim, sebagai respon terhadap normativitas
ajarannya maupun setting sosio-politik yang melingkupinya.[4]
Pluralisme
dan pluralitas merupakan dua terma yang sering digunakan secara bergantian
tanpa ada penjelasan apakah dua kata tersebut memiliki arti yang sama
atau berbeda. Adakalanya, pluralisme dan pluralitas diartikan sama, yakni
sebuah keadaan yang bersifat plural, jamak atau banyak. Pluralisme sesungguhnya
bukan hanya sekedar keadaan yang bersifat plural, juga bukan sekedar pengakuan
bahwa heterogenitas itu ada dalam realitas. Pluralisme adalah suatu sikap
mengakui, menghargai, menghormati, memelihara dan bahkan mengembangkan atau
memperkaya keadaan yang bersifat plural tersebut. Dalam konteks agama-agama,
pluralisme mengacu kepada teori atau sikap bahwa semua agama, meskipun dengan
jalan yang berbeda-beda, menuju kepada satu tujuan yang sama, Yang Absolut,
Yang Terakhir, yakni Tuhan.[5]
Dalam pandangan Panikkar dan Budhy
Munawar Rachman, masing-masing menyebutkan istilah pluralisme dan paralelisme.
Sikap teologis paralelisme adalah bisa terekspresi dalam macam-macam
rumusan, misalnya : “agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk
mencapai Kebenaran yang Sama”; agama-agama lain berbicara secara berbeda,
tetapi merupakan Kebenaran-kebenaran yang sama sah”; atau “setiap agama
mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran”.[6]
Paradigma itu percaya bahwa setiap
agama mempunyai jalan keselamatan sendiri. Karena itu, klaim kristianitas bahwa
ia adalah satu-satunya jalan (eksklusif), atau yang melengkapi atau
mengisi jalan yang lain (inklusif), harus ditolak demi alasan-alasan
teologis dan fenomenologis.[7]
Menurut Komarudin Hidayat, sikap
pluralisme lebih moderat dari sikap inklusivisme, atau bahkan dari
eksklusivisme. Ia berpandangan bahwa secara teologis pluralitas agama
dipandang sebagai suatu realitas niscaya yang masing-masing berdiri sejajar (paralel)
sehingga semangat misionaris atas dakwah dianggap tidak relevan.
Sikap paralelistis memberikan
keuntungan yang sangat positif; toleran dan hormat terhadap yang lain serta
tidak mengadili mereka. Sikap ini pun menghindari sinkretisme dan eklektisisme
yang keruh yang membuat suatu agama mengikuti selera pribadi; sikap ini pun
menjaga batas-batas tetap jelas dan merintis pembaharuan yang ajeg pada
jalan-jalan orang itu sendiri. Namun demikian, sikap paralelisme ini pun tidak
lepas dari kesulitan-kesulitan.[8]
Yang pertama, sikap ini
tampaknya berlawanan dengan pengalaman historis bahwa tradisi-tradisi keagamaan
dan manusiawi yang berbeda biasanya muncul dari saling campur tangan, pengaruh
dan fertilisasi. Kedua, sikap ini dengan tergesa-gesa menganggap seolah-olah
setiap tradisi manusia sudah memuat dalam dirinya sendiri semua unsur untuk
pertumbuhan dan perkembangan lebih lanjut; singkatnya, sikap ini mengandaikan
kecukupan diri dari setiap tradisi dan sepertinya menyangkal adanya kebutuhan
atau kesenangan untuk saling belajar.[9]
Di lingkungan Islam, tafsir Islam
pluralis merupakan pengembangan secara lebih liberal dari Islam inklusif.
Misalnya, perbedaan antara Islam dan Kristen (dan antaragama secara umum)
diterima sebagai perbedaan dalam meletakkan prioritas antara “perumusan iman”
dan “pengalaman iman”. Menurut para penganut Islam pluralis (misalnya Schuon
dan Hossein Nasr), setiap agama pada dasarnya distruktur oleh dua hal:
“perumusan iman” dan “pengalaman iman”. Hanya saja, setiap agama selalu menanggap
yang satu mendahului yang kedua. Islam, misalnya, mendahulukan “perumusan iman”
(tauhid) dan “pengalaman iman” mengikuti perumusan iman tersebut.
Sebaliknya agama Kristen, mendahulukan “pengalaman iman” (dalam hal ini
pengalaman akan Tuhan yang menjadi manusia pada diri Yesus Kristus, yang
kemudian disimbolkan dalam sakramen misa dan ekaristi), dan “perumusan iman”
mengikuti pengalaman ini, dengan rumusan dogmatis mengenai trinitas. Perbedaan
dalam struktur perumusan dan pengalaman iman ini hanyalah
ekspresi kedua agama ini dalam merumuskan dan mengalami Tuhan yang sama.[10]
Sekalipun demikian, sikap
paralelistis, pada sisi yang lain, menjanjikan lebih banyak kemungkinan untuk
suatu hipotesis kerja awal. Sikap ini sekaligus membawa amanat akan
pengharapan dan kesabaran; pengharapan bahwa kita akan berjumpa pada akhirnya,
dan kesabaran karena sementara ini masih harus menanggung perbedaan-perbedaan
kita.
Menurut
Raimundo Panikkar, jika suatu perjumpaan agama terjadi, baik dalam fakta yang
nyata maupun dalam suatu dialog yang disadari, maka orang membutuhkan metafora
dasar untuk mengutarakan masalah-masalah yang berbeda. Oleh karena itu, tiga
macam model perjumpaan agama bisa berguna, yakni model fisika : pelangi, model
geomteri : invarian topologis, dan model antropologis : bahasa.[11]
Sedangkan pluralisme agama sebagai
suatu keniscayaam teologis dan historis, sikap kedewasaan memeluk suatu agama
akan tumbuh kebenarannya. Bisa jadi orang yang menganggap semua agama sama saja
menunjukkan bahwa dia kurang taat dalam beragama serta tidak serius mendalami
ajaran suatu agama.
Inklusivitas beragama memang sangat
diperlukan dalam memelihara perdamaian. Jika agama memang menyumbang
perdamaian, maka agama melalui para
pengikutnya harus belajar meninggalkan absolutisme dan menerima pluralisme.
Kita boleh melihat agama sebagai absolut, karena mungkin inilah makna kepenganutan
kepada suatu agama. Namun, pemahaman kita, baik pribadi maupun kelompok melalui
indera akal dan batin, menyimpan kualitas kemanusiaan yang relatif. Karena
itulah, tidak ada tempat bagi seseorang untuk mengabsolutkan faham keagamaan
sendiri.
Pannikar mengatakan, bahwa sikap
paralelisme menjaga batas-batas yang jelas di satu pihak dan menampilkan
pembaharuan-pembaharuan yang konstan dari suatu agama di lain pihak.[12]
Sikap paralelisme tampak nyata dalam kecenderungan suatu agama untuk mencari titik-titik
padanan atau titik-titik pertemuan dengan agama-agama lainnya. Sikap demikian
mengantar kepada suatu sikap yang dialogal terhadap agama lain.[13]
Agama
Kristen demikian juga, ia tidak mungkin mengelak dari perjumpaan dengan
agama-agama lain. Harold Coward dalam bukunya Pluralism (1985)
melukiskan perjalanan agama Kristen sejak awalnya hingga
perkembangan-perkembangan mutakhir.[14]
Dijumpai bahwa sesungguhnya pertemuan antarumat beragama tidaklah baru
disadari. Namun sejak awalnya sudah ditegaskan semangat misionaris eksklusif
dalam perjumpaan dengan agama-agama lain. Banyak orang Kristen berpendapat
bahwa kehadiran para misionaris dalam jumlah yang memadai di seluruh dunia akan
menghasilkan pertobatan semua orang kepada Kristen. Dewasa ini orang-orang Kristen
menyadari bahwa agama-agama Yahudi, Islam, Hindu, Budha tetap berkembang dengan
pesat meskipun upaya-upaya misi Kristen menggebu. Menurut Coward, pesatnya
perkembangan kepustakaan akibat perjumpaan dengan agama-agama lain membuat para
teolog Kristen menarik kesimpulan bahwa teologi Kristen tidak dapat terus
dirumuskan terpisah dari agama-agama lain. Dan perkembangan teologi Kristen di
masa yang akan datang akan merupakan hasil langsung dari dialog yang serius
dengan agama-agama lain.[15]
2. Sikap paralelisme dalam kehidupan beragama.
Dalam kehidupan keagamaan yang
plular di Indonesia, masalah dialog antar agama merupakan tema klasik yang
masih tetap aktual untuk terus diperbincangkan. Dikatakan klasik, karena sudah
lama menjadi perbincangan masyarakat luas sejak dicanangkan pemerintah ketika
Menteri Agama dijabat oleh A. Mukti Ali. Baginya, dialog agama adalah dialog
para pemuka agama dalam suatu forum bebas dengan penuh keterus terangan, dimana
masing-masing pihak saling mengemukakan pendapatnya tentang berbagai persoalan.
Sejak saat itu, kegiatan dialog
antaragama merupakan kegiatan utama proyek kerukunan hidup beragama. Munculnya
gagasan dialog antar agama tersebut tidak lepas dari berbagai konflik agama,
sebagai ekses sampingan dari penyebar agar gejala demikian tidak mendatangkan
implikasi negative bagi kehidupan sosial, politik, pemerintah mengupayakan
dialog antar agama tersebut.
Disamping berbagai usaha yang
dilakukan oleh pemerintah, lembaga-lembaga keagamaan yang ada dalam masyarakat
mengupayakan kegiatan sejenis seperti seminar yang melibatkan berbagai kelompok
agama.
Secara historis sosiologis,
Indonesia berkembang menjadi wadah bagi masyarakat yang hidup dalam berbagai
agama dan budaya. Dalam masyarakat dengan segala kemajemukan tersebut menjadikan
kemungkinan timbulnya konflik seringkali muncul. Dalam situasi demikian inilah
agama seringkali memunculkan dirinya sebagai faktor konfliktual dalam
masyarakat. Tidak mengherankan apabila konflik yang muncul dalam masyarakat,
seringkali berawal dari masalah keagamaan.
Konflik keagmaan yang terjadi masih
belum bisa menjawab pertanyaan apakah semua konflik sosial selalu berakar dari
persoalan teologis, atau karena faktor lain seperti persoalan kesalahan pada
manusia (human eror). Dengan
mengatakan bahwa konflik antar agama semata-mata karena faktor agama, sama hal
nya dengan mengatakan bahwa kerangka teologi agama memberikan peluang munculnya
agama. Dan dengan demikian, secara teologis konflik agama justru dapat
dibenarkan, sementara setiap agama selalu mengajarkan nilai-nilai luhur yang
sangat diperlukan bagi kehidupan manusia, baik yang berhubungan dengan masalah
ketuhanan maupun yang berhubungan dengan kehidupan kemanusiaan secara
universal.
Ajaran teologis menunjukan bahwa setiap
agama mengandung misi suci mengajak seluruh umat manusia mencapai realitas
tertinggi (ultimate reality) melalui kesadaran transcendental yang dimiliki.
Demikian juga yang berhubungan dengan konteks kemanusiaan setiap agama
mengajarkan komitmen kebersamaan
(egalitarianisme) dalam hidup dengan keharusan mengesampingkan unsur-unsur
primordialisme yang menyelimuti manusia.
Berbagai doktrin diatas menunjukan
bahwa setiap agama mempunyai keprihatinan (concern)
yang sama dalam menghadapi persoalan kemanusiaan, seperti ketidakadilan,
kemiskinan, penindasan, perdamaian, dan berbagai persoalan kemanusiaan lainya.
Oleh karena itu, jika masing-masing pemeluk agama menghayati nilai universal
doktrin agama tersebut, mereka tidak akan peduli dengan sekat-sekat formalism dan komunalisme agama ketika
ia harus terlibat dengan persoalan kemanusiaan. Dari perspektif teologis dapat
dilihat kesamaan nilai universal yang dapat mempertemukan masing-masing agama,
tanpa harus melakukan elektifitas, apalagi menganggap semua agama sama dalam
pengertian yang mengarah pada relativisasi keabsolutan suatu agama.
Kerukunan antarumat beragama akan
tercipta bukan karena kemajemukan agama yang merupakan sunatulloh, dan bukan
dikondisikan oleh proses relativisasi dan liberalisasi maupun sekularisasi.
Kerukunan demikan akan banyak dikondisikan oleh kualitas pemahaman,
penghayatan, dan aktualisasi keberagamaan masing-masing pemeluk agama yang
bersangkutan.[16]
3. Sebab-Sebab Timbulnya Sikap paralelisme dalam
kehidupan beragama.
Sebab-sebab timbulnya sikap paralelisme agama banyak dan beragam,
sekaligus kompleks. Namun secara umum dapat diklasifikasikan dalam dua factor
utama yaitu faktor internal (ideologis) dan faktor eksternal,yang mana antara
faktor yang satu dengan faktor yang lainya saling memperngaruhi dan saling
berhubungan erat.
a.
Faktor ideologis
Keyakinan seseorang yang serba mutlak dan
absolute bahwa apa yang diyakini dan diimaninya itu paling benar dan paling
superior, adalah alami belaka. Keyakinan akan absolutism dan kemutlakan ini
berlaku dalam aqidah, madzab, dan ideologi (baik yang berasal dari wahyu Alloh
maupun dari sumber lainnya). Kenyataan (absolutism agama) ini hampir tak
satupun yang mempertanyakanya atau mempertangkanya, hingga datangnya era modern
di mana faham “relativitas agama” mulai dikenal dan menyebar secara luas
dikalangan para pemikir dan intelektual, khususnya pada dekade-dekade terakhir
abad ke 20.
Dalam
konteks idologis ini, umat manusia terbagi menjadi dua bagian, yang pertama
mereka yang beriman dengan penuh terhadap wahyu langit dan samawi, sedangkan
kelompok yang kedua mereka yang tidak beriman kecuali dengan kemampuan akal
saja (rasionalis). Perbedaan cara pandang dalam beriman dan beragama secara
otomatis akan mengantarkan pada perbedaan dan pertentangan disetiap masalah
dalam menentukan kebenaran yang mutlak. Sebab, keimanan adalah pokok seluruh
permasalahan. Mereka yang beriman kepada wahyu samawi adalah mereka yang
beriman terhadap esensi wujud yang gaib, metafisik atau kekuatan yang paling
tinggi di atas segalanya atau kekuatan transendental yang ada dibalik kekuatan
alam. Adapun kelompok yang kedua dari manusia adalah mereka yang sama sekali
mengimani itu semua. Kelompok pertama, terjebak dalam perbedaan pendapat yang
tak mungkin dikompromikan sama sekali dalam menentukan siapa/apa zat yang gaib
itu, baik dalam aspek bilangan, substansi, maupun eksistensinya.
b.
Faktor eksternal
Disamping faktor-faktor
internal tersebut diatas, terdapat juga dua faktot eksternal yang kuat dan mempunyai
peran kunci dalam menciptakan iklim yang kondusif dan lahan yang subur bagi
tumbuh berkembangnya sikap paralelisme agama. Kedua faktor tersebut adalah
faktor sosio-politis dan faktor ilmiyah. Faktor sosio politis adalah faktor
yang mendorong munculnya sikap pluralisme agama yaitu berkembangnya
wacana-wacana sosio-politis, demokrasi, dan nasionalisme yang telah melahirkan
sistem Negara-bangsa. Dan kemudian mengarah pada apa yang dewasa ini dikenal
dengan “globalisasi” yang merupakan hasil praktis dari sebuah proses sosial dan
politis yang berlangsung selama kurang lebih tiga abad. Sedangkan faktor
ilmiyah adalah suatu faktor keilmuwan
yang mengarah pada gerakan-gerakan kajian ilmiyah modern terhadap agama-agama.
Dalam hal ini terjadi maraknya studi-studi ilmiyah modern terhadap agama-agama dunia, atau yang
sering dikenal dengan studi Perbandingan Agama.[17]
4. Sikap paralelisme dapat menjadi titik temu
agama-agama.
Titik
temu agama-agama dalam sikap paralelisme menurut gagasan Schuon dikenal dengan
duaa konsep yaitu konsep eksoterisme dan konse Esoterisme, penjelasan mengenai
konsep tersebut adalah:
a.
Konsep eksoterisme
Dalam
pandangan Schuon, eksoterisme adalah aspek eksternal, formal, hokum, dogmatis,
ritual, etika, dan moral sebuah agama. Eksoteris berada sepenuhnya di dalam
maya, kosmos yang tercipta. Dalam pandangan eksoteris, Tuhan dipersepsikan
sebagai Pencipta dan dan Pembuat hokum bukan Tuhan sebagai Esensi karena
eksoterisme berada di dalam maya, yang relative dalam hubunganya dengan Atma.
Pandangan eksoteris bermakna pandangan yang ekslusif, absolute, dan total,
sekalipun dari sudut pandang intelek adalah relatife .
Menurut
Schuon, pandangan eksoteris bukan saja benar dan sah bahkan juga keharusan
mutlak bagi keselamatan (salvation) individu. Meskipun demikian kebenaran
eksoteris adalah relatife. Inti dari
Eksoteris adalah kepercayaan kepada “Huruf” sebuah dogma eksklusifistik
(formalistic) dan kepatuhan terhadap hokum ritual dan moral. Selain itu,
eksoterisme tidak akan pernah muncul melampaui individu. Eksoterisme bukan
muncul dari esoterisme, namun muncul dari Tuhan.
Schuon
menyadari jika masing-masing “Form”
agama meyakini bahwa suatu “form” itu
lebih hebat dibanding dengan “Form”
yang lain. Pemikiran seperti itu menurut Schuon sangat wajar. Perpindahan agama
terjadi justru karena adanya superioritas sebuah “Form” terhadap yang lain. Namun superioritas tersebut sebenarnya
relatife.
Pendapat
Schuon mengenai eksoterisme masih perlu dipertanyakan. Sebab pengaruh dari sikap
eksoterisme seperti itu adalah bahwa di dalam sesuatu agama tidak boleh ada truth claim, karena banyak jalan menuju
keselamatan. Masing-masing agama adalah benar karena setiap “form” adalah relative dan terbatas. Jika
logika Schuon diikuti maka agama tidak akan ada yang sempurna karena
relativitas dan keterbatasan “form”
nya. Implikasi lebih jauh lagi agama-agama yang relative itu tidak dapat
sempurna kecuali dengan eksistensi agama yang lain.
Ini
jelas pendapat yang salah dan tidak dapat diaplikasikan terhadap Islam. Sebab
risalah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW mampu eksis dan menjalankan
fungsinya tanpa agama lain. Kesempurnaan Islam tidak tergantung pada eksistensi
agama-agama sebelumnya, yang dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami banyak
perubahan. Islam justru meluruskan penyimpangan yang dilakukan oleh agama-agama
yang lain tersebut.
b.
Konsep Esoterisme
Esoteris
adalah aspek metafisis dan dimensi internal agama. Tanpa esoterisme, agama akan
teredusir menjadi sekedar aspek-aspek eksternal dan dogmatis-formalistik.
Esoterisme dan eksoterisme saling melengkapi. Esoterisme bagaikan “jiwa” dan
eksoteris bagaikan “raga” agama. Kehidupan agama yang eksoteris ada pada dunia
bentuk, namun ia bersumber dari esensi yang tak berbentuk yang esoteris.
Dimensi esoteric agama-agama itu berada diatas dimensi esoteris dan pada
dimensi esoterisn itulah menurut schuon terdapat titik temu agama-agama.
Melalui
Esoterisme, manusia akan menemukan dirinya yang benar. Alasanya karena
pandangan Esoteris akan mengesampingkan ego manusia dan menggantinya dengan ego
yang diwarnai dengan nilai-nilai ketuhanan. Eksoterisme terbatas pada individu
sementara esoterisme menembus simbol-simbol eksoterisme. Jadi esoterisme itu
terkait secara inheren dengan eksoterisme mandiri dari aspek eksternal, bentuk,
formal agama. Kemandirian tersebut karena esensi dari esoterisme adalah
kebenaran total. Kebenaran yang tidak terbatas dan teredusir kepada
eksoterisme, yang memiliki keterbatasan itu.
Dalam
membangun dikotomi esoteris-eksoteris Schuon mencari pembenaran dari ajaran
tasawuf. Menurutnya, para sufi itu mengekspresikan pandangan metafisika mereka
dengan benar, indah, dan baik. Esensi dan hakekat pandangan metafisika tasawuf
yang diambil yang diambil Schuon adalah konsep Wahdatul Wujud.[18]
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas dapat
disimpulkan bahwa paralelisme adalah suatu sikap yang menganggap bahwa semua
agama yang berbeda itu sesunggunhnya mempunyai kesejajaran untuk bertemu pada
akhirnya, yang akhirnya antar agama yang berbeda tersebut akan dapat melakukan
dialog, sehingga dapat hidup berdampingan secara damai dan bertoleransi tanpa
adanya adanya konflik, karena pada dasarnya pluralism juga merupakan suatu
kenyataan sosiologis yang tidak dapat dihindari, ia merupakan sunatulloh,
sebagai kenyataan yang telah menjadi kehendak dari Tuhan.
Sikap
paralelisme juga merupakan suatu sikap bagaimana suatu sikap itu memandang,
melihat keragamaan dalam agama-agama yang melihat bahwa ada satu agama yang
benar atau semua agama benar, akan tetapi sikap ini tidak mengajarkan seseorang
yangh beragama untuk bersikap fanatik terhadap agama yang dianutnya sehingga
mengganggap bahwa agama yang dianutnya itu benar dan agama lain salah, karena
sikap ini mengajarkan bahwa agama-agama yang berbeda itu sesungguhnya berada
dalam kesejajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Artikel
ini pernah dimuat dalam Ulul Albab Jurnal Studi Islam-UIN
Maliki Malang,
Edisi Vol. 8, No. 1 tahun 2007.
Coward, Harold Pluralisme : Tantangan Bagi
Agama-Agama, (terj. Bosco Carvalloa).
Yogyakarta : Kanisius. 1985.
Legenhausen, Muhammad.
Pluralitas dan Pluralisme Agama. Jakarta : Shadra Press. 2010.
Pannikar, Raimundo.
Dialog Intra Religius.
Yogyakarta : Kanisius, 1994.
_______.The
Intrareligious Dialogue. New York : Paulist Press, 1978.
Rahman, Budhy
Munawar. Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta:
Paramadina.
2001.
Riyanto, Armada. Dialog Interreligius.
Yogyakarta : Kanisius, 2010.
Thoha, Anis Malik. Tren
Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Jakarta: Perpektif. 2005.
Tobroni. Islam,
Pluralisme Budaya dan Politik: Refleksi Teologi untuk Aksi dalam keberagamaan dan Pendidikan. Yogyakarta:
Sipress. 1994.
Zarkasyi, Hamid Fahmi dkk. Pluralisme Agama: Telaah Kritis Cendekiawan Muslim. Jakarta: Insist. 2013
[5] Muhammad
Legenhausen, Pluralitas dan Pluralisme Agama, (Jakarta : Shadra Press,
2010), cet I, hlm. 5. Dan lihat dalam Komarudin Hidayat, hlm. 119.
[6] Budhy Munawar Rachman,
Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm.
19.
[10] Budhy Munawar Rachman,
Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm.
49.
[12] Raimundo
Pannikar, The Intrareligious Dialogue, (New York : Paulist Press, 1978),
hlm. Xiii-xix.
[13] Mengenai
pertemuan antarumat beragama, Pannikar menyebut ada tiga macam. Model pertama
disebutnya sebagai model fisik atau model pelangi. Dikatakan model pelangi,
sebab pertemuan antarumat beragama itu membentuk formasi pelangi, berjejer satu
dengan yang lain, indah. Model kedua disebut model geometris atau invariant
topologis. Pada pertemuan model kedua ini agama-agama berinteraksi, saling mempengaruhi.
Model ketiga disebutnya sebagai model antropologis dalam bahasa-bahasa.
Maksudnya pertemuan itu terwujud dalam peretemuan manusia-manusia yang
berkomunikasi satu sama lain. Ibid. hlm. Xix-xvii. Pannilkar juga
menjelaskan apa yang dimaksud sesungguhnya dengan pertemuan antarumat beragama.
Menurutnya pertemuan antarumat beragama yang sesungguhnya ialah 1). Harus
terhindar dari sikap-sikap apologetic baik itu sifatnya khusus maupun umum, 2).
Para partisipan mesti terbuka terhadap aneka tantangan pertobatan, 3).
Menegaskan dimensi historis perlu, tapi tidak cukup, 4). Tidak boleh sekedar
merupakan symposium filsafat atau teologi, 5). Tidak hanya merupakan upaya
sepihak, misalnya dari Gereja, 6). Dan melainkan harus merupakan suatu
pertemuan religious dalam iman dan harapan serta cinta kasih. Ibid, hlm.
31-35.
[14] Harold
Coward, Pluralisme : Tantangan Bagi Agama-Agama, (terj. Bosco
Carvalloa), (Yogyakarta : Kanisius, 1985), hlm. 31-51.
[16] Tobroni, Islam, Pluralisme Budaya dan Politik: Refleksi
Teologi untuk Aksi dalam keberagamaan dan Pendidikan, (Yogyakarta:
Sipress, 1994), hlm. 24-28.