Minggu, 13 September 2015

PARALELISME



Sikap Manusia Beragama­­  
PARALELISME
Oleh : SETIONO

A.    Latar Belakang
Masyarakat memaknai agama sebagai suatu tatanan yang mengikat dan mengatur segala hal yang berkaitan dengan keberlangsungan kehidupannya. Oleh karena itulah, agama dijadikan sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dari yang bersifat individual sampai yang bersifat komunal.
Zaman yang bersifat dinamis mampu mempengaruhi respon manusia terhadap keyakinan yang dipeluknya. Suatu masa yang dikenal sebagai “era globalisasi” menuntut pemeluk agama untuk kembali mengkaji apakah tata nilai yang mengikatnya masih relevan dengan masa sekarang atau bahkan dianggap sebagai suatu hal yang sudah tidak layak diterapkan dalam kehidupan seiring dengan meluasnya pengaruh globalisasi dalam berbagai sektor.
Pada era globalisasi sekarang ini, umat beragama dihadapkan kepada serangkaian tantangan baru yang tidak terlalu berbeda dengan yang pernah dialami sebelumnya. Pluralitas agama adalah fenomena nyata yang ada dalam kehidupan. Pluralitas merupakan hukum alam (sunnatullah) yang mesti terjadi dan tidak mungkin terelakkan. Penyebab beraneka ragamnya agama yang di anut masyarakat Indonesia tidaklah lepas dari sejarah. Dimana Indonesia terletak di jalur perdagangan dunia yang menyebabkan para pedagang yang singgah di berbagai wilayah pesisir di Indonesia mulai menetap dan mengajarkan agama serta kebudayaan para pedagang tersebut kepada masyarakat Indonesia yang waktu itu belum beragama dan masih menganut kepercayaan animisme maupun dinamisme.
Masuknya agama di Indonesia yang tidak merata ini menyebabkan terjadinya proses multikultural pada masyarakat Indonesia terutama dalam hal keagamaan. Dengan perbedaan agama yang dianut masyarakat Indonesia harus bisa hidup bertoleransi antar umat beragama karena apabila antar umat beragama saling bermusuhan maka akan terjadi konflik yang juga bisa merusak integrasi nasional bangsa Indonesia.
Begitu pula pada dasarnya setiap agama atau pun umat beragama sudah pasti saling melakukan sebuah interaksi atau relasi. Dengan adanya sejarah pertemuan agama-agama ini menjadikan kebutuhan manusia untuk menciptakan sebuah kedamaian dan kebersamaan, sehingga akan tercipta kehidupan beragama yang nyaman dan toleran. Begitu pula banyak sekali sikap-sikap manusia beragama, yakni ada eksklusivisme, inklusivisme dan paralelisme.[1] Maka dalam makalah ini akan di paparkan mengenai sikap beragama yakni tentang paralelisme.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa dan bagaimana yang dimaksud dengan sikap Paralelisme itu (asumsi dasar)?
2.      Bagaimana sikap paralelisme dalam kehidupan beragama?
3.      Apa sebab-sebab timbulnya sikap paralelisme dalam kehidupan beragama?
4.      Bagaimana sikap paralelisme dapat menjadi titik temu agama-agama?
















BAB II
PEMBAHASAN
1.    Pengertian Sikap Paralelisme
Pertemuan antarumat beragama telah menandai bangkitnya teologi dialog. Banyak agama dewasa ini menampakkan tanda gerakan yang lebih positif. Mereka meninjau ulang kecenderungan-kecenderungan terselubung atau terang-terangan untuk menyatakan diri sebagai satu-satunya agama yang benar. Mereka cenderung untuk beralih dari cara berpikir salah benar kepada apa yang dapat disumbangkan untuk membangun dunia. Bila ada suatu agama yang berkutat dalam pandangan lama, ia telah ketinggalan jaman. Dunia telah mengakui pluralism agama. Bila ada suatu agama yang memandang dirinya paling benar dan pada saat yang sama memvonis yang lain sebagai kafir atau sesat, maka agama tersebut telah jatuh pada kesempitan.[2]
Sikap dan perilaku seseorang terhadap agama-agama lain, sangat dipengaruhi oleh pemahamannya. Dalam penelitian agama-agama, paling tidak terdapat  tiga  pandangan keberagamaan, yang kemudian menjadi “cikal bakal” munculnya teori-teori pluralime, yakni: eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme-paralelisme.[3] Pertama, pandangan eksklusivisme menyatakan bahwa agamanya adalah satu-satunya yang paling benar dan menawarkan keselamatan. Dengan kata lain, eksklusivisme merupakan sebuah pandangan yang berprinsip keselamatan tunggal, sedemikian rupa sehingga agama-agama selainnya dipandang sesat dan salah. Pandangan inilah yang mendominasi sikap keberagamaan komunitas agama dari zaman ke zaman. Kedua, pandangan inklusivisme yang bertolak belakang dengan pandangan eksklusivisme. Menjadi inklusif berarti  percaya bahwa kebenaran tidak menjadi monopoli agama tertentu, tetapi juga bisa ditemukan dalam agama-agama lain. Ketiga, pandangan paralelisme yang kemudian dielaborasi menjadi pendukung teologi pluralisme, berpandangan bahwa  setiap agama  secara paralel adalah sama. Ketiga sikap keberagamaan tersebut, dijumpai dalam tradisi agama-agama Ibrahim, sebagai respon terhadap normativitas ajarannya maupun setting sosio-politik yang melingkupinya.[4]
Pluralisme dan pluralitas merupakan dua terma yang sering digunakan secara bergantian tanpa ada penjelasan apakah dua kata tersebut  memiliki arti yang sama atau berbeda. Adakalanya, pluralisme dan pluralitas diartikan sama, yakni sebuah keadaan yang bersifat plural, jamak atau banyak. Pluralisme sesungguhnya bukan hanya sekedar keadaan yang bersifat plural, juga bukan sekedar pengakuan bahwa heterogenitas itu ada dalam realitas. Pluralisme adalah suatu sikap mengakui, menghargai, menghormati, memelihara dan bahkan mengembangkan atau memperkaya keadaan yang bersifat plural tersebut. Dalam konteks agama-agama, pluralisme mengacu kepada teori atau sikap bahwa semua agama, meskipun dengan jalan yang berbeda-beda, menuju kepada satu tujuan yang sama, Yang Absolut, Yang Terakhir, yakni Tuhan.[5]
Dalam pandangan Panikkar dan Budhy Munawar Rachman, masing-masing menyebutkan istilah pluralisme dan paralelisme. Sikap teologis paralelisme adalah bisa terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya : “agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai Kebenaran yang Sama”; agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan Kebenaran-kebenaran yang sama sah”; atau “setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran”.[6]
Paradigma itu percaya bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatan sendiri. Karena itu, klaim kristianitas bahwa ia adalah satu-satunya jalan (eksklusif), atau yang melengkapi atau mengisi jalan yang lain (inklusif), harus ditolak demi alasan-alasan teologis dan fenomenologis.[7]
Menurut Komarudin Hidayat, sikap pluralisme lebih moderat dari sikap inklusivisme, atau bahkan dari eksklusivisme. Ia berpandangan bahwa  secara teologis pluralitas agama dipandang sebagai suatu realitas niscaya yang masing-masing berdiri sejajar (paralel) sehingga semangat misionaris atas dakwah dianggap tidak relevan.
Sikap paralelistis memberikan keuntungan yang sangat positif; toleran dan hormat terhadap yang lain serta tidak mengadili mereka. Sikap ini pun menghindari sinkretisme dan eklektisisme yang keruh yang membuat suatu agama mengikuti selera pribadi; sikap ini pun menjaga batas-batas tetap jelas dan merintis pembaharuan yang ajeg pada jalan-jalan orang itu sendiri. Namun demikian, sikap paralelisme ini pun tidak lepas dari kesulitan-kesulitan.[8]
Yang pertama, sikap ini  tampaknya berlawanan dengan pengalaman historis bahwa tradisi-tradisi keagamaan dan manusiawi yang berbeda biasanya muncul dari saling campur tangan, pengaruh dan fertilisasi. Kedua, sikap ini dengan tergesa-gesa menganggap seolah-olah setiap tradisi manusia sudah memuat dalam dirinya sendiri semua unsur untuk pertumbuhan dan perkembangan lebih lanjut; singkatnya, sikap ini mengandaikan kecukupan diri dari setiap tradisi dan sepertinya menyangkal adanya kebutuhan atau kesenangan untuk saling belajar.[9]
Di lingkungan Islam, tafsir Islam pluralis merupakan pengembangan secara lebih liberal dari Islam inklusif. Misalnya, perbedaan antara Islam dan Kristen (dan antaragama secara umum) diterima sebagai perbedaan dalam meletakkan prioritas antara “perumusan iman” dan “pengalaman iman”. Menurut para penganut Islam pluralis (misalnya Schuon dan Hossein Nasr), setiap agama pada dasarnya distruktur oleh dua hal: “perumusan iman” dan “pengalaman iman”. Hanya saja, setiap agama selalu menanggap yang satu mendahului yang kedua. Islam, misalnya, mendahulukan “perumusan iman” (tauhid) dan “pengalaman iman” mengikuti perumusan iman tersebut. Sebaliknya agama Kristen, mendahulukan “pengalaman iman” (dalam hal ini pengalaman akan Tuhan yang menjadi manusia pada diri Yesus Kristus, yang kemudian disimbolkan dalam sakramen misa dan ekaristi), dan “perumusan iman” mengikuti pengalaman ini, dengan rumusan dogmatis mengenai trinitas. Perbedaan dalam struktur perumusan dan pengalaman iman ini hanyalah ekspresi kedua agama ini dalam merumuskan dan mengalami Tuhan yang sama.[10]
Sekalipun demikian, sikap paralelistis, pada sisi yang lain, menjanjikan lebih banyak kemungkinan untuk suatu hipotesis kerja awal. Sikap ini sekaligus  membawa amanat akan pengharapan dan kesabaran; pengharapan bahwa kita akan berjumpa pada akhirnya, dan kesabaran karena sementara ini masih harus menanggung perbedaan-perbedaan kita.
Menurut Raimundo Panikkar, jika suatu perjumpaan agama terjadi, baik dalam fakta yang nyata maupun dalam suatu dialog yang disadari, maka orang membutuhkan metafora dasar untuk mengutarakan masalah-masalah yang berbeda. Oleh karena itu, tiga macam model perjumpaan agama bisa berguna, yakni model fisika : pelangi, model geomteri : invarian topologis, dan model antropologis : bahasa.[11]
Sedangkan pluralisme agama sebagai suatu keniscayaam teologis dan historis, sikap kedewasaan memeluk suatu agama akan tumbuh kebenarannya. Bisa jadi orang yang menganggap semua agama sama saja menunjukkan bahwa dia kurang taat dalam beragama serta tidak serius mendalami ajaran suatu agama.
Inklusivitas beragama memang sangat diperlukan dalam memelihara perdamaian. Jika agama memang menyumbang perdamaian, maka agama  melalui para pengikutnya harus belajar meninggalkan absolutisme dan menerima pluralisme. Kita boleh melihat agama sebagai absolut, karena mungkin inilah makna kepenganutan kepada suatu agama. Namun, pemahaman kita, baik pribadi maupun kelompok melalui indera akal dan batin, menyimpan kualitas kemanusiaan yang relatif. Karena itulah, tidak ada tempat bagi seseorang untuk mengabsolutkan faham keagamaan sendiri.
Pannikar mengatakan, bahwa sikap paralelisme menjaga batas-batas yang jelas di satu pihak dan menampilkan pembaharuan-pembaharuan yang konstan dari suatu agama di lain pihak.[12] Sikap paralelisme tampak nyata dalam kecenderungan suatu agama untuk mencari titik-titik padanan atau titik-titik pertemuan dengan agama-agama lainnya. Sikap demikian mengantar kepada suatu sikap yang dialogal terhadap agama lain.[13]
Agama Kristen demikian juga, ia tidak mungkin mengelak dari perjumpaan dengan agama-agama lain. Harold Coward dalam bukunya Pluralism (1985) melukiskan perjalanan agama Kristen sejak awalnya hingga perkembangan-perkembangan mutakhir.[14] Dijumpai bahwa sesungguhnya pertemuan antarumat beragama tidaklah baru disadari. Namun sejak awalnya sudah ditegaskan semangat misionaris eksklusif dalam perjumpaan dengan agama-agama lain. Banyak orang Kristen berpendapat bahwa kehadiran para misionaris dalam jumlah yang memadai di seluruh dunia akan menghasilkan pertobatan semua orang kepada Kristen. Dewasa ini orang-orang Kristen menyadari bahwa agama-agama Yahudi, Islam, Hindu, Budha tetap berkembang dengan pesat meskipun upaya-upaya misi Kristen menggebu. Menurut Coward, pesatnya perkembangan kepustakaan akibat perjumpaan dengan agama-agama lain membuat para teolog Kristen menarik kesimpulan bahwa teologi Kristen tidak dapat terus dirumuskan terpisah dari agama-agama lain. Dan perkembangan teologi Kristen di masa yang akan datang akan merupakan hasil langsung dari dialog yang serius dengan agama-agama lain.[15]
2.    Sikap paralelisme dalam kehidupan beragama.
Dalam kehidupan keagamaan yang plular di Indonesia, masalah dialog antar agama merupakan tema klasik yang masih tetap aktual untuk terus diperbincangkan. Dikatakan klasik, karena sudah lama menjadi perbincangan masyarakat luas sejak dicanangkan pemerintah ketika Menteri Agama dijabat oleh A. Mukti Ali. Baginya, dialog agama adalah dialog para pemuka agama dalam suatu forum bebas dengan penuh keterus terangan, dimana masing-masing pihak saling mengemukakan pendapatnya tentang berbagai persoalan.
Sejak saat itu, kegiatan dialog antaragama merupakan kegiatan utama proyek kerukunan hidup beragama. Munculnya gagasan dialog antar agama tersebut tidak lepas dari berbagai konflik agama, sebagai ekses sampingan dari penyebar agar gejala demikian tidak mendatangkan implikasi negative bagi kehidupan sosial, politik, pemerintah mengupayakan dialog antar agama tersebut.
Disamping berbagai usaha yang dilakukan oleh pemerintah, lembaga-lembaga keagamaan yang ada dalam masyarakat mengupayakan kegiatan sejenis seperti seminar yang melibatkan berbagai kelompok agama.
Secara historis sosiologis, Indonesia berkembang menjadi wadah bagi masyarakat yang hidup dalam berbagai agama dan budaya. Dalam masyarakat dengan segala kemajemukan tersebut menjadikan kemungkinan timbulnya konflik seringkali muncul. Dalam situasi demikian inilah agama seringkali memunculkan dirinya sebagai faktor konfliktual dalam masyarakat. Tidak mengherankan apabila konflik yang muncul dalam masyarakat, seringkali berawal dari masalah keagamaan.
Konflik keagmaan yang terjadi masih belum bisa menjawab pertanyaan apakah semua konflik sosial selalu berakar dari persoalan teologis, atau karena faktor lain seperti persoalan kesalahan pada manusia (human eror). Dengan mengatakan bahwa konflik antar agama semata-mata karena faktor agama, sama hal nya dengan mengatakan bahwa kerangka teologi agama memberikan peluang munculnya agama. Dan dengan demikian, secara teologis konflik agama justru dapat dibenarkan, sementara setiap agama selalu mengajarkan nilai-nilai luhur yang sangat diperlukan bagi kehidupan manusia, baik yang berhubungan dengan masalah ketuhanan maupun yang berhubungan dengan kehidupan kemanusiaan secara universal.
Ajaran teologis menunjukan bahwa setiap agama mengandung misi suci mengajak seluruh umat manusia mencapai realitas tertinggi (ultimate reality) melalui kesadaran transcendental yang dimiliki. Demikian juga yang berhubungan dengan konteks kemanusiaan setiap agama mengajarkan komitmen kebersamaan (egalitarianisme) dalam hidup dengan keharusan mengesampingkan unsur-unsur primordialisme yang menyelimuti manusia.
Berbagai doktrin diatas menunjukan bahwa setiap agama mempunyai keprihatinan (concern) yang sama dalam menghadapi persoalan kemanusiaan, seperti ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, perdamaian, dan berbagai persoalan kemanusiaan lainya. Oleh karena itu, jika masing-masing pemeluk agama menghayati nilai universal doktrin agama tersebut, mereka tidak akan peduli dengan sekat-sekat formalism dan komunalisme agama ketika ia harus terlibat dengan persoalan kemanusiaan. Dari perspektif teologis dapat dilihat kesamaan nilai universal yang dapat mempertemukan masing-masing agama, tanpa harus melakukan elektifitas, apalagi menganggap semua agama sama dalam pengertian yang mengarah pada relativisasi keabsolutan suatu agama.
Kerukunan antarumat beragama akan tercipta bukan karena kemajemukan agama yang merupakan sunatulloh, dan bukan dikondisikan oleh proses relativisasi dan liberalisasi maupun sekularisasi. Kerukunan demikan akan banyak dikondisikan oleh kualitas pemahaman, penghayatan, dan aktualisasi keberagamaan masing-masing pemeluk agama yang bersangkutan.[16]
3.    Sebab-Sebab Timbulnya Sikap paralelisme dalam kehidupan beragama.
        Sebab-sebab timbulnya sikap paralelisme agama banyak dan beragam, sekaligus kompleks. Namun secara umum dapat diklasifikasikan dalam dua factor utama yaitu faktor internal (ideologis) dan faktor eksternal,yang mana antara faktor yang satu dengan faktor yang lainya saling memperngaruhi dan saling berhubungan erat.


a.    Faktor ideologis
        Keyakinan seseorang yang serba mutlak dan absolute bahwa apa yang diyakini dan diimaninya itu paling benar dan paling superior, adalah alami belaka. Keyakinan akan absolutism dan kemutlakan ini berlaku dalam aqidah, madzab, dan ideologi (baik yang berasal dari wahyu Alloh maupun dari sumber lainnya). Kenyataan (absolutism agama) ini hampir tak satupun yang mempertanyakanya atau mempertangkanya, hingga datangnya era modern di mana faham “relativitas agama” mulai dikenal dan menyebar secara luas dikalangan para pemikir dan intelektual, khususnya pada dekade-dekade terakhir abad ke 20.
       Dalam konteks idologis ini, umat manusia terbagi menjadi dua bagian, yang pertama mereka yang beriman dengan penuh terhadap wahyu langit dan samawi, sedangkan kelompok yang kedua mereka yang tidak beriman kecuali dengan kemampuan akal saja (rasionalis). Perbedaan cara pandang dalam beriman dan beragama secara otomatis akan mengantarkan pada perbedaan dan pertentangan disetiap masalah dalam menentukan kebenaran yang mutlak. Sebab, keimanan adalah pokok seluruh permasalahan. Mereka yang beriman kepada wahyu samawi adalah mereka yang beriman terhadap esensi wujud yang gaib, metafisik atau kekuatan yang paling tinggi di atas segalanya atau kekuatan transendental yang ada dibalik kekuatan alam. Adapun kelompok yang kedua dari manusia adalah mereka yang sama sekali mengimani itu semua. Kelompok pertama, terjebak dalam perbedaan pendapat yang tak mungkin dikompromikan sama sekali dalam menentukan siapa/apa zat yang gaib itu, baik dalam aspek bilangan, substansi, maupun eksistensinya.
b.    Faktor eksternal
       Disamping faktor-faktor internal tersebut diatas, terdapat juga dua faktot eksternal yang kuat dan mempunyai peran kunci dalam menciptakan iklim yang kondusif dan lahan yang subur bagi tumbuh berkembangnya sikap paralelisme agama. Kedua faktor tersebut adalah faktor sosio-politis dan faktor ilmiyah. Faktor sosio politis adalah faktor yang mendorong munculnya sikap pluralisme agama yaitu berkembangnya wacana-wacana sosio-politis, demokrasi, dan nasionalisme yang telah melahirkan sistem Negara-bangsa. Dan kemudian mengarah pada apa yang dewasa ini dikenal dengan “globalisasi” yang merupakan hasil praktis dari sebuah proses sosial dan politis yang berlangsung selama kurang lebih tiga abad. Sedangkan faktor ilmiyah adalah  suatu faktor keilmuwan yang mengarah pada gerakan-gerakan kajian ilmiyah modern terhadap agama-agama. Dalam hal ini terjadi maraknya studi-studi ilmiyah  modern terhadap agama-agama dunia, atau yang sering dikenal dengan studi Perbandingan Agama.[17]
4.    Sikap paralelisme dapat menjadi titik temu agama-agama.
         Titik temu agama-agama dalam sikap paralelisme menurut gagasan Schuon dikenal dengan duaa konsep yaitu konsep eksoterisme dan konse Esoterisme, penjelasan mengenai konsep tersebut adalah:
a.    Konsep eksoterisme
       Dalam pandangan Schuon, eksoterisme adalah aspek eksternal, formal, hokum, dogmatis, ritual, etika, dan moral sebuah agama. Eksoteris berada sepenuhnya di dalam maya, kosmos yang tercipta. Dalam pandangan eksoteris, Tuhan dipersepsikan sebagai Pencipta dan dan Pembuat hokum bukan Tuhan sebagai Esensi karena eksoterisme berada di dalam maya, yang relative dalam hubunganya dengan Atma. Pandangan eksoteris bermakna pandangan yang ekslusif, absolute, dan total, sekalipun dari sudut pandang intelek adalah relatife .
        Menurut Schuon, pandangan eksoteris bukan saja benar dan sah bahkan juga keharusan mutlak bagi keselamatan (salvation) individu. Meskipun demikian kebenaran eksoteris adalah relatife.  Inti dari Eksoteris adalah kepercayaan kepada “Huruf” sebuah dogma eksklusifistik (formalistic) dan kepatuhan terhadap hokum ritual dan moral. Selain itu, eksoterisme tidak akan pernah muncul melampaui individu. Eksoterisme bukan muncul dari esoterisme, namun muncul dari Tuhan.
       Schuon menyadari jika masing-masing “Form” agama meyakini bahwa suatu “form” itu lebih hebat dibanding dengan “Form” yang lain. Pemikiran seperti itu menurut Schuon sangat wajar. Perpindahan agama terjadi justru karena adanya superioritas sebuah “Form” terhadap yang lain. Namun superioritas tersebut sebenarnya relatife.
       Pendapat Schuon mengenai eksoterisme masih perlu dipertanyakan. Sebab pengaruh dari sikap eksoterisme seperti itu adalah bahwa di dalam sesuatu agama tidak boleh ada truth claim, karena banyak jalan menuju keselamatan. Masing-masing agama adalah benar karena setiap “form” adalah relative dan terbatas. Jika logika Schuon diikuti maka agama tidak akan ada yang sempurna karena relativitas dan keterbatasan “form” nya. Implikasi lebih jauh lagi agama-agama yang relative itu tidak dapat sempurna kecuali dengan eksistensi agama yang lain.
        Ini jelas pendapat yang salah dan tidak dapat diaplikasikan terhadap Islam. Sebab risalah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW mampu eksis dan menjalankan fungsinya tanpa agama lain. Kesempurnaan Islam tidak tergantung pada eksistensi agama-agama sebelumnya, yang dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami banyak perubahan. Islam justru meluruskan penyimpangan yang dilakukan oleh agama-agama yang lain tersebut.


b.    Konsep Esoterisme
      Esoteris adalah aspek metafisis dan dimensi internal agama. Tanpa esoterisme, agama akan teredusir menjadi sekedar aspek-aspek eksternal dan dogmatis-formalistik. Esoterisme dan eksoterisme saling melengkapi. Esoterisme bagaikan “jiwa” dan eksoteris bagaikan “raga” agama. Kehidupan agama yang eksoteris ada pada dunia bentuk, namun ia bersumber dari esensi yang tak berbentuk yang esoteris. Dimensi esoteric agama-agama itu berada diatas dimensi esoteris dan pada dimensi esoterisn itulah menurut schuon terdapat titik temu agama-agama.
       Melalui Esoterisme, manusia akan menemukan dirinya yang benar. Alasanya karena pandangan Esoteris akan mengesampingkan ego manusia dan menggantinya dengan ego yang diwarnai dengan nilai-nilai ketuhanan. Eksoterisme terbatas pada individu sementara esoterisme menembus simbol-simbol eksoterisme. Jadi esoterisme itu terkait secara inheren dengan eksoterisme mandiri dari aspek eksternal, bentuk, formal agama. Kemandirian tersebut karena esensi dari esoterisme adalah kebenaran total. Kebenaran yang tidak terbatas dan teredusir kepada eksoterisme, yang memiliki keterbatasan itu.
       Dalam membangun dikotomi esoteris-eksoteris Schuon mencari pembenaran dari ajaran tasawuf. Menurutnya, para sufi itu mengekspresikan pandangan metafisika mereka dengan benar, indah, dan baik. Esensi dan hakekat pandangan metafisika tasawuf yang diambil yang diambil Schuon adalah konsep Wahdatul Wujud.[18]





BAB III
KESIMPULAN
         Dari pembahasan makalah diatas dapat disimpulkan bahwa paralelisme adalah suatu sikap yang menganggap bahwa semua agama yang berbeda itu sesunggunhnya mempunyai kesejajaran untuk bertemu pada akhirnya, yang akhirnya antar agama yang berbeda tersebut akan dapat melakukan dialog, sehingga dapat hidup berdampingan secara damai dan bertoleransi tanpa adanya adanya konflik, karena pada dasarnya pluralism juga merupakan suatu kenyataan sosiologis yang tidak dapat dihindari, ia merupakan sunatulloh, sebagai kenyataan yang telah menjadi kehendak dari Tuhan.
            Sikap paralelisme juga merupakan suatu sikap bagaimana suatu sikap itu memandang, melihat keragamaan dalam agama-agama yang melihat bahwa ada satu agama yang benar atau semua agama benar, akan tetapi sikap ini tidak mengajarkan seseorang yangh beragama untuk bersikap fanatik terhadap agama yang dianutnya sehingga mengganggap bahwa agama yang dianutnya itu benar dan agama lain salah, karena sikap ini mengajarkan bahwa agama-agama yang berbeda itu sesungguhnya berada dalam kesejajaran.




DAFTAR PUSTAKA

Artikel ini pernah dimuat dalam Ulul Albab Jurnal Studi Islam-UIN Maliki             Malang, Edisi Vol. 8, No. 1 tahun 2007.
Coward, Harold Pluralisme : Tantangan Bagi Agama-Agama, (terj. Bosco             Carvalloa). Yogyakarta : Kanisius. 1985.
Legenhausen, Muhammad.  Pluralitas dan Pluralisme Agama. Jakarta : Shadra Press.        2010.
Pannikar, Raimundo.  Dialog Intra Religius. Yogyakarta : Kanisius, 1994.
_______.The Intrareligious Dialogue. New York : Paulist Press, 1978.
Rahman, Budhy Munawar. Islam Pluralis:  Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta: Paramadina. 2001.
Riyanto, Armada. Dialog Interreligius. Yogyakarta : Kanisius, 2010.
Thoha, Anis Malik. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Jakarta: Perpektif.     2005.
Tobroni. Islam, Pluralisme Budaya dan Politik: Refleksi Teologi untuk Aksi dalam keberagamaan dan Pendidikan. Yogyakarta: Sipress. 1994.
Zarkasyi, Hamid Fahmi dkk. Pluralisme Agama: Telaah Kritis Cendekiawan Muslim.        Jakarta: Insist. 2013





[1] Raimundo Pannikar, Dialog Intra Religius, (Yogyakarta : Kanisius, 1994), hlm. 18-23.

[2] Armada Riyanto, Dialog Interreligius, (Yogyakarta : Kanisius, 2010), hlm. 238.
                [3] Artikel ini pernah dimuat dalam  ”Ulul Albab”Jurnal Studi Islam-UIN Maliki Malang, Edisi Vol. 8, No. 1 tahun 2007.
[4] Raimundo Pannikar, Dialog Intra Religius, (Yogyakarta : Kanisius, 1994), hlm. 18-23.
[5] Muhammad Legenhausen, Pluralitas dan Pluralisme Agama, (Jakarta : Shadra Press, 2010), cet I, hlm. 5. Dan lihat dalam Komarudin Hidayat, hlm. 119.
[6] Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis:  Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm. 19.
[7] Ibid, hlm. 48.
[8] Raimundo Pannikar, Dialog Intra Religius, (Yogyakarta : Kanisius, 1994), hlm. 23.
[9] Ibid, hlm. 23.
[10] Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis:  Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm. 49.
[11] Raimundo Pannikar, Dialog Intra Religius, (Yogyakarta : Kanisius, 1994), hlm. 24-26.
[12] Raimundo Pannikar, The Intrareligious Dialogue, (New York : Paulist Press, 1978), hlm. Xiii-xix.
[13] Mengenai pertemuan antarumat beragama, Pannikar menyebut ada tiga macam. Model pertama disebutnya sebagai model fisik atau model pelangi. Dikatakan model pelangi, sebab pertemuan antarumat beragama itu membentuk formasi pelangi, berjejer satu dengan yang lain, indah. Model kedua disebut model geometris atau invariant topologis. Pada pertemuan model kedua ini agama-agama berinteraksi, saling mempengaruhi. Model ketiga disebutnya sebagai model antropologis dalam bahasa-bahasa. Maksudnya pertemuan itu terwujud dalam peretemuan manusia-manusia yang berkomunikasi satu sama lain. Ibid. hlm. Xix-xvii. Pannilkar juga menjelaskan apa yang dimaksud sesungguhnya dengan pertemuan antarumat beragama. Menurutnya pertemuan antarumat beragama yang sesungguhnya ialah 1). Harus terhindar dari sikap-sikap apologetic baik itu sifatnya khusus maupun umum, 2). Para partisipan mesti terbuka terhadap aneka tantangan pertobatan, 3). Menegaskan dimensi historis perlu, tapi tidak cukup, 4). Tidak boleh sekedar merupakan symposium filsafat atau teologi, 5). Tidak hanya merupakan upaya sepihak, misalnya dari Gereja, 6). Dan melainkan harus merupakan suatu pertemuan religious dalam iman dan harapan serta cinta kasih. Ibid, hlm. 31-35.
[14] Harold Coward, Pluralisme : Tantangan Bagi Agama-Agama, (terj. Bosco Carvalloa), (Yogyakarta : Kanisius, 1985), hlm. 31-51.
[15] Armada Riyanto, Dialog Interreligius, (Yogyakarta : Kanisius, 2010), hlm. 240-241.
                [16] Tobroni, Islam, Pluralisme Budaya dan Politik: Refleksi Teologi untuk Aksi dalam        keberagamaan dan Pendidikan, (Yogyakarta: Sipress, 1994), hlm. 24-28.

                [17] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perpektif.            2005), hlm. 24-25, 40-43.
                [18] Hamid Fahmi Zarkasyi, dkk, Pluralisme Agama: Telaah Kritis Cendekiawan                 Muslim, (Jakarta: Insist, 2013), hlm.14-16.

Makna Tahlilan

  PROSESI DAN MAKNA TAHLILAN DI DESA KLORON PLERET BANTUL SETIONO    A.    Latar Belakang Tahlilan sangat erat sekali kaitannya de...