Jumat, 30 September 2016

ISLAM DI JAWA



ZAMAN ISLAM DI JAWA
OLEH:
 SETIONO
 
            Islam berkembang di jawa begitu banyak tersebar di seluruh nusantara. Bahkan Islam berkembang yang kita ketahui, bahwa Islam awal mulanya muncul melalui perdagangan yang dibawa oleh orang-orang dari Gujarat. Dari hal tersebut, mulailah adanya kebudayaan islam. Kebudayaan islam itu sendiri ada dua ciri yang cukup moderat yaitu bernafaskan tauhid dan hasil buah pikiran (dan pengelolahannya untuk kesejahteraan umat manusia).
            Berbicara tentang zaman Islam di Jawa, sangat menarik. Karena Islam di Jawa cukup unik, sebab Islam di Jawa dipengaruhi dua kebudayaan yaitu kebudayaan Hindhu dan Budha. Sehingga Islam di Jawa sangat kental dengan tradisi ataupun adat yang telah ada sejak dulu sebelum Islam masuk ke Pulau Jawa. Islam di Jawa mulai berkembang dengan adanya kerajaan-kerajaan Islam yang muncul dan dengan datangnya para wali sanga serta sultan-sultan yang menganut Islam. Bukti adanya Islam telah ada yaitu dengan adanya batu nisan raja-raja yang menganut Islam. Walaupun hal itu sebagai awal diperkirakannya awal mula adanya Islam masuk ke Indonesia, akan tetapi hal itu masih adanya simpang siur. Ada yang mengirakan Islam muncul pada masa itu ataupun sebelumnya. Islam mulai lebih dikenal dengan adanya sastra Melayu yang awal munculnya menjadi peradaban Islam di Indonesia (abad 16 dan 17 M). Dengan hal itu mengakibatkan munculnya sastra Islam, dimana Islam dan Melayu kemudian menjadi dwitunggal yang tidak dapat dipisahkan. Islam mulai diterima di daerah-daerah pesisir dengan penuh kegairahan oleh masyarakat. Sebenarnya pada saat itu banyak guru-guru tarekat yang menjadi penyebar agama bahkan ada faktor politik ataupun persaingan. Akan tetapi bagi kalangan pesantren agamalah yang menjadi prioritas utama, sedangkan kekuasaan politik tabir penghalang.
            Ketika membahas tentang sastra, budaya Islam, dan kejawen itu akan menghasilkan suatu interaksi yang dapat melahairkan pemahaman. Pemahaman itu bahwa dalam suatu sastra Jawa Pesantrenan, bahasa dan sastra Jawa dijadikan sebagai suatu wadah untuk memperkenalkan ajaran-ajaran Islam. Sedangkan dalam sastra Islam-Kejawen unsure-unsur sufisme dan ajaran budi luhurnya diserap oleh sastrawan Jawa untuk mengislamkan  warisan sastra Jawa pada masa Hindhu. Dari hal itu bisa membawa Islam lebih maju dan berkembang pesat, karena dengan adanya keterbukaan terhadap unsure-unsur dinamis kebudayaan Barat. Akan tetapi hal itu bisa berhasil, jika umat Islam lebih pandai dalam berpikir secara ilmiah. Sehingga dapat diperkirakan Islam yang datang ke Indonesia memiliki corak sufistik. Bahwasannya alam pikiran sufisme dengan paham ruh aktifnya selaras dengan alam pikiran animism-dinamisme. Maka dari itu, agama Islam disambut sebagai penyempurna warisan budaya mereka. Apalagi dengan adanya mitos wali-wali, tentu memperoleh sambutan hangat dikalangan masyarakat pesisir maupun pedesaan. Perlu di ingat bahwa penyebaran agama Islam melalui dakwah dan pendidikan bergerak perlahan dari daerah-daerah pesisir maupun pedesaan. Dengan dakwalah Islam di Jawa berkembang sangat cepat, di karenakan dalam Islam tidak ada paksaan. Seperti halnya, dakwah yang dibawakan oleh Sunan Kalijaga dengan penuh keselarasan, mudah diterima, dan menyesuaikan keadaan ataupun kebudayaan (tradisi) pada masyarakat setempat. Serta meluruskan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Demikian pula dongeng tentang Wali Sanga menurut hipotesis G.W.J Drewes adalah merupakan kecerdikan para sastrawan Jawa dalam membungkus kepercayaan Jawata Sanga dengan kemasan Islam. Maka, pergulatan budaya intelektual antara Islam dan budaya Jawa sangatlah rumit. Karena mereka masih sibuk mencerna budaya Islam Timur Tengah melalui kitab-kitab berbahasa Arab. Maksudnya para kyai hanya menggunakan buku-buku yang berbasis bahasa Arab dalam mengajarkannya kepada santrinya. Sehingga mereka kurang mampu mengolah ajaran tersebut.
            Penyebaran agama Islam yang pada mulanya terpusatkan di daerah-daerah pesisir, akhirnya mendapat sambutan positif dari para kepala daerah. Sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada sangka politik, karena umat Islam sudah terbiasa diperintah oleh raja-raja yang beragama Islam. Mungkin politik itu ada, akan tetapi politik tidak di utamakan dimasa itu. Karena pada saat itu Islam hanya ingin menyejahterahkan umat dan meluruskan aqidah.
            Islam berkembang  di Indonesia melalu perdagangan, bukan melalui penaklukan. Hubungan perdagangan ini semula merupakan tulang punggung bagi penyebaran Islam di kepulauan Nusantara, termasuk di Jawa. Sejak abad ke-16 perdangan ini direbut oleh orang barat atau kolonial barat yang beragama Kristen. Dengan hal itu Islam menjadi suatu symbol nasionalisme yang religius. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam di Jawa berkembang dengan adanya perdagangan bukan penaklukan. Islam di Jawa berkembang juga melalui dakwahnya para wali sanga, dengan tanpa adanya paksaan. Begitu pula Islam di Jawa masih benyak yang memiliki pemahaman tentang animisme dan dinamisme. Sehingga tradisi di Jawa tetap selalu hidup dalam lingkungan masyarakat. Sebab semua hal itu dipengaruhi adanya kebudayaan atau warisan dari Hindhu dan Budha. Islam di Jawa juga diterima dengan penuh kegairahan oleh masyarakat, sehingga Islam di Jawa penuh keunikan. Karena ada faktor politik, sosial, serta tradisi ataupun warisan dari budaya yang telah ada sebelumnya.

Islam dan Kemajemukan Umat



ISLAM, NEGARA DAN KEMAJEMUKAN UMAT
Oleh:
SETIONO

            Islam merupakan suatu agama yang sangat progresif dalam perkembangan ataupun penyebarannya, bahkan Islam sendiri mudah menerima kebudayaan baru dengan cara memfilter hal-hal yang positif. Islam juga suatu hal yang unik dalam perjalanannya dan penyebarannya, karena Islam mampu membentuk suatu kebudayaan yang dapat melahirkan suatu demokrasi yang dapat diterima oleh masyarakat. Islam sangat toleran dalam hal-hal agama dan demokrasi, sebab Islam telah mampu menggabungkan atau memasukan nilai-nilai agama dalam suatu kebudayaan. Ketika Islam mampu melahirkan suatu kebudayaan yang mampu diaktualisasikan, maka pada saat itu juga telah muncul nilai-nilai religius dan nilai-nilai demokrasi pada tubuh Islam itu sendiri.
            Agama itu sendiri suatu hal yang mampu memberikan daya dorong perubahan sosial secara demokratik. Karena agama tidak hanya sebagai pandangan hidup manusia saja, akan tetapi agama juga merupakan sarana manusia untuk menciptakan kedamaian serta mampu mengemukakan pendapatnya secara demokratis. Bahkan menurut Imam Aziz, 1993 : “Agama diposisikan sebagai landasan satu-satunya bagi pembentukan masyarakat dan pemecahan krisis kemanusiaan secara umum”. Bahkan agama sendiri berada dalam posisi yang kontroversial. Di satu sisi, agama diharapkan mampu mendorong lahirnya sikap-sikap inklusif dalam proses demokrasi dan demokratisasi. Di sisi lain, agama justru menjadi kendala serius bagi munculnya sikap inklusif itu, ketika ia mementingkan dirinya sendiri dalam bentuk symbol-simbol dan pelembagaan agama yang kaku. Sehingga hal tersebut seringkali sulit untuk dihindari, mengingat setiap orang dalam memeluk agama bukanlah sekedar persoalan individual, tetapi sangat terkait dengan dimensi sosiokultural tertentu.
            Agama sangat berhubungan erat dengan pelembagaan, struktur sosial dan proses perubahan sosial. Hubungan itu dapat bermakna fungsional yang positif ataupun disfungsional yang negatif, tetapi seringkali samar-samar. Demokrasi dalam agama merupakan persoalan yang rumit dalam tradisi Islam. Persoalannya bermula dari hubungan agama dan Negara yang tidak tuntas dalam Islam. Karena pemerintahan yang tidak berasal dari rakyat disebut pemerintahan yang tidak mempunyai legitimasi. Pemerintahan yang tidak dijalankan oleh rakyat disebut pemerintahan otoriter. Pemerintahan yang dijalankan tidak untuk rakyat adalah suatu pemerintahan yang korup. Dari ketiga hal tersebut, kita dapat menguji, apakah pemerintahan bisa disebut demokratis atau tidak.
            Sejumlah gerakan religius berhasil meraih sukses, sekalipun pendukung-pendukungnya yang ekstrem telah ditumpas, ketika gagasan-gagasan mereka diasimilasi ke dalam ideologi politik Negara. Yang ditemukan oleh Juergensmeyer menegaskan bahwa ideologi agama formal yang diramalkan sebagai tidak memiliki masa depan itu ternyata semakin menunjukkan kekuatannya. Oleh karena itu, sulit diterima analisis yang menyatakan bahwa keberadaan organized religion akan ditinggalkan orang. Kebangkitan agama-agama formal semakin menguat, yang dalam batas-batas tertentu berpadu secara simbiotik dengan semangat etnisitas.
            Dari uraian diatas sehingga dapat disimpulkan bahwa agama memiliki dua sisi yaitu positif dan negatif. Agama juga mampu mendorong untuk merubah suatu hal yang baru dan bahkan kaitannya sangat erat dengan kehidupan masyarakat atau sosial masyarakat. Bahkan agama itu sendiri mampu melahirkan kebudayaan yang dapat diaktualisasikan oleh masyarakan sehingga membentuk suatu demokrasi. Dengan demikian agama mampu bangkit dan menunjukkan kekuatan-kekuatan positif yang mampu membangun suatu demokrasi dan demokratisasi. Sehingga agama mampu saling membaur dengan kehidupan masyarakat dan Negara.

Hadits Niat dan Penjelasannya



 Oleh: SETIONO

NIAT

عَنْ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا لإِمْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٌ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Dari ‘Umar bin al-Khaththāb dia menjelaskan bahwa dia mendengar Rasulullah  bersabda:
“Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena urusan dunia yang ingin digapainya atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkannya tersebut” (HR. al-Bukhāriy dan Muslim)

           Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhāriy, Muslim, Ashhāb al-Sunan dan lainnya. Diriwayatkan secara tafarrud (sendiri, berarti hadits ahad) secara bersambung dari ‘Umar adalah ‘Alqamah bin Abi Waqqāsh, kemudian oleh Muhammad bin Ibrāhim al-Taymiy, kemudian oleh Yahya bin Sa’id al-Anshāriy, kemudian setelahnya diriwayatkan oleh banyak perawi. Hadits ini termasuk hadits yang sangat mengagumkan yang tercantum dalam Shahih al-Bukhari sekaligus sebagai hadits pertama yang tercantum.
         Al Hafizh Ibnu Rajab al Hanbali rahimahullah berkata, “Para ulama telah sepakat atas keshahihan dan diterimanya hadits ini. Dan al Bukhari pun memulai kitab Shahih-nya dengan hadits ini, dan memposisikannya sebagai khuthbah (muqaddimah)nya. Hal ini sebagai isyarat dari beliau bahwa setiap amalan (apapun) yang tidak diperuntukkan (dalam mengamalkannya) karena wajah Allah, maka amalan tersebut bathil, tidak menghasilkan suatu apapun, baik di dunia maupun di akhirat”.[1]
Imam Nawawi berkata: niat adalah “al-qhosdu” yaitu keinginan yang sangat kuat dari hati.[2]
Menurut Ulama’ Fiqih: niat adalah “qhosdu as-syai’i muqtaronan bifi’lihi” yaitu bermaksud terhadap sesuatu bersamaan dengan pekerjaannya.[3]
         Asbabul Wurud:
         Ibnu Daqiq Al-‘Id berkata: para ulama’ mengutip bahwasanya seorang laki-laki yang hijrah dari makah ke madinah tidak ingin keutamaan hijrah, hanya saja dia ingin mengawini seorang wanita bernama Ummu Qays, oleh karena itu dalam hadist ini ada sebutan khusus wanita, tanpa apa semua yang menjadi niat.[4]

     Komentar para imam/muhaditsin  atas hadist tentang niat:
1.      Abu Abdillah mengatakan bahwa tiada dalam hadist-hadist nabi sesuatu yang lebih lengkap, lebih kaya dan lebih banyak dari pada hadist ini.
2.       Abdurrahman ibnu Mahdi dan Imam Syafi’i sepakat dengan apa yang dinukil oleh Al-Buwaithi, Ahmad ibnu Hambal, Ali ibnu Al-Madini, Abu Dawud, At-Turmudzi, Ad-Daruquthni dan Hamzah Al-Kinani: bahwa hadist itu adalah sepertiga Islam, dan sebagian mereka mengatakan bahwa hadist itu seperempat Islam. Ibnu Mahdi juga berkata : hadist itu masuk dalam tiga puluh bab ilmu pengetahuan. Imam Syafi’i berkata: hadist itu masuk dalam tujuh puluh bab. Abdurrahman ibnu Mahdi juga berkata: hadist ini patut/pantas dijadikan induk setiap bab. Imam Baihaqi mengemukakan bahwa hadist itu adalah sepertiga ilmu, itu karena pekerjaan seseorang itu terjadi dengan hati, lisan, dan raga.[5]

Penjelasan (syarah) hadist:
Hadits ini adalah salah satu dalil dari kaidah yang sangat agung dan bermanfaat yang berbunyi “Al-Umuru bimaqoshidiha” (Setiap perkara tergantung dengan maksudnya). Berkata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah dalam Manzhumahnya : “Niat adalah syarat bagi seluruh amalan, pada niatlah benar atau rusaknya amalan”

            Niat memiliki 3 fungsi:
1.      Jika niat berkaitan dengan sasaran suatu amal (ma’bud), maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan antara amal ibadah dengan amal kebiasaan.
2.      Jika niat berkaitan dengan amal itu sendiri (ibadah), maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan antara satu amal ibadah dengan amal ibadah yang lainnya.
3.      Niat Merupakan pembeda antara ibadah dengan adat. Sebagai contoh mandi dapat dilakukan untuk menghilangkan hadats, tetapi mandi juga dapat dilakukan sebagai kebiasaan

          Menurut Hasbi AS-Shidiqi, niat itu terbagi 3 (tiga), yaitu :
1.      Niat ibadah, yaitu menghinakan diri tunduk secara sangat sempurna, untuk menyatakan ketundukan serta kehinaan.
2.      Niat ta’at, yaitu melaksanakan apa yang Allah kehendaki.
3.      Niat qurbah, yaitu melaksanakan ibadah dengan maksud memperoleh pahala.[6]



          Kesimpulan
                Niat itu termasuk bagian dari iman karena niat termasuk amalan hati. Wajib bagi seorang muslim mengetahui hukum suatu amalan sebelum ia melakukan amalan tersebut, apakah amalan itu disyariatkan atau tidak, apakah hukumnya wajib atau sunnah. Karena di dalam hadits ditunjukkan bahwasanya amalan itu bisa tertolak apabila luput darinya niatan yang disyariatkan. Disyaratkannya niat dalam amalan-amalan ketaatan dan harus dita`yin (ditentukan) yakni bila seseorang ingin shalat maka ia harus menentukan dalam niatnya shalat apa yang akan ia kerjakan apakah shalat sunnah atau shalat wajib, dhuhur, atau ashar, dst. Bila ingin puasa maka ia harus menentukan apakah puasanya itu puasa sunnah, puasa qadha atau yang lainnya. Amal tergantung dari niat, tentang sah tidaknya, sempurna atau kurangnya, taat atau maksiat. Seseorang mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan namun perlu diingat niat yang baik tidaklah merubah perkara mungkar (kejelekan) itu menjadi ma’ruf (kebaikan), dan tidak menjadikan yang bid`ah menjadi sunnah.



[1] Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam, halaman 20
[2] fathul bari, bab kitab bad’il wahyi, juz1, hal 13
[3] fathul qorib al-majid, hal
[4] fathul bari, bab kitab bad’il wahyi, juz1, hal 10
[5] Ibid, hal 11
[6] ibid

Makna Tahlilan

  PROSESI DAN MAKNA TAHLILAN DI DESA KLORON PLERET BANTUL SETIONO    A.    Latar Belakang Tahlilan sangat erat sekali kaitannya de...