Oleh: SETIONO
NIAT
عَنْ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا
لإِمْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ
فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا
يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٌ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ
إِلَيْهِ
Dari ‘Umar bin al-Khaththāb dia menjelaskan bahwa dia mendengar
Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya. Dan
sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) sesuai dengan niatnya. Barangsiapa
yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan
Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena urusan dunia yang ingin digapainya
atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan
apa yang diniatkannya tersebut” (HR. al-Bukhāriy
dan Muslim)
Hadits ini diriwayatkan
oleh al-Bukhāriy, Muslim, Ashhāb al-Sunan dan lainnya. Diriwayatkan
secara tafarrud (sendiri, berarti hadits ahad) secara bersambung dari
‘Umar adalah ‘Alqamah bin Abi Waqqāsh, kemudian oleh Muhammad bin
Ibrāhim al-Taymiy, kemudian oleh Yahya bin Sa’id al-Anshāriy, kemudian
setelahnya diriwayatkan oleh banyak perawi. Hadits ini termasuk hadits yang
sangat mengagumkan yang tercantum dalam Shahih al-Bukhari sekaligus sebagai
hadits pertama yang tercantum.
Al Hafizh Ibnu Rajab al Hanbali rahimahullah berkata, “Para ulama
telah sepakat atas keshahihan dan diterimanya hadits
ini. Dan al Bukhari pun memulai kitab Shahih-nya dengan hadits ini, dan
memposisikannya sebagai khuthbah (muqaddimah)nya.
Hal ini sebagai isyarat dari beliau bahwa setiap amalan (apapun) yang tidak
diperuntukkan (dalam mengamalkannya) karena wajah Allah, maka amalan tersebut bathil,
tidak menghasilkan suatu apapun, baik di dunia maupun di akhirat”.[1]
Imam
Nawawi berkata: niat adalah “al-qhosdu” yaitu keinginan yang sangat kuat dari
hati.[2]
Menurut
Ulama’ Fiqih: niat adalah “qhosdu as-syai’i muqtaronan bifi’lihi” yaitu
bermaksud terhadap sesuatu bersamaan dengan pekerjaannya.[3]
Asbabul Wurud:
Ibnu Daqiq Al-‘Id
berkata: para ulama’ mengutip bahwasanya seorang laki-laki yang hijrah dari
makah ke madinah tidak ingin keutamaan hijrah, hanya saja dia ingin mengawini
seorang wanita bernama Ummu Qays, oleh karena itu dalam hadist ini ada sebutan
khusus wanita, tanpa apa semua yang menjadi niat.[4]
Komentar
para imam/muhaditsin atas hadist tentang
niat:
1. Abu
Abdillah mengatakan bahwa tiada dalam hadist-hadist nabi sesuatu yang lebih
lengkap, lebih kaya dan lebih banyak dari pada hadist ini.
2.
Abdurrahman ibnu Mahdi
dan Imam Syafi’i sepakat dengan apa yang dinukil oleh Al-Buwaithi, Ahmad ibnu
Hambal, Ali ibnu Al-Madini, Abu Dawud, At-Turmudzi, Ad-Daruquthni dan Hamzah
Al-Kinani: bahwa hadist itu adalah sepertiga Islam, dan sebagian mereka
mengatakan bahwa hadist itu seperempat Islam. Ibnu Mahdi juga berkata : hadist
itu masuk dalam tiga puluh bab ilmu pengetahuan. Imam Syafi’i berkata: hadist
itu masuk dalam tujuh puluh bab. Abdurrahman ibnu Mahdi juga berkata: hadist
ini patut/pantas dijadikan induk setiap bab. Imam Baihaqi mengemukakan bahwa
hadist itu adalah sepertiga ilmu, itu karena pekerjaan seseorang itu terjadi
dengan hati, lisan, dan raga.[5]
Penjelasan (syarah) hadist:
Hadits
ini adalah salah satu dalil dari kaidah yang sangat agung dan bermanfaat yang
berbunyi “Al-Umuru bimaqoshidiha” (Setiap perkara tergantung dengan maksudnya).
Berkata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah dalam
Manzhumahnya : “Niat adalah
syarat bagi seluruh amalan, pada niatlah benar atau rusaknya amalan”
Niat
memiliki 3 fungsi:
1.
Jika niat berkaitan dengan sasaran suatu amal
(ma’bud), maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan antara amal ibadah
dengan amal kebiasaan.
2.
Jika niat berkaitan dengan amal itu sendiri (ibadah),
maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan antara satu amal ibadah dengan
amal ibadah yang lainnya.
3.
Niat Merupakan pembeda antara ibadah dengan adat.
Sebagai contoh mandi dapat dilakukan untuk menghilangkan hadats, tetapi mandi
juga dapat dilakukan sebagai kebiasaan
Menurut
Hasbi AS-Shidiqi, niat itu terbagi 3 (tiga), yaitu :
1.
Niat ibadah, yaitu menghinakan diri tunduk secara
sangat sempurna, untuk menyatakan ketundukan serta kehinaan.
2.
Niat ta’at, yaitu melaksanakan apa yang Allah
kehendaki.
3.
Niat qurbah, yaitu melaksanakan ibadah dengan maksud
memperoleh pahala.[6]
Kesimpulan
Niat itu termasuk bagian dari iman
karena niat termasuk amalan hati. Wajib bagi seorang muslim mengetahui hukum
suatu amalan sebelum ia melakukan amalan tersebut, apakah amalan itu
disyariatkan atau tidak, apakah hukumnya wajib atau sunnah. Karena di dalam
hadits ditunjukkan bahwasanya amalan itu bisa tertolak apabila luput darinya
niatan yang disyariatkan. Disyaratkannya niat dalam amalan-amalan ketaatan dan
harus dita`yin (ditentukan) yakni bila seseorang ingin shalat maka ia harus
menentukan dalam niatnya shalat apa yang akan ia kerjakan apakah shalat sunnah
atau shalat wajib, dhuhur, atau ashar, dst. Bila ingin puasa maka ia harus
menentukan apakah puasanya itu puasa sunnah, puasa qadha atau yang lainnya. Amal
tergantung dari niat, tentang sah tidaknya, sempurna atau kurangnya, taat atau
maksiat. Seseorang mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan namun perlu
diingat niat yang baik tidaklah merubah perkara mungkar (kejelekan) itu menjadi
ma’ruf (kebaikan), dan tidak menjadikan yang bid`ah menjadi sunnah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar