Jumat, 30 September 2016

Hadits Niat dan Penjelasannya



 Oleh: SETIONO

NIAT

عَنْ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا لإِمْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٌ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Dari ‘Umar bin al-Khaththāb dia menjelaskan bahwa dia mendengar Rasulullah  bersabda:
“Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena urusan dunia yang ingin digapainya atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkannya tersebut” (HR. al-Bukhāriy dan Muslim)

           Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhāriy, Muslim, Ashhāb al-Sunan dan lainnya. Diriwayatkan secara tafarrud (sendiri, berarti hadits ahad) secara bersambung dari ‘Umar adalah ‘Alqamah bin Abi Waqqāsh, kemudian oleh Muhammad bin Ibrāhim al-Taymiy, kemudian oleh Yahya bin Sa’id al-Anshāriy, kemudian setelahnya diriwayatkan oleh banyak perawi. Hadits ini termasuk hadits yang sangat mengagumkan yang tercantum dalam Shahih al-Bukhari sekaligus sebagai hadits pertama yang tercantum.
         Al Hafizh Ibnu Rajab al Hanbali rahimahullah berkata, “Para ulama telah sepakat atas keshahihan dan diterimanya hadits ini. Dan al Bukhari pun memulai kitab Shahih-nya dengan hadits ini, dan memposisikannya sebagai khuthbah (muqaddimah)nya. Hal ini sebagai isyarat dari beliau bahwa setiap amalan (apapun) yang tidak diperuntukkan (dalam mengamalkannya) karena wajah Allah, maka amalan tersebut bathil, tidak menghasilkan suatu apapun, baik di dunia maupun di akhirat”.[1]
Imam Nawawi berkata: niat adalah “al-qhosdu” yaitu keinginan yang sangat kuat dari hati.[2]
Menurut Ulama’ Fiqih: niat adalah “qhosdu as-syai’i muqtaronan bifi’lihi” yaitu bermaksud terhadap sesuatu bersamaan dengan pekerjaannya.[3]
         Asbabul Wurud:
         Ibnu Daqiq Al-‘Id berkata: para ulama’ mengutip bahwasanya seorang laki-laki yang hijrah dari makah ke madinah tidak ingin keutamaan hijrah, hanya saja dia ingin mengawini seorang wanita bernama Ummu Qays, oleh karena itu dalam hadist ini ada sebutan khusus wanita, tanpa apa semua yang menjadi niat.[4]

     Komentar para imam/muhaditsin  atas hadist tentang niat:
1.      Abu Abdillah mengatakan bahwa tiada dalam hadist-hadist nabi sesuatu yang lebih lengkap, lebih kaya dan lebih banyak dari pada hadist ini.
2.       Abdurrahman ibnu Mahdi dan Imam Syafi’i sepakat dengan apa yang dinukil oleh Al-Buwaithi, Ahmad ibnu Hambal, Ali ibnu Al-Madini, Abu Dawud, At-Turmudzi, Ad-Daruquthni dan Hamzah Al-Kinani: bahwa hadist itu adalah sepertiga Islam, dan sebagian mereka mengatakan bahwa hadist itu seperempat Islam. Ibnu Mahdi juga berkata : hadist itu masuk dalam tiga puluh bab ilmu pengetahuan. Imam Syafi’i berkata: hadist itu masuk dalam tujuh puluh bab. Abdurrahman ibnu Mahdi juga berkata: hadist ini patut/pantas dijadikan induk setiap bab. Imam Baihaqi mengemukakan bahwa hadist itu adalah sepertiga ilmu, itu karena pekerjaan seseorang itu terjadi dengan hati, lisan, dan raga.[5]

Penjelasan (syarah) hadist:
Hadits ini adalah salah satu dalil dari kaidah yang sangat agung dan bermanfaat yang berbunyi “Al-Umuru bimaqoshidiha” (Setiap perkara tergantung dengan maksudnya). Berkata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah dalam Manzhumahnya : “Niat adalah syarat bagi seluruh amalan, pada niatlah benar atau rusaknya amalan”

            Niat memiliki 3 fungsi:
1.      Jika niat berkaitan dengan sasaran suatu amal (ma’bud), maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan antara amal ibadah dengan amal kebiasaan.
2.      Jika niat berkaitan dengan amal itu sendiri (ibadah), maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan antara satu amal ibadah dengan amal ibadah yang lainnya.
3.      Niat Merupakan pembeda antara ibadah dengan adat. Sebagai contoh mandi dapat dilakukan untuk menghilangkan hadats, tetapi mandi juga dapat dilakukan sebagai kebiasaan

          Menurut Hasbi AS-Shidiqi, niat itu terbagi 3 (tiga), yaitu :
1.      Niat ibadah, yaitu menghinakan diri tunduk secara sangat sempurna, untuk menyatakan ketundukan serta kehinaan.
2.      Niat ta’at, yaitu melaksanakan apa yang Allah kehendaki.
3.      Niat qurbah, yaitu melaksanakan ibadah dengan maksud memperoleh pahala.[6]



          Kesimpulan
                Niat itu termasuk bagian dari iman karena niat termasuk amalan hati. Wajib bagi seorang muslim mengetahui hukum suatu amalan sebelum ia melakukan amalan tersebut, apakah amalan itu disyariatkan atau tidak, apakah hukumnya wajib atau sunnah. Karena di dalam hadits ditunjukkan bahwasanya amalan itu bisa tertolak apabila luput darinya niatan yang disyariatkan. Disyaratkannya niat dalam amalan-amalan ketaatan dan harus dita`yin (ditentukan) yakni bila seseorang ingin shalat maka ia harus menentukan dalam niatnya shalat apa yang akan ia kerjakan apakah shalat sunnah atau shalat wajib, dhuhur, atau ashar, dst. Bila ingin puasa maka ia harus menentukan apakah puasanya itu puasa sunnah, puasa qadha atau yang lainnya. Amal tergantung dari niat, tentang sah tidaknya, sempurna atau kurangnya, taat atau maksiat. Seseorang mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan namun perlu diingat niat yang baik tidaklah merubah perkara mungkar (kejelekan) itu menjadi ma’ruf (kebaikan), dan tidak menjadikan yang bid`ah menjadi sunnah.



[1] Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam, halaman 20
[2] fathul bari, bab kitab bad’il wahyi, juz1, hal 13
[3] fathul qorib al-majid, hal
[4] fathul bari, bab kitab bad’il wahyi, juz1, hal 10
[5] Ibid, hal 11
[6] ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makna Tahlilan

  PROSESI DAN MAKNA TAHLILAN DI DESA KLORON PLERET BANTUL SETIONO    A.    Latar Belakang Tahlilan sangat erat sekali kaitannya de...