Senin, 19 Oktober 2015

KOKKA SHINTO



 KOKKA SHINTO
 Oleh: SETIONO
 
Kokka Shinto bukan sebuah aliran dalam agama Shinto, tetapi merupakan istilah yang menunjuk pada sistem kepercayaan dan peribadatan agama Shinto yang dianggap sebagai agama negara. Oleh karena itu penafsiran ajarannya atas nama perseorang tidak diperbolehkan. Maka, istilah Kokka Shinto tergabung empat aliran dalam agama Shinto, yaitu Kokutai Shinto (Tenonisme), Koshitsu Shinto, yaitu agama Shinto lingkuangan keluarga kaisar, agama Shinto lingkungan keluarga, dan Jinja Shinto yang merupakan sistem kepercayaan dan peribadatan yang umumnya dilakukan di tempat-tempa suci agama Shinto.[1]
A.    Kokutai Shinto
            Kokutai Shinto mengajarkan kepercayaan bahwa kaisar Jepang (tenno) adalah penjelmaan yang hidup dari Dewi Matahari. Jadi dalam aliran ini kaisar dianggap penjelmaan dari Dewa. Pemujaan terhadap kaisar sudah dilakukan pada masa suku Yamato dan ini merupakan tradisi tertua dalam bangsa Jepang. Kokutai juga dapat diartikan sebagai struktur nasional. Prinsip utama Kokutai adalah pemujaan terhadap kaisar. Piagam kaisar tentang kependidikan yang dikeluarkan pada tahun 1890 dapat dianggap sebagai teks sucinya karena memuat pedoman moral pemujaan kaisar tersebut.[2]
            Menurut agama Shinto, kekuasaan suci kaisar dipersonifikasikan dalam diri Dewi Matahari dan diri kaisar pribadi. Dalam mite disebutkan bahwa Dewi Matahari mengundurkan diri dari dunia, sebab merasa terhina oleh tingkah laku saudaranya Susanowo, sehingga terjadi pertengkaran dan kekacauan hebat yang menggambarkan suatu krisis dalam kehidupan para dewa. Agama Shinto mengajarkan adanya suatu kehidupan yang teratur di kalangan dewa. Oleh karena itu ketentraman hidup hanya bergantung pada kembali aktifnya Dewi Matahari yang dianggap sebagai satu-satunya cara yang dapat membawa dan menjamin kesatuan, kedamaian dan ketentraman hidup di muka bumi ini. Kaisar adalah keturunan langsung dewi. Dia mewakilinya memerintah di atas bumi, dunia yang berisi kehidupan dan kewajiban untuk melaksanakan keinginian kami.[3]

B.     Koshitsu Shinto
            Koshitsu Shinto merupakan kepercayaan dan peribadatan agama Shinto yang dilakukan dalam lingkungan keluarga kekaisaran Jepang, sehingga sering disebut pula dengan agama Shinto Lingkungan Keluarga Kaisar. Upacara-upacara keagamaan yang diselenggarakan dalam Koshitsu Shinto menempati kedudukan sangat penting dalam kelompok peribadatan agama Shinto yang diakui oleh negara dan sangat berbeda dengan peribadatan sekte-sekte agama Shinto yang lain. Ada empat buah tempat suci lingkuangan istana yang khusus digunakan untuk menyelenggarakan upacara keagamaan keluarga kaisar, yaitu :
1.      Kashiko-dokoro yang dipergunakan untuk memuja Dewi Matahari.
2.      Korei-den yang dipergunakan untuk memuja kaisar-kaisar Jepang yang telah meninggal dunia.
3.      Shin-den yang dipergunakan untuk memuja dewa-dewa yang jumlahnya tidak terhingga.
4.      Shinka-den yaitu tempat suci yang tidak memiliki objek pemujaan tertentu.[4]

C.    Shinto Lingkungan Keluarga
            Upacara-upacara keagamaan dalam lingkungan keluarga pemeluk agama Shinto umumnya berhubungan dengan persoalan keluarga terutama dengan peristiwa ulang tahun kematian sanak-keluarga dan leluhur mereka. Untuk melakukan peribadatan dalam lingkungan keluarga biasanya mereka membeli tempat suci yang berukuran kecil dan kemudian diletakkan dalam sebuah kamar yang melambangkan kami-dana serta dijadikan sebagai altar keluarga. Di depan kami-dana terdapat tempat untuk meletakkan sesaji. Di sampingnya dinyalakan lilin-lilin. Seutas tali jerami dengan kertas-kertas kecil di ujungnya menggelantung di atas altar tersebut. Dan kami-dana ini juga bisa digunakan untuk upacara pemberian nama anak pada umur tujuh hari dan atau untuk mengunjungi tempat suci di saat anak berumur tiga puluh hari.
            Sehingga Shinto dalam lingkungan keluarga memusatkan peribadatannya pada kami-dana yang dianggap sebagai tempat suci dan digunakan untuk menyimpan benda-benda yang dianggap suci. Selain itu, berdampingan dengan altar terdapat sebuah cermin yang melambangkan Dewi Matahari, kayu yang memuat nama leluhur keluarga, kertas dewa setempat, atau patung seorang pahlawan nasional, keluarga atau dewa.[5]

D.    Jinja Shinto
            Pada mulanya Jinja Shinto dinyatakan bukan sebagai agama, tetapi kemudian berkembang melebihi agama. Semua unsure yang mungkin menghambat perkembangan Jinja Shinto dihilangkan. Berbagai macam peraturan, baik mengenai penyelenggaraan upacara-upacara agama, perayaan-perayaan keagamaan, ataupun bentuk doa dan isinya, ditetapkan oleh pemerintah. Segala sesuatunya dianggap sekunder dibandingkan pemujaan terhadap Dewi Matahari dan kesetiaan terhadap kaisar dan negara. Kemudian pada tahun 1945 di Jepang terdapat sejumlah 218 tempat suci nasional agama Shinto dan sekitar 110.000 buah tempat suci lokal. Setalah dikeluarkannya Pedoman Shinto itu sehingga segala bentuk hubungan dengan pemerintah ditiadakan dan akibatnya yang tergabung dalam Jinja Shinto menjadi tercerai-berai.
            Setelah itu, kemudian didirikan Jinja Honcho sebagai tanggapan dan reaksi terhadap Pedoman Shinto. Jinja Honcho selanjutnya berusaha merumuskan prinsip-prinsip ajaran agama Shinto dalam sebuah bentuk ikrar keimanan. Ikrar ini, meskipun tidak mengikat seluruh pengikut dan organisasi agama Shinto, ditetapkan pada tahun 1956 dengan judul keishin seikatsu no koryo yang berarti cirri umum kehidupan memuja kami. Rumus kepercayaan tersebut memuat tiga hal utama, yaitu :
1.      Harus berterima kasih atas rahmat yang diberikan oleh kami dan atas kebahagiaan para leluhur, serta harus rajin mengerjakan peribadatan agama Shinto, seraya mengusahakan agar semua itu dilakukan dengan hati yang ikhlas, sukacita, dan suci.
2.      Harus penolong terhadap pihak lain dan dunia pada umumnya dengan melakukan usaha-usaha tanpa pamrih, dan mengusahakan kemajuan dunia sebagai orang yang hidupnya menjadi perantara keinginan kami.
3.      Harus mengikatkan diri bersama orang lain dalam pengakuan yang harmonis terhadap keinginan kaisar, berdoa agar negara berkembang maju dan agar orang-orang lain juga dapat hidup dalam perdamaian dan kemakmuran.[6]
            Demikaianlah uraian singkat perkembangan Jinja Shinto, kemudian akan ada uraian tentang tempat suci agama Shinto, bentuk bangunan dan macam-macamnya, peribadatan yang diselenggarakan di dalamnya dan mengenai sistem kependetaan.
·         Tempat Suci Agama Shinto
            Di ketahui bahwa dalam agama Shinto tempa sucinya dikenal dengan sebutan Jinja. Jinja merupakan sebuah bangunan yang disengaja didirikan untuk keperluan memuja kami. Jinja juga dianggap sebagai tempat tinggal kami terutama karena keyakinan bahwa kami dapat berubah wujud dalam bentuk manusia dan tinggal di dalam jinja. Oleh karena itu, sebelum suatu ritus atau upacara agama dilaksanakan, terlebih dahulu dipersiapkan sebuah ruangan berpagar yang disebut himorogi. Ada juga ruangan yang bisa digunakan disebut dengan iwasaka, yaitu ruang suci yang di batasi dengan batu-batu.
·         Bentuk Bangunan Jinja
            Hal-hal baru yang sebelumnya tidak dikenal, seperti hiasan-hiasan dalam bentuk lukisan atau ukiran, mulai ada di dalamnya. Di samping itu, teknik bangunan dan bahan-bahan material modern juga berpengaruh terhadap bentuk arsitektural bangunan jinja. Bangunan jinja terbuat dari besi beton kini tidak asing lagi di Jepang. Sungguhpun demikaian, kesederhanaan dan keserasian dengan alam tetap merupakan nilai-nilai yang mendapat perhatian utama. Bentuk-bentuk bangunan jinja sedapat mungkin tetap mengikuti pola bangunan jinja masa kuno, sederhana dan anggun, meskipun teknis dan bentuk bangunannya cukup mengagumkan. Ada garis-garis lurus dan kayu-kayunya tidak di cat. Hiasan yang umumnya terdapat dalam jinja berupa dahan-dahan pohon sakaki yang diberi potongan-potongan kertas putih atau sobekan kain dalam lima warna, digantungkan pada dahan-dahan tersebut. Setiap jinja paling tidak terdiri dari dua bagian utama, yaitu Honden (tempat suci utama yang terletak di bagian dalam jinja), dan Haiden (ruang pemujaan).[7]
·         Macam-macam Jinja
            Pada dasarnya jinja didirikan atas usaha swadaya masyarakat oleh orang-orang yang memiliki keyakinan sama bahwa ada sesuatu yang harus dihormati dan dipuja. Ada jinja yang khusus diperuntukkan memuja dewa-dewa suku dan ada pula yang digunakan untuk memuja dewa-dewa pelindung. Pada masa Meiji jinja-jinja tersebut dibeda-bedakan dalam dua macam, yang pertama adalah Kansha yaitu jinja-jinja pemerintah, yang terbagi lagi menjadi tiga tingkatan : taisha (jinja utama), chusha (jinja sedang), dan shosha (jinja kecil). Dan yang kedua adalah Shosha yaitu jinja-jinja yang banyak dan dibeda-bedakan menjado fosha (jinja kota), kensha (jinja propinsi), gosha (jinja daerah), dan sonsha (jinja desa). Sesudah Meiji, jinja-jinja tersebut hanya dibedakan menjadi dua kelompok besar saja, yaitu Kampeisha (jinja-jinja negara) dan Kokuheisha (jinja-jinja nasional). Sekarang sudah tidak ada lagi sistem ranking jinja resmi.[8]
·         Peribadatan dalam Jinja
            Agama Shinto adalah sebuah agama yang sangat mementingkan ritus. Agama tersebut tidak bermula dari dogma-dogma atau ketentuan-ketentuan yang mengatur perilaku kehidupan para pemeluknya. Sebaliknya, agama Shinto lebih menekankan pada pengalaman batin dan memberikan nilai tinggi terhadap bentuk-bentuk upacara agama yang bersifat mistis. Upacara-upacara keagamaan yang dikerjakan dalam jinja-jinja dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu upacara penyucian pendahuluan (kessai), upacara pensucian (harai), dan upacara persembahan sesaji.[9]
·         Sistem Kependetaan dalam Jinja
            Upacara-upacar keagamaan yang diselenggarakan dalam jinja dipimpin oleh para pendeta. Untuk mengurus jinja dibentuk suatu kepengurusan yang anggota-anggotanya dipilih dari kalangan pendeta dan jema’at yang bertempat tinggal di sekitar jinja (uji-ko) atau oleh suatu badan perwakilan jema’at (uji-ko sodai). Biaya yang diperlukan jinja diperoleh dari hasil sumbangan para anggota uji-ko dan orang-orang yang mengunjungi jinja. Istilah uji-ko pada mulanya digunakan untu menyebut seluruh warga suku yang memiliki dewa nenek moyang sama (uji-gami), tetapi kemudian artinya berubah. Uji-gami menjadi berarti dewa yang dipuja oleh oranng-orang yang tinggal di daerah tertentu, sementara orang-orang yang lahir dan tinggal di daerah tersebut berada dibawah perlindungan uji-gami (uji-ko). Selanjtnya, uji-ko berarti kelompok jema’at yang tinggal di sekitar jinja. Dengan demikian tugas para pendeta agama Shinto adalah untuk memimpin upacara-upacara keagamaan dan mengurus kehidupan jinja.
            Pendeta agama Shinto disebut Shinshoku. Para pendeta agama Shinto dibedakan menjadi lima tingkatan[10], yaitu :
a.       Saishu adalah tingkatan tertinggi yang hanya dimiliki oleh seorang pangeran dan putrid dari kalangan keluarga kaisar.
b.      Guji adalah para pendeta yang memimpin suatu jinja dan bertanggung-jawab atas pelaksanaan upacara keagamaan yang dilakukan di dalamnya.
c.       Gon-guji adalah para pendeta yang memiliki kedudukan di bawah guji dan menjadi pembantunya.
d.      Negi adalah pendeta biasa atau pendeta-pendeta senior.
e.       Gon-negi adalah para pendeta muda.



                [1] Djam’annuri, dkk, Agama Jepang, cet. I (Yogyakarta : Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 97-98.

                [2] William K. Bunce, Religions in Japan, cet. II (Tokyo : Charles E. Tuttle Company, 1596), hlm. 109. Lihat, Ibid, hlm. 99.
                [3] Ibid, hlm. 100.
                [4] Ibid, hlm. 101.
                [5] Ibid, hlm. 103-104.
                [6] Ibid, hlm. 107.
                [7] Ibid, hlm. 110-112.
                [8] Ibid, hlm. 116-120.
                [9] Ibid, hlm. 122-126.
                [10] Ibid, hlm. 128-129.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makna Tahlilan

  PROSESI DAN MAKNA TAHLILAN DI DESA KLORON PLERET BANTUL SETIONO    A.    Latar Belakang Tahlilan sangat erat sekali kaitannya de...