KOKKA SHINTO
Oleh: SETIONO
Kokka
Shinto bukan sebuah aliran dalam agama Shinto, tetapi merupakan istilah yang
menunjuk pada sistem kepercayaan dan peribadatan agama Shinto yang dianggap
sebagai agama negara. Oleh karena itu penafsiran ajarannya atas nama perseorang
tidak diperbolehkan. Maka, istilah Kokka Shinto tergabung empat aliran dalam
agama Shinto, yaitu Kokutai Shinto (Tenonisme), Koshitsu Shinto, yaitu agama
Shinto lingkuangan keluarga kaisar, agama Shinto lingkungan keluarga, dan Jinja
Shinto yang merupakan sistem kepercayaan dan peribadatan yang umumnya dilakukan
di tempat-tempa suci agama Shinto.[1]
A.
Kokutai
Shinto
Kokutai
Shinto mengajarkan kepercayaan bahwa kaisar Jepang (tenno) adalah penjelmaan yang hidup dari Dewi Matahari. Jadi dalam
aliran ini kaisar dianggap penjelmaan dari Dewa. Pemujaan terhadap kaisar sudah
dilakukan pada masa suku Yamato dan ini merupakan tradisi tertua dalam bangsa
Jepang. Kokutai juga dapat diartikan sebagai struktur nasional. Prinsip utama
Kokutai adalah pemujaan terhadap kaisar. Piagam kaisar tentang kependidikan
yang dikeluarkan pada tahun 1890 dapat dianggap sebagai teks sucinya karena
memuat pedoman moral pemujaan kaisar tersebut.[2]
Menurut
agama Shinto, kekuasaan suci kaisar dipersonifikasikan dalam diri Dewi Matahari
dan diri kaisar pribadi. Dalam mite disebutkan bahwa Dewi Matahari mengundurkan
diri dari dunia, sebab merasa terhina oleh tingkah laku saudaranya Susanowo,
sehingga terjadi pertengkaran dan kekacauan hebat yang menggambarkan suatu
krisis dalam kehidupan para dewa. Agama Shinto mengajarkan adanya suatu
kehidupan yang teratur di kalangan dewa. Oleh karena itu ketentraman hidup
hanya bergantung pada kembali aktifnya Dewi Matahari yang dianggap sebagai
satu-satunya cara yang dapat membawa dan menjamin kesatuan, kedamaian dan
ketentraman hidup di muka bumi ini. Kaisar adalah keturunan langsung dewi. Dia
mewakilinya memerintah di atas bumi, dunia yang berisi kehidupan dan kewajiban
untuk melaksanakan keinginian kami.[3]
B.
Koshitsu
Shinto
Koshitsu
Shinto merupakan kepercayaan dan peribadatan agama Shinto yang dilakukan dalam
lingkungan keluarga kekaisaran Jepang, sehingga sering disebut pula dengan
agama Shinto Lingkungan Keluarga Kaisar. Upacara-upacara keagamaan yang
diselenggarakan dalam Koshitsu Shinto menempati kedudukan sangat penting dalam
kelompok peribadatan agama Shinto yang diakui oleh negara dan sangat berbeda
dengan peribadatan sekte-sekte agama Shinto yang lain. Ada empat buah tempat
suci lingkuangan istana yang khusus digunakan untuk menyelenggarakan upacara
keagamaan keluarga kaisar, yaitu :
1. Kashiko-dokoro
yang dipergunakan untuk memuja Dewi Matahari.
2. Korei-den
yang dipergunakan untuk memuja kaisar-kaisar Jepang yang telah meninggal dunia.
3. Shin-den
yang dipergunakan untuk memuja dewa-dewa yang jumlahnya tidak terhingga.
4. Shinka-den
yaitu tempat suci yang tidak memiliki objek pemujaan tertentu.[4]
C.
Shinto
Lingkungan Keluarga
Upacara-upacara
keagamaan dalam lingkungan keluarga pemeluk agama Shinto umumnya berhubungan
dengan persoalan keluarga terutama dengan peristiwa ulang tahun kematian
sanak-keluarga dan leluhur mereka. Untuk melakukan peribadatan dalam lingkungan
keluarga biasanya mereka membeli tempat suci yang berukuran kecil dan kemudian
diletakkan dalam sebuah kamar yang melambangkan kami-dana serta dijadikan sebagai altar keluarga. Di depan kami-dana terdapat tempat untuk
meletakkan sesaji. Di sampingnya dinyalakan lilin-lilin. Seutas tali jerami
dengan kertas-kertas kecil di ujungnya menggelantung di atas altar tersebut.
Dan kami-dana ini juga bisa digunakan untuk upacara pemberian nama anak pada
umur tujuh hari dan atau untuk mengunjungi tempat suci di saat anak berumur
tiga puluh hari.
Sehingga
Shinto dalam lingkungan keluarga memusatkan peribadatannya pada kami-dana yang dianggap sebagai tempat
suci dan digunakan untuk menyimpan benda-benda yang dianggap suci. Selain itu,
berdampingan dengan altar terdapat sebuah cermin yang melambangkan Dewi
Matahari, kayu yang memuat nama leluhur keluarga, kertas dewa setempat, atau
patung seorang pahlawan nasional, keluarga atau dewa.[5]
D.
Jinja
Shinto
Pada
mulanya Jinja Shinto dinyatakan bukan sebagai agama, tetapi kemudian berkembang
melebihi agama. Semua unsure yang mungkin menghambat perkembangan Jinja Shinto
dihilangkan. Berbagai macam peraturan, baik mengenai penyelenggaraan
upacara-upacara agama, perayaan-perayaan keagamaan, ataupun bentuk doa dan
isinya, ditetapkan oleh pemerintah. Segala sesuatunya dianggap sekunder
dibandingkan pemujaan terhadap Dewi Matahari dan kesetiaan terhadap kaisar dan
negara. Kemudian pada tahun 1945 di Jepang terdapat sejumlah 218 tempat suci nasional
agama Shinto dan sekitar 110.000 buah tempat suci lokal. Setalah dikeluarkannya
Pedoman Shinto itu sehingga segala bentuk hubungan dengan pemerintah ditiadakan
dan akibatnya yang tergabung dalam Jinja Shinto menjadi tercerai-berai.
Setelah
itu, kemudian didirikan Jinja Honcho sebagai tanggapan dan reaksi terhadap
Pedoman Shinto. Jinja Honcho selanjutnya berusaha merumuskan prinsip-prinsip
ajaran agama Shinto dalam sebuah bentuk ikrar keimanan. Ikrar ini, meskipun
tidak mengikat seluruh pengikut dan organisasi agama Shinto, ditetapkan pada
tahun 1956 dengan judul keishin seikatsu
no koryo yang berarti cirri umum kehidupan memuja kami. Rumus kepercayaan tersebut memuat tiga hal utama, yaitu :
1. Harus
berterima kasih atas rahmat yang diberikan oleh kami dan atas kebahagiaan para leluhur, serta harus rajin
mengerjakan peribadatan agama Shinto, seraya mengusahakan agar semua itu
dilakukan dengan hati yang ikhlas, sukacita, dan suci.
2. Harus
penolong terhadap pihak lain dan dunia pada umumnya dengan melakukan
usaha-usaha tanpa pamrih, dan mengusahakan kemajuan dunia sebagai orang yang
hidupnya menjadi perantara keinginan kami.
3. Harus
mengikatkan diri bersama orang lain dalam pengakuan yang harmonis terhadap
keinginan kaisar, berdoa agar negara berkembang maju dan agar orang-orang lain
juga dapat hidup dalam perdamaian dan kemakmuran.[6]
Demikaianlah
uraian singkat perkembangan Jinja Shinto, kemudian akan ada uraian tentang
tempat suci agama Shinto, bentuk bangunan dan macam-macamnya, peribadatan yang
diselenggarakan di dalamnya dan mengenai sistem kependetaan.
·
Tempat Suci Agama Shinto
Di
ketahui bahwa dalam agama Shinto tempa sucinya dikenal dengan sebutan Jinja. Jinja merupakan sebuah bangunan
yang disengaja didirikan untuk keperluan memuja kami. Jinja juga dianggap sebagai tempat tinggal kami terutama karena keyakinan bahwa kami dapat berubah wujud dalam bentuk
manusia dan tinggal di dalam jinja. Oleh karena itu, sebelum suatu ritus atau
upacara agama dilaksanakan, terlebih dahulu dipersiapkan sebuah ruangan berpagar
yang disebut himorogi. Ada juga
ruangan yang bisa digunakan disebut dengan iwasaka,
yaitu ruang suci yang di batasi dengan batu-batu.
·
Bentuk Bangunan Jinja
Hal-hal
baru yang sebelumnya tidak dikenal, seperti hiasan-hiasan dalam bentuk lukisan
atau ukiran, mulai ada di dalamnya. Di samping itu, teknik bangunan dan
bahan-bahan material modern juga berpengaruh terhadap bentuk arsitektural
bangunan jinja. Bangunan jinja terbuat dari besi beton kini tidak asing lagi di
Jepang. Sungguhpun demikaian, kesederhanaan dan keserasian dengan alam tetap
merupakan nilai-nilai yang mendapat perhatian utama. Bentuk-bentuk bangunan
jinja sedapat mungkin tetap mengikuti pola bangunan jinja masa kuno, sederhana
dan anggun, meskipun teknis dan bentuk bangunannya cukup mengagumkan. Ada
garis-garis lurus dan kayu-kayunya tidak di cat. Hiasan yang umumnya terdapat
dalam jinja berupa dahan-dahan pohon sakaki
yang diberi potongan-potongan kertas putih atau sobekan kain dalam lima warna,
digantungkan pada dahan-dahan tersebut. Setiap jinja paling tidak terdiri dari
dua bagian utama, yaitu Honden (tempat suci utama yang terletak di bagian dalam
jinja), dan Haiden (ruang pemujaan).[7]
·
Macam-macam Jinja
Pada
dasarnya jinja didirikan atas usaha swadaya masyarakat oleh orang-orang yang
memiliki keyakinan sama bahwa ada sesuatu yang harus dihormati dan dipuja. Ada
jinja yang khusus diperuntukkan memuja dewa-dewa suku dan ada pula yang
digunakan untuk memuja dewa-dewa pelindung. Pada masa Meiji jinja-jinja
tersebut dibeda-bedakan dalam dua macam, yang pertama adalah Kansha yaitu jinja-jinja
pemerintah, yang terbagi lagi menjadi tiga tingkatan : taisha (jinja utama),
chusha (jinja sedang), dan shosha (jinja kecil). Dan yang kedua adalah Shosha
yaitu jinja-jinja yang banyak dan dibeda-bedakan menjado fosha (jinja kota),
kensha (jinja propinsi), gosha (jinja daerah), dan sonsha (jinja desa). Sesudah
Meiji, jinja-jinja tersebut hanya dibedakan menjadi dua kelompok besar saja,
yaitu Kampeisha (jinja-jinja negara) dan Kokuheisha (jinja-jinja nasional).
Sekarang sudah tidak ada lagi sistem ranking jinja resmi.[8]
·
Peribadatan dalam Jinja
Agama
Shinto adalah sebuah agama yang sangat mementingkan ritus. Agama tersebut tidak
bermula dari dogma-dogma atau ketentuan-ketentuan yang mengatur perilaku
kehidupan para pemeluknya. Sebaliknya, agama Shinto lebih menekankan pada
pengalaman batin dan memberikan nilai tinggi terhadap bentuk-bentuk upacara
agama yang bersifat mistis. Upacara-upacara keagamaan yang dikerjakan dalam
jinja-jinja dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu upacara penyucian
pendahuluan (kessai), upacara
pensucian (harai), dan upacara
persembahan sesaji.[9]
·
Sistem Kependetaan dalam Jinja
Upacara-upacar
keagamaan yang diselenggarakan dalam jinja dipimpin oleh para pendeta. Untuk
mengurus jinja dibentuk suatu kepengurusan yang anggota-anggotanya dipilih dari
kalangan pendeta dan jema’at yang bertempat tinggal di sekitar jinja (uji-ko) atau oleh suatu badan perwakilan
jema’at (uji-ko sodai). Biaya yang
diperlukan jinja diperoleh dari hasil sumbangan para anggota uji-ko dan orang-orang yang mengunjungi
jinja. Istilah uji-ko pada mulanya
digunakan untu menyebut seluruh warga suku yang memiliki dewa nenek moyang sama
(uji-gami), tetapi kemudian artinya
berubah. Uji-gami menjadi berarti
dewa yang dipuja oleh oranng-orang yang tinggal di daerah tertentu, sementara
orang-orang yang lahir dan tinggal di daerah tersebut berada dibawah
perlindungan uji-gami (uji-ko).
Selanjtnya, uji-ko berarti kelompok
jema’at yang tinggal di sekitar jinja. Dengan demikian tugas para pendeta agama
Shinto adalah untuk memimpin upacara-upacara keagamaan dan mengurus kehidupan
jinja.
Pendeta
agama Shinto disebut Shinshoku. Para pendeta agama Shinto dibedakan menjadi
lima tingkatan[10],
yaitu :
a. Saishu
adalah tingkatan tertinggi yang hanya dimiliki oleh seorang pangeran dan putrid
dari kalangan keluarga kaisar.
b. Guji adalah
para pendeta yang memimpin suatu jinja dan bertanggung-jawab atas pelaksanaan upacara
keagamaan yang dilakukan di dalamnya.
c. Gon-guji
adalah para pendeta yang memiliki kedudukan di bawah guji dan menjadi pembantunya.
d. Negi
adalah pendeta biasa atau pendeta-pendeta senior.
e. Gon-negi
adalah para pendeta muda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar