Selasa, 20 Oktober 2015

Hermeneutika



FENOMENA HERMENEUTIKA
Disusun Oleh :
SETIONO


Praktek metode dan penafsiran sebenarnya oleh setiap umat yang memiliki teks yang dipandang memiliki arti dalam menata kehidupan masyarakat, baik teks tersebut teks suci atau sakral maupun teks profan. Teks tersebut kemudian menjadi obyek penafsiran mereka dalam rangka menyerap nilai-nilai yang ada di dalamnya dan mereaktualisasikannya pada kehidupan masyarakat di mana teks itu ditafsirkan. Begitu banyak fenomena atau ragam mengenai metode ilmu tafsir atau metodologi dalam menafsirkan sebuah teks ataupun lainnya. Salah satunya adalah metode hermeneutik, yaitu metode yang ditawarkan oleh beberapa ilmuwan, untuk mencari kebenaran melalui penafsiran simbol yang berupa teks atau benda konkret untuk dicari arti dan maknanya. Metode ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih dalam melakukan sebuah interpretasi atau penafsiran.
Penggunaan hermeneutika dalam dunia penafsiran al Quran adalah hal baru yang belum pernah dilakukan oleh para mufassir terdahulu. Dalam tradisi keilmuwan Islam telah dikenal ilmu tafsir yang berfungsi untuk menafsirkan al Quran, sehingga ilmu ini dianggap telah mapan dalam bidangnya. Dari segi epistemologi dan metodologi ilmu ini telah diakui mampu mengembankan tugasnya untuk menggali kandungan al Quran. Penggunaan Hermeneutika dalam penafsiran ayat-ayat al Quran mendapat tanggapan yang beragam dari para ulama dan cendekiawan muslim. Ada yang menyetujuinya dan ada pula yang menolaknya. Para filosof muslim tidak menelan mentah-mentah filsafat Aristoteles atau Plato, akan tetapi mengkritisi bahkan memodifikasinya. Bagi mereka yang menerima selama itu sesuai dengan akidah dan syariat Islam.
            Hermeneutik secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau filsafat tentang interpretasi makna.[1] Secara harfiah, hermeneutika artinya “tafsir”. Secara etimologis, Kata hermeneutika itu sendiri berasal dari bahasa Yunani dari kata kerja hermeneuin, yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermenia, “interpretasi”.[2] Sedangkan pengertian hermeneutik secara istilah adalah sebuah teori tentang operasi-operasi pemahaman dalam hubungannya dengan teks.[3] Istilah ini merujuk pada seorang tokoh mitologis dalam metologi Yunani yang dikenal dengan nama Hermes (Mercurius). Di kalangan pendukung Hermeneutika ada yang menghubungkan sosok Hermes dengan nabi Idris. Dalam mitologi Yunani, Hermes dikenal sebagai dewa yang bertugas menyampaikan pesan-pesan Dewa kepada manusia. Dari tradisi Yunani pula, hermeneutika berkembang sebagai metodologi penafsiran Bibel, yang di kemudian hari dikembangkan oleh para teolog dan filosof di Barat sebagai metode penafsiran secara umum dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
            Kemudian di dalam The New Encyclopedia Britannica menulis, bahwa hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi bibel. Tujuan dari hermeneutika sendiri adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bibel. Dan, hermeneutika bukan hanya sekedar tafsir, melainkan satu “metode tafsir” tersendiri atau filsafat tentang penafsiran yang sangat bisa berbeda dengan Al-Quran.[4] Selain itu, hermeneutika hanya sebagai seni “memahami”, bukan “presentasi pemahaman” sebagaimana yang dipahami ilmuwan. Seni memahami ini hanya akan menjadi bagian khsusus dari seni berbicara dan menulis, yang hanya bergantung pada prinsip-prinsip umum.
            Dalam terma-terma etimologi yang masyhur, hermeneutik dianggap sebagai sebuah nama yang belum tetap dalam bentuk ilmiah. Karena masih mencakup beberapa indikasi, diantaranya: seni mempresentasikan pemikiran seseorang dengan benar, seni menyambungkan ucapan seseorang kepada orang ketiga, dan seni memahami ungkapan orang lain dengan benar. Sedangkan konsep ilmiah merujuk pada yang ketiga sebagai mediator antara yang pertama dan kedua. Namun, hermeneutika juga tidak hanya memahami bagian-bagian sulit dalam bahasa asing. Karena, hermeneutika secara langsung menganjurkan untuk akrab dengan objek dan bahasa tersebut agar dengan mudah dapat memahami objeknya. Jika terkadang mengalami kesulitan dalam pemahaman, itu karena tidak memahami bagian-bagian bahasa yang lebih mudah.[5]
Hermeneutik adalah istilah yang telah ada sejak dahulu, dan pertama kali digunakan oleh berbagai kelompok studi teologis untuk menyebut sejumlah kaidah dan aturan-aturan standar yang harus diikuti oleh seorang penafsir untuk dapat memahami teks keagamaan atau yang lebih dikenal dengan sebutan ‘’kitab suci”. Namun, tidak semerta merta hermeneutik hanya untuk memahami kitab suci, melainkan memahami benda atau peristiwa. Sebagai contoh fenomena “kebakaran” yang berasosiasi  secara paradigmatis dengan api, asap, pemadam kebakaran, kerugian materi, dll. Jadi, kehadiran tanda atau teks “kebakaran” bisa dijadikan batu pijakan untuk menafsirkan dan menelusuri teks-teks/tanda-tanda lain sebagai sebuah sistem.
Yang perlu diketahui dalam proses penerapan hermeneutik adalah Proses pemahaman, penafsiran atau penerjemahan (proses hermeneutik) sebagai sebuah teks selalu melibatkan tiga subyek, dunia pengarang, dunia teks, dan dunia pembaca. Persoalan hermeneutik akan bertambah rumit ketika jarak waktu, tempat dan budaya antara pembaca, pengarang dan teks terpaut amat jauh. Sehingga tidak heran jika kita dihadapkan pada teks-teks yang lahir pada abad yang lalu, seolah-olah terasing atau dalam bahasa Marx, teralienasi.[6]
Problematika mendasar dalam mengkaji hermeneutik adalah problem penafsiran teks, baik teks historis maupun teks keagamaan. Oleh karena itu, persoalan-persoalan yang akan dicoba diselesaikan adalah berbagai persoalan teks dalam kaitannya dengan tradisi, di satu sisi, dan dengan pengarang di sisi lain. Tapi hal yang terpenting dari semua itu adalah bagaimana agar problem tersebut tidak mengacaukan relasi penafsir dengan teks. Dengan demikian, hermeneutik merupakan problem klasik sekaligus juga modern. Sebenarnya problem ini terfokus pada relasi antara penafsir dengan teks, hal ini tidak hanya menjadi problem khusus dalam pemikiran barat, tetapi juga menjadi problem yang mengakar dalam tradisi Arab, baik klasik maupun modern. Yang harus selalu disadari dalam berinteraksi dengan berbagai aspek pemikiran Barat adalah bahwa sesungguhnya kita sedang dialog dialektis.
Hermeneutik juga merupakan seni penafsiran yang terus berkembang, dan bertahan dalam diri seorang filolog. Biasanya seni ini diwariskan melalui hubungan pribadi antara penafsir karya besar. Dengan perkembangan seni ini melahirkan rumus-rumus, dan konflik atar rumus pun terjadi. Jika dilihat dalam konteks ini, para ilmuan sepakat bahwa hermeneutika adalah metodologi tafsir atas catatan-catatan.[7]
Sedangkan problematika mendasar dalam mengkaji hermeneutik adalah problem penafsiran teks, baik teks historis maupun teks keagamaan. Oleh karena itu, persoalan-persoalan yang akan dicoba diselesaikan adalah berbagai persoalan teks dalam kaitannya dengan tradisi, di satu sisi, dan dengan pengarang di sisi lain. Tapi hal yang terpenting dari semua itu adalah bagaimana agar problem tersebut tidak mengacaukan relasi penafsir dengan teks. Dengan demikian, hermeneutik merupakan problem klasik sekaligus juga modern. Sebenarnya problem ini terfokus pada relasi antara penafsir dengan teks, hal ini tidak hanya menjadi problem khusus dalam pemikiran barat, tetapi juga menjadi problem yang mengakar dalam tradisi Arab, baik klasik maupun modern. Yang harus selalu disadari dalam berinteraksi dengan berbagai aspek pemikiran Barat adalah bahwa sesungguhnya kita sedang dialog dialektis.
Begitu pula sebagai teknik untuk memperoleh pemahaman yang benar, hermeneutika juga berguna dan berfungsi untuk :
·         Membantu mendiskusikan bahasa yang digunakan teks.
Bahasa menjadi bagian yang tak terpisahkan dari aktifitas hermeneutik.[8] Lingkup bahasa yang membantu hermeneutika dapat mencakup masalah bahasa, makana kata, masalah semantik, semiotik, pragmatik, masalah expression dan indikation serta masalah logika yang terkandung dalam teks.
·         Membantu mempermudah menjelaskan teks, termasuk teks kitab suci.
Membantu mengandaikan hubungan teks dengan waktu, hubungan teks dengan situasi atau lingkungan di mana teks disusun. Masalah lain adalah masalah teks dengan teks yang lain yang sudah ada dan sudah didiskusikan tema tertemtu. Masalah ini memunculkan persoalan mengenai ciri khas yang membedakan seorang pengarang dengan pengarang yang lain yang membahas tema yang sama.
·         Memberi arahan untuk masalah yang terkait dengan hukum.
Poin ini menjelaskan bahwa penafsiran terhadap teks  hukum dapat dilakukan secara hermeneutika bagi mereka yang memiliki dasar dan penguasaan terhadap masalah hukum. Sedangkan analisis hukum atau teks hukum tetap diambil dari kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam tradisi hukum Islam.
            Dengan demikian dapat dipahami, bahwa hermeneutik merupakan ilmu untuk memahami atau mengerti makna tersebut. Oleh karena itu, memahami artinya memahami melalui bahasa. Bahasa dilihat sebagai faktor fundamental dalam eksistensi manusia dalam menghayati keberadaannya di dunia. Dengan bahasa manusia bisa menjelaskan, memahami, dan menggambarkan realitas dunianya. Bahasa menjadi medium untuk hal-hal ini. Bahasa mengandung unsur keterbukaan untuk berdialog dengan tradisi dan dapat membuka cakrawala pemahaman yang lebih luas.
Hermenutik juga sebagai seni interpretasi dalam menafsirkan sebuah teks atau pun penafsiran-penafsiran lainnya. Sehingga dengan adanya hermeneutika dimaksudkan untuk memberikan sumbangsih dalam memahami atau menginterpretasi sebuah teks atau pun bahasa. Dengan adanya metode hermeneutik ini, maka akan mempermudah memahami, menafsirkan, menginterpretasikan sebuah teks sesuai konteks atau pun dilihat dari sejarahnya.










DAFTAR PUSTAKA
Ahmala. Hermeneutik Transendetal. Yogyakarta, IRCiSoD, 2003.
Hasan Sutanto.  Hermeneutik Prinsip dan Metode Penafsiran Al-Kitab. Magelang: Departemen Literature Saat, 2000.
Budiman, Kris. Kosa Semiotika. Yogyakarta : LKiS, 1999.
Husaini, Adian, dan Al-Baghdadi, Abdurrahman. Hermeneutika dan Tafsir Al-Quran. Jakarta: Penerbit Gema Insani, 2008.
Mulyono, Edi, dkk. Belajar Hermeneutika. editor Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, Yogyakarta, IRCiSoD, 2013.
Mubarok, Ahmad Zaki. Pendekatan Strukturalisme Linguistik. Yogyakarta : eLSAQ Press, Cet I, 2007.




[1] Ahmala, Hermeneutik Transendetal, (Yogyakarta, IRCiSoD, 2003), hlm. 15.
[2] Hasan Sutanto, Hermeneutik Prinsip dan Metode Penafsiran Al-Kitab, (Magelang: Departemen Literature Saat, 2000), hlm. 1.
[3] Kris Budiman, Kosa Semiotika, (Yogyakarta, LKiS, 1999), hlm. 45.
[4] Husaini, Adian, dan Al-Baghdadi, Abdurrahman, Hermeneutika dan Tafsir Al-Quran, (Jakarta: Penerbit Gema Insani, 2008), hlm. 7-8.
[5] Pemikiran Hermeneutika Dalam Tradisi Barat, diterjemahkan oleh Lembaga Peneliti UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta, cet I, hlm. 3-4.
[6]Ahmad Zaki Mubarok, Pendekatan Strukturalisme Linguistik, (Yogyakarta : eLSAQ Press, Cet I, 2007), hlm. 101-103.
[7] Pemikiran Hermeneutika Dalam Tradisi Barat, diterjemahkan oleh Lembaga Peneliti UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta, cet I, hlm. 47-49.
[8] Edi Mulyono, dkk, Belajar Hermeneutika, editor Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, (Yogyakarta, IRCiSoD, 2013),  hlm. 17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makna Tahlilan

  PROSESI DAN MAKNA TAHLILAN DI DESA KLORON PLERET BANTUL SETIONO    A.    Latar Belakang Tahlilan sangat erat sekali kaitannya de...