FENOMENA
HERMENEUTIKA
Disusun Oleh :
SETIONO
Praktek metode dan penafsiran
sebenarnya oleh setiap umat yang memiliki teks yang dipandang memiliki arti
dalam menata kehidupan masyarakat, baik teks tersebut teks suci atau sakral
maupun teks profan. Teks tersebut kemudian menjadi obyek penafsiran mereka
dalam rangka menyerap nilai-nilai yang ada di dalamnya dan
mereaktualisasikannya pada kehidupan masyarakat di mana teks itu ditafsirkan. Begitu
banyak fenomena atau ragam mengenai metode ilmu tafsir atau metodologi dalam
menafsirkan sebuah teks ataupun lainnya. Salah satunya adalah metode
hermeneutik, yaitu metode yang ditawarkan oleh beberapa ilmuwan, untuk mencari
kebenaran melalui penafsiran simbol yang berupa teks atau benda konkret untuk
dicari arti dan maknanya. Metode ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih
dalam melakukan sebuah interpretasi atau penafsiran.
Penggunaan hermeneutika dalam dunia
penafsiran al Quran adalah hal baru yang belum pernah dilakukan oleh para
mufassir terdahulu. Dalam tradisi keilmuwan Islam telah dikenal ilmu tafsir
yang berfungsi untuk menafsirkan al Quran, sehingga ilmu ini dianggap telah
mapan dalam bidangnya. Dari segi epistemologi dan metodologi ilmu ini telah
diakui mampu mengembankan tugasnya untuk menggali kandungan al Quran. Penggunaan
Hermeneutika dalam penafsiran ayat-ayat al Quran mendapat tanggapan yang
beragam dari para ulama dan cendekiawan muslim. Ada yang menyetujuinya dan ada
pula yang menolaknya. Para filosof muslim tidak menelan mentah-mentah filsafat
Aristoteles atau Plato, akan tetapi mengkritisi bahkan memodifikasinya. Bagi
mereka yang menerima selama itu sesuai dengan akidah dan syariat Islam.
Hermeneutik secara umum
dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau filsafat tentang interpretasi
makna.[1]
Secara harfiah, hermeneutika artinya “tafsir”. Secara etimologis, Kata
hermeneutika itu sendiri berasal dari bahasa Yunani dari kata kerja hermeneuin,
yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermenia, “interpretasi”.[2]
Sedangkan pengertian hermeneutik secara istilah adalah sebuah teori tentang
operasi-operasi pemahaman dalam hubungannya dengan teks.[3]
Istilah ini merujuk pada seorang tokoh mitologis dalam metologi Yunani yang
dikenal dengan nama Hermes (Mercurius). Di kalangan pendukung Hermeneutika ada
yang menghubungkan sosok Hermes dengan nabi Idris. Dalam mitologi Yunani,
Hermes dikenal sebagai dewa yang bertugas menyampaikan pesan-pesan Dewa kepada
manusia. Dari tradisi Yunani pula, hermeneutika berkembang sebagai metodologi
penafsiran Bibel, yang di kemudian hari dikembangkan oleh para teolog dan
filosof di Barat sebagai metode penafsiran secara umum dalam ilmu-ilmu sosial
dan humaniora.
Kemudian di dalam The New
Encyclopedia Britannica menulis, bahwa hermeneutika adalah studi
prinsip-prinsip general tentang interpretasi bibel. Tujuan dari hermeneutika
sendiri adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bibel. Dan,
hermeneutika bukan hanya sekedar tafsir, melainkan satu “metode tafsir”
tersendiri atau filsafat tentang penafsiran yang sangat bisa berbeda dengan
Al-Quran.[4]
Selain itu, hermeneutika hanya sebagai seni “memahami”, bukan “presentasi
pemahaman” sebagaimana yang dipahami ilmuwan. Seni memahami ini hanya akan
menjadi bagian khsusus dari seni berbicara dan menulis, yang hanya bergantung
pada prinsip-prinsip umum.
Dalam terma-terma etimologi yang
masyhur, hermeneutik dianggap sebagai sebuah nama yang belum tetap dalam bentuk
ilmiah. Karena masih mencakup beberapa indikasi, diantaranya: seni
mempresentasikan pemikiran seseorang dengan benar, seni menyambungkan ucapan
seseorang kepada orang ketiga, dan seni memahami ungkapan orang lain dengan
benar. Sedangkan konsep ilmiah merujuk pada yang ketiga sebagai mediator antara
yang pertama dan kedua. Namun, hermeneutika juga tidak hanya memahami
bagian-bagian sulit dalam bahasa asing. Karena, hermeneutika secara langsung
menganjurkan untuk akrab dengan objek dan bahasa tersebut agar dengan mudah
dapat memahami objeknya. Jika terkadang mengalami kesulitan dalam pemahaman,
itu karena tidak memahami bagian-bagian bahasa yang lebih mudah.[5]
Hermeneutik
adalah istilah yang telah ada sejak dahulu, dan pertama kali digunakan oleh
berbagai kelompok studi teologis untuk menyebut sejumlah kaidah dan
aturan-aturan standar yang harus diikuti oleh seorang penafsir untuk dapat
memahami teks keagamaan atau yang lebih dikenal dengan sebutan ‘’kitab suci”. Namun,
tidak semerta merta hermeneutik hanya untuk memahami kitab suci, melainkan
memahami benda atau peristiwa. Sebagai contoh fenomena “kebakaran”
yang berasosiasi secara paradigmatis
dengan api, asap, pemadam kebakaran, kerugian materi, dll. Jadi, kehadiran
tanda atau teks “kebakaran” bisa dijadikan batu pijakan untuk menafsirkan dan
menelusuri teks-teks/tanda-tanda lain sebagai sebuah sistem.
Yang perlu diketahui dalam proses penerapan
hermeneutik adalah Proses pemahaman, penafsiran atau penerjemahan (proses
hermeneutik) sebagai sebuah teks selalu melibatkan tiga subyek, dunia
pengarang, dunia teks, dan dunia pembaca. Persoalan hermeneutik akan bertambah rumit ketika jarak waktu,
tempat dan budaya antara pembaca, pengarang dan teks terpaut amat jauh.
Sehingga tidak heran jika kita dihadapkan pada teks-teks yang lahir pada abad
yang lalu, seolah-olah terasing atau dalam bahasa Marx, teralienasi.[6]
Problematika mendasar dalam mengkaji
hermeneutik adalah problem penafsiran teks, baik teks historis maupun teks
keagamaan. Oleh karena itu, persoalan-persoalan yang akan dicoba diselesaikan
adalah berbagai persoalan teks dalam kaitannya dengan tradisi, di satu sisi,
dan dengan pengarang di sisi lain. Tapi hal yang terpenting dari semua itu
adalah bagaimana agar problem tersebut tidak mengacaukan relasi penafsir dengan
teks. Dengan demikian, hermeneutik merupakan
problem klasik sekaligus juga modern. Sebenarnya problem ini terfokus pada
relasi antara penafsir dengan teks, hal ini tidak hanya menjadi problem khusus
dalam pemikiran barat, tetapi juga menjadi problem yang mengakar dalam tradisi
Arab, baik klasik maupun modern. Yang harus selalu disadari dalam berinteraksi
dengan berbagai aspek pemikiran Barat adalah bahwa sesungguhnya kita sedang
dialog dialektis.
Hermeneutik juga
merupakan seni penafsiran yang terus berkembang, dan bertahan dalam diri
seorang filolog. Biasanya seni ini diwariskan melalui hubungan pribadi antara
penafsir karya besar. Dengan perkembangan seni ini melahirkan rumus-rumus, dan
konflik atar rumus pun terjadi. Jika dilihat dalam konteks ini, para ilmuan
sepakat bahwa hermeneutika adalah metodologi tafsir atas catatan-catatan.[7]
Sedangkan problematika mendasar dalam
mengkaji hermeneutik adalah problem penafsiran teks, baik teks historis maupun
teks keagamaan. Oleh karena itu, persoalan-persoalan yang akan dicoba
diselesaikan adalah berbagai persoalan teks dalam kaitannya dengan tradisi, di
satu sisi, dan dengan pengarang di sisi lain. Tapi hal yang terpenting dari
semua itu adalah bagaimana agar problem tersebut tidak mengacaukan relasi
penafsir dengan teks. Dengan demikian, hermeneutik merupakan
problem klasik sekaligus juga modern. Sebenarnya problem ini terfokus pada
relasi antara penafsir dengan teks, hal ini tidak hanya menjadi problem khusus
dalam pemikiran barat, tetapi juga menjadi problem yang mengakar dalam tradisi
Arab, baik klasik maupun modern. Yang harus selalu disadari dalam berinteraksi
dengan berbagai aspek pemikiran Barat adalah bahwa sesungguhnya kita sedang
dialog dialektis.
Begitu pula sebagai teknik untuk memperoleh
pemahaman yang benar, hermeneutika juga berguna dan berfungsi untuk :
·
Membantu
mendiskusikan bahasa yang digunakan teks.
Bahasa
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari aktifitas hermeneutik.[8]
Lingkup bahasa yang membantu hermeneutika dapat mencakup masalah bahasa, makana
kata, masalah semantik, semiotik, pragmatik, masalah expression dan indikation
serta masalah logika yang terkandung dalam teks.
·
Membantu
mempermudah menjelaskan teks, termasuk teks kitab suci.
Membantu
mengandaikan hubungan teks dengan waktu, hubungan teks dengan situasi atau
lingkungan di mana teks disusun. Masalah lain adalah masalah teks dengan teks
yang lain yang sudah ada dan sudah didiskusikan tema tertemtu. Masalah ini
memunculkan persoalan mengenai ciri khas yang membedakan seorang pengarang
dengan pengarang yang lain yang membahas tema yang sama.
·
Memberi arahan
untuk masalah yang terkait dengan hukum.
Poin
ini menjelaskan bahwa penafsiran terhadap teks hukum dapat dilakukan
secara hermeneutika bagi mereka yang memiliki dasar dan penguasaan terhadap
masalah hukum. Sedangkan analisis hukum atau teks hukum tetap diambil dari kaidah-kaidah
hukum yang berlaku dalam tradisi hukum Islam.
Dengan demikian dapat dipahami,
bahwa hermeneutik merupakan ilmu untuk memahami atau mengerti makna tersebut.
Oleh karena itu, memahami artinya memahami melalui bahasa. Bahasa dilihat
sebagai faktor fundamental dalam eksistensi manusia dalam menghayati
keberadaannya di dunia. Dengan bahasa manusia bisa menjelaskan, memahami, dan
menggambarkan realitas dunianya. Bahasa menjadi medium untuk hal-hal ini.
Bahasa mengandung unsur keterbukaan untuk berdialog dengan tradisi dan dapat
membuka cakrawala pemahaman yang lebih luas.
Hermenutik
juga sebagai seni interpretasi dalam menafsirkan sebuah teks atau pun
penafsiran-penafsiran lainnya. Sehingga dengan adanya hermeneutika dimaksudkan
untuk memberikan sumbangsih dalam memahami atau menginterpretasi sebuah teks
atau pun bahasa. Dengan adanya metode hermeneutik ini, maka akan mempermudah
memahami, menafsirkan, menginterpretasikan sebuah teks sesuai konteks atau pun
dilihat dari sejarahnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmala. Hermeneutik
Transendetal. Yogyakarta, IRCiSoD, 2003.
Hasan Sutanto. Hermeneutik Prinsip dan Metode Penafsiran
Al-Kitab. Magelang: Departemen Literature Saat, 2000.
Budiman, Kris. Kosa
Semiotika. Yogyakarta : LKiS, 1999.
Husaini,
Adian, dan Al-Baghdadi, Abdurrahman. Hermeneutika
dan Tafsir Al-Quran. Jakarta: Penerbit Gema Insani, 2008.
Mulyono,
Edi, dkk. Belajar Hermeneutika. editor Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin,
Yogyakarta, IRCiSoD, 2013.
Mubarok,
Ahmad Zaki. Pendekatan Strukturalisme Linguistik. Yogyakarta : eLSAQ
Press, Cet I, 2007.
[1] Ahmala, Hermeneutik
Transendetal, (Yogyakarta, IRCiSoD, 2003), hlm. 15.
[2] Hasan Sutanto, Hermeneutik Prinsip dan Metode Penafsiran
Al-Kitab, (Magelang: Departemen Literature Saat, 2000), hlm. 1.
[3] Kris Budiman, Kosa
Semiotika, (Yogyakarta, LKiS, 1999), hlm. 45.
[4] Husaini,
Adian, dan Al-Baghdadi, Abdurrahman, Hermeneutika
dan Tafsir Al-Quran, (Jakarta: Penerbit Gema Insani, 2008), hlm. 7-8.
[5] Pemikiran Hermeneutika Dalam Tradisi Barat,
diterjemahkan oleh Lembaga Peneliti UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta, cet I, hlm.
3-4.
[6]Ahmad Zaki
Mubarok, Pendekatan Strukturalisme Linguistik, (Yogyakarta : eLSAQ
Press, Cet I, 2007), hlm. 101-103.
[7] Pemikiran Hermeneutika Dalam Tradisi Barat,
diterjemahkan oleh Lembaga Peneliti UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta, cet I, hlm.
47-49.
[8] Edi Mulyono,
dkk, Belajar Hermeneutika, editor Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, (Yogyakarta, IRCiSoD, 2013), hlm. 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar