Senin, 19 Oktober 2015

Agama Rakyat (Jepang)



 AGAMA RAKYAT
 Oleh: SETIONO
 
Kita ketahui bahwa agama di Jepang di pengaruhi dari berbagai agama, seperti agama Budha, Konfusianisme, Taoisme, agama Rakyat (kepercayaan) dan agama Shinto sendiri. Sehingga, pada pembahasan kali ini membahas mengenai Agama Rakyat. Agama Rakyat merupakan agama primitif yang telah bercampur dengan unsur-unsur dari agama Shinto, Budha, dan kepercayaan-kepercayaan lainnya. Agama rakyat tidak memiliki kitab suci, tidak tersusun dalam bentuk organisasi tertentu, dan tidak pula berusaha mengembangkan ajarannya ataupun memperbanyak para pengikut. Agama rakyat merupakan kepercayaan dan peribadatan yang diwarisi dan diakui menjadi milik bersama. Maka, agama rakyat dianggap sebagai umum dan disebut sebagai Minkan Shinto (agama Shinto kalangan rakyat).
Agama rakyat juga dapat dikatakan sebagai agama yang memiliki banyak unsur magisnya. Karena praktek keagamaan yang bertujuan memperoleh keuntungan di dunia ini seperti selamat dari bahaya, sembuh dari penyakit, dan sebagainya memperoleh tempat utama dalam agama rakyat. Kemudian memiliki patung-patung dewa yang tersebar di kalangan rakyat Jepang yang berasal dari dewa-dewa agama Shinto. Terpenting di antaranya ialah :

1.    Patung dewa Doso-jin, dewa pengawas jalan raya
2.    Patung dewa Kamado-no-kami, dewa pengawas api dapur
3.    Patung dewa Ryu-jin, dewa Ular Naga, dewa pengawas angin dan hujan.
4.    Patung dewa Daikokuten, salah satu di antara tujuh dewa yang memberikan keberuntungan dan nasib yang baik.[1]
Pemujaan terhadap dewa-dewa tersebut dilakukan dengan cara yang sangat sederhana sama seperti cara pemujaan yang dilakukan dalam agama Shinto. Apabila sebuah patung dewa menjadi semakin terkenal, maka biasanya patung tersebut dipindahkan ke lingkungan jinja, atau dapat pula didirikan sebuah bangunan sederhana untuk melindunginya, sehingga patung tersebut akan menjadi lebih menarik.

A.  Pemikiran Keagamaan
Dasar Pokok agama rakyat adalah agama asli Jepang yang mempercayai adanya kekuatan di balik berbagai gejala alam, binatang, benda, dan manusia yang diyakini mempunyai sifat-sifat istimewa. Kekuatan tadi disebut dengan kami dan diyakini dapat mempengaruhi kehidupan manusia, mendatangkan keuntungan atau menyebabkan kesengsaraan. Pada angin dan hujan, api dan air, guntur dan kilat, batu-batu, hutan-hutan, gunung-gunung, dan gejala-gejala alam lainnya, dirasakan ada kekuatan spiritual yang membangkitkan perasaan segan dan takut.[2] Binatang-binatang juga sering dianggap sebagai kami, kaerena alasan-alasan anatara lain :
1.    Binatang-binatang tersebut menakutkan, seperti harimau, serigaa, ular, dan sebagainya.
2.    Binatang-bintang tersebut dianggap sebagai pelayan-pelayan dewa, seperti rusa, kera, burung merpati, kura-kura, dan sebagainya.
3.    Bintang-bintang tersebut dianggap sebagai inkarnasi atau penjelmaan dewa, semisal burung kasa, ular naga, rusa, dan sebagainya.[3]
Jiwa atau ruh manusia diberi nama khusus yaitu tama. Meskipun demikian, dalam bahasa Jepang kata tama memiliki dua arti yaitu permata indah dan ruh atau jiwa.

B.  Upacara dan Perayaan Keagamaan
Rakyat Jepang masih banyak yang menggunakan perhitungan almanak sebagai suatu rencana untuk kegiatan hidup mereka. Dai-an adalah hari yang sangat baik untuk melangsungkan perkawinan, perjalanan, dan sebagainya. Sedangkan butsumetsu adalah hari yang membawa sial bagi setiap kegiatan manusia.
1.    Rangkaian Perayaan Tahunan
a.       Perayaan Tahun Baru, 1 Januari (shogatsu dan koshogatsu)
b.      Perayaan Pergantian Musim, 4 Februari (ucapan dengan Oni wa soto dan Fuku wa uchi)
c.       Perayaan Boneka, 3 Maret (hina matsuri)
d.      Perayaan Musim Semi, 23 Maret (penyelenggaraan berbagai macam perayaan keagamaan)
e.       Perayaan Bunga, 8 April (hana matsuri)
f.       Perayaan Hari Anak-Anak, 5 Mei (merayakan pertumbuhan dan perkembangan anak-anak)
g.      Perayaan Bulan Juni (bulan penuh upacara keagamaan)
a)      Perayaan Kami Air (suijin matsuri)
b)      Perayaan Musim Panas
c)      Perayaan Penyucian Masal (oharai)
h.      Perayaan Bintang, 7 Juli (tanabata)
i.        Perayaan Orang Mati, 13-16 Juli (bon-matsuri)
j.        Perayaan Bulan Agustus (bulan penuh upacara keagamaan)
k.      Perayaan Bulan September
l.        Pada tanggal 1 Desember diselenggarakan sebuah perayaan keagamaan yang namanya sama dengan perayaan yang diselenggarakan pada bulan Juni, yaitu suijin matsuri, untuk memuja Kami Air.[4]
Semua rangkaian kegiatan upacara dan perayaan keagamaan di atas sebenarnya dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu :
a.    Upacara dan perayaan keagamaan yang ada hubungannya dengan para leluhur, seperti terlihat dalam perayaan Tahun Baru dan perayaan untuk orang-orang yang telah meninggal dunia (bon-matsuri).
b.    Upacara dan Perayaan yang ada kaitannya dengan pengolahan lading-ladang pertanian, yaitu perayaan Tahun Baru yang lebih sederhana (koshogatsu), perayaan Bunga (hana matsuri), dan perayaan panen padi.
c.    Upacara dan perayaan keagamaan yang mempunyai tujuan mensucikan diri, yaitu upacara dan perayaan-perayaan keagamaan selain yang telah disebutkan di atas.[5]
2.    Upacara Peralihan
Kehidupan manusia yang dimulai sejak lahir sampai meninggal dunia dibagi dalam beberapa tingkatan. Perpindahan satu tingkatan ke tingkatan lain merupakan masa-masa yang oleh masyarakat Jepang umumnya diikuti dengan upacara-upacara yang beragam cukup banyak. Terpenting di antaranya adalah upacara-upacara, seperti upacara masa kanak-kanak, upacara usia dewasa, upacara perkawinan, upacara usia lanjut, dan upacara kematian.
C.  Agama Rakyat dan Masyarakat Jepang Hari Ini
Dari pemaparan di atas maka tampak bahwa agama rakyat merupakan sistem kepercayaan dan peribadatan yang benar-benar hidup di kalangan rakyat Jepang, serta merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka seperti terlihat dari kegiatan-kegiatannkeluarga, rukun tangga, agama, dan hari-hari libur nasional Jepang saat ini.
Disamping itu, rangkaian upacara dan perayaan tahunan masih tetap memainkan peranan penting, terutama dalam lingkungan masyarakat pertanian yang umumnya terdapat di daerah pedesaan. Bahkan, di kota Tokyo perayaan-perayaan tersebut juga memperoleh tempat dalam kehidupan masyarakat meskipun lebih merupakan pelestarian nilai-nilai dan warisan budaya Jepang daripada kegiatan agama.
Sehingga memang benar bahwa agama rakyat merupakan agama tradisional atau primitif yang tidak terorganisir, tetapi melekat dalam kehidupan masyarakat Jepang. Jadi, agama rakyat dapat dikatakan sebagai agama kepercayaan atau sebuah agama yang berbentuk perayaan-perayaan atau peribadatan yang agar tercipta tatanan hidup yang lebih harmoni.


                [1] Djam’annuri, dkk, Agama Jepang, cet. I (Yogyakarta : Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 170. Lihat William K. Bunce, Religions in Japan, Charles E. Tuttle Company, second printing, Tokto, 1956, hlm. 122.
                [2] Ibid, hlm. 174-175.
                [3] Ibid, hlm. 175.
                [4] Ibid, hlm. 181-189.
                [5] Ibid, 189-190.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makna Tahlilan

  PROSESI DAN MAKNA TAHLILAN DI DESA KLORON PLERET BANTUL SETIONO    A.    Latar Belakang Tahlilan sangat erat sekali kaitannya de...