AGAMA RAKYAT
Oleh: SETIONO
Kita ketahui bahwa agama di Jepang di
pengaruhi dari berbagai agama, seperti agama Budha, Konfusianisme, Taoisme,
agama Rakyat (kepercayaan) dan agama Shinto sendiri. Sehingga, pada pembahasan
kali ini membahas mengenai Agama Rakyat. Agama Rakyat merupakan agama primitif
yang telah bercampur dengan unsur-unsur dari agama Shinto, Budha, dan kepercayaan-kepercayaan
lainnya. Agama rakyat tidak memiliki kitab suci, tidak tersusun dalam bentuk
organisasi tertentu, dan tidak pula berusaha mengembangkan ajarannya ataupun
memperbanyak para pengikut. Agama rakyat merupakan kepercayaan dan peribadatan
yang diwarisi dan diakui menjadi milik bersama. Maka, agama rakyat dianggap
sebagai umum dan disebut sebagai Minkan
Shinto (agama Shinto kalangan rakyat).
Agama rakyat juga dapat dikatakan
sebagai agama yang memiliki banyak unsur magisnya. Karena praktek keagamaan
yang bertujuan memperoleh keuntungan di dunia ini seperti selamat dari bahaya,
sembuh dari penyakit, dan sebagainya memperoleh tempat utama dalam agama
rakyat. Kemudian memiliki patung-patung dewa yang tersebar di kalangan rakyat
Jepang yang berasal dari dewa-dewa agama Shinto. Terpenting di antaranya ialah
:
1.
Patung dewa Doso-jin, dewa pengawas
jalan raya
2.
Patung dewa Kamado-no-kami, dewa
pengawas api dapur
3.
Patung dewa Ryu-jin, dewa Ular Naga,
dewa pengawas angin dan hujan.
4.
Patung dewa Daikokuten, salah satu di
antara tujuh dewa yang memberikan keberuntungan dan nasib yang baik.[1]
Pemujaan
terhadap dewa-dewa tersebut dilakukan dengan cara yang sangat sederhana sama
seperti cara pemujaan yang dilakukan dalam agama Shinto. Apabila sebuah patung
dewa menjadi semakin terkenal, maka biasanya patung tersebut dipindahkan ke
lingkungan jinja, atau dapat pula didirikan sebuah bangunan sederhana untuk
melindunginya, sehingga patung tersebut akan menjadi lebih menarik.
A. Pemikiran Keagamaan
Dasar
Pokok agama rakyat adalah agama asli Jepang yang mempercayai adanya kekuatan di
balik berbagai gejala alam, binatang, benda, dan manusia yang diyakini
mempunyai sifat-sifat istimewa. Kekuatan tadi disebut dengan kami dan diyakini dapat mempengaruhi
kehidupan manusia, mendatangkan keuntungan atau menyebabkan kesengsaraan. Pada
angin dan hujan, api dan air, guntur dan kilat, batu-batu, hutan-hutan,
gunung-gunung, dan gejala-gejala alam lainnya, dirasakan ada kekuatan spiritual
yang membangkitkan perasaan segan dan takut.[2]
Binatang-binatang juga sering dianggap sebagai kami, kaerena alasan-alasan anatara lain :
1.
Binatang-binatang tersebut menakutkan,
seperti harimau, serigaa, ular, dan sebagainya.
2.
Binatang-bintang tersebut dianggap
sebagai pelayan-pelayan dewa, seperti rusa, kera, burung merpati, kura-kura,
dan sebagainya.
3.
Bintang-bintang tersebut dianggap
sebagai inkarnasi atau penjelmaan dewa, semisal burung kasa, ular naga, rusa,
dan sebagainya.[3]
Jiwa
atau ruh manusia diberi nama khusus yaitu tama.
Meskipun demikian, dalam bahasa Jepang kata tama
memiliki dua arti yaitu permata indah dan ruh atau jiwa.
B. Upacara dan Perayaan Keagamaan
Rakyat
Jepang masih banyak yang menggunakan perhitungan almanak sebagai suatu rencana
untuk kegiatan hidup mereka. Dai-an
adalah hari yang sangat baik untuk melangsungkan perkawinan, perjalanan, dan
sebagainya. Sedangkan butsumetsu
adalah hari yang membawa sial bagi setiap kegiatan manusia.
1. Rangkaian Perayaan Tahunan
a.
Perayaan Tahun Baru, 1 Januari (shogatsu dan koshogatsu)
b.
Perayaan Pergantian Musim, 4 Februari
(ucapan dengan Oni wa soto dan Fuku wa uchi)
c.
Perayaan Boneka, 3 Maret (hina matsuri)
d.
Perayaan Musim Semi, 23 Maret
(penyelenggaraan berbagai macam perayaan keagamaan)
e.
Perayaan Bunga, 8 April (hana matsuri)
f.
Perayaan Hari Anak-Anak, 5 Mei
(merayakan pertumbuhan dan perkembangan anak-anak)
g.
Perayaan Bulan Juni (bulan penuh upacara
keagamaan)
a)
Perayaan Kami Air (suijin matsuri)
b)
Perayaan Musim Panas
c)
Perayaan Penyucian Masal (oharai)
h.
Perayaan Bintang, 7 Juli (tanabata)
i.
Perayaan Orang Mati, 13-16 Juli (bon-matsuri)
j.
Perayaan Bulan Agustus (bulan penuh
upacara keagamaan)
k.
Perayaan Bulan September
l.
Pada tanggal 1 Desember diselenggarakan
sebuah perayaan keagamaan yang namanya sama dengan perayaan yang
diselenggarakan pada bulan Juni, yaitu suijin matsuri, untuk memuja Kami Air.[4]
Semua
rangkaian kegiatan upacara dan perayaan keagamaan di atas sebenarnya dapat
digolongkan menjadi tiga macam, yaitu :
a.
Upacara dan perayaan keagamaan yang ada
hubungannya dengan para leluhur, seperti terlihat dalam perayaan Tahun Baru dan
perayaan untuk orang-orang yang telah meninggal dunia (bon-matsuri).
b.
Upacara dan Perayaan yang ada kaitannya
dengan pengolahan lading-ladang pertanian, yaitu perayaan Tahun Baru yang lebih
sederhana (koshogatsu), perayaan Bunga (hana matsuri), dan perayaan panen padi.
c.
Upacara dan perayaan keagamaan yang
mempunyai tujuan mensucikan diri, yaitu upacara dan perayaan-perayaan keagamaan
selain yang telah disebutkan di atas.[5]
2. Upacara Peralihan
Kehidupan
manusia yang dimulai sejak lahir sampai meninggal dunia dibagi dalam beberapa
tingkatan. Perpindahan satu tingkatan ke tingkatan lain merupakan masa-masa
yang oleh masyarakat Jepang umumnya diikuti dengan upacara-upacara yang beragam
cukup banyak. Terpenting di antaranya adalah upacara-upacara, seperti upacara
masa kanak-kanak, upacara usia dewasa, upacara perkawinan, upacara usia lanjut,
dan upacara kematian.
C. Agama Rakyat dan Masyarakat Jepang
Hari Ini
Dari
pemaparan di atas maka tampak bahwa agama rakyat merupakan sistem kepercayaan
dan peribadatan yang benar-benar hidup di kalangan rakyat Jepang, serta
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka seperti terlihat
dari kegiatan-kegiatannkeluarga, rukun tangga, agama, dan hari-hari libur
nasional Jepang saat ini.
Disamping
itu, rangkaian upacara dan perayaan tahunan masih tetap memainkan peranan
penting, terutama dalam lingkungan masyarakat pertanian yang umumnya terdapat
di daerah pedesaan. Bahkan, di kota Tokyo perayaan-perayaan tersebut juga
memperoleh tempat dalam kehidupan masyarakat meskipun lebih merupakan
pelestarian nilai-nilai dan warisan budaya Jepang daripada kegiatan agama.
Sehingga
memang benar bahwa agama rakyat merupakan agama tradisional atau primitif yang
tidak terorganisir, tetapi melekat dalam kehidupan masyarakat Jepang. Jadi,
agama rakyat dapat dikatakan sebagai agama kepercayaan atau sebuah agama yang
berbentuk perayaan-perayaan atau peribadatan yang agar tercipta tatanan hidup
yang lebih harmoni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar