Etnosains
dan Etnometodologi
Tulisan ini diawali dengan
pernyataan yang tegas dari penulis bahwa etnosains (ethnoscience), dan
etnometodologi (ethnomethodology) yang muncul dalam kajian-kajian sosiologi adalah
dua aliran yang masih relatif baru dalam ilmu-ilmu sosial, namun penulis juga
menggarisbawahi bahwa dasar dari pendekatan ini tidaklah tergolong baru.
Sebelum memaparkan lebih dalam
dengan dua pendekatan ini, Prof. Heddi (yang selanjutnya saya sebut penulis)
mencoba menjelaskan secara singkat persamaan dan perbedaan kedua aliran baru
ini. Mengutip pendapat Cuff and Payne (1980:3), penulis mencoba menjelaskan
bahwa suatu cabang ilmu pengetahuan dapat dibedakan dengan cabang ilmu lainnya
melalui asumsi-asumsi dasar mengenai objek yang diteliti, masalah-masalah yang
ingin dipecahkan, konsep-konsep, metode-metode serta teori yang dihasilkan.
Menurut penulis, perbandingan yang ideal adalah membandingkan kelima hal
tersebut. Namun sayang, penulis tidak membahas kelima hal tersebut dengan
alasan yang sangat klasik, ”tidak memiliki ruang yang memungkinkan”, walaupun
begitu, artikel ini tidaklah tepat dikatakan tidak penting, karena penulis
mencoba membahasnya dengan sudut pandang lain yang bisa mewakili kelima hal
tersebut di atas.
Secara umum artikel yang ditulis
dengan sangat padat ini, berisi empat hal pokok sebagaimana dikatakan penulis
di awal-awal tulisan. Pertama, penulis mengulas tentang asal-usul, asumsi
dasar, dan konsep-konsep pendekatan etnosains dalam antropologi dan
etnometodologi dalam sosiologi. Kedua, penulis melakukan perbandingan terhadap
kedua pendekatan ini yang ditunjukkan melalui persamaan dan perbedaannya.
Ketiga, menunjukkan berbagai kritik yang ditujukan pada pendekatan etnosains. Keempat,
penulis dengan cermat mengemukakan gagasannya sendiri tentang pendekatan
etnosains dan relevansinya dalam pembangunan Indonesia saat ini. Jika
diringkas, maka artikel ini terdiri dari beberapa bagian yaitu etnosains,
etnometodologi, data dan analisis, dan perbandingan dibagian akhir artikel.
Etnosains
dan Etnometodologi
Mengutip pendapat Warner dan Fenton
(1970:537), penulis menjelaskan kata ethnoscience berasal dari bahasa Yunani,
ethnos yaitu bangsa. Sedangkan kata scientio berasal dari bahasa lain yang
bearti pengatahun. Dengan demikian penulis mengambil kesimpulan ethnoscience
adalah pengetahuan yang ada atau dimiliki suatu bangsa atau lebih tepat suatu
suku bangsa tertentu atau subkultur tertentu. Hal ini sesuai dengan tujuan
antropologi sendiri yaitu mendapatkan pengetahuan yang dimiliki oleh suatu suku
bangsa tertentu. Jadi sebenarnya lebih tepat dikatakan bahwa ethnoscience
adalah “system of knowledge and cognition typical of given culture”
(Sturtevant, 1964:99-100). Penulis menjelaskan bahwa penekanannya di sini
adalah pada sistem pengetahuan, yang merupakan pengetahuan yang khas dari suatu
masyarakat, dan berbeda dengan sistem pengetahuan masyarakat yang lain.
Istilah lain etnosains adalah The
News Ethnography. Dalam memberikan depenisi tentang The News Ethnography,
penulis mengutip pendapat Brukman yang dijelaskan bahwa penekanan Brukman
terletak pada prosedur-prosedur yang memberikan pernyataan-pernyataan yang
replicable dan valid, jadi porsedur pelukisan suatu kebudayaan yang dapat ditiru
serta sahih.
Pada bentuknya yang mula-mula,
peneliti awal antropologi yang terkenal adalah W.H.R. Rivers dari Inggris dan
Franz Boas dari Amerika. Pada tahap ini, metode wawancaranya secara khas
disebut dengan istilah “genealogical method”. Teknik etnografinya yang utama
adalah wawancara yang panjang, berkali-kali, dengan beberapa informan kunci.
Tipe penelitiannya lebih bertujuan mendapatkan gambaran masa lalu suatu
kelompok masyarakat (Spradley 2006:x).
Selain The News Ethnography, penulis
juga menjelaskan pandangan para ahli antropologi lainnya yang menyebut
etnosains sebagai Cognitive Antropology, Descriptive Semantics (Goodenough,
1964b:12), dan Ethnographic Semantics (Sparadley, 1979:7). Cognitive
Antropology merupakan data data kognitif (mental codes), sedangkan descriptive
semantics dan ethnographic semantics dipakai oleh para ahli yang beranggapan
bahwa apa yang didiskripsikan dalam etnografi merupakan makna-makna yang hidup
dalam masyarakat yang diteliti, atau atas dasar makna yang diberikan oleh
orang-orang yang diteliti.
Menurut penulis, walaupun ahli-ahli
antropologi menggunakan istilah yang bermacam-macam namun dalam hal metode
penelitian mereka menerapkan prosedur-prosedur yang pada garis besarnya adalah
sama, jikapun berbeda maka perbedaan tersebut tidak begitu besar dan merupakan
penyesuaian terhadap situasi yang ditemukan di lapangan.
Berdasarkan implikasi-implikasi yang
diuraikan dalam masalah-masalah antropologi, penulis menggolongkan dalam tiga
kelompok yaitu kelompok pertama dalam etnosains lebih menekankan pada upaya
mengungkap model-model yang digunakan masyarakat untuk mengklasifikasikan
lingkungan atau situasi sosial yang dihadapi.pada akhirnya akan mengungkap
prinsip-prinsip yang digunakan anggota masyarakat yang menjadi landasan
perikaku mereka. Karenanya, peneliti akan terkesan pada beberapa
istilah-istilah seperti barang rongsokan, kertas, plastik, koran, karton, dan
sebagainya (hlm.118). Melalui suatu wawancara dalam etnosains, lalu diperoleh
suatu bentuk kategorisasi-kategorisasi menurut masyarakat yang diteliti.
kelompok ini juga menekankan pada pengkajian yang bertujuan untuk mengetahui
gejala-gejala materi mana yang dianggap penting oleh warga masyarakat dan
bagaimana mereka mengorganisir berbagai gejala tersebut dalam sistem
pengetahuan mereka (halaman 108 paragraf 2).
Di dalamnya terdapat
pengklasifikasian oleh masyarakat sendiri dalam mereka menghadapi lingkungan
dan hasil akhirnya adalah peta kognitif. Prinsip-prinsip universal yang
dihasilkan dilakukan dengan sistem perbandingan. Kelompok kedua menekankan pada
aturan-aturan. Kelompok ini memberikan perhatian lebih pada kategori-kategori
yang dipakai dalam interaksi sosial serta hak-hak dan kewajiban. Seperti halnya
kelompok pertama, prinsip-prinsip universal juga dihasilkan melalui sistem
perbandingan. Kelompok yang ketiga atau yang g terakhir memandang kebudayaan
sebagai alat atau sarana yang dipakai untuk “perceiving” dan “dealing with
circumstances”. Penekanan peneliti pada kelompok ini adalah pada makna-makna
yang hidup dalam suatu masyarakat atau subkultur tertentu, yang juga dilakukan
oleh kelompok pertama dan kedua namun tidak diungkapkan secara eksplisit, dan
kemudian hasil akhirnya adalah tema-tema budaya. Ada empat cara yang yang
menurut Spradley dapat digunakan dalam mendapatkan tema-tema budaya. Pertama,
setelah mendapatkan berbagai macam kategorisasi, peneliti membaca kembali data
tersebut dan kemudian melihat kaitan antar berbagai macam kategorisasi.
Kelompok kedua lebih mengarahkan
perhatiannya pada rule atau aturan-aturan. Masih tetap menggunakan
kategorisasi-kategorisasi seperti pada kelompok pertama, tetapi lebih banyak
ditujukan pada kategori-kategori sosial yang dipakai dalam interaksi sosial
(hlm.108). Mengikuti Goudenough deskripsi tentang aturan-aturan yang menyangkut
berbagai interaksi sosial akan membawa pada pengkajian konsep kedudukan dan
peranan. Hubungan sosial menyangkut hubungan antara dua pihak yang dibatasi
oleh serangkaian hak dan kewajiban seseorang terhadap orang lain. Metode
descriptive semantics dengan menggunakan Guttman Scale digunakan untuk
mengetahui distribusi hak dan kewajiban dalam berbagai hubungan sosial dalam
masyarakat. Etnografi Goudenough yang diperoleh melalui penelitiannya yang
mewawancarai salah satu warga masyarakat Truk, seperti dikutip penulis artikel
ini, sangat membantu kita dalam memahami model kategorisasi salah satu warga
yang mendiskripsikan masyarakatnya secara luas (hlm.108,120-121).
Kelompok ini juga memperhatikan
dimensi-dimensi kontras dan melihat persamaan yang ada. Ketiga adalah dengan
menganalisis secara mendalam sistem kategorisasi mengenai cara-cara atau
langkah-langkah yang dijalankan oleh si informan dalam suatu kegiatan tertentu.
Dan yang terakhir adalah menggambarkan hubungan-hubungan yang ada antar
berbagai bidang tertentu dari kebudayaan yang diteliti. Seperti pada kelompok
kedua, kelompok ini juga memperhatikan sistem klasifikasi yang ada di
masyarakat menggunakan landasan teori tentang makna. Berbeda dengan kelompok
pertama dan kedua, kelompok terakhir ini mencari prinsip-prinsip universal
melalui pemahaman secara mendalam atas sesuatu hal.
Kelompok ketiga menekankan pada
makna-makna yang hidup dalam suatu masyarakat atau sub-kultur tertentu, lalu
mengusahakan mengungkapkan tema-tema budaya (cultural themes) yang ada di
dalamnya. Meski kelompok pertama dan kedua juga mempelajari tentang makna,
tetapi pada kelompok ketiga ini cara pengungkapan maknanya lebih eksplisit.
Etnometodologi, menurut penulis
dasar pendekatan ini dimulai dari filsafat fenomenologi transedental Husserl
yang memusatkan perhatian pada kesadaran sama seperti fenomenologi
eksistensial. Fenomenologi transedental berupaya untuk menggambarkan kesadaran
manusia serta bagaimana kesadaran tersebut terbentuk atau muncul dan tidak dipersoalkan
apakah kesadaran ini benar atau salah.
Etnometodologi
adalah suatu aliran sosiologi Amerika yang muncul pada tahun 1960-an. Pada
awalnya aliran ini berasal dari kampus-kampus California, lalu menyebar ke
beberapa universitas di Amerika, dan akhirnya ke Eropa, khususnya di Inggris
dan Jerman. Seperti diakui Coulon (2008) bahwa pentingnya etnometodologi
disebabkan oleh dua hal. Pertama, dari sudut teori dan epistemologi,
etnometodologi sangat berbeda dengan cara berpikir sosiologi tradisonal. Kedua,
etnometodologi merupakan suatu wawasan penelitian (une perspective de
recherche), suatu sikap intelektual baru (Coulon 2008:v).
Untuk menjelaskan tentang
etnometodologi, penulis lebih banyak mengutip pendangan-pandangan para ahli
tentang pendekatan tersebut. Penulis mengutip pendapat Goodenough yang
menyatakan bahwa phenomenal order adalah peristiwa-peristiwa atau pola-pola
tingkah-laku yang diamati. Kesadaran memiliki dua aspek yaitu proses sadar dan
obyek dari kesadaran tersebut. Dan hal ini berkaitan dengan maksud dari orang
tersebut yang nantinya akan memberi makna pada obyek yang dihadapi. Makna itu
selalu diarahkan pada bidang kehidupan yang juga ada orang-orang lain di
dalamnya yang saling berhubungan dan menjadi apa yang disebut intersubjective dimana
terjadi timbal balik perspektif. Dari pengalaman pribadi dan pengalaman orang
lain ini kemudian menjadi pengalaman bersama. Dreitzel menegaskan bahwa makna
yang diberikan oleh orang-orang yang terlibat dalam interaksi tersebut,
bagaimana makna itu muncul, dimiliki bersama serta dipertahankan untuk selama
jangka waktu tertentu dan bagaimana kenyataan sehari-hari yang selalu
berbeda-beda dipandang sebagai hal-hal yang wajar, biasa dan nyata bagi mereka
yang menghadapinya. Karena dipandang sebagai hal-hal yang wajar, biasa dan
nyata kemudian ini disebut sebagai natural attitude. Jadi bisa dikatakan bahwa
Etnometodologi berdasarkan pada maksud. Sejarah hidup sangat mempengaruhi
hal-hal tersebut, jadi landasan kedua dari etnometodologi adalah konsepnya tentang
natural attitude.
Pendapat lainnya yang dikutip
penulis adalah konsepsi Schutz, yang menyatakan bahwa interaksi sosial
merupakan proses interpretasi yang terus-menerus ini kemudian membangkitkan
permasalahan dalam etnometodolgi tentang bagaimana interpretive procedures
digunakan untuk memahami dan membangun interaksi sosial. Selanjutnya, ide-ide
ini lalu mempengaruhi Harold Garfinkel, seorang ahli sosiologi, yang
selanjutnya dikenal pula sebagai pelopor etnometodologi. Pada intinya, idenya
menyangkut masalah bagaimana proses terjadinya suatu proses interaksi sosial
(hlm.114).
Berdasarkan upaya perbandingan yang
telah dilakukan oleh penulis dalam artikel ini, bisa disimpulkan ada empat
persamaan antara etnosains dan etnometodologi yaitu: Pertama, keduanya
sama-sama menggunakan bahasa atau pernyataan-pernyataan yang diucapkan oleh
orang yang diteliti sebagai bahan untuk analisis. Kedua, keduanya sama-sama
terlibat dalam relativisme budaya sebab salah satunya tidak menyatakan bahwa
satu kebudayaan lebih tinggi dari kebudayaan lainnya. Ketiga, baik
etnometodologi dan sebagian etnosciencetist berusaha mendapatkan aturan-aturan
yang mendasari tingkah laku manusia, dengan caranya masing-masing. Keempat,
bahwa keduanya berangkat dari asumsi yang sama tentang manusia, bahwa manusia
pada dasarnya memberikan makna terhadap gejala yang dihadapi. Pemberian makna
terhadap situasi inilah yang membedakan manusia dengan binatang.
Sedangkan perbedaan dari kedua
pendekatan ini, menurut penulis adalah antara keduanya adalah bahwa etnosains
lebih banyak memperhatikan komponen-komponen yang ada dalam sistem pengetahuan
si pelaku, sedangkan etnometodologi lebih menyibukkan diri dengan usaha untuk
menemukan “basic features (essence, perhaps) of everyday interaction so that
the problem of how meanings are constructed and how social reality…”(hlm.128).
Menurut saya, artikel ini menjadi
lebih menarik karena penulis tidak sekedar meramaikan perdebatan tentang
etnosains dan etnometodologi yang telah ada, namun juga menunjukkan
keberpihakannya pada pengembangan pemikiran teoritis dan metodologis
disiplinnya untuk kemajuan ilmu itu sendiri.
Melalui artikel ini, perspektif
etnosains sepertinya sangat sesuai diterapkan di Indonesia untuk mengungkap
tentang nilai-nilai, aturan-aturan, pandangan hidup serta berbagai kebiasaan
yang ada di tengah masyarakat. Meski penulis mengakui bahwa etnosains bukan
satu-satunya perspektif yang dapat turut mensukseskan pembangunan, namun
pengetahuan mengenai sistem ide suatu masyarakat sangat penting bagi
perencanaan pembangunan. Penulis juga menegaskan, jika menginginkan suatu upaya
pembangunan yang manusiawi dan secara etika menghargai pandangan-pandangan dan
sistem pengetahuan masyarakat yang menjadi sasaran pembangunan, maka perspektif
etnosains tidak bisa diabaikan.
Mengakhiri review ini, menurut
pandangan saya, kelebihan utama artikel ini adalah cara penyajian yang
sangat sistematis dan runut tentang asumsi dasar kedua pendekatan, sehingga
sangat mudah dimengerti dan dipahami oleh pembaca. Kelebihan lainnya artikel
ini menyajikan perdebatan di antara kedua pendekatan, termasuk argumen-argumen
dan pandangan-pandangan dari masing-masing pihak pendukungnya. Selain itu,
kekayaan referensi yang ditunjukkan penulisnya memberi bobot yang bermakna bagi
artikel ini.
Beberapa tanggapan atas kritik yang
ditujukan pada etnosains dijelaskan penulisnya dengan mengemukakan
argumen-argumen logis dan pemaparan yang singkat tetapi langsung pada inti
persoalan. Di samping kelebihan lainnya yaitu pengutipan yang dilakukan penulis
tentang pendapat atau pandangan atas suatu permasalahan yang dikutip langsung
dari sumber aslinya. Hal ini menunjukkan orisinalitas pustaka sekaligus
meminimalisir kekeliruan dalam memahami pandangan dari penulis aslinya.
Namun kutipan langsung yang
dilakukan penulis tanpa diikuti penafsiran, tentu akan menyulitkan sebagian
pembaca yang tidak memahami bahasa Inggris dengan baik dan benar, kesulitan
terutama dalam mengambil makna dan maksud yang hendak disampaikan. Hal ini
menjadi satu kelemahan dari artikel ini, walaupun secara umum artikel ini
sangat begitu mudah dipahami.
DAFTAR PUSTAKA
§
Ahimsa-Putra, H.S. 1985. “Etnosains
dan Etnometodologi: Sebuah Perbandingan” dalam “Masyarakat Indonesia” Majalah
Ilmu-ilmu Sosial Indonesia. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jilid
XII Nomor 2. Hlm.103-133
§
Coulon, A. 2008. Etnometodologi.
Jakarta: Lengge. Kerjasama Kelompok Kajian Studi Kultural (KKSK) Jakarta dan
Yayasan Lengge Mataram.
§
Soeseno, Slamet. 1993. Teknik
Penulisan Ilmiah Populer, Kiat Menulis Nonfiksi untuk Majalah. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
§
Spradley, J.P. 1997. Metode
Etnografi. Terj. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar