Islam Sekuler Dalam
Pandangan Ali Syari’ati
Bahasan kali ini adalah terkait dengan
Iideologi Islam sekuler, sepesifikasinya yang berada dalam pandangan ali
syariati. Pada makalah ini, sedikit banyak saya akan mengantarkan pembaca pada
pola pikir Syari’ati bagaimana ia memandang Islam sekuler. Semua ini terlepas
dari subjektivitas pandangan dan analisis saya.Sebab, metode yang saya gunakan
adalah fonemik kalau dalam istilah antropologi, semua pandangan menyangkut
sekularisasi adalah asli pandangannya.
Mungkin sebagai sebuah pengantar atau
pandangan bagaimana kita memasuki dunia pemikirannya, Ali Syariati memiliki
pandangan yang sangat revolusiner dan teologi pembebasan dalam islam.
Baginya islam tidak cukup jika hanya dimaknai
sebagai suatu agama yang senantiasa berada lingkaran ritual-ritual keagamaan
tanpa ikut campur dalam urusan politik dan Negara.
Ali Syari’ati memahami
agama bukan sebagai kumpulan doktrin yang lebih berdimensi ritual saja.
Menurutnya, agama adalah sumber lahirnya kesadaran (awareness), landasan
etik (morality), tanggungjawab (responsibility) dan kehendak
bebas (free will) yang mampu menggerakkan pemeluknya menjadi kekuatan
pembebas dari determinasi ideologi-ideologi multitheism yang menindas.
Bagi Syari’ati, Islam sejati bersifat revolusioner. Tetapi
entah mengapa dalam perjalanan waktu kemudian Islam telah berubah menjadi
seperangkap doa-doa dan ritual yang tak bermakna sama sekali dalam kehidupan.
Islam hanya sebatas agama yang mengurus bagaimana orang mati, tetapi tidak
peduli bagaimana orang bisa survive dalam kehidupan di tengah gelombang
diskriminasi, eksploitasi, dan aneka penindasan dari para penguasa zalim. Agama
model seperti ini yang sangat disukai para penguasa untuk menjaga kekuasaannya
tetap aman, tanpa ada gangguan dari orang-orang yang ingin mengamalkan Islam
sejati.
Ali Syari'ati
terlahir dengan nama Ali Mazinani, pada tanggal 24 November 1933 di Mazinan,
sebuah daerah dekat kota suci Masyhad, sebuah kota yang dianggap suci oleh para
penganut Syiah imamiyah Itsna ‘Asyariyah, karena di kota tersebut dimakamkan
imam mereka yang kedelapan, yakni imam Ali bin Musa al-Ridha. Ayah beliau
adalah Muhammad Taqi Syari'ati dan ibu beliau bernama Zahrah. Nama Syari'ati
sendiri yang kemudian dikenal sebagai namanya, beliau gunakan pertama kali pada
paspornya untuk mengelabui petugas imigrasi, sewaktu beliau akan meninggalkan
Iran menuju Inggris, pada tanggal 16 Mei 1977 (beberapa hari sebelum beliau
meninggal).
Orang tua
beliau adalah tokoh masyarakat yang cukup disegani ditengah-tengah
masyarakatnya sebagai tokoh spiritual. Meskipun demikian, keluarga Syari'ati
tetaplah hidup sederhana selayaknya penduduk desa yang lain. Dari keluarganya
inilah Ali Syari'ati membentuk kepribadiannya, mentalitas, dan jati dirinya, utamanya
melalui sang ayah yang berperan sebagai orang tua, guru, dan pembimbing
spiritualnya.Masa muda Syari'ati dihabiskan dengan
belajar, membantu orang tuanya mencari nafkah dan ikut aktif dalam
perjuangan-perjuangan politik dan melakukan propaganda menentang rezim Syah
Pahlevi yang sedang berkuasa di Iran pada saat itu.
Selain
terpengaruh oleh ayahnya, pembentukan jiwa Ali Syari'ati juga cukup terpengaruh
oleh kakeknya Akhund Ahmad dan paman dari ayahnya Najib Naysapuri.Dari
merekalah Ali Syari'ati kecil mempelajari fiqih, sastra, dan filsafat.Ali
Syari'ati cukup mewarisi tradisi keilmuan yang diturunkan dari ayahnya,
kakeknya, dan paman ayahnya.tersebut.Hal ini tebukti
dengan jejak langkah Ali Syari'ati selanjutnya yang memiliki kecendrungan yang
cukup tinggi terhadap berbagai jenis keilmuan dan gerakan sosial keagamaan
sebagaiamana ayah, kakek, dan paman ayahnya tersebut.
Pada tahun
1959, Ali Syari'ati lulus sebagai sarjana sastra dari Universitas Masyhad.
Selanjutnya pada tahun 1960, beliau mendapat bea siswa dari pemerintah untuk
melanjutkan study di Universitas Sorbone di Prancis. Di
Prancis inilah Syari'ati tinggal selama lima tahun dan banyak menimba beragam
ilmu serta terlibat aktif dalam berbagai gerakan pembebasan. Di Prancis, beliau
banyak berkenalan dan berguru pada beberapa filosof dan ilmuwan terkemuka
Prancis, seperti Alexist Carrel, Jean Paul Sartre, Henry Bergson, Frans Fanon,
Louis Massignon, Albert Camus, dan tokoh-tokoh pemikir Prancis yang lainnya.Diantara tokoh Prancis yang sangat mempengaruhi pemikiran
beliau adalah Alexist Carrel, seorang ilmuwan Prancis.Bahkan beliau
menerjemahkan dan mengembangkan buku karangan Alexist Carrel yang berjudul de
Prayer kedalam bahasa Arab dengan judul al-Du'a.Diantara tokoh
pemikir eksistensialisme yang cukup mempengaruhi pemikiran Ali Syari'ati adalah
Jean Paul Sartre, Soren Abeye Kierkegard, dan Nikholas Bordayev.Selain itu
Syari'ati juga banyak mengkaji pemikiran-pemikiran Marxisme yang sedang booming
pada masa itu di dunia.
Selama di
Prancis, beliau aktif dalam gerakan politik pembebasan iran bersama Mustafa
Chamran dan ibrahim Yazdi. Di saat yang sama, beliau juga aktif dalam gerakan
"Front Nasional Kedua". Selama tinggal di Prancis, Syariati juga ikut
aktif dalam gerakan pembebasan Aljazair.Setelah beliau
berhasil menyelesaikan program doktoralnya di Prancis, pada bulan September
1964, beliau meninggalkan Prancis dan kembali ke kampung halamannya di Iran.
Sesampainya di
Iran, Syari'ati ditangkap dan ditahan selama 1,5 bulan atas tuduhan terlibat aktif
dalam gerakan politik melawan pemerintah selama beliau di Prancis.Setelah dibebaskan, beliau kemudian diterima mengajar di
Universitas Masyhad.Selain itu, Syari'ati juga mengajar di beberapa sekolah di
Masyhad. Karena aktivitas politiknya yang cukup membahayakan, Syari'ati
kemudian dikeluarkan dari Universitas Masyhad, dan selanjutnya beliau bersama
Murtadha Muthahhari, Husein Behesyti, serta beberapa ulama Syiah yang lain
mendirikan lembaga pendidikan Huseiniyah Irsyad, Syari'ati sendiri
terlibat sebagai salah satu pengajarnya. Masa antara tahun 1967-1873 adalah
masa di mana Syari'ati menyibukkan dirinya untuk mengajar di Huseiniyah
Irsyad serta terlibat aktif dalam gerakan-gerakan politik melawan rezim
Syah.Selama mengajar di Huseiniyah Irsyad beliau banyak memberikan
kuliah yang cukup membakar semangat anak muda Iran untuk melakukan perlawanan
terhadap pemerintah. Akibat kegiatannya ini, akhirnya beliau kembali
dipenjarakan selama lima ratus hari oleh pemerintah. Syari'ati baru dibebaskan
oleh pemerintah Iran pada bulan Maret 1975, itu pun setelah adanya desakan dari
berbagai organisasi internasional serta para tokoh intelektual Prancis dan
Aljazair.
Setelah
dibebaskan, Syari'ati menyadari bahwa dirinya tidak bebas melakukan aktivitas
politik selama tinggal di iran. Akhirnya pada tanggal 16 Mei 1977, beliau
meninggalkan Iran menuju ke Eropa. Tujuan pertama beliau adalah singgah di
inggris dan selanjutnya hendak ke Amerika Serikat untuk mengunjungi anaknya
yang kuliah di sana. Tapi, belum sempat beliau pergi ke Amerika, pada tanggal
19 juni 1977, beliau ditemukan meninggal secara misterius di rumah keluarganya,
di Schoumpton, Inggris. Pemerintah Iran(rezim Syah)
menyebutkan beliau meninggal akibat serangan jantung, namun dugaan terkuat
beliau dibunuh oleh agen SAVAK (agen intelejen Iran).
Karena
aktivitas politiknya yang begitu padat dan usia beliau yang cukup singkat, Ali
syari'ati hanya sempat menulis dua buku secara khusus, yaitu Hajj (Haji)
dan Kavir (Gurun Pasir), selebihnya adalah kumpulan kuliah dan ceramah
beliau yang kemudian dibukukan.Selain itu juga sempat
menerjemahkan dan menggubah beberapa buku, seperti Abu Dzar, Salman
al-Farisi, dan de Prayer karya Alexist Carrel.Telah banyak karya
beliau yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.Pemikiran-pemikiran
beliau yang cukup filosofis dan revolusioner telah cukup banyak mempengaruhi
pemikiran Islam modern yang berkembang di Indonesia. (Bersambung)(IRIB
Indonesia/PH).
Kata “sekuler” masih kian
merah bagi sebagian kaum muslim karena masih dipertautkan dengan ideologi
sekularisme.. Menurut pandangan Franz Magnis Suseno, sekularisme adalah sebuah
ideologi yang berjaya di negera-negara Katolik Eropa Selatan (terutama Prancis,
Spanyol, Portugal, dan Italia) dan Amerika Selatan yang bertekad membuang
Gereja katolik dari ruang publik. Dan bagi kalangan Fundamentalisme haram
hukumnya meperbincangkan wacana negara sekuler apalagi menjadikannya sebagai
fondasi negara.
Dalam berbagai pemikiran
Islam kontemporer, berbagai tinjauan atas sekularisme menjadi tema sentral para
tokoh dalam mengemukakan pendapatnya.Sekularisme, pada hakikatnya adalah usaha
menguraikan teks suci sebagai sesuatu yang transenden ke dalam temporalitas.
Atau dengan kata lain, sebagai usaha mengimanensikan teks sebagai jalur
permanen dalam meramalkan tanda-tanda zaman. Dalam pandangan John L. Esposito,
dalam bukunya Ancaman Islam; Mitos atau Realitas, sekularisme atau
westernisasi adalah salah satu dari empat varian tanggapan kaum Muslim
atas tantangan kolonialisme Barat: menolak, mundur, modernisasi.
Kritik Ali Syari’ati
terhadap Barat adalah karena cara pandang mereka yang positivistik dimana
melalui proyek sekularisasi ilmu pengetahuan dipisahkan dari konteks
kemanusiaan. Bahkan sekularisasi peran agama yanb dipisahkan dengan Negara,
padahal bagi Ali Syari’ati Islam harus diekspresikan dalam tindakan, tidak
semata-mata melakukan ritual-ritual keagamaan yang senantiasa menimbulkan klaim
tidak benar terhadap suatu Agama.Oleh karena itu, tidak mengherankan jika
tingginya ilmu pengetahuan dan teknologi justru melahirkan alienasi manusia
dari nilai kemanusiaannya sendiri.Terdapat
perbedaan yang cukup signifikan antara kelompok Islam sekuler dengan kelompok
Islam yang tidak memisahkan kehidupan beragama dengan kehidupan berpolitik.
Kelompok Islam Sekuler menyatakan bahwa kaum ulama tidaklah wajib untuk
berkecimpung didalam dunia politik. Pandangan ini didasarkan pada pandangan
bahwa kehidupan agama merupakan urusan pribadi masing-masing individu (privat),
tidak ada hubungannya dengan dunia politik (publik). Sehingga peran ulama hanya
terbatas pada ritual-ritual keagamaan semata, jangan mengurusi kehidupan dunia
politik. Dalam kondisi seperti ini maka ulama tidaklah mungkin menjadi pemimpin
dari suatu masyarakat, ulama hanya selalu menjadi subordinasi dan/atau alat
legitimasi pemimpin politik dari masyarakat.
Sedangkan
kelompok anti sekuler yang meyakini bahwa kehidupan beragama dan dunia tidak
dapat dipisahkan khususnya dunia politik. Kelompok ini mendukung dan meyakini
bahwa ulama haruslah memimpin. Ulama harus dapat membimbing manusia tidak hanya
menuju pada kebaikan yang bersifat dunia, akan tetapi juga hal-hal yang menuju
pada kesempurnaan spiritual. Para ulama yang menduduki jabatan politik haruslah
dapat melepaskan manusia dari belenggu-belenggu dunia yang menyesatkan.
Ulama
berasal dari kata bahasa arab dan semula ia berbentuk jamak, yaitu alim artinya
adalah orang yang mengetahui atau orang pandai. Seorang pemimpin revolusi Iran,
yaitu Imam Khomaini dalam konteks pemerintahan ia menggunakan kata Fuqaha untuk
mengganti istilah ulama. Bagi Khomeini kepemimpinan seorang Fuqaha (ulama)
adalah suatu kemestian. Ia memiliki 2 alasan, yaitu : Pertama, alasan yang
teologis berupa riwayat dari Nabi Muhammad SAW,adalah ”Fuqaha adalah pemegang
amanat rasul, selama mereka tidak masuk keduania”, kemudian seseorang bertanya,
” Ya Rasul, apa maksud dari perkataan mereka tidak masuk ke dunia. Lalu Rasul
menjawab, ” mengikuti penguasa. Jika mereka melakukannya maka khawatirkanlah
(keselamatan) agama kalian dan menjauhlah kalian dari mereka.” Kedua, alasan
Rasional bahwa tidaklah adil sekiranya Tuhan membiarkan ummatnya bingung karena
ketidakmampuan mereka menafsirkan maksud Tuhan dalam konteks zamannya. Jabatan
ulama bukanlah jabatan struktur akan tetapi ia merupakan suatu pengakuan dari
ummatnya. Ummat dalam hal ini haruslah juga bersikap kritis terhadap ulamanya
untuk menguji kwalitas dari seorang ulama tersebut.
Pendapat
yang tidak rasional dari kedua kelompok di atas adalah kelompok Islam sekuler.
Kelompok Islam sekuler hanya memahani Islam secara parsial,atau bisa jadi
mereka ditugaskan oleh kelompok pembenci Islam untuk mendistorsi pahaman umat
Islam akan agamanya.
Alam
semesta dan manusia memiliki dimensi materi dan imateri. Islam merupakan agama
yang sempurna dimana pengaturannya meliputi seluruh alam semesta ini. Ketika
kehidupan beragama dipisahkan dari aktivitas politik, maka seolah-olah Islam
tidak mengatur bagaimana kehidupan berpolitik dan bermasyarakat. Justru
terkadang manusia memiliki pengetahuan yang terbatas terhadap realitas alam
semesta ini. Sehingga manusia dapat saja berbuat kekeliruan dalam bertindak dan
memutus suatu perkara.
Kata kunci progresifitas Islam adalah peran aktif dalam
sejarah kemanusiaan. Islam bukan agama pasrah yang hanya berfikir tentang
kehidupan akherat dan tidak melibatkan diri dalam dinamika sejarah
sosial-politik manusia. Bentuk ajaran agama yang demikian ini yang telah
melahirkan banyak kritik dari Karl Marx, sang revolusioner yang telah dituduh
anti agama. Agama pasrah ini adalah agama candu yang akan melanggengkan segala
bentuk kesewenang-wenangan dan penindasan. Dalam posisi ini, kata Marx, mereka
yang tertindas akan dihibur oleh ajaran yang mengatakan bahwa penderitaan itu
adalah taqdir Tuhan dan pahala mereka adalah surga. Maka demikian jugaSyari’ati
setuju dengan pandangan Marx itu, khususnya dalam aspek bagaimana bentuk-bentuk
penindasan itu tidak dilanggengkan oleh ajaran agama, bahwa agama adalah candu
(opium).
Ali Syari’ati memahami
agama bukan sebagai kumpulan doktrin yang lebih berdimensi ritual saja.
Menurutnya, agama adalah sumber lahirnya kesadaran (awareness), landasan
etik (morality), tanggungjawab (responsibility) dan kehendak
bebas (free will) yang mampu menggerakkan pemeluknya menjadi kekuatan
pembebas dari determinasi ideologi-ideologi multitheism yang menindas.
Bagi Syari’ati, Islam sejati bersifat revolusioner. Tetapi
entah mengapa dalam perjalanan waktu kemudian Islam telah berubah menjadi
seperangkap doa-doa dan ritual yang tak bermakna sama sekali dalam kehidupan.
Islam hanya sebatas agama yang mengurus bagaimana orang mati, tetapi tidak
peduli bagaimana orang bisa survive dalam kehidupan di tengah gelombang
diskriminasi, eksploitasi, dan aneka penindasan dari para penguasa zalim. Agama
model seperti ini yang sangat disukai para penguasa untuk menjaga kekuasaannya
tetap aman, tanpa ada gangguan dari orang-orang yang ingin mengamalkan Islam
sejati.
Gagasan Syari’ati tentang Islam revoluioner atau Islam
pembebasan sejalan dengan gagasan tentang teologi pembebasan (theology of
liberation) yang banyak diusung oleh tokoh-tokoh revolusioner baik di Amerika
Latin maupun Asia. Ide dasar pemikiran antara Syari’ati dengan para pengusung
teologi pembebasan hampir sama, yakni ingin mendobrak kemapanan lembaga resmi
keagamaan (ulama, gereja) yang posisinya selalu berada pada pihak kekuasaan,
dan berpaling dari kenyataan ril umatnya yang selalu ditindas oleh kekuasaan
itu. Mereka sama-sama memberontak dan tidak puas dengan seperangkat doktrin
yang telah dibuat oleh ulama atau gereja untuk melindungi kepentingan kelas
atas dan menindas kelas bawah. Islam revolusioner dan teologi pembebasan
sama-sama berupaya untuk mengakhiri dominasi lembaga resmi agama dan
mengembalikan hak menafsirkan agama itu kepada rakyat, sehingga doktrin-doktrin
yang terbentuk adalah ajaran agama sejati yang berpihak pada kepentingan
rakyat.
Sebagaimana yang telah terekam dalam sejarah Islam, bahwa
kedatangan Islam adalah untuk merubah status quo serta mengentaskan kelompok
yang tertindas dan eksploitasi; mereka inilah yang disebut dengan kelompok
masyarakat lemah. Masyarakat yang sebagian anggotanya mengeksploitasi sebagian
anggota yang lainnya yang lemah dan tertindas, tidak disebut sebagai masyarakat
Islam (Islamic society), meskipun mereka menjalankan ritualitas Islam. Ajaran
Nabi menyatakan bahwa kemiskinan itu dekat dengan kekufuran, dan menyuruh
umatnya untuk berdoa kepada Allah agar dapat terhindar dari keduanya.
Penghapusan kemiskinan merupakan syarat begi terciptanya masyarakat Islam.
Dalam hadis lain Nabi menyatakan, bahwa sebuah negara dapat bertahan hidup
walau di dalamnya ada kekufuran, namun tidak bisa bertahan jika di dalamnya
terdapat dhulm(penindasan).
Sebagaimana yang telah digelisahkan oleh Syari’ati, Islam
yang bersifat revolusioner ini segera menjadi agama yang kental dengan status
quo. Islam sarat dengan praktek feodalisme dan para ulama justru menyokong
kemapanan yang sudah kuat itu. Mereka lebih banyak menulis buku tentang
kaidah-kaidah ritual dan menghabiskan energinya untuk mengupas masalah-masalah
furû’iyah dalam syari’at, dan sama sekali mengecilkan arti elan fital Islam dengan
menciptakan keadilan sosial dan kepedulian Islam yang aktif terhadap kelompok
yang lemah dan tertindas (mustad’afîn). Mereka mengidentifikasi dirinya sebagai
mustakbirîn (orang yang kuat dan sombong).
Menurut
Ali Syari’ati, secara sosiologis masyarakat dan kepemimpinan merupakan dua
istilah yang tidak dapat dipisahkan. Syari’ati berkeyakinan bahwa ketiadaan
kepemimpinan menjadi sumber munculnya problem-problem masyarakat, bahkan
masalah kemanusiaan secara umum. Menurut Syari’ati pemimpin adalah pahlawan,
idola, dan insan kamil, tanpa pemimpin umat manusia akan mengalami disorientasi
dan alienasi.
Dalam hal
ini, Syari’ati “menuduh”
ulama sebagai sumber utama atas penyelewengan ajaran Islam yang bersifat
revolusioner. Di tangan ulama, Islam telah menjadi agama “orang mati” yang
tidak berdaya melawan “orang-orang yang serakah”. Dalam konteks Iran, ulama
telah merubah Syi’ah dari kepercayaan revolusioner menjadi ideologi
konservatif; menjadi agama negara (din-i dewlati), yang paling tinggi
menekankan sikap kedermawanan (philanthropism), paternalisme, pengekangan diri
secara sukarela dari kemewahan. Sedangkan pada pihak lain, demikian Syari’ati
menggambarkan, ulama mempunyai hubungan organik dengan kemewahan itu sendiri melalui
kelas berharta. Karena ulama Syi’ah memperoleh pemasuka dari Khams (sedekah)
dari sahm-i Imâm(bagian dari zakat), mereka tak terhindarkan lagi terkait
kepada orang kaya, negara tuan tanah, dan pedagang bazaar. Sebagai respon
terhadap orang yang mengklaim bahwa ulama Syi’ah lebih independen dibandingkan
dengan ulama Sunni. Syari’ati berargumen bahwa hal itu mungkin benar pada masa
sebelum Safavi, tetapi tidak demikian setelahnya.
Syari’ati lebih jauh menilai, hubungan khusus ulama semacam
itu telah menjadikan mereka sebagai instrumen kelas-kelas berharta.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam dibiayai kaum berharta untuk mencegah ulama
berbicara tentang perlunya menyelamatkan kaum miskin. Sebaliknya, dengan
menggunakan doktrin fikih tentang ekonomi, ulama berusaha mengabsahkan
ekploitasi, yang menurutnya bahkan lebih ekploitatif dibandingkan dengan
kapitalisme Amerika. Pada akhirnya, Islam telah menjadi khordeh-i burzhuazi
(burjuasi kecil). Dan, kaum mullah telah melakukan perkawinan yang tidak suci
(unholy marriage) dengan pedagangbazâr. Dalam perkawinan ini, mullah
menciptakan agama bagi pedagang, sementara pedagang membuat dunia lebih
menyenangkan bagi mullah.
Tentu saja kritik yang cukup pedas dari Syari’ati kepada
golongan ulama membuat para ulama menberikan reaksi balik. Muthahari, salah
sorang ulama terkemuka, memandang Syari’ati telah memperalat Islam untuk
tujuan-tujuan politis dan sosialnya. Lebih jauh Muthahari menilai, aktivisme
politik protes Syari’ati menimbulkan tekanan politis yang sulit untuk dipikul
oleh sebuah lembaga keagamaan seperti Hussainiyeh Ersyad dari rezim Syah. Dan
Memang, setelah Syari’ati banyak mengkritik lembaga ulama dan rezim,
Hussainiyeh Ersyad akhirnya ditutup paksa oleh pasukan keamanan. Selain
Muthahhari, masih banyak ulama sumber panutan (marja’ taqlid) seperti Ayâtullah
Khû’i, Milani, Rûhani, dan Thabathâba’i yang juga turut mengecam suara-suara
kritis Syari’ati. Bahkan mereka mengeluarkan fatwa yang melarang membeli,
menjual, dan membaca tulisan-tulisan Syari’ati.
Setelah Syari’ati mengkritik ulama yang dinilainya
sebagaiakhund, Syari’ati lantas menyampaikan tipikal ulama ideal. Menurutnya,
ulama ideal, secara sederhana, adalah ulama aktivis, yang menggalang massa
untuk melakukan gerakan protes. Sehingga dalam hal ini, ia menjadikan ayahnya
sendiri dan Ayâtullah Muhammad Baqir Sadr (dihukum mati oleh pemerintah
Republik Islam Iran tahun 1979) atau pemikir aktivis dari kalangan Sunni
seperti al-Afghani sebagai idolanya. Khomaeni tentu saja cocok dengan kerangka
Syari’ati mengenai ulama. Tetapi Syari’ati tidak pernah menyatakan perasaannya
secara terbuka tentang Khomaeni. Informasi yang ada nampaknya memberikan
indikasi bahwa Syari’ati mengakui Khomaeni sebagai pemimpin besar.
Walaupun Ali Syari’ati tampak sebangun dengan Imam Khomeini
dalam melihat realitas politik Iran dan bagaimana faham Syi’ah berhadap-hadapan
dengan faham resmi yang dibanguh rezim, akan tetapi ada satu hal yang
membedakan antara keduanya, yaitu pada persoalan siapa yang akan menjadi
lokomotif pembaharu atau revolusi. Khomeini cenderung mengedepankan peran ulama
formal (para mullah) sedangkan Syari’ati pada kekuatan kelompok rausanfikr.
Kelompok rausanfikr adalah sekelompok orang yang melakukan pembaharuan di
kalangan umat dengan menjadikan faham Islam sebagai basis epistemologi dan
aksiologisnya. Islam yang demikian itu, kata Syari’ati, adalah “Islam
protestan” yang bisa menjadi kekuatan sosio-kultural untuk menghilangkan abad
kegelapan dunia Islam dan menciptakan suatu abad renaisance.
Pemikiran-pemikiran Ali Syari’ati tentang Islam secara
konsisten berada dalam aras Islam progresif dan revolusioner. Corak Islam yang
demikian itu berangkat dari faham bahwa dalam ajaran Islam, Tuhan telah
menugaskan kepada manusia sebagai khalîfah-Nya di muka bumi. Khalîfahdalam hal
ini adalah pemangku tugas pembaharu dan selalu memimpin dunia dengan keadilan
dan kearifannya. Jika ditemukan dalam penggalan sejarah manusia-manusia serakah
yang aksinya menindas dan memperkosa hak-hak manusia lain, maka menjadi tugas
khalîfah untuk menyingkirkan jenis manusia itu dari muka bumi. Khalîfah
haruslah dalam posisi pro-aktif memperjuangkan prinsip-prinsip keadilan, bukan
manusia pasrah yang selalu menerima nasib secara taken for granted. Demikianlah
yang dapat dikategorikan sebagai ajaran Islam progresif sebagaimana yang
digagas oleh Ali Syari’ati.
Sebagaimana yang telah digelisahkan oleh Syari’ati, Islam
yang bersifat revolusioner ini segera menjadi agama yang kental dengan status
quo. Islam sarat dengan praktek feodalisme dan para ulama justru menyokong
kemapanan yang sudah kuat itu. Mereka lebih banyak menulis buku tentang
kaidah-kaidah ritual dan menghabiskan energinya untuk mengupas masalah-masalah
furû’iyah dalam syari’at, dan sama sekali mengecilkan arti elan fital Islam
dengan menciptakan keadilan sosial dan kepedulian Islam yang aktif terhadap
kelompok yang lemah dan tertindas (mustad’afîn). Mereka mengidentifikasi
dirinya sebagai mustakbirîn (orang yang kuat dan sombong).
Alam
semesta dan manusia memiliki dimensi materi dan imateri. Islam merupakan agama
yang sempurna dimana pengaturannya meliputi seluruh alam semesta ini. Ketika
kehidupan beragama dipisahkan dari aktivitas politik, maka seolah-olah Islam
tidak mengatur bagaimana kehidupan berpolitik dan bermasyarakat. Justru
terkadang manusia memiliki pengetahuan yang terbatas terhadap realitas alam
semesta ini. Sehingga manusia dapat saja berbuat kekeliruan dalam bertindak dan
memutus suatu perkara
Soroush, Abdul Karim (2002) Menggugat
Otoritas dan Tradisi Agama. Bandung: MIZAN.
Esposito, John L. (1996) Ancaman
Islam; Mitos atau Realitas? Bandung: MIZAN.
Syari’ati, Ali (1994) Membangun
Masa Depan Islam. Bandung: MIZAN.
NS, Suwito (2004)Transformasi
Sosial: Kajian Epistemologis Ali Syari’ati Tentang Pemikiran Islam Modern. Yogyakarta: Unggul Religi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar