Rabu, 21 Oktober 2015

Islam, Negara dan Kemajukan Umat



ISLAM, NEGARA DAN KEMAJEMUKAN UMAT
Oleh:
SETIONO

            Islam merupakan suatu agama yang sangat progresif dalam perkembangan ataupun penyebarannya, bahkan Islam sendiri mudah menerima kebudayaan baru dengan cara memfilter hal-hal yang positif. Islam juga suatu hal yang unik dalam perjalanannya dan penyebarannya, karena Islam mampu membentuk suatu kebudayaan yang dapat melahirkan suatu demokrasi yang dapat diterima oleh masyarakat. Islam sangat toleran dalam hal-hal agama dan demokrasi, sebab Islam telah mampu menggabungkan atau memasukan nilai-nilai agama dalam suatu kebudayaan. Ketika Islam mampu melahirkan suatu kebudayaan yang mampu diaktualisasikan, maka pada saat itu juga telah muncul nilai-nilai religius dan nilai-nilai demokrasi pada tubuh Islam itu sendiri.
            Agama itu sendiri suatu hal yang mampu memberikan daya dorong perubahan sosial secara demokratik. Karena agama tidak hanya sebagai pandangan hidup manusia saja, akan tetapi agama juga merupakan sarana manusia untuk menciptakan kedamaian serta mampu mengemukakan pendapatnya secara demokratis. Bahkan menurut Imam Aziz, 1993 : “Agama diposisikan sebagai landasan satu-satunya bagi pembentukan masyarakat dan pemecahan krisis kemanusiaan secara umum”. Bahkan agama sendiri berada dalam posisi yang kontroversial. Di satu sisi, agama diharapkan mampu mendorong lahirnya sikap-sikap inklusif dalam proses demokrasi dan demokratisasi. Di sisi lain, agama justru menjadi kendala serius bagi munculnya sikap inklusif itu, ketika ia mementingkan dirinya sendiri dalam bentuk symbol-simbol dan pelembagaan agama yang kaku. Sehingga hal tersebut seringkali sulit untuk dihindari, mengingat setiap orang dalam memeluk agama bukanlah sekedar persoalan individual, tetapi sangat terkait dengan dimensi sosiokultural tertentu.
            Agama sangat berhubungan erat dengan pelembagaan, struktur sosial dan proses perubahan sosial. Hubungan itu dapat bermakna fungsional yang positif ataupun disfungsional yang negatif, tetapi seringkali samar-samar. Demokrasi dalam agama merupakan persoalan yang rumit dalam tradisi Islam. Persoalannya bermula dari hubungan agama dan Negara yang tidak tuntas dalam Islam. Karena pemerintahan yang tidak berasal dari rakyat disebut pemerintahan yang tidak mempunyai legitimasi. Pemerintahan yang tidak dijalankan oleh rakyat disebut pemerintahan otoriter. Pemerintahan yang dijalankan tidak untuk rakyat adalah suatu pemerintahan yang korup. Dari ketiga hal tersebut, kita dapat menguji, apakah pemerintahan bisa disebut demokratis atau tidak.
            Sejumlah gerakan religius berhasil meraih sukses, sekalipun pendukung-pendukungnya yang ekstrem telah ditumpas, ketika gagasan-gagasan mereka diasimilasi ke dalam ideologi politik Negara. Yang ditemukan oleh Juergensmeyer menegaskan bahwa ideologi agama formal yang diramalkan sebagai tidak memiliki masa depan itu ternyata semakin menunjukkan kekuatannya. Oleh karena itu, sulit diterima analisis yang menyatakan bahwa keberadaan organized religion akan ditinggalkan orang. Kebangkitan agama-agama formal semakin menguat, yang dalam batas-batas tertentu berpadu secara simbiotik dengan semangat etnisitas.
            Dari uraian diatas sehingga dapat disimpulkan bahwa agama memiliki dua sisi yaitu positif dan negatif. Agama juga mampu mendorong untuk merubah suatu hal yang baru dan bahkan kaitannya sangat erat dengan kehidupan masyarakat atau sosial masyarakat. Bahkan agama itu sendiri mampu melahirkan kebudayaan yang dapat diaktualisasikan oleh masyarakan sehingga membentuk suatu demokrasi. Dengan demikian agama mampu bangkit dan menunjukkan kekuatan-kekuatan positif yang mampu membangun suatu demokrasi dan demokratisasi. Sehingga agama mampu saling membaur dengan kehidupan masyarakat dan Negara.

ISLAM DI JAWA



“ZAMAN ISLAM DI JAWA”
Oleh:
SETIONO
 
            Islam berkembang di jawa begitu banyak tersebar di seluruh nusantara. Bahkan Islam berkembang yang kita ketahui, bahwa Islam awal mulanya muncul melalui perdagangan yang dibawa oleh orang-orang dari Gujarat. Dari hal tersebut, mulailah adanya kebudayaan islam. Kebudayaan islam itu sendiri ada dua ciri yang cukup moderat yaitu bernafaskan tauhid dan hasil buah pikiran (dan pengelolahannya untuk kesejahteraan umat manusia).
            Berbicara tentang zaman Islam di Jawa, sangat menarik. Karena Islam di Jawa cukup unik, sebab Islam di Jawa dipengaruhi dua kebudayaan yaitu kebudayaan Hindhu dan Budha. Sehingga Islam di Jawa sangat kental dengan tradisi ataupun adat yang telah ada sejak dulu sebelum Islam masuk ke Pulau Jawa. Islam di Jawa mulai berkembang dengan adanya kerajaan-kerajaan Islam yang muncul dan dengan datangnya para wali sanga serta sultan-sultan yang menganut Islam. Bukti adanya Islam telah ada yaitu dengan adanya batu nisan raja-raja yang menganut Islam. Walaupun hal itu sebagai awal diperkirakannya awal mula adanya Islam masuk ke Indonesia, akan tetapi hal itu masih adanya simpang siur. Ada yang mengirakan Islam muncul pada masa itu ataupun sebelumnya. Islam mulai lebih dikenal dengan adanya sastra Melayu yang awal munculnya menjadi peradaban Islam di Indonesia (abad 16 dan 17 M). Dengan hal itu mengakibatkan munculnya sastra Islam, dimana Islam dan Melayu kemudian menjadi dwitunggal yang tidak dapat dipisahkan. Islam mulai diterima di daerah-daerah pesisir dengan penuh kegairahan oleh masyarakat. Sebenarnya pada saat itu banyak guru-guru tarekat yang menjadi penyebar agama bahkan ada faktor politik ataupun persaingan. Akan tetapi bagi kalangan pesantren agamalah yang menjadi prioritas utama, sedangkan kekuasaan politik tabir penghalang.
            Ketika membahas tentang sastra, budaya Islam, dan kejawen itu akan menghasilkan suatu interaksi yang dapat melahairkan pemahaman. Pemahaman itu bahwa dalam suatu sastra Jawa Pesantrenan, bahasa dan sastra Jawa dijadikan sebagai suatu wadah untuk memperkenalkan ajaran-ajaran Islam. Sedangkan dalam sastra Islam-Kejawen unsure-unsur sufisme dan ajaran budi luhurnya diserap oleh sastrawan Jawa untuk mengislamkan  warisan sastra Jawa pada masa Hindhu. Dari hal itu bisa membawa Islam lebih maju dan berkembang pesat, karena dengan adanya keterbukaan terhadap unsure-unsur dinamis kebudayaan Barat. Akan tetapi hal itu bisa berhasil, jika umat Islam lebih pandai dalam berpikir secara ilmiah. Sehingga dapat diperkirakan Islam yang datang ke Indonesia memiliki corak sufistik. Bahwasannya alam pikiran sufisme dengan paham ruh aktifnya selaras dengan alam pikiran animism-dinamisme. Maka dari itu, agama Islam disambut sebagai penyempurna warisan budaya mereka. Apalagi dengan adanya mitos wali-wali, tentu memperoleh sambutan hangat dikalangan masyarakat pesisir maupun pedesaan. Perlu di ingat bahwa penyebaran agama Islam melalui dakwah dan pendidikan bergerak perlahan dari daerah-daerah pesisir maupun pedesaan. Dengan dakwalah Islam di Jawa berkembang sangat cepat, di karenakan dalam Islam tidak ada paksaan. Seperti halnya, dakwah yang dibawakan oleh Sunan Kalijaga dengan penuh keselarasan, mudah diterima, dan menyesuaikan keadaan ataupun kebudayaan (tradisi) pada masyarakat setempat. Serta meluruskan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Demikian pula dongeng tentang Wali Sanga menurut hipotesis G.W.J Drewes adalah merupakan kecerdikan para sastrawan Jawa dalam membungkus kepercayaan Jawata Sanga dengan kemasan Islam. Maka, pergulatan budaya intelektual antara Islam dan budaya Jawa sangatlah rumit. Karena mereka masih sibuk mencerna budaya Islam Timur Tengah melalui kitab-kitab berbahasa Arab. Maksudnya para kyai hanya menggunakan buku-buku yang berbasis bahasa Arab dalam mengajarkannya kepada santrinya. Sehingga mereka kurang mampu mengolah ajaran tersebut.
            Penyebaran agama Islam yang pada mulanya terpusatkan di daerah-daerah pesisir, akhirnya mendapat sambutan positif dari para kepala daerah. Sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada sangka politik, karena umat Islam sudah terbiasa diperintah oleh raja-raja yang beragama Islam. Mungkin politik itu ada, akan tetapi politik tidak di utamakan dimasa itu. Karena pada saat itu Islam hanya ingin menyejahterahkan umat dan meluruskan aqidah.
            Islam berkembang  di Indonesia melalu perdagangan, bukan melalui penaklukan. Hubungan perdagangan ini semula merupakan tulang punggung bagi penyebaran Islam di kepulauan Nusantara, termasuk di Jawa. Sejak abad ke-16 perdangan ini direbut oleh orang barat atau kolonial barat yang beragama Kristen. Dengan hal itu Islam menjadi suatu symbol nasionalisme yang religius. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam di Jawa berkembang dengan adanya perdagangan bukan penaklukan. Islam di Jawa berkembang juga melalui dakwahnya para wali sanga, dengan tanpa adanya paksaan. Begitu pula Islam di Jawa masih benyak yang memiliki pemahaman tentang animisme dan dinamisme. Sehingga tradisi di Jawa tetap selalu hidup dalam lingkungan masyarakat. Sebab semua hal itu dipengaruhi adanya kebudayaan atau warisan dari Hindhu dan Budha. Islam di Jawa juga diterima dengan penuh kegairahan oleh masyarakat, sehingga Islam di Jawa penuh keunikan. Karena ada faktor politik, sosial, serta tradisi ataupun warisan dari budaya yang telah ada sebelumnya.

Akulturasi Pernikahan



AKULTURASI BUDAYA JAWA DAN ISLAM DALAM UPACARA PERNIKAHAN
Oleh:
SETIONO

A.    Latar Belakang Masalah
Indonesia memiliki berbagai macam kelompok dan suku bangsa yang beragam, setiap kelompok tersebut memiliki berbagai kebudayaan khas yang berbeda antara yang satu dengan yang lain.  Kebudayaan adalah suatu yang khas insani, artinya hanya terdapat pada makhluk manusia saja, kedudukan manusa adalah sentral. Tidak ada kebudayaan tanpa manusia. Hewan serta alam sekitar kita yang disebut alam buta tidak dapat menghasilkan kebudayaan. Kedua, kebudayaan - yang terdiri dari berbagai  unsur – membentuk suatu kesatuan. Keselarasan antar unsur di dalamnya merupakan suatu hal yang sangat penting dan diperlukan. Ketiga, kebudayaan mengandung nilai-nilai, karena itu kebudayaan, oleh Jan Baker, dihubungkan dengan hal-hal yang baik, bermanfaat, yang indah dalam kehidupan manusia.[1]
Indonesia, khususnya masyarakat Jawa telah memiliki kebudayaan yang cukup tinggi. Corak antara kebudayaan daerah yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda, karena adanya kecenderungan yang bersifat religius, non-dogmatis, toleran, akomodatif dan optimistik. Meskipun memiliki corak yang berbeda, tetapi sebenarnya unsur-unsur kebudayaan yang terdiri dari kesenian, bahasa, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup, sistem teknologi dan peralatan, sistem religi dan keagamaan, juga sistem organisasi masyarakat di daerah-daerah itu adalah sama, karena kebudayaan merupakan suatu kesatuan yang saling terjalin dan terkait satu sama lain.[2]
Dalam masyarakat Jawa yang mayoritas penduduknya beragama Islam misalnya, kebudayaan yang berkembang dan turun temurun antar generasi, terdapat nilai-nilai Islam yang terkandung didalamnya dan bercampur dengan kebudayaan asli  tersebut. Seperti contoh upacara pernikahan. Upacara pernikahan yang berkembang dalam masyarakat Jawa merupakan adat dan budaya yang diwariskan oleh para leluhur. Namun sejak Islam datang, pernikahan yang sudah ada tersebut berakulturasi dengan ajaran Islam. Didalam masyarakat Jawa sendiri terdapat perbedaan jenis upacara pernikahan antara satu daerah dengan daerah yang lain, meskipun masih dalam lingkup suku bangsa yang sama. Tetapi, diantara perbedaan tersebut terdapat suatu kesamaan yang menyatukan satu sama lain, yaitu adanya suatu nilai Islam yang terkandung didalamnya.
Dalam menggali bentuk akulturasi antara budaya Jawa dan Islam pada upacara pernikahan, kami melakukan penelitian di Desa Lemberang Kabupaten Banyumas.

B.     Prosesi  Upacara Pernikahan  Adat Masyarakat Desa Lemberang
Ada beberapa tahapan dalam upacara pernikahan yang ada di Desa Lemberang diantaranya, yaitu :
1.      Lamaran
Lamaran berarti pinangan; permintaan untuk meminang.[3] Lamaran dalam adat pernikahan jawa, pada masa lalu, orang tua calon pengantin pria mengutus salah seorang anggota keluarganya untuk meminang. Tetapi kini, untuk praktisnya orang tua pihak lelaki bisa langsung meminang kepada orang tua pihak wanita. Pinangan yang dalam bahasa arabnya “khitbah” berarti penawaran dari seorang laki-laki kepada perempuan untuk melangsungkan pernikahan.[5] Tujuan utama dari pinangan adalah untuk mengetahui pendapat perempuan yang akan dinikahi, apakah mau untuk dinikahi atau tidak mau.[6] Tidak sebatas itu, tetapi juga untuk memberikan kabar kepada keluarga besar bahwa kedua calon siap untuk melaksanakan ritual perkawinan.[7] Di samping juga untuk mengetahui pendapat wali serta keluarga perempuan tersebut, maka tujuan pinangan dalam Islam adalah cara untuk menyingkap atau mengetahui sikap seorang perempuan dan keluarganya sangat penting sebelum dilaksanakan akad nikah.[8]
Lamaran biasanya dilaksanakan sebagai bukti kesungguhan antara kedua calon untuk melangsungkan ke arah pernikahan. Dengan adanya lamaran berarti membuktikan bahwa sudah ada kesepakatan diantara kedua calon tersebut. Biasanya dalam lamaran ada pemberian cincin dari calon laki-laki kepada wanita yang akan dinikahi.
Kira-kira sebulan ata dua bulan setelah acara pertunangan, orang tua si wanita sudah memberitahukan kepada sanak familinya atau tetangga terdekatnya mengenai pertunangan dan pernikahan. Sebenernya pada saat itu terjadi undangan-undangan secara tidak resmi dan pernyataan-pernyataan, baik dari pihak pemberitahu maupun pihak sanak keluarganya. Yang terakhir ini biasanya tanpa diminta akan memberikan bantuan sekedarnya untuk meringankan biaya pesta perkawinan.[9]
Keluarga biasanya mengadakan pembentukan panitia (Kumbakarnan) seminggu sebelum acara pernikahan digelar. Pembentukan panitia melibatkan sesepuh, saudara dan tetangga. Hal ini menjadi tolok ukur tanggung jawab para saudara dan keluarga demi kelancaran dalam membantu berjalannya prosesi upacara pernikahan.[10]

2. Paningset dan Srah-Srahan
                 Paningset adalah berbagai barang (perhiasan, pakaian, aneka jajanan, buah-buahan, uang, ayam dan kambing) yang diberikan oleh keluarga calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita sebagai tanda untuk mengikat calon mempelai wanita, karena akan dinikahkan dengan calon mempelai pria.[11]
                             Srah-srahan adalah pernyataan keluarga calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita yang intinya menyerahkan calon mempelai pria untuk nyantri di rumah calon mempelai wanita. Pada malam srah-srahan, calon mempelai pria diberi berbagai wajangan agar menjadi suami yang baik dalam mengarungi bahtera rumah tangga.[12] Pelaksanaan itu biasanya bersamaan dengan prosesi paningset yaitu sehari sebelum upacara pernikahan dilaksanakan, dimaksudkan untuk mempermudah jalannya pernikahan.[13]

3. Pasang Tarub
                 Prosesi selanjutnya sebelum pernikahan adalah persiapan pemasaangan tarub[14], di depan rumah keluarga gadis (calon mempelai wanita) yang akan digunakan untuk melangsungkan upacara perkawinan.[15] Namun pada kemajuan zaman, tarub ini sekarang diganti dengan deklit yang berasal dari besi yang lebih kuat untuk menyangga, yang dapat melindungi para tamu undangan dari hujan dan panas matahari. Dalam pasang tarub yang terpenting adalah dilaksanakannya kenduren yang dihadiri oleh sejumlah orang dengan hitungan ganjil.[16] Ketika prosesi pasang tarub, orang yang mempunyai hajat juga memberikan atau membuat sesajen. Dengan sesajen itu bermaksud untuk menghormati arwah leluhur atau nenek moyang.[17]
                             Pasang tarub agung adalah salah satu syarat yang biasa dipenuhi oleh orang Jawa. Dengan memasang tarub agung itu, masyarakat umum akan cepat mengetahui bahwa keluarga yang bersangkutan sedang mempunyai hajat untuk menyelenggarakan pernikahan. Secara simbolis bahwa rumah yang dipasang tarub sedang mempunyai gawe (hajat) besar.[18]
                             Tarub dimaksudkan untuk memperbesar “pendopo” atau ruangan bagian depan (halaman) atau apa saja yang sifatnya adalah menghormati para tamu yang datang supaya dapat duduk dengan baik dan enak tidak terkena panas atau kehujanan dan dapat juga diartikan bahwa si tuan rumah memang sedang ada suatu acara.[19]
                             Bleketepe adalah salah satu anyaman yang terbuat dari daun kelapa yang hijau tua dan baru ambil dari pohonnya. Saat ini karena menggunakan tenda, maka anyaman bleketepe digunakan sebagai hiasan pada pintu masuk bersama-sama dengan hiasan lainnya dan sebagai sarana pelengkap dari hiasan.[20]
                             Tumbuhan yang biasa digunakan dalam hiasan tarub adalah psang raja, cengkir gading, tebu, lombok (Cabai), dedaunan ( daun kemuning, daun dadap serep dan sebagainya).
4. Malam Midodareni
                 Malam midodareni di Jawa biasanya dilakukan dengan cara tirakatan atau lek-lekan. Malam midodareni dilakukan untuk meramaikan acara satu hari sebelum prosesi pernikahan yang biasanya diisi dengan kegiatan jiguran.[21] Biasanya pada malam midodareni calon mempelai wanita ditemani oleh kerabat dan sanak saudara sebagai simbol perpisahan dengan para remaja, karena sejak malam itu mempelai wanita telah menjadi bidadari yang akan memasuki fase kedewasaan, yaitu rumah tangga.
 5. Pawiwahan
                 Pawiwahan merupakan acara inti pada proses pernikahan adat Jawa, yaitu meliputi:
a.       Pasrah-tampi pengantin (serah-terima pengantin)
Pasrah pengantin pria biasanya dil­­akukan oleh wakil dari pihak mempelai pria dan tampi pengantin biasanya dilakukan oleh wakil pihak mempelai wanita.
b.      Ijab Qabul (akad nikah)
Pada dasarnya, sah atau tidaknya suatu pernikahan yang paling menentukan adalah proses ijab qabul. Hal itu bisa dikatakan demikian karena menyangkut dengan hukum agama dan hukum negara. Dan upacara ijab qabul tersebut melibatkan beberapa pihak selain mempelai itu sendiri. Dalam ijab qabul ada isyarat bahwa terjadi pemindahan kekuasaan seorang wanita dari tangan wali kepada mempelai pria. Hal ini berarti beban tanggung jawab untuk menafkahi mempelai wanita berpindah kepada mempelai pria.[22] Ijab qabul biasanya dilakukan di rumah mempelai wanita di kantor urusan agama (KUA) ataupun di masjid.
c.       Temu Pengantin
Temu pengantin adalah rangkaian kegiatan setelah dilakukannya ijab qabul, yaitu diakukan dengan berjabat tangan antar mempelai. Setelah itu mereka diarak pulang ke rumah untuk melakukan suatu sungkeman.[23] Prosesi temu pengantin ini sekaligus menjadi ajang publikasi bagi kedua mempelai bahwa dirinya adalah pasangan yang sah mulai saat itu, meskipun sebenarnya sudah sah sejak dilakukannya ijab qabul.
d.      Sungkeman
Sungkeman adalah proses hormat takdzim kedua mempelai kepada orang tua. Kedua mempelai melaksanakan sungkeman dengan sikap hormat berjongkok dan menghaturkan sembah kepada orang tua kedua mempelai untuk memohon doa restu, meminta maaf sekaligus ucapan terima kasih atas pernikahan tersebut.[24]



6. Boyong Manten
         Boyong manten adalah tahap akhir dalam upacara pernikahan adat Jawa. Yaitu suatu proses pindahan mempelai wanita ke rumah mempelai pria ataupun sebaliknya atas dasar kesepakatan kedua mempelai.[25]

C.     Akulturasi Budaya Jawa dan Islam Pada Upacara Pernikahan Adat Jawa.
Akulturasi adalah kontak budaya satu dengan budaya lain sehingga terjadi penyatuan budaya.[26] Hal itu bisa dikatakan bahwa akulturasi adalah peleburan antara kedua kebudayaan menjadi satu sehingga tercipta suatu kebudayaan baru yang tidak meninggalkan sama sekali budaya aslinya. Proses akulturasi dapat dijabarkan sebagai suatu proses sosial yang timbul apabila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu sedemikian rupa dipengaruhi oleh unsur-unsur suatu kebudayaan lain, sehingga unsur-unsur kebudayaan lain itu diterima dan disesuaikan dengan unsur-unsur kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya identitas kebudayaan asli.[27] Dalam akulturasi ini sering terjadi perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam suatu tradisi, meskipun terjadi perubahan dalam prakteknya, hal itu tidak merubah tujuan asli dari tradisi tersebut. Selain itu, masyarakat pemilik tradisi tersebut tidak keberatan atau menolak dengan perubahan itu. Hal ini diartikan bahwa proses akulturasi yang terjadi disini berlangsung secara damai dan tidak ada paksaan. Seperti contoh tradisi slametan dahulu masih dilaksanakan secara besar-besaran dengan menggelar wayangan semalam suntuk, sekarang cukup dengan acara pengajian. Namun diantara keduanya memiliki tujuan yang sama, dan masyarakat juga tidak menolak atau bahkan menentang perubahan tersebut.
Dalam upacara pernikahan adat Jawa, terdapat unsur-unsur nilai budaya yang telah mengalami akulturasi, yaitu antara nilai-nilai yang ada dalam budaya Jawa dan nilai-nilai Islam. Beberapa hal yang telah mengalami akulturasi diantaranya adalah:
1.      Acara Ijab Qabul.
Acara ijab qabul yang pada aslinya adalah rangkaian acara yang dilakukan di rumah mempelai wanita, namun dalam praktiknya banyak masyarakat yang melakukan kegiatan tersebut di masjid. Selebihnya telah dipaparkan pada uraian sebelumnya mengenai ijab qabul.
2.      Acara Temu Pengantin.
              Acara temu pengantin yang dilakukan pada upacara pernikahan adat Jawa biasanya dilakukan dengan iringan gamelan dan gendhing-gendhing Jawa, namun saat ini terjadi sedikit perubahan, yaitu yang semula musik gamelan, sekarang banyak yang menggantikannya dengan iringan hadrah dan sholawat. Dalam hiburannya pun juga demikian, yang aslinya dalam hiburan terdapat alunan musik gamelan dan tarian-tarian, banyak yang menggantinya dengan rebana atau nasyid. Hal ini seperti yang diajarkan dalam Islam bahwa untuk menampakkan meriahnya pesta di hari pernikahan, Islam membolehkan nyanyian yang bersih (tidak mengandung perbuatan mesum dan fasik). Demikian halnya dengan permainan yang menyenangkan sebagai bentuk penenang dan penyemangat jiwa.[28] Dapat diartikan bahwa syair-syair yang digunakan dalam hiburan tersebut adalah bukan syair-syair yang melalaikan dan sarat dengan unsur foya-foya, tetapi lebih pada syair yang bernuansa doa yang ditujukan kepada mempelai.
3.      Sungkeman
                    Acara sungkeman yang ada di upacara pernikahan adat Jawa itu sendiri sudah bisa mengindikasikan bahwa ada nilai-nilai Islam yang terkandung didalamnya. Yang mana dalam ajaran agama Islam selalu ditekankan mengenai birrul walidain.  Sungkeman itu sendiri adalah acara yang bertujuan untuk suatu penghormatan kepada orang tua kedua mempelai.

D.    Kesimpulan
            Upacara pernikahan dalam adat Jawa merupakan suatu tradisi dan kebudayaan yang sangat kompleks, didalamnya terdapat berbagai unsur-unsur simbolik yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi selanjutnya. Dalam perkembangannya seiring bergantinya zaman dan masuknya agama Islam, secara tidak langsung telah terjadi perubahan dalam praktik upacara tersebut, yaitu adanya percampuran budaya asli dengan agama Islam yang merupakan pendatang, meskipun dalam hal tujuan dari rangkaian upacara tersebut tidak mengalami pergeseran makna yang signifikan. Hal itu bisa dilihat dalam setiap rangkaian acara pernikahan Jawa kebanyakan telah dikemas dalam bentuk islami. Dengan demikian, adanya akulturasi kebudayaan Jawa dan agama Islam yang terdapat pada proses upacara pernikahan adat Jawa, tidak merubah makna dan tujuan dari setiap bagian upacara yang mengalami akulturasi tersebut.



DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shobuni, M. Ali, Pernikahan Islami, Solo: Mumtaza, 2008
Bakker, J. W. M, Filsafat Kebudayaan, terj. Dick Hartoko, Yogyakarta: Kanisius, 1984
Endraswara, Suwardi, Metodologi Penelitian Kebudayaan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006
Herusatoto, Budiono, Simbolisme Jawa, Yogyakarta: Ombak, 2008
Kan’an, Syekh Muhammad Ahmad, Kado Terindah untuk Mempelai, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2006
Pranoto, H. P. Teguh Tjaroko, Tata Upacara Adat Jawa, Yogyakarta: Kuntul Press, 2009
Pringgowidagda, Suwarna, Pawiwahan dan Pahargyan, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2003
Pringgowidagda, Suwarna, Paningset, srah-srahan dan Midodareni, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2003
Purwadi, Ensiklopedi Adat Istiadat Budaya Jawa, Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007
Purwadi, Upacara Tradisional Jawa, Menggali Untaian Kearifan Lokal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005
Wiranata, I. Gede A. B., Antropologi Budaya, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, edisi kedua, 1995
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, edisi ketiga, 2007.
Skripsi Upacara Pernikahan Adat Masyarakat Dukuh Tlukan oleh Siti Mufidatun Nisa, jurusan sejarah dan kebudayaan Islam UIN SUKA, 2011.


[1] J.W.M Baker, Filsafat Kebudayaan, terj. Dick Hartoko (Yogyakarta: Kanisius, 1984), hlm. 139.
[2] Skripsi Upacara Pernikahan Adat Masyarakat Dukuh Tlukan oleh Siti Mufidatun Nisa, jurusan sejarah dan kebudayaan Islam UIN SUKA, 2011.
[3] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, edisi ketiga, 2007), hlm. 629.
[5] Skripsi Upacara Pernikahan Adat Masyarakat Dukuh Tlukan oleh Siti Mufidatun Nisa, jurusan sejarah dan kebudayaan Islam UIN SUKA, 2011.
[6] Wawancara dengan Bapak Syamsul Kodri pada tanggal 10 Mei 2013.
[7] Wawancara dengan Ibu Khalifah pada tanggal 10 Mei 2013.
[8] Syekh Muhammad Ahmad Kan’an, Kado Terindah, hlm. 43.
[9] Purwadi, Ensiklopedi Adat-Istiadat Budaya Jawa (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007), hlm. 272.
[10] Skripsi Upacara Pernikahan Adat Masyarakat Dukuh Tlukan oleh Siti Mufidatun Nisa, jurusan sejarah dan kebudayaan Islam UIN SUKA, 2011.

[11] Suwarna Pringgawidagda, Paningset, Srah-srahan dan Midodareni, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2003), hlm. 2.
[12] Ibid, hlm. 2.
[13] Wawancara dengan Ibu Situr, warga Desa Lemberang pada tanggal 11 Mei 2013.
[14] Tjaroko H. P. Teguh Pranoto, Tata Upacara Adat Jawa (Yogyakarta: Kuntul Press, 2009), hlm. 44.
[15] Purwadi, Upacara Tradisional Jawa, Menggali Untaian Kearifan Lokal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 168.
[16] Budiono Herusatoto, Simbolisme jawa (Yogyakarta; Ombak, 2008), hlm. 173.
[17] Wawancara dengan Bapak Suryan, warga Desa Lemberang pada tanggal 11 mei 2013.
[18] Purwadi, Pranata Sosial Jawa (Yogyakarta: Cipta Karya, 2007), hlm. 43.
[19] Tjaroko H. P. Teguh Pranoto, Tata Upacara Adat Jawa, hlm. 46.
[20] Ibid, hlm. 46
[21] Wawancara dengan Bapak Suryan, warga Desa Lemberang pada tanggal 11 mei 2013
[22] Wawancara dengan Bapak Syamsul Kodri, warga Desa Lemberang pada tanggal 12 mei 2013
[23] Wawancara dengan Ibu Khalifah, warga Desa Lemberang pada tanggal 12 mei 2013
[24] Wawancara dengan Ibu Khalifah, warga Desa Lemberang pada tanggal 12 mei 2013
[25] Wawancara dengan Bapak Sawireja, warga Desa Lemberang pada tanggal 12 mei 2013
[26] Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), hlm. 100.
[27] I. Gede. A.B. Wiranata, Antropologi Budaya (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 125.
[28] M Ali Ash-Shobuni, Pernikahan Islami (Solo: Mumtaza, 2008), hlm. 182.

Makna Tahlilan

  PROSESI DAN MAKNA TAHLILAN DI DESA KLORON PLERET BANTUL SETIONO    A.    Latar Belakang Tahlilan sangat erat sekali kaitannya de...