AKULTURASI BUDAYA JAWA DAN ISLAM DALAM
UPACARA PERNIKAHAN
Oleh:
SETIONO
A.
Latar Belakang Masalah
Indonesia
memiliki berbagai macam kelompok dan suku bangsa yang beragam, setiap kelompok
tersebut memiliki berbagai kebudayaan khas yang berbeda antara yang satu dengan
yang lain. Kebudayaan adalah suatu yang
khas insani, artinya hanya terdapat pada makhluk manusia saja, kedudukan manusa
adalah sentral. Tidak ada kebudayaan tanpa manusia. Hewan serta alam sekitar
kita yang disebut alam buta tidak dapat menghasilkan kebudayaan. Kedua,
kebudayaan - yang terdiri dari berbagai
unsur – membentuk suatu kesatuan. Keselarasan antar unsur di dalamnya
merupakan suatu hal yang sangat penting dan diperlukan. Ketiga, kebudayaan
mengandung nilai-nilai, karena itu kebudayaan, oleh Jan Baker, dihubungkan
dengan hal-hal yang baik, bermanfaat, yang indah dalam kehidupan manusia.[1]
Indonesia,
khususnya masyarakat Jawa telah memiliki kebudayaan yang cukup tinggi. Corak
antara kebudayaan daerah yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda, karena
adanya kecenderungan yang bersifat religius, non-dogmatis, toleran, akomodatif
dan optimistik. Meskipun memiliki corak yang berbeda, tetapi sebenarnya
unsur-unsur kebudayaan yang terdiri dari kesenian, bahasa, sistem pengetahuan,
sistem mata pencaharian hidup, sistem teknologi dan peralatan, sistem religi
dan keagamaan, juga sistem organisasi masyarakat di daerah-daerah itu adalah
sama, karena kebudayaan merupakan suatu kesatuan yang saling terjalin dan
terkait satu sama lain.[2]
Dalam
masyarakat Jawa yang mayoritas penduduknya beragama Islam misalnya, kebudayaan
yang berkembang dan turun temurun antar generasi, terdapat nilai-nilai Islam
yang terkandung didalamnya dan bercampur dengan kebudayaan asli tersebut. Seperti contoh upacara pernikahan.
Upacara pernikahan yang berkembang dalam masyarakat Jawa merupakan adat dan
budaya yang diwariskan oleh para leluhur. Namun sejak Islam datang, pernikahan
yang sudah ada tersebut berakulturasi dengan ajaran Islam. Didalam masyarakat
Jawa sendiri terdapat perbedaan jenis upacara pernikahan antara satu daerah dengan
daerah yang lain, meskipun masih dalam lingkup suku bangsa yang sama. Tetapi,
diantara perbedaan tersebut terdapat suatu kesamaan yang menyatukan satu sama
lain, yaitu adanya suatu nilai Islam yang terkandung didalamnya.
Dalam
menggali bentuk akulturasi antara budaya Jawa dan Islam pada upacara
pernikahan, kami melakukan penelitian di Desa Lemberang Kabupaten Banyumas.
B. Prosesi Upacara Pernikahan Adat Masyarakat Desa Lemberang
Ada beberapa tahapan dalam upacara
pernikahan yang ada di Desa Lemberang diantaranya, yaitu :
1.
Lamaran
Lamaran
berarti pinangan; permintaan untuk meminang.[3]
Lamaran dalam adat pernikahan jawa, pada masa lalu, orang tua calon pengantin
pria mengutus salah seorang anggota keluarganya untuk meminang. Tetapi kini,
untuk praktisnya orang tua pihak lelaki bisa langsung meminang kepada orang tua
pihak wanita.
Pinangan yang dalam bahasa arabnya “khitbah” berarti penawaran dari
seorang laki-laki kepada perempuan untuk melangsungkan pernikahan.[5]
Tujuan utama dari pinangan adalah untuk mengetahui pendapat perempuan yang akan
dinikahi, apakah mau untuk dinikahi atau tidak mau.[6] Tidak sebatas itu, tetapi juga untuk memberikan kabar
kepada keluarga besar bahwa kedua calon siap untuk melaksanakan ritual
perkawinan.[7]
Di samping juga untuk mengetahui pendapat wali serta keluarga perempuan
tersebut, maka tujuan pinangan dalam Islam adalah cara untuk menyingkap atau
mengetahui sikap seorang perempuan dan keluarganya sangat penting sebelum
dilaksanakan akad nikah.[8]
Lamaran
biasanya dilaksanakan sebagai bukti kesungguhan antara kedua calon untuk
melangsungkan ke arah pernikahan. Dengan adanya lamaran berarti membuktikan
bahwa sudah ada kesepakatan diantara kedua calon tersebut. Biasanya dalam lamaran
ada pemberian cincin dari calon laki-laki kepada wanita yang akan dinikahi.
Kira-kira
sebulan ata dua bulan setelah acara pertunangan, orang tua si wanita sudah
memberitahukan kepada sanak familinya atau tetangga terdekatnya mengenai
pertunangan dan pernikahan. Sebenernya pada saat itu terjadi undangan-undangan
secara tidak resmi dan pernyataan-pernyataan, baik dari pihak pemberitahu
maupun pihak sanak keluarganya. Yang terakhir ini biasanya tanpa diminta akan
memberikan bantuan sekedarnya untuk meringankan biaya pesta perkawinan.[9]
Keluarga biasanya mengadakan pembentukan panitia (Kumbakarnan) seminggu sebelum acara
pernikahan digelar. Pembentukan panitia melibatkan sesepuh, saudara dan
tetangga. Hal ini menjadi tolok ukur tanggung jawab para saudara dan keluarga
demi kelancaran dalam membantu berjalannya prosesi upacara pernikahan.[10]
2. Paningset dan Srah-Srahan
Paningset
adalah berbagai barang (perhiasan, pakaian, aneka jajanan, buah-buahan, uang,
ayam dan kambing) yang diberikan oleh keluarga calon mempelai pria kepada calon
mempelai wanita sebagai tanda untuk mengikat calon mempelai wanita, karena akan
dinikahkan dengan calon mempelai pria.[11]
Srah-srahan adalah pernyataan keluarga calon mempelai pria kepada
calon mempelai wanita yang intinya menyerahkan calon mempelai pria untuk
nyantri di rumah calon mempelai wanita. Pada malam srah-srahan, calon mempelai pria diberi berbagai wajangan agar
menjadi suami yang baik dalam mengarungi bahtera rumah tangga.[12]
Pelaksanaan itu biasanya bersamaan dengan prosesi paningset yaitu sehari sebelum upacara pernikahan dilaksanakan,
dimaksudkan untuk mempermudah jalannya pernikahan.[13]
3. Pasang
Tarub
Prosesi selanjutnya sebelum
pernikahan adalah persiapan pemasaangan tarub[14],
di depan rumah keluarga gadis (calon mempelai wanita) yang akan digunakan untuk
melangsungkan upacara perkawinan.[15]
Namun pada kemajuan zaman, tarub ini
sekarang diganti dengan deklit yang berasal dari besi yang lebih kuat untuk
menyangga, yang dapat melindungi para tamu undangan dari hujan dan panas matahari.
Dalam pasang tarub yang terpenting
adalah dilaksanakannya kenduren yang
dihadiri oleh sejumlah orang dengan hitungan ganjil.[16]
Ketika prosesi pasang tarub, orang yang mempunyai hajat juga memberikan atau
membuat sesajen. Dengan sesajen itu bermaksud untuk menghormati
arwah leluhur atau nenek moyang.[17]
Pasang tarub agung adalah salah satu syarat
yang biasa dipenuhi oleh orang Jawa. Dengan memasang tarub agung itu, masyarakat umum akan cepat mengetahui bahwa
keluarga yang bersangkutan sedang mempunyai hajat untuk menyelenggarakan
pernikahan. Secara simbolis bahwa rumah yang dipasang tarub sedang mempunyai gawe (hajat)
besar.[18]
Tarub dimaksudkan untuk memperbesar “pendopo” atau ruangan bagian
depan (halaman) atau apa saja yang sifatnya adalah menghormati para tamu yang
datang supaya dapat duduk dengan baik dan enak tidak terkena panas atau kehujanan
dan dapat juga diartikan bahwa si tuan rumah memang sedang ada suatu acara.[19]
Bleketepe adalah salah satu anyaman yang terbuat dari daun kelapa
yang hijau tua dan baru ambil dari pohonnya. Saat ini karena menggunakan tenda,
maka anyaman bleketepe digunakan
sebagai hiasan pada pintu masuk bersama-sama dengan hiasan lainnya dan sebagai
sarana pelengkap dari hiasan.[20]
Tumbuhan
yang biasa digunakan dalam hiasan tarub
adalah psang raja, cengkir gading, tebu, lombok (Cabai), dedaunan ( daun
kemuning, daun dadap serep dan sebagainya).
4. Malam
Midodareni
Malam midodareni di Jawa biasanya
dilakukan dengan cara tirakatan atau lek-lekan.
Malam midodareni dilakukan untuk meramaikan acara satu hari sebelum prosesi
pernikahan yang biasanya diisi dengan kegiatan jiguran.[21]
Biasanya pada malam midodareni calon mempelai wanita ditemani oleh kerabat
dan sanak saudara sebagai simbol perpisahan dengan para remaja, karena sejak
malam itu mempelai wanita telah menjadi bidadari yang akan memasuki fase kedewasaan,
yaitu rumah tangga.
5. Pawiwahan
Pawiwahan
merupakan acara inti pada proses pernikahan adat Jawa, yaitu meliputi:
a.
Pasrah-tampi pengantin
(serah-terima pengantin)
Pasrah pengantin pria biasanya dilakukan oleh wakil dari
pihak mempelai pria dan tampi pengantin
biasanya dilakukan oleh wakil pihak mempelai wanita.
b.
Ijab Qabul
(akad nikah)
Pada dasarnya, sah atau tidaknya suatu pernikahan yang
paling menentukan adalah proses ijab qabul. Hal itu bisa dikatakan demikian
karena menyangkut dengan hukum agama dan hukum negara. Dan upacara ijab qabul
tersebut melibatkan beberapa pihak selain mempelai itu sendiri. Dalam ijab
qabul ada isyarat bahwa terjadi pemindahan kekuasaan seorang wanita dari tangan
wali kepada mempelai pria. Hal ini berarti beban tanggung jawab untuk menafkahi
mempelai wanita berpindah kepada mempelai pria.[22]
Ijab qabul biasanya dilakukan di rumah mempelai wanita di kantor urusan agama
(KUA) ataupun di masjid.
c.
Temu Pengantin
Temu pengantin adalah rangkaian kegiatan setelah
dilakukannya ijab qabul, yaitu diakukan dengan berjabat tangan antar mempelai.
Setelah itu mereka diarak pulang ke rumah untuk melakukan suatu sungkeman.[23]
Prosesi temu pengantin ini sekaligus menjadi ajang publikasi bagi kedua
mempelai bahwa dirinya adalah pasangan yang sah mulai saat itu, meskipun
sebenarnya sudah sah sejak dilakukannya ijab qabul.
d.
Sungkeman
Sungkeman adalah proses hormat takdzim kedua mempelai kepada orang tua. Kedua mempelai
melaksanakan sungkeman dengan sikap
hormat berjongkok dan menghaturkan sembah kepada orang tua kedua mempelai untuk
memohon doa restu, meminta maaf sekaligus ucapan terima kasih atas pernikahan
tersebut.[24]
6.
Boyong Manten
Boyong
manten adalah tahap akhir dalam upacara pernikahan adat Jawa. Yaitu suatu
proses pindahan mempelai wanita ke rumah mempelai pria ataupun sebaliknya atas
dasar kesepakatan kedua mempelai.[25]
C.
Akulturasi
Budaya Jawa dan Islam Pada Upacara Pernikahan Adat Jawa.
Akulturasi adalah kontak
budaya satu dengan budaya lain sehingga terjadi penyatuan budaya.[26]
Hal itu bisa dikatakan bahwa akulturasi adalah peleburan antara kedua
kebudayaan menjadi satu sehingga tercipta suatu kebudayaan baru yang tidak
meninggalkan sama sekali budaya aslinya. Proses akulturasi dapat dijabarkan
sebagai suatu proses sosial yang timbul apabila suatu kelompok manusia dengan
suatu kebudayaan tertentu sedemikian rupa dipengaruhi oleh unsur-unsur suatu
kebudayaan lain, sehingga unsur-unsur kebudayaan lain itu diterima dan
disesuaikan dengan unsur-unsur kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya
identitas kebudayaan asli.[27]
Dalam akulturasi ini sering terjadi perubahan-perubahan yang cukup signifikan
dalam suatu tradisi, meskipun terjadi perubahan dalam prakteknya, hal itu tidak
merubah tujuan asli dari tradisi tersebut. Selain itu, masyarakat pemilik
tradisi tersebut tidak keberatan atau menolak dengan perubahan itu. Hal ini
diartikan bahwa proses akulturasi yang terjadi disini berlangsung secara damai
dan tidak ada paksaan. Seperti contoh tradisi slametan dahulu masih dilaksanakan secara besar-besaran dengan
menggelar wayangan semalam suntuk,
sekarang cukup dengan acara pengajian. Namun diantara keduanya memiliki tujuan
yang sama, dan masyarakat juga tidak menolak atau bahkan menentang perubahan
tersebut.
Dalam upacara pernikahan
adat Jawa, terdapat unsur-unsur nilai budaya yang telah mengalami akulturasi,
yaitu antara nilai-nilai yang ada dalam budaya Jawa dan nilai-nilai Islam.
Beberapa hal yang telah mengalami akulturasi diantaranya adalah:
1.
Acara Ijab
Qabul.
Acara ijab qabul yang pada aslinya adalah rangkaian
acara yang dilakukan di rumah mempelai wanita, namun dalam praktiknya banyak
masyarakat yang melakukan kegiatan tersebut di masjid. Selebihnya telah
dipaparkan pada uraian sebelumnya mengenai ijab qabul.
2.
Acara Temu
Pengantin.
Acara
temu pengantin yang dilakukan pada upacara pernikahan adat Jawa biasanya
dilakukan dengan iringan gamelan dan gendhing-gendhing
Jawa, namun saat ini terjadi sedikit perubahan, yaitu yang semula musik
gamelan, sekarang banyak yang menggantikannya dengan iringan hadrah dan
sholawat. Dalam hiburannya pun juga demikian, yang aslinya dalam hiburan
terdapat alunan musik gamelan dan tarian-tarian, banyak yang menggantinya
dengan rebana atau nasyid. Hal ini seperti yang diajarkan dalam Islam bahwa
untuk menampakkan meriahnya pesta di hari pernikahan, Islam membolehkan
nyanyian yang bersih (tidak mengandung perbuatan mesum dan fasik). Demikian
halnya dengan permainan yang menyenangkan sebagai bentuk penenang dan
penyemangat jiwa.[28]
Dapat diartikan bahwa syair-syair yang digunakan dalam hiburan tersebut adalah
bukan syair-syair yang melalaikan dan sarat dengan unsur foya-foya, tetapi
lebih pada syair yang bernuansa doa yang ditujukan kepada mempelai.
3. Sungkeman
Acara sungkeman
yang ada di upacara pernikahan adat Jawa itu sendiri sudah bisa mengindikasikan
bahwa ada nilai-nilai Islam yang terkandung didalamnya. Yang mana dalam ajaran
agama Islam selalu ditekankan mengenai birrul
walidain. Sungkeman itu sendiri adalah acara yang bertujuan untuk suatu
penghormatan kepada orang tua kedua mempelai.
D.
Kesimpulan
Upacara
pernikahan dalam adat Jawa merupakan suatu tradisi dan kebudayaan yang sangat
kompleks, didalamnya terdapat berbagai unsur-unsur simbolik yang diwariskan
secara turun temurun dari generasi ke generasi selanjutnya. Dalam
perkembangannya seiring bergantinya zaman dan masuknya agama Islam, secara
tidak langsung telah terjadi perubahan dalam praktik upacara tersebut, yaitu
adanya percampuran budaya asli dengan agama Islam yang merupakan pendatang,
meskipun dalam hal tujuan dari rangkaian upacara tersebut tidak mengalami
pergeseran makna yang signifikan. Hal itu bisa dilihat dalam setiap rangkaian
acara pernikahan Jawa kebanyakan telah dikemas dalam bentuk islami. Dengan demikian,
adanya akulturasi kebudayaan Jawa dan agama Islam yang terdapat pada proses
upacara pernikahan adat Jawa, tidak merubah makna dan tujuan dari setiap bagian
upacara yang mengalami akulturasi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shobuni, M. Ali, Pernikahan Islami, Solo: Mumtaza, 2008
Bakker, J. W. M, Filsafat
Kebudayaan, terj. Dick Hartoko, Yogyakarta: Kanisius, 1984
Endraswara, Suwardi, Metodologi Penelitian Kebudayaan, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2006
Herusatoto, Budiono, Simbolisme Jawa, Yogyakarta: Ombak, 2008
Kan’an, Syekh Muhammad Ahmad, Kado Terindah untuk Mempelai, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2006
Pranoto, H. P. Teguh Tjaroko, Tata Upacara Adat Jawa, Yogyakarta: Kuntul Press, 2009
Pringgowidagda, Suwarna, Pawiwahan dan Pahargyan, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2003
Pringgowidagda, Suwarna, Paningset, srah-srahan dan Midodareni, Yogyakarta: Adicita Karya
Nusa, 2003
Purwadi, Ensiklopedi
Adat Istiadat Budaya Jawa, Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007
Purwadi, Upacara
Tradisional Jawa, Menggali Untaian Kearifan Lokal, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005
Wiranata, I. Gede A. B., Antropologi Budaya, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, edisi kedua, 1995
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, edisi ketiga,
2007.
Skripsi
Upacara Pernikahan Adat Masyarakat Dukuh Tlukan oleh Siti
Mufidatun Nisa, jurusan sejarah dan kebudayaan Islam UIN SUKA, 2011.
[1] J.W.M Baker, Filsafat Kebudayaan, terj. Dick Hartoko
(Yogyakarta: Kanisius, 1984), hlm. 139.
[2] Skripsi Upacara Pernikahan Adat Masyarakat Dukuh Tlukan
oleh Siti Mufidatun Nisa, jurusan sejarah dan kebudayaan Islam UIN SUKA, 2011.
[3] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, edisi ketiga, 2007), hlm. 629.
[5] Skripsi Upacara Pernikahan Adat Masyarakat Dukuh Tlukan oleh
Siti Mufidatun Nisa, jurusan sejarah dan kebudayaan Islam UIN SUKA, 2011.
[6] Wawancara dengan Bapak Syamsul Kodri pada tanggal 10 Mei 2013.
[8] Syekh Muhammad Ahmad Kan’an, Kado Terindah, hlm. 43.
[10] Skripsi Upacara Pernikahan Adat Masyarakat Dukuh Tlukan oleh
Siti Mufidatun Nisa, jurusan sejarah dan kebudayaan Islam UIN SUKA, 2011.
[11] Suwarna Pringgawidagda, Paningset, Srah-srahan dan Midodareni,
(Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2003), hlm. 2.
[15] Purwadi, Upacara Tradisional Jawa, Menggali Untaian
Kearifan Lokal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 168.
[26] Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2006), hlm. 100.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar