AGAMA SHINTO (JEPANG)
Oleh SETIONO
A. Corak dan Macam Agama Shinto
Agama Shinto tidak berdiri sendiri
melainkan ada pengaruh-pengaruh dari beberapa agama, hal itu tidak dapat
dipungkiri. Meski kepercayaan asli tetap terjaga, namun agama Shinto menyerap
unsure-unsur dari agama lain, seperti Tao, Konfusianisme, Budha, dan sebagainya.
Tetapi yang sangat berpengaruh adalah agama Budha. Pada abad Sembilan hingga
abad Sembilan belas, agama Shinto memiliki pengaruh dari agama Budha. Agama
Budha di Jepang memiliki cirri-ciri, yaitu :
·
Penyebarannya bermula dari lapisan kelas
atas
·
Memiliki hubungan sangat erat dengan
pemerintah
·
Terlibat dalam upacara-upacara kematian
lingkungan keluarga Jepang
·
Bereperan dalam magi.[1]
Selama bertahun-tahun agama Shinto dan agama
Budha telah terjadi percampuran sedemikian rupa, sehingga agama Shinto selalu
mencoba untuk mempertahankan dirinya. Tetapi justru dengan adanya agama Budha
ini lah yang menyebabkan digunakannya istilah Shinto sebagai agama asli Jepang.
Dengan adanya percampuran tersebut, maka agama Shinto hampir kehilangan
sebagian besar sifat aslinya. Kemudian, pada masa kebangkitan agama Shinto di
abad sembilan belas, hasil percampuran antara kedua agama tadi banyak
dihilangkan. Sungguhpun demikian, sumbangan agama Budha yang berupa pendalaman
dan perluasan isi agama Shinto ataupun pandangan filsafatnya, hingga sekarang
tetap terpelihara dengan baik.[2]
Pengaruh terbesar lainnya dari agama
Konfusius. Ajaran agama ini didasarkan atas prinsip-prinsip duniawi, sehingga
relative mudah bercampur dengan nilai-nilai tradisional bangsa Jepang. Dengan
adanya agama Konfusius justru memperkokoh, karena adanya ideologis dan etis.
Agama Konfusius setelah berbaur di Jepang, agama ini sangat berbeda dengan asal
kelahirannya di Cina. Kemudian setelah restorasi Meiji agama Shinto dan agama
Konfusius memiliki hubungan yang sangat erat dan mendorong tumbuhnya perhatian
masyarakat pada tradisi Jepang kuno. Hal tersebut juga menjadikan keloyalitasan
yang memperkokoh kembali kekuasaan kaisar, dan mengubah agama Shinto menjadi
sebuah kultus nasional yang melebihi agama-agama lain.
Setelah restorasi Meiji agama Shinto
dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu Jinja Shinto dan Kyoha Shinto.
Jinja Shinto merupakan sistem kepercayaan dan peribadatan yang diselenggarakan
di tempat-tempat suci agama Shinto dan memperoleh bantuan pemerintah (agama
negara : Kokka Shinto). Tetapi pada akhirnya Kokka Shinto dibubarkan, meski
masih hidup hingga sekarang dan disamakan dengan agama-agama lain. Sedangkan
Kyoha Shinto memiliki tiga belas sekte agama Shinto. Ketiga belas sekte tersebut
bisa dibagi dari beberapa cara. Jika dari segi ajarannya, dibagi menjadi lima
kelompok, yaitu sekte agama asli, sekte yang terpengaruh ajaran agama
Konfusius, sekte pemuja gunung, sekte penyucian, dan sekte penyembuhan.
Pembagian lain membedakannya menjadi tiga kelompok, yaitu sekte tradisional,
sekte pemuja gunung, dan sekte yang didasarkan wahyu. Kemudian setelah
terjadinya peperangan banyak munculnya sekte baru yang diakibatkan adanya
jaminan kebebasan beragama. Sekte-sekte tersebut dibedakan menjadi lima
kategori, yaitu kelompok monoteistik, kelompok henoteistik, kelompok
politeistik, kelompok messianistik, dan kelompok terpengaruh paham Cina.[3]
Disamping Jinja Shinto dan Kyoha Shinto,
sebenarnya terdapat pula agama Shinto jenis lain yang disebut Minkan Shinto.
Namun, Minkan Shinto tidak terorganisasi secara formal dan Minkan Shinto
memilik sistem kepercayaan dan peribadatannya merupakan perpaduan antara agama
Shinto, Bhudisme, Konfusianisme, filsafat Yin-Yang dan agama, serta filsafat
lain yang telah membentuk kepercayaan umum rakyat Jepang.[4]
B.
Kepercayaan
dab Peribadatan Agama Shinto
Agama Shinto sebenarnya merupakan
agama alam yang penuh dengan animisme. Sebab semua benda, baik yang hidup
maupun mati dianggapanya memiliki ruh, spirit dan kekuatan-kekuatan, mampu
berbicara dan dianggapnya ruh dan spirit tersebut memiliki daya kekuasaan.
Daya-daya kekuasaan tersebut mereka puja dan disebut sebagai kami. Kami juga bisa diartikan sebagai
dewa-dewa ataupun sebagainya. Kami
dapat diartikan tunggal dan jamak. Hal ini diungkapkan dalam istilah yao yarozu no kami, yang berart delapan
miliun dewa. Bagi agama Shinto semakin banyaknya dewa-dewa maka itu adalah
bersifat positif dan baik. Dan istilah kami
digunakan untuk menyebut kekuatan-kekuatan dan kekuasaan-kekuasaan tertentu,
tanpa membedakan apakah objek tersebut mati ataupun hidup.
Dalam agama Shinto ada dua dewa yang
dianggapnya paling berkuasa, yaitu Dewa-dewa Langit (Amatsu-kami) dan Dewa-dewa Bumi (Kuni-tsu-kami). Dewa-dewa Langit bertempat tinggal di Takama no Hara, dan Dewa-dewa Bumi
berada di Bumi. Memang begitu banyak dan beragam jumlah dewa yang dipuja dalam
agama Shinto. Ada juga yang dikenal dengan Amaterasu-omi-kami
(Dewa Agung Langit Bersinar) atau Amaterasu
hirume (Langit-bersinar-matahari-putri) atau Amaterasu mi oya (Langit-bersinar-Orang tua-Agung). Namun yang
menjadi simbolnya terdiri dari cermin disebut yata-kagami (delapan-tangan-cermin) atau hi-gata no kagami (matahari-bentuk-cermin), dan disimpan dalam
sebuah tempat suci (Ise). Simbol tersebut sering dipuja dan disebut Dewi Ise
yang Agung.[5]
Selain
dewa-dewa di atas itu masih banyak jenis-jenis dewa yang lain[6],
yaitu :
a. Dewa
Tanah (Ta-no-kami)
b. Dewa
Gunung (Yama-no-kami)
c. Dewa
Laut (umi-no-kami atau Wata-tsumi-no-kami)
d. Dewa
Air (Suijin)
e. Dewa
Api (Hino-kami)
f. Dewa
Pohon (Kukunochi)
g. Dewa
Manusia (mi-tama)
Selain dewa-dewa di atas yang telah
disebutkan, masih banyak lagi dewa dalam agama Shinto, seperti Dewa Guntur (raijin), Dewa Hati (Kamado-gami), Dewa Pelindung Keluarga, Dewa Anak-anak (Mi-ko-gami), dan Dewa Pembimbing Perahu
(Funa-dama). Dari uraian tentang
kedewaan dalam agama Shinto di atas, dapatlah dikatakan bahwa agama Shinto pada
hakikatnya merupakan paham politeisme yang didasarkan atas fenomena alam. Dalam
hubungan ini, mitologi agama Shinto secara panjang lebar mengemukakan riwayat
penjadian alam dan para dewa stermuat dalam kitab Kojiki dan Nihongi atau Nihon
Shoki. Kedua kitab ini dianggap sebagai kitab-kitab suci, dan merupakan sumber
utama pemikiran agama Shinto sejak dulu hingga sekarang.[7]
Dalam kedua kitab tersebut banyak menceritakan tentang Dewi Matahri sebagai
nenek moyang kaisar Jepang itulah inti mitologi purba.
Kita ketahui, bahwa konsep dosa tidak dikenal
dalam agama Shinto, sebab hampir semua bentuk upacara keagamaan yang dilakukan
pada hakikatnya adalah upacara penyucian dalam rangka menyongsong kehadiran kami. Cara pemeluk agama Shinto
mendekati kami seperti menghormati
dan menjamu tamu yang sangat dihormati. Mereka mencintai, bersyukur, dan ingin
sekali menghibur serta menyenangkannya. Syarat utama dalam memuja kami itu adalah kesucian dan bersih dari
berbagai macam kekotoran, seperti penyakit, luka, menstruasi, dan sebagainya.
Untuk menghilangkan kekotoran-kekotoran itu, maka harus melakukan
upacara-upacara penyucian yang disebut harae.[8]
Harae
meruapakan upacara agama Shinto untuk menghilangkan segala macam kekotoran,
kesalahan, dan kesengsaraan dengan memanjatkan doa kepada para dewa. Harae merupakan cara untuk mengembalikan
seseorang pada kondisi atau keadaan yang dapat mendekatkannya dengan dewa. Harae juga sering dilakukan lebih awal
sebelum pelaksanaan upacara-upacara agama Shinto dan menjadi hal yang penting.
Alat yang digunakan dalam harae ada
tiga macam, yaitu Harai-gushi
(tongkat), O-nusa (ranting pohon
suci), dan Ko-nusa. Dan doa yang ditujukan
kepada dewa disebut norito.[9]
Selain upacara-upacara di atas juga ada
upacara keagamaan Shinto lainnya yang disebut matsuri, yang umumnya terdiri dari ritus-ritus yang hidmat, diikuti
dengan perayaan missal yang epnuh kegembiraan. Kemudian ada beberapa macam matsuri, seperti Gion matsuri, Iwa-shizimu-matsuri,
Aoi-matsuri, Kanda-matsuri, Kasuga-matsuri,
Sanno-matsuri, Tenjin-matsuri, dan Tenno-matsuri.[10]
Dari contoh-contoh matsuri di atas jelas
bahwa agama Shinto merupakan sebuah agama yang penuh dengan perayaan keagamaan.
Bahkan, setiap tempat suci agama Shinto menyelenggarakan festival-festival
keagamaan dan secara garis besar ada empat macam festival[11],
yaitu :
1. Perayaan
Musim Semi (Haru-matsuri). Tujuannya
adalah untuk memohon rahmat dewa agar diberi hasil panen melimpah.
2. Perayaan
Musim Gugur (Aki-matsuri), sebagai
pernyataan terima kasih atas hasil panen yang diperoleh.
3. Perayaan
Tahunan (reisai), biasanya dilakukan
pada bulan-bulan tertentu.
4. Perayaan
Arak-arakan Dewa (Shinko-shiki),
untuk memperoleh keselamatan dan dibebaskan dari berbagai macam penyakit.
Bahkan dalam pandangan agama Shinto, dunia
ini adalah satu-satunya dunia kehidupan untuk manusia. Dalam pemikran agama
Shinto ada tiga macam dunia, seperti Takama-no-hara,
Yomi-no-kuni, dan Tokoyo-no-kuni.
Ketiga dunia tersebut, sering pula disebut kakuri-yo yang berarti dunia
tersembunyi, sementara dunia tempat tinggal manusia (dunia actual) disebut
utsushi-yo, yang berarti dunia terlihat atau dunia terbuka.[12]
Dengan kata lain, pandangan keduniaan dalam agama Shinto dipusatkan pada dunia
kehidupan manusia sekarang, dan dunia ini merupakan satu-satunya dunia untuk
manusia.