Kamis, 30 April 2015

Agama Jepang



AGAMA SHINTO (JEPANG)
Oleh SETIONO
  
 A. Corak dan Macam Agama Shinto
            Agama Shinto tidak berdiri sendiri melainkan ada pengaruh-pengaruh dari beberapa agama, hal itu tidak dapat dipungkiri. Meski kepercayaan asli tetap terjaga, namun agama Shinto menyerap unsure-unsur dari agama lain, seperti Tao, Konfusianisme, Budha, dan sebagainya. Tetapi yang sangat berpengaruh adalah agama Budha. Pada abad Sembilan hingga abad Sembilan belas, agama Shinto memiliki pengaruh dari agama Budha. Agama Budha di Jepang memiliki cirri-ciri, yaitu :
·         Penyebarannya bermula dari lapisan kelas atas
·         Memiliki hubungan sangat erat dengan pemerintah
·         Terlibat dalam upacara-upacara kematian lingkungan keluarga Jepang
·         Bereperan dalam magi.[1]
                        Selama bertahun-tahun agama Shinto dan agama Budha telah terjadi percampuran sedemikian rupa, sehingga agama Shinto selalu mencoba untuk mempertahankan dirinya. Tetapi justru dengan adanya agama Budha ini lah yang menyebabkan digunakannya istilah Shinto sebagai agama asli Jepang. Dengan adanya percampuran tersebut, maka agama Shinto hampir kehilangan sebagian besar sifat aslinya. Kemudian, pada masa kebangkitan agama Shinto di abad sembilan belas, hasil percampuran antara kedua agama tadi banyak dihilangkan. Sungguhpun demikian, sumbangan agama Budha yang berupa pendalaman dan perluasan isi agama Shinto ataupun pandangan filsafatnya, hingga sekarang tetap terpelihara dengan baik.[2]
                        Pengaruh terbesar lainnya dari agama Konfusius. Ajaran agama ini didasarkan atas prinsip-prinsip duniawi, sehingga relative mudah bercampur dengan nilai-nilai tradisional bangsa Jepang. Dengan adanya agama Konfusius justru memperkokoh, karena adanya ideologis dan etis. Agama Konfusius setelah berbaur di Jepang, agama ini sangat berbeda dengan asal kelahirannya di Cina. Kemudian setelah restorasi Meiji agama Shinto dan agama Konfusius memiliki hubungan yang sangat erat dan mendorong tumbuhnya perhatian masyarakat pada tradisi Jepang kuno. Hal tersebut juga menjadikan keloyalitasan yang memperkokoh kembali kekuasaan kaisar, dan mengubah agama Shinto menjadi sebuah kultus nasional yang melebihi agama-agama lain.
                        Setelah restorasi Meiji agama Shinto dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu Jinja Shinto dan Kyoha Shinto. Jinja Shinto merupakan sistem kepercayaan dan peribadatan yang diselenggarakan di tempat-tempat suci agama Shinto dan memperoleh bantuan pemerintah (agama negara : Kokka Shinto). Tetapi pada akhirnya Kokka Shinto dibubarkan, meski masih hidup hingga sekarang dan disamakan dengan agama-agama lain. Sedangkan Kyoha Shinto memiliki tiga belas sekte agama Shinto. Ketiga belas sekte tersebut bisa dibagi dari beberapa cara. Jika dari segi ajarannya, dibagi menjadi lima kelompok, yaitu sekte agama asli, sekte yang terpengaruh ajaran agama Konfusius, sekte pemuja gunung, sekte penyucian, dan sekte penyembuhan. Pembagian lain membedakannya menjadi tiga kelompok, yaitu sekte tradisional, sekte pemuja gunung, dan sekte yang didasarkan wahyu. Kemudian setelah terjadinya peperangan banyak munculnya sekte baru yang diakibatkan adanya jaminan kebebasan beragama. Sekte-sekte tersebut dibedakan menjadi lima kategori, yaitu kelompok monoteistik, kelompok henoteistik, kelompok politeistik, kelompok messianistik, dan kelompok terpengaruh paham Cina.[3]
                        Disamping Jinja Shinto dan Kyoha Shinto, sebenarnya terdapat pula agama Shinto jenis lain yang disebut Minkan Shinto. Namun, Minkan Shinto tidak terorganisasi secara formal dan Minkan Shinto memilik sistem kepercayaan dan peribadatannya merupakan perpaduan antara agama Shinto, Bhudisme, Konfusianisme, filsafat Yin-Yang dan agama, serta filsafat lain yang telah membentuk kepercayaan umum rakyat Jepang.[4]

B.     Kepercayaan dab Peribadatan Agama Shinto
            Agama Shinto sebenarnya merupakan agama alam yang penuh dengan animisme. Sebab semua benda, baik yang hidup maupun mati dianggapanya memiliki ruh, spirit dan kekuatan-kekuatan, mampu berbicara dan dianggapnya ruh dan spirit tersebut memiliki daya kekuasaan. Daya-daya kekuasaan tersebut mereka puja dan disebut sebagai kami. Kami juga bisa diartikan sebagai dewa-dewa ataupun sebagainya. Kami dapat diartikan tunggal dan jamak. Hal ini diungkapkan dalam istilah yao yarozu no kami, yang berart delapan miliun dewa. Bagi agama Shinto semakin banyaknya dewa-dewa maka itu adalah bersifat positif dan baik. Dan istilah kami digunakan untuk menyebut kekuatan-kekuatan dan kekuasaan-kekuasaan tertentu, tanpa membedakan apakah objek tersebut mati ataupun hidup.
            Dalam agama Shinto ada dua dewa yang dianggapnya paling berkuasa, yaitu Dewa-dewa Langit (Amatsu-kami) dan Dewa-dewa Bumi (Kuni-tsu-kami). Dewa-dewa Langit bertempat tinggal di Takama no Hara, dan Dewa-dewa Bumi berada di Bumi. Memang begitu banyak dan beragam jumlah dewa yang dipuja dalam agama Shinto. Ada juga yang dikenal dengan Amaterasu-omi-kami (Dewa Agung Langit Bersinar) atau Amaterasu hirume (Langit-bersinar-matahari-putri) atau Amaterasu mi oya (Langit-bersinar-Orang tua-Agung). Namun yang menjadi simbolnya terdiri dari cermin disebut yata-kagami (delapan-tangan-cermin) atau hi-gata no kagami (matahari-bentuk-cermin), dan disimpan dalam sebuah tempat suci (Ise). Simbol tersebut sering dipuja dan disebut Dewi Ise yang Agung.[5]
Selain dewa-dewa di atas itu masih banyak jenis-jenis dewa yang lain[6], yaitu :
a.       Dewa Tanah (Ta-no-kami)
b.      Dewa Gunung (Yama-no-kami)
c.       Dewa Laut (umi-no-kami atau Wata-tsumi-no-kami)
d.      Dewa Air (Suijin)
e.       Dewa Api (Hino-kami)
f.       Dewa Pohon (Kukunochi)
g.      Dewa Manusia (mi-tama)
                        Selain dewa-dewa di atas yang telah disebutkan, masih banyak lagi dewa dalam agama Shinto, seperti Dewa Guntur (raijin), Dewa Hati (Kamado-gami), Dewa Pelindung Keluarga, Dewa Anak-anak (Mi-ko-gami), dan Dewa Pembimbing Perahu (Funa-dama). Dari uraian tentang kedewaan dalam agama Shinto di atas, dapatlah dikatakan bahwa agama Shinto pada hakikatnya merupakan paham politeisme yang didasarkan atas fenomena alam. Dalam hubungan ini, mitologi agama Shinto secara panjang lebar mengemukakan riwayat penjadian alam dan para dewa stermuat dalam kitab Kojiki dan Nihongi atau Nihon Shoki. Kedua kitab ini dianggap sebagai kitab-kitab suci, dan merupakan sumber utama pemikiran agama Shinto sejak dulu hingga sekarang.[7] Dalam kedua kitab tersebut banyak menceritakan tentang Dewi Matahri sebagai nenek moyang kaisar Jepang itulah inti mitologi purba.
                        Kita ketahui, bahwa konsep dosa tidak dikenal dalam agama Shinto, sebab hampir semua bentuk upacara keagamaan yang dilakukan pada hakikatnya adalah upacara penyucian dalam rangka menyongsong kehadiran kami. Cara pemeluk agama Shinto mendekati kami seperti menghormati dan menjamu tamu yang sangat dihormati. Mereka mencintai, bersyukur, dan ingin sekali menghibur serta menyenangkannya. Syarat utama dalam memuja kami itu adalah kesucian dan bersih dari berbagai macam kekotoran, seperti penyakit, luka, menstruasi, dan sebagainya. Untuk menghilangkan kekotoran-kekotoran itu, maka harus melakukan upacara-upacara penyucian yang disebut harae.[8]
                        Harae meruapakan upacara agama Shinto untuk menghilangkan segala macam kekotoran, kesalahan, dan kesengsaraan dengan memanjatkan doa kepada para dewa. Harae merupakan cara untuk mengembalikan seseorang pada kondisi atau keadaan yang dapat mendekatkannya dengan dewa. Harae juga sering dilakukan lebih awal sebelum pelaksanaan upacara-upacara agama Shinto dan menjadi hal yang penting. Alat yang digunakan dalam harae ada tiga macam, yaitu Harai-gushi (tongkat), O-nusa (ranting pohon suci), dan Ko-nusa. Dan doa yang ditujukan kepada dewa disebut norito.[9]
                        Selain upacara-upacara di atas juga ada upacara keagamaan Shinto lainnya yang disebut matsuri, yang umumnya terdiri dari ritus-ritus yang hidmat, diikuti dengan perayaan missal yang epnuh kegembiraan. Kemudian ada beberapa macam matsuri, seperti Gion matsuri, Iwa-shizimu-matsuri, Aoi-matsuri, Kanda-matsuri, Kasuga-matsuri, Sanno-matsuri, Tenjin-matsuri, dan Tenno-matsuri.[10]
                        Dari contoh-contoh matsuri di atas jelas bahwa agama Shinto merupakan sebuah agama yang penuh dengan perayaan keagamaan. Bahkan, setiap tempat suci agama Shinto menyelenggarakan festival-festival keagamaan dan secara garis besar ada empat macam festival[11], yaitu :
1.      Perayaan Musim Semi (Haru-matsuri). Tujuannya adalah untuk memohon rahmat dewa agar diberi hasil panen melimpah.
2.      Perayaan Musim Gugur (Aki-matsuri), sebagai pernyataan terima kasih atas hasil panen yang diperoleh.
3.      Perayaan Tahunan (reisai), biasanya dilakukan pada bulan-bulan tertentu.
4.      Perayaan Arak-arakan Dewa (Shinko-shiki), untuk memperoleh keselamatan dan dibebaskan dari berbagai macam penyakit.
                        Bahkan dalam pandangan agama Shinto, dunia ini adalah satu-satunya dunia kehidupan untuk manusia. Dalam pemikran agama Shinto ada tiga macam dunia, seperti Takama-no-hara, Yomi-no-kuni, dan Tokoyo-no-kuni. Ketiga dunia tersebut, sering pula disebut kakuri-yo yang berarti dunia tersembunyi, sementara dunia tempat tinggal manusia (dunia actual) disebut utsushi-yo, yang berarti dunia terlihat atau dunia terbuka.[12] Dengan kata lain, pandangan keduniaan dalam agama Shinto dipusatkan pada dunia kehidupan manusia sekarang, dan dunia ini merupakan satu-satunya dunia untuk manusia.


                [1] Hori Ichiro et.al. (eds.), Japanese Religion, (Tokyo : Kodhansa International Ltd., 1972), hlm. 50-53. Lihat Djam’annuri, dkk, Agama Jepang, cet. I (Yogyakarta : Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 69-70.
                [2] William K. Bunce, Religions in Japan, cet. II (Tokyo : Charles E. Tuttle Company, 1596), hlm. 104-105. Lihat, Ibid, hlm. 71.
                [3] Djam’annuri, dkk, Agama Jepang, cet. I (Yogyakarta : Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 73-74..

                [4] Ibid, hlm. 75.
                [5] Ibid, hlm. 78-79.
                [6] Ibid, hlm. 79-82.
                [7] Ibid, hlm. 82-83.
                [8] Ibid, hlm. 87.
                [9] Ibid, hlm. 88-89.
                [10] Ibid, hlm. 90-92.
                [11] Ibid, hlm. 92.
                [12] Ibid, hlm. 94-95.




Makna Tahlilan

  PROSESI DAN MAKNA TAHLILAN DI DESA KLORON PLERET BANTUL SETIONO    A.    Latar Belakang Tahlilan sangat erat sekali kaitannya de...