HAID
Oleh; SETIONO
Seorang
manusia baik laki-laki atau perempuan harus memiliki tata krama dalam kata dan
laku. Muslim dalam pelaksanaan ibadahnya perlu mengetahui tata cara dan hukum
yang tepat agar sesuai dengan aturan Allah SWT. Ilmu Fiqih menjembatani muslim
untuk memberikan segala informasi yang berkaitan dengan ibadah. Bahasan dalam
ilmu fiqih yang kompleks, perlu mendapat kajian yang khusus untuk dipahami.
Salah satunya adalah fiqih wanita (fiqhun nisa).
Begitu
banyak fiqih-fiqih lain yang menarik untuk dipelajari dan dipahami. Wanita dan
permasalahannya merupakan salah satu bahasan penting dalam islam. Berbagai
permasalahan wanita harus diketahui bukan hanya bagi wanita itu sendiri,
melainkan seluruh muslim baik wanita atau laki-laki, termasuk masalah
problematika darah haid. Dengan itulah melalui makalah ini akan dijelaskan
perihal risalah haid. Dengan demikian, makalah ini diharapkan dapat menumbuhkan
pemahaman mengenai risalah haid.
BAB 2
PEMBAHASAN
Sebelum
pembahasan ke masalah haid, ada sebuah hadis Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan
dari Aisyah r.a bahwa Nabi SAW bersabda kepada saat dia haid
ان
هذا امر كتبه الله علئ بنات اد م
“sesungguhnya
ini adalah perkara yang ditentukan Allah atas putri-putri keturunan Adam.”
Dari
hadis tersebut bisa kita definisikan bahwa haid itu sudah menjadi watak atau
kodrati seorang wanita yang Allah SWT berikan sebagai suatu latihan kebersihan.
1. Definisi
Haid
Sebelum
mempelajari definisi haid, perlu kiranya didahului pemahaman tentang haid itu
sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kesalah pahaman dikarenakan
pemaknaan istilah yang berbeda.
Ø Ada
beberapa definisi haid yakni:
a. Menurut
bahasa adalah mengalir
b. Menurut
syara’ adalah darah yang keluar dari farji wanita yang telah berusia 9 tahun,
bukan karena melahirkan dalam keadaan sehat dan warnanya semu hitam
menghanguskan.[1]
c. Dari
segi fisiologi adalah darah yang keluar, karena sel telur tidak dibuahi.
Dari
beberapa definisi diatas, penulis bisa mengambil suatu kesimpulan bahwa haid
adalah darah yang keluar dari farji wanita dan keluar dari rahim karena sel
telur yang tidak dibuahi.
2. Jenis
Darah dan Warna Darah Haid
Setelah
definisi diatas, tidak ada salahnya kita melanjutkan pembahasan tetntang jenis
darah dan warna darah haid yakni:
a. Mengenal
Jenis Darah yang Keluar dari Rahim
Dari
sebuah penyusun Bidaayah Al-Mujtahid memaparkan, kaum muslimin sepakat bahwa
darah yang keluar dari rahim ada tiga
macam:
1. Darah
haid
2. Darah
istihadhah
3. Darah
nifas
b. Warna
Darah Haid
Ada
beberapa warna darah yang sudah dikenal. Seorang wanita harus benar-benar
mengenalnya. Apa saja warnanya?
1. Hitam
2. Merah
3. Kekuning-kuningan
4. Keruh
3. Masa
Haid dan Masa Suci
Sebelum
ke masalah haid dan masa suci, dapat dipastikan bahwa seorang wanita yang tidak
hamil, apabila sehat maka dia mengeluarkan darah haid, jika tidak mengeluarkan
darah, pasti karena penyakit (mengalami sakit), kemudian wajahnya pucat dan
tidur atau makan tidak enak.
Hal
tersebut telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 222
قل
هو اذفاعتز لواالنساءفي المحيض
“.....
katakanlah (hai Muhammad): Ia (darah haid) adalah kotoran.....”
Masa
haid itu beraneka ragam tetapi masa haid seorang wanita normalnya 7 hari dan 15
hari maksimalnya yang dihukumi sebagai haid, paling sedikit adalah sehari
semalam secara terus menerus atau lebih lama dan diperhitungkan mencapai sehari
semalam. Dalam buku lain dikatakan minimal waktu keluar darah haid itu sehari
semalam, sedangkan biasanya 6 hari atau 7 hari dan paling lama 15 hari.
Abu
Umamah, meriwayatkan dari Nabi SAW bersabda:
اقلالحيض
ثلا ث واكثره عشر
“minimal haid itu tiga hari, dan maksimal sepuluh hari”
Ada
sebuah filosofi yaitu:
Beberapa
orang buta yang memegang bagian tubuh gajah yang berbeda, akan berbeda pula
mendeskripsikan gajah itu seperti apa. Salah satu dari mereka akan berpendapat
gajah itu lebar dan tipis, jika dia memegang telinganya, yang lain berpendapat
bahwa gajah itu kecil dan panjang, jika dia memegang ekornya.
Begitu
pula beberapa ulama berbeda pendapat mengenai batasan dan minimal dan maksimal
masa haid, serta minimal masa suci. Pendapat Malik dan Asy-Syafi’i meriwayatkan
bahwa maksimal masa haid itu 15 hari. Abu Hanifah meriwayatkan bahwa maksimal
masa haid itu 10 hari. Minimal haid menurut malik, tidak ada batasannya.
Asy-syafi’i, minimal haid sehari semalam. Abu Hanifah, minimal masa haid 3
hari. Begitupun masa suci oleh para ulama banyak perbedaan pendapat. Menurut
Malik adalah minimal masa suci 10 hari. Ada yang mengatakan 8 hari. Didalam
kitab Risalatul mahid dipaparkan minimal waktu suci antara dua kali haid dalam
15 hari, sedangkan biasanya 23-24 hari dan batas maksimal tidak ada.[2]
Karena ada wanita yang tidak haid selamanya atau wanita yang dalam setahun
haidnya sehari saja.[3]
Maka
dari itu bagi wanita harus dapat mengetahui keluar atau berhentinya darah haid.
Juga harus dapat membedakan warna darah dan termasuk darah kuat atau darah
dh’aif. Karena agar bisa membedakan antara darah haid atau istihadhah.
4. Hal-hal
yang Tidak Boleh Dilakukan Oleh Wanita Haid
a. Melakukan
Sholat
b. Puasa
c. Tawaf
d. Masuk
Masjid
e. Membaca
Al-Qur’an, dll.[4]
5. Hal-hal
yang Diperbolehkan Bagi Wanita Haid
a. Boleh
mendengar pengajian Al-Qur’an.
b. Boleh
membuat makanan.
c. Ketika
mengalami haid, yang baik hendaknya memperbanyak membaca sholawat atau dzikir
dan dibaca dalam hati.[5]
6. Hikmah
Allah Memberi Haid
Allah
Ta’ala karena kuasa menjadikan sesuatu, lalu menciptakan atau sesuatu yang
tidak ada faedahnya akan tetapi semua pasti ada faedahnya, semua makhluk,
walaupun berupa semut, nyamuk, ulat yang melompat, atau siput yang merayap,
semua itu pasti ada faedahnya. Hanya manusianya saja yang mungkin kurang
bersyukur atas nikmat dan karunia yang Allah berikan kepadanya.
Begitu
juga Allah menjadikan haid itu, bukan barang kecil atau remeh. Namun, disini
hanya kami terangkan yang sebatas tahu saja:
a. Oleh
karena seorang wanita itu pada akhirnya membersihkan kotoran dan merawat
anak-anaknya yang bayi beserta
najis-najisnya. Maka Allah ta’ala memberi latihan berupa haid, agar dia
rajin, tidak merasa jijik dan mengerti cara mencuci.
b. Seorang
wanita akhirnya mau menerima kesanggupan, sebab menerima mas kawin dari
suaminya. Dengan demikian, berarti dia menerima kotoran suaminya, berupa mani
yang menjijikan. Maka dari itu, seorang istri akan berlatih kesabarannya atau
ketabahannya, yaitu membiasakan diri dari mengenai semua sifat kotor. Disamping
itu, wanita akan terlatih dalam kebersihan dan kerajinan.
c. Faedah
dari haid dapat dijadikan sebagai akil baligh dan sebagai tanda kekosongan
kandungan, dll.[6]
Mungkin
mengenai hikmah-hikmah atau faedah-faedah haid yang lain, kami kembalikan
kepada Allah Ta’ala yang berkuasa atas berbagai hakikat hikmah dan faedah.
BAB
3
PENUTUP
Allah
Ta’ala menciptakan seorang wanita dengan watak pemalu. Akan tetapi seorang
wanita itu selalu menang hawa nafsunya, keinginannya banyak dan senang bepergian.
Maka Allah Ta’ala memberikan halangan yang membuatnya malas untuk keluar, yaitu
darah haid yang pantatnya menjadi basah sehingga malas untuk bepergian.
Sungguh
besar kuasa Allah ta’ala yang menciptakan sesuatu yang tak lepas dari hikmah
dan faedah yang bermanfaat. Manfaat yang tak bisa kita hitung nilainya, Subhanallah.
Seorang
wanita hendaknya mampu menjaga kebersihan, agar suatu saat siap menjalani hidup
yang menemui hal-hal yang bersifat kotor. Jangan menjadikan semua itu sebagai
penyesalan melainkan harus disyukuri. Karena sudah menjadi ketentuan Allah
ta’ala. Dari sebuah hadis Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Aisyah r.a,
bahwa Nabi SAW bersabda kepada saat dia haid:”sesungguhnya ini adalah perkara
yang ditentukan Allah atas putri-putri keturunan Adam”. Dengan hadis tersebut
bahwa wanita memiliki watak atau kodrati yaitu sebuah haid sebagai latihan yang
Allah berikan kepadanya. Atas izin Allah, semoga risalah haid yang diberikan
kepada seorang wanita bisa menjadi karunia yang indah.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Syaikh
Abdul Qodir Muhammad Mansyur 2007, Pendidikan Sholat Khusus Wanita, Jakarta:
Almahira.
Ø H.
Ainul Ghoerry Suchaimi. Risalatul Mahidh. Surabaya : Salim Nabhan.
Ø Syaikh
Salim Ibnu Samir Al-Handharami. Ilmu Fiqih Safinatunnaja: Sinar Baru Algensindo.
Ø Abu
Suja, Fathul Qarib:10
Ø Majma’az-zawa’idh,
no. 1538. HR. Ath-Thabarani dalam al-kabiir dan al-Ausath.
Ø I’bid,
no. 1536. HR. Ath-Thabarani dalam al-Ausath.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar