Ajaran Damai dalam Setiap Agama
Oleh : SETIONO
Agama dan Perdamaian merupakan dua hal
yang saling berkaitan, karena hal diinginkan oleh agama adalah perdamaian.
Namun konflik – konflik dan kekerasan yang sering terjadi di Negara Indonesia
sekarang ini adalah karena perselisihan antar agama. Padahal agama dan
kekerasan merupakan dua hal yang bertolak belakang, seperti terang dan gelap.
Agama seharusnya merupakan pendamai jika terjadi kekerasan.
Sebenarnya konflik sudah ada dari zaman
dulu saat terciptanya manusia. semua konflik itu berasal dari manusia itu
sendiri, sehingga hubungan manusia terputus dengan Tuhan karena manusia itu
sendiri. Lalu konflik antara Adam dan Hawa sebagai suami dan isteri yang saling
menyalahkan untuk menutupi kesalahan diri masing – masing. Dan juga kecemburuan
yang terjadi pada anak – anaknya yang sampai pada akhirnya salah satu mati
terbunuh oleh tangan saudaranya sendiri. Setelah konflik itu mencapai klimaks,
maka manusia itu akan sadar bahwa apa yang telah dilakukan itu salah.
Dakwaan terhadap agama ikut berperan
dalam memicu konflik dan sebagai sumber kekerasan yang terjadi, baik intern dan
antar umat bergama memang sulit dibantah. Secara historis, terjadinya perang
saudara di antara umat Islam sendiri pada masa yang paling awal seperti Perang
Jamal dan Perang Siffein, dan perang umat Islam dengan pihak lain seperti
Perang Salib, sampai insiden mutakhir di
Indonesia dalam bentuk pengrusakan tempat ibadah di Situbondo, Tasikmalaya, dan
konflik Maluku merupakan riak-riak dari banyaknya contoh betapa agama masih
tampil sebagai pemicu kekerasan.
Ironis memang, karena agama di satu
sisi mengajarkan dan mendambakan masyarakat yang religius, penuh kedamaian,
saling mencintai, saling mengasihi dan saling tolong menolong. Namun di sisi
yang lain kondisi obyektif masyarakat jauh dari tatanan ideal agama. Agama
laksana pisau yang memiliki sisi tajam pada kedua sisi-sisinya. Di satu pihak
mengajak manusia pada bentuk kehidupan yang harmonis; tetapi pada saat
bersamaan mengakibatkan ketegangan dan bahkan kekerasan di antara para pengikutnya.
Ironisnya, semua kekerasan yang
terjadi, berbau agama. Atau, lebih tepatnya, disebut sebagai kekerasan yang
dipicu oleh sentimen-sentimen keagamaan. Banyak yang mengatakan bahwa kekerasan
yang terjadi bukan murni konflik agama, melainkan lebih banyak disebabkan oleh
ulah para provokator. Mereka memanfaatkan hysteria massa untuk melakukan
tindakan agresif dan destruktif dengan menggunakan sentimen-sentimen keagamaan.
Tulisan ini akan mencoba menelusuri
beberapa sebab yang menjadikan umat beragama sering terlibat dalam konflik yang
mengarahkan pada bentuk kekerasan. Apakah kekerasan yang terjadi tersebut
dimotivasi oleh ajaran agama, atau ada karakteristik dari penganut umat
beragama yang cenderung terlibat konflik di antara mereka. Begitu juga, bagaimana
konsep ajaran damai pada setiap agama.
Agama, Kekerasan, dan Perdamaian
Agama adalah suatu ajaran yang
mengajarkan kasih sayang kepada siapa saja tanpa terkecuali, dan agama membawa
misi dasar luhur yaitu kerukunan, persaudaraan, perdamaian, dan keselamatan
universal. Namun dalam berbicara tentang kaitan agama dengan kekerasan adalah
sesuatu hal yang paradoks. Di satu sisi, agama apapun tanpa terkecuali
mengusung misi perdamaian, kerukunan, dan keselamatan, sekaligus menolak bentuk
kekerasan dan tindakan anarki. Tetapi di sisi lain, terkadang agama dituding
penyebab, penggerak bahkan penggagas dari suatu kekerasan dan anarki.
Sebab, agama disisi lain sebagi
rahmat, tetapi disisi lain agama juga sebagai pemicu kekerasan. Sebab, agama
menjadi pejuang kedamaian, kemanusiaan, dan keadilan yang paling gigih dalam
satu sisi. Begitu pula agama sebagai salah satu sistem nilai yang digunakan
oleh para penganutnya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan masyarakat
luas.
Pertanyaan penting pertama yang harus
diajukan berkaitan dengan perilaku kekerasan adalah apakah yang mendorong
manusia melakukan tindakan kekerasan. Jawaban terhadap pertanyaan ini
diharapkan akan mengantarkan pada pengertian tentang perilaku kekerasan.
Menurut T. Robert Gurr, di dalam kompleksitas motivasi manusia, para neurofisiologis menemukan dua sistem hasrat (appetitive
system) besar sebagai pembentuk motivasi yang terjadi pada manusia. Stimulasi dari salah satu sistem ini
menghasilkan perasaan gembira, kepuasan, dan cinta. Stimulasi sistem lainnya
menghasilkan sensasi kecemasan, teror, depresi, dan kemarahan.
Perasaan-perasaan ini mewarnai persepsi manusia tentang dunia dan mendorong
tindakan-tindakannya.[1]
Namun lingkungan manusia berubah dan
apa yang dipelajari manusia tidak selalu terbukti cocok untuk menghasilkan
kepuasan dirinya. Menghadapi kenyataan yang demikian manusia akan menjadi
frustasi. Frustasi yang dialami manusia kemungkinan akan menimbulkan tindakan
agresi. Hubungan frustasi-agresi menyebabkan
terjadinya dinamika psikologis untuk hubungan antara intensitas deprivasi dan
potensi bagi kekerasan kolektif. Menurut T. Robert Gurr deprivasi relatif
(relative deprivation) adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan
ketegangan yang terjadi akibat suatu kesenjangan antara yang harus menjadi
(ought) dan yang menjadi (is) dalam kepuasan nilai kolektif, dan yang amendorong
manusia untuk melakukan kekerasan.[2]
Menurut Jack D. Douglas dan F.C.
Waksler istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka
(overt) atau tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensif)
atau bertahan (deffensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain.[3]
Dari pendapat tersebut dapat diidentifikasi adanya empat jenis kekerasan: (1)
kekerasan terbuka, kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian; (2) kekerasan
tertutup, kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan secara langsung,
seperti
mengancam; (3) kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk
perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu, seperti perampokan; dan (4)
kekerasan defensif, kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan
diri. Baik kekerasan agresif amaupun defensif bisa bersifat terbuka atau
tertutup.
Kekerasan bisa merupakan suatu
aktivitas individu atau kelompok, yang disebut kekerasan individu dan kolektif.
Seiring dengan perilaku kekerasan tersebut para partisan (pihak yang terlibat)
pada umumnya akan bisa memberikan penjelasan atas tindakan mereka. Suatu
persoalan kunci yang berkaitan dengan perilaku kekerasan adalah adanya faktor
penting dan ketidakmungkinan mengetahui maksud sebenarnya mengenai orang lain. Terdapat
perbedaan penafsiran mengenai apakah suatu tindakan dianggap menyimpang atau
tidak, harus bergantung kepada apa yang „dimaksudkan‟ individu pelaku. Karena individu
bisa mengubah perilaku yang dapat diamati dan bisa pula menyembunyikan maksud
mereka. Oleh karena itu harus disadari adanya keterbatasan-keterbatasan dalam menyelidiki
atau melakukan riset tentang masalah kekerasan ini.
Indonesia, secara tipikal merupakan
masyarakat yang plural. Pluralitas masyarakat Indonesia tidak saja karena
keanekaragaman suku, ras, dan bahasa, tetapi juga dalam agama. Dalam
hubungannya dengan agama, pengalam beberapa waktu terakhir memberikan kesan
yang kuat akan mudahnya agama menjadi
alat provokasi dalam menimbulkan ketegangan
dan kekerasan baik intern maupun antar umat beragama. Ketegangan ini
antara lain disebabkan karena: (1) umat beragama seringkali bersikap untuk memonopoli
kebenaran ajaran agamanya, sementara agama lain diberi label tidak benar. Sikap
seperti ini, dapat memicu umat agama lain untuk mengadakan perang suci atau
jihad dalam rangka mempertahankan agamanya; (2) umat beragama seringkali
bersikap konservatif, merasa benar sendiri (dogmatis) sehingga tak ada ruang
untuk melakukan dialog yang kritis dan bersikap toleran terhadap agama
lain. Dua sikap keagamaan seperti itu
membawa implikasi adanya keberagamaan yang tanpa peduli terhadap keberagamaan orang
lain. Sikap ini juga akan menyebabkan keretakan hubungan antar umat beragama.
Bertitik tolak dari pemikiran
seperti itu, maka kebutuhan mendesak yang perlu diperhatikan oleh bangsa
Indonesia adalah merumuskan kembali sikap keberagamaan yang baik dan benar di
tengah masyarakat yang plural. Ini merupakan agenda yang penting, agar
pluralitas umat beragama tidak menimbulkan ketegangan, konflik dan keretakan
antar umat bergama.
Ajaran Damai dalam Perspektif Agama
Yahudi
Salah
satu aspek yang penting dalam agama Yahudi adalah keyakinan bahwa Tuhan
berkomunikasi kepada manusia melalui perantaraan ramalan. Ia menjaga hubungan
dengan manusia melalui wahyu Nya dan hukum Nya kepada ciptaan yang disayangi
Nya. Untuk maksud tersebut, Dia memilih Putra Israil dan membangkitkan
nabi-nabi Nya hanya dari kalangan mereka. Ummat Yahudi percaya bahwa Musa a.s.
adalah nabi terbesar dari segala nabi yang Tuhan berkomunikasi langsung dengan
cara Nya, yang keseluruhannya ada dalam Torah (yakni Pentateuch) telah
diwahyukan kepada Musa a.s. oleh Tuhan; dan Torah tidak akan mengalami
perubahan atau menggantikan dengan wahyu lain dari Tuhan.
Manusia, menurut ajaran Yahudi,
diciptakan dari citra Tuhan. Ia dapat jatuh ke dalam sekali, tetapi ia tidak
oleh dosa yang tidak dapat diampuni. Dosa adalah melawan kehendak Tuhan, tetapi
lebih serius lagi menurunkan derajat manusia. Tobat seseorang akan
mengembalikan kesuciannya. Tuhan Maha Pengasih dan memaafkan dosa-dosa orang
yang bertaubat. Agama Yahudi percaya bahwa Tuhan mengetahui setiap perbuatan
manusia dan semua yang difikirkannya. Ia mengganjar siapa-siapa yang memegang
Perintah Nya dan menghukum siapa- siapa yang melanggar Perintah Nya. Dalam
Alkitab sendiri dikatakan tempat manusia hidup adalah di dunia. Tetapi ajaran
Yahudi datang pada suatu kepercayaan bahwa setelah kebangkitan dari kematian,
akan ada kehidupan di sorga dan di neraka.[4]
Dasar agama Yahudi sebagai suatu
sistem keagamaan dan hukum moral adalah kesucian yang mengandung dua aspek:
negatif dan positif. Kesucian agama meminta dalam arti negatif menolak semua
penyembahan berhala, dan dalam arti positif dijalankannya suatu sistem dalam
upacara yang dianggap bangsa Yahudi telah diwahyukan kepada mereka dari Tuhan.
Dalam segi moral kesucian meminta, dalam arti negatif, terhadap setiap desakan
nafsu yang membuat manusia itu mementingkan diri sendiri dengan mengorbankan
orang lain merupakan nilai pokok kehidupan kemanusiaan. Dan dalam segi positif,
ketaatan kepada suatu etika yang menempatkan pelayanan kepada sesama manusia
sebagai titik pusat dari sistemnya. Dasar dari hukum moral tentang kesucian
adalah dua prinsip keadilan dan ketulusan. Keadilan sebagai aspek negatif
kesucian, dan ketulusan sebagai aspek positifnya.[5]
Mengenai keadilan, Taurat berkata: “Janganlah
memutarbalikan keadilan, jangan memandang bulu, dan jangan menerima suap, sebab
suap membuat mata buta orang bijak, dan memutarbalikan perkataan orang akan
menjauhkan ketulusan. Semata-mata keadilan itulah yang harus kau kejar, supaya
engkau hidup dan memiliki negeri yang diberikan kepadamu oleh Tuhan Allahmu”
(Ulangan, 16:19-20)
Keadilan berarti pengakuan atas enam
hak-hak azasi, yakni hak untuk hidup, hak untuk memiliki, hak untuk bekerja,
hak untuk berbusana, hak untuk bertempat tinggal, dan hak pribadi. Ketulusan
membabarkan dirinya dalam penerimaan tugas kewajiban terutama terhadap si
miskin, si lemah, dan yang tak berdaya.
Ucapan tradisional dalam Yahudi, "Shalom
Aleichem"[6],
digunakan ketika dua orang Yahudi bertemu, juga merupakan nama dari lagu yang
diawali makan Shabbat setiap Jumat malam. Dengan menyanyikan lagu ini 'shalom',
berasal dari kata Ibrani 'Shalem', yang berarti 'lengkap', kami meminta Gd[7]
untuk memberkati rumah kami dengan damai; bahwa tidak boleh ada konflik antara
teman-teman atau keluarga, terutama pada Shabbat.[8]
"Semoga Tuhan memberkati Anda dan membuat
Anda. Tuhan menyinari engkau dengan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau kasih
karunia. Tuhan mengangkat wajah-Nya kepadamu dan memberikan Shalom - Perdamaian
"(Bilangan 6:24-26).
Shalom ("perdamaian"), adalah salah satu
prinsip yang mendasari Taurat, Amsal 03:17 "cara nya adalah cara yang
menyenangkan dan semua jalan nya shalom ('damai')."[9]
"The Talmud menjelaskan," seluruh Taurat adalah demi cara-cara shalom[10]
komentar Maimonides dalam bukunya Mishneh Taurat." Besar damai, karena
seluruh Taurat diberikan dalam rangka untuk mempromosikan perdamaian di dunia,
seperti yang dinyatakan, 'Her cara cara yang menyenangkan dan semua jalannya
adalah perdamaian.”[11]
Aturan utamanya sebagai
yang dirumuskan oleh Rabbi Hilles sebagai berikut: “Janganlah melakukan sesuatu
kepada orang lain hal-hal yang kau benci kalau orang lain berbuat demikian
kepadamu”. Dan inilah apa yang dapat kita baca dalam Gemara: “Kebijaksanaan
yang tertinggi ialah kasih sayang” (Berakot, 17a) “Jika dua orang meminta
tolong, sedangkan yang satu adalah musuhmu, tolonglah dia terlebih dahulu”
(Baba Metzia, 32 b) “Pemberian zakat dan perbuatan mencintai sesamanya adalah
sama dengan seluruh perintah Torat, tetapi mencintai sesamanya adalah lebih
besar” (Sukkah, 49b) “Barangsiapa yang mendermakan sekeping uang kepada seorang
yang miskin mendapatkan enam rahmat yang diberikan kepadanya, tetapi dia yang
mengucapkan suatu perkataan yang lemah lembut kepadanya mendapat sebelas
rahmat” (Baba Batra. 9b) Kasih sayang tidak terbatas tidak hanya kepada sesama
manusia melainkan juga kepada binatang – binatang: “Rabbi Judah berkata atas
nama Rab: Seseorang dilarang memakai sesuatu sebelum dia memberi makan binatang
peliharaannya” (Gittin, 62a).[12]
Ajaran Damai dalam Perspektif Agama
Islam
Menurut DR. H. Fatah Syukur NC, M.Ag,
mengatakan bahwa menurut ajaran agama Islam, agama menjadi sumber nilai,
semangat, dan institusi terakhir untuk mencari makna hidup. Agama untuk manusia
adalah sebagai kekuatan pembebas, agama menawarkan sekumpulan nilai, ajaran,
visi, dan ketentuan normatif. Manusia memiliki kebebasan untuk merespon
tawaran-tawaran agama. Manusia memerlukan agama untuk meningkatkan kualitas
hidupnya sendiri, bukan agama yang memerlukan manusia. Agama hendak membantu
manusia untuk melakukan aksi pencerahan, dan aksi pembebasan manusia dari
situasi keterpenjaraan seperti penjara, kemiskinan, kekayaan, dan komunalisme.
Nabi Muhammad saw diutus membawa
ajaran Islam ke dunia, maka Islam adalah rahmatan lil’alamin, Islam adalah
rahmat bagi seluruh manusia. Ajaran agama merupakan sesuatu yang ideal, misalnya
Islam itu cinta damai, Islam itu indah, Islam cinta kedisiplinan, dan Islam itu
rahmat bagi seluruh alam.
Namun sekarang marak muncul permasalahan
yang mengatasnamakan agama. Permasalahan agama sesungguhnya tidak dapat
dilepaskan dengan permasalahan sosial, karena agama setelah dipeluk oleh umat
manusia, maka sarat dengan persoalan sosial terutama yang berhubungan antara
sesama manusia. Terkadang suatu ajaran dari sumber yang sama, dengan kalimat
yang sama dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda, dan pada akhirnya akan
menimbulkan praktik yang berbeda pula, bahkan sangat memungkinan menimbulkan
konflik, padahal secara dogmatik, ajaran agama selalu menghendaki adanya
kedamaian, dan keharmonisan. Namun pada kenyataannya konflik yang dipicu oleh masalah
agama itu selalu muncul ke permukaan. Misalnya konflik antara pemeluk agama di
Ambon, orang Madura dan Dayak di Kalimantan, bahkan konflik antar pendukung
partai di Pekalongan dan Jepara, hampir semuanya dipicu melalui sentimen
keagamaan, misalnya menghina ajaran agama atau tokoh agama, pembakaran tempat
ibadah, pelecehan Kitab Suci dsb. Tetapi konflik tersebut bukan hanya
disebabkan oleh unsur agama namun mungkin ada unsur lain yang menyebabkannya.
Dalam berbagai konflik yang sering
terjadi sekarang wajah Islam agaknya selalu beriring dengan label anarkis dan
anti kebebasan. Cap fundamental, ekstrem, dan bahkan teroris seakan sangat
akrab dengan komunitas “orang” yang memeluk agama Islam. Generalisasi perilaku
“sekelompok” muslim seringkali menjadi justifikasi muka Islam sebagai agama,
sehingga label-label negatif tadi selalu pantas untuk diembelkan dengan Islam.
Namun pemberian label negatif terhadap agama Islam ini tidak adil karena kasus
tersebut hanya dilakukan oleh sebagian kecil umat Islam. Justru umat Islam yang
berfikiran moderat jauh lebih banyak dan tidak setuju dengan cara-cara yang
dilakukan oleh mereka itu.
Menurut Quraish Shihab, bahwa
“peace” dalam Islam yaitu Islam merupakan agama yang mendambakan perdamaian dan
tentang sebuah salam “assalamu’alaikum (Damai untuk Anda). Islam sebagai agama
rahmatan lil’alamin, sehingga Islam merupakan sebuah agama yang menanamkan
ajaran dan etika damai dalam kehidupan sehari-hari, baik dengan Tuhan, manusia,
maupun alam. Begitu pula dalam al Qur’an yang artinya “Dialah Allah SWT yang
tiada Tuhan selain Dia, raja, yang Maha Suci, yang Maha Damai Sejahteta, yang
mengaruniakan keamanan, yang maha memelihara…” Sedangkan dalam ayat lain juga
dijelaskan “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan sebagai rahmat semesta
alam” (Q.S. Al-Anbiya : 107). Begitu indah ajaran damai dalam Islam dan sesuai
apa yang telah Allah anugerahkan kepada manusia tentang sebuah kedamaian.
Agama Islam yang
disebarkan dan diajarkan oleh Nabi Muhammad saw merupakan agama yang ditujukan
demi kesejahteraan dan keselamatan seluruh umat dan alam. Sesungguhnya
perdamaian merupakan salah satu prinsip dalam Islam yang ditanam secara
mendalam dalam hati kaum muslimin sehingga menjadi bagian dalam kehidupan
mereka. Islam itu cinta damai. Islam diturunkan oleh Allah swt ke muka
bumi dengan perantaraan seorang Nabi yang diutus kepada seluruh manusia untuk
menjadi rahmat bagi seluruh alam. Islam bertujuan menciptakan perdamaian dan
keadilan bagi seluruh manusia, sesuai dengan namanya yaitu al-Islam. Karena
itu, Islam diturunkan bukan untuk memelihara permusuhan atau menyebarkan dendam
kesumat di antara umat manusia. Islam justru memerintahkan kita memiliki sifat
pemaaf, namun tetap memperhatikan agar kejahatan tetap diberi hukuman setimpal
agar tidak muncul kejahatan lain. Islam memerintahkan agar manusia selalu
berbuat baik, sekalipun terhadap orang yang jahat kepadanya, Islam
memerintahkan manusia berendah hati, namun jangan melupakan harga diri. Namun,
Islam melarang bersikap lemah dan meminta damai dalam peperangan ketika belum
mencapai tujuan.
Begitu pula dalam kehidupan
sehari-hari Nabi Muhammad begitu mulianya, sehingga kita dapat belajar tentang
kedamaian dengan cara-cara yang diajarkannya. Begitu pula disaat kritis ketika
seseorang memintanya untuk mengutuk musuh- musuhnya, maka beliau menjawab “Saya
tidak diutus untuk mengutuk, melainkan sebagai rahmat bagi ummat manusia. Wahai Tuhan, bimbinglah ummatku karena mereka
tidak tahu.” Beliau datang untuk meningkatkan dan memperbaiki kemanusiaan yang
sudah runtuh, dan beliau memenangkan hati atas elemen anti sosial serta
orang-orang terbuang dengan kasih sayang dan kebajikan. Kedermawanannya,
kesediaannya menolong rakyat dengan segala cara yang benar dan unggul. Beliau sahabat terbesar dari si miskin dan
nestapa.[13] Beliau berusaha keras sepanjang hidupnya
untuk membimbing manusia kepada Tuhan Yang Esa dan Sejati, yang membuat mereka
penuh sifat-sifat ketuhanan, mengangkat mereka dari kesalahan dosa dan takhayul, namun dalam mengajar mereka
kepada kebenaran beliau dengan tulus selalu mengikuti perintah Al Qur’an,
“Janganlah ada paksaan dalam agama” (Q.S. Al Baqarah : 256).
Kehidupannya menunjukkan bahwa
perkara-perkara terbesar yang dapat diperbuat oleh seseorang hanya dapat
dilakukan dalam kepatuhan kepada seruan gaib yang lebih tinggi dan diilhami
keyakinan bahwa kebenaran serta ketulusan abadi adalah kenyataan yang harus
mendahului segala sesuatu dalam kebaktian seseorang. Beliau telah mencelupkan dirinya dengan
sifat-sifat Ilahi, dan menyebabkan para sahabatnya mengambil langkah yang
terbesar dalam mendekatkan diri kepada Ilahi.
Meskipun demikian beliau tetap rendah hati dan sederhana, selalu sadar
akan ketiadaannya dihadapan Tuhan, dan dari puncak kesempurnaan moral serta
spiritual yang telah dicapainya, beliau menyeru kepada kaumnya: “Aku ini adalah
manusia biasa seperti kalian” (Q.S. Fusshilat :6).
Dalam zaman penuh supernaturalisme,
“ tulis Dr. Huston Smith, “ketika keajaiban diterima sebagai dongeng
sehari-hari dari kebanyakan Santo, maka Muhammad menolak dengan kuat
penyalahgunaan kebodohan dan kelemahan manusia. Kepada penyembah berhala yang
haus akan keajaiban, dan meminta agar beliau memberikan tanda bukti serta
peringatan, beliau menolaknya dengan tegas: ‘Tuhan tidak mengutusku untuk
mengerjakan keajaiban-keajaiban. Dia telah mengutusku untuk mengajarkan
kepadamu. Terpujilah Tuhanku: Apakah aku lebih dari seorang manusia biasa yang
dikirim sebagai Utusan? Dari awal hingga akhir beliau menolak setiap kecenderungan
untuk mengagung-agungkan pribadinya.”[14] Mayor A.G. Leonard menulis tentang beliau,
“Jikalau pernah ada seseorang di bumi ini, jikalau pernah seseorang
mempersembahkan hidupnya demi mengabdi kepada Tuhan dengan itikad baik dan
agung, maka sesungguhnya orang itu adalah Nabi dari Tanah Arab.”[15]
Ajaran Damai dalam Perspektif Agama
Kristen
Relasi antara Tuhan dan
manusia adalah hal utama di dalam iman kristiani. Manusia dijadikan Tuhan
sebagai patner kerja yang menatalayani kehidupan sehingga berlangsung suasana
damai bagi semua. Inilah tujuan utama yang diresponi manusia dengan kerendahan
hati dan keterbukaan.
Cara-cara beragama,
bentuk-bentuk keagamaan dan ide-ide, sepatutnya sejalan dengan mandat Tuhan.
Identitas agama sepatutnya menjadi identitas yang mendorong manusia melayani
berbagai kebutuhan hidup sehingga kedamaian bisa tercapai, bukannya identitas
yang menuntut manusia menjadi ekstrem. Manusia yang beragam dapat melakukan
banyak hal yang bermartabat karena pemaknaan agamanya, namun ternyata ada
berbagai konflik dan kekerasan berlatar pada pemaknaan tertentu dari nilai
agama. Dengan kata lain, terdapat warisan kekerasan, pelanggaran HAM, dan
ketidakadilan ekonomi politik yang bertentangan dengan harapan bahwa itu
ditampilkan oleh manusia beragama di dalam dan melalui hidupnya. Agama Kristen
memiliki kepercayaan tentang ajaran damai apa yang ada dalam Perjanjian Lama
dan Perjanjian Baru untuk menciptakan hidup yang damai dan adil.
Bahwa Yesus merupakan pembawa
kedamaian bagi umat manusia. Yesus dipercaya sebagai yang mengarahkan orang
yang beriman kepadaNya kepada jalan damai sejahtera seperti dinubuatkan oleh
Zakaria (Lukas 1:79). Dan Yesus menyatakan bagi orang-orang yang membawa damai
dan disebut sebagai anak-anak Allah : “Berbahagialah orang yang membawa damai,
karena mereka akan disebut anak-anak Allah”(Matius : 5:9). Begitu jelas adanya
sebuah ajaran damai dalam agama Kristen, tetapi banyak yang dapat dilakukan
dalam menciptakan hidup yang damai dan mencegah kekerasan.
Perkara kekerasan
menjadi masalah serius pada kehidupan masa kini apalagi yang melibatkan agama.
Kekerasan ini bersumber dan nampak dalam banyak hal yaitu ketidakadilan, budaya
kekerasan yang dianggap warisan, kompetisi yang membenarkan berbagai cara.
Namun sebagai orang beriman kita harus berjuang melawan setiap kekerasan yang
terjadi. Kita harus menghadirkan damai dan memelihara damai.
Menurut Pdt. Nancy N.
Souisa, M.Si ada beberapa hal yang dapat dilakukan dalam mewujudkan perdamaian
dalam ajaran Kristen adalah :
a.
Pendidikan perdamaian
Pendidikan
perdamaian dilakukan mulai dalam komunitas agama untuk meninjau cara pikir dan
praktek beragama yang tidak sensitif terhadap orang lain dan komunitas lain.
Pelajaran dari daerah yang mengalami konflik dan kekerasan mengetengahkan
pentingnya kebersamaan dan mengedepankan kemapanan dan kebijaksanaan masyarakat
untuk bersama memikirkan dan mempromosikan perdamaian.
b.
Perhatian terhadap budaya damai dengan menggunakan nilai-nilai luhur dan
bentuk-bentuk dalam tradisi setiap komunitas yang tidak lekang dimakan budaya
kekerasan. Bahwa terdapat nilai dan bentuk warisan masa lalu yang patut
dipraktekkan sebab terbukti menyokong masyarakat dalam memelihara harmoni
sambil mengupayakan hidup bersama yang saling menjaga, memperhatikan, dan
berbagi.
c. Belajar
dari persoalan-persoalan kekerasan dan konflik, contohnya yang diusulkan oleh
Scoot Appleby, ia menawarkan transformasi dari kekerasan menuju perdamaian
dalam tiga dimensi : managemen konflik, resolusi konflik dan pembaruan
struktur. Managemen konflik menyangkut pencegahan konflik. Resolusi konflik
menyangkut advokasi dan kesaksian dari yang terlibat di dalam konflik.
Pembaruan struktur adalah upaya untuk mengalamatkan akar penyebab konflik dan
mengembangkan praktek jangka panjang dan institusi yang kondusif bagi
masyarakat yang kondusif untuk berlangsungnya damai dan relasi tanpa kekerasan.
Banyak cara lain yang
dapat digunakan sebagai pergulatan pekerjaan perdamaian, sebab perjuangan untuk
menghadirkan perdamaian adalah jalan panjang namun membuat kualitas kemanusiaan
teruji dan memperlihatkan hal yang memang sepatutnya menjadi bagian dari
kemanusiaan. Dengan kata lain, tidak ada ajaran agama yang keliru, yang ada
adalah kesalahan tafsir dan pemutlakannya buta atas ajaran agama oleh penganut
agama. Agama itu harus dijauhkan dan dipisahkan dari kepentingan politik dan
kekuasaan. Dan yang lebih penting adalah belajar dari Yesus yang melawan
kekerasan dengan cinta kasih.
Sebab dalam agama Kristen telah
mengajarkan tentang kedamaian. Sebab manusia mempunyai kehormatan dan harga
diri yang tidak bisa dibeda-bedakan, dan tidak bisa diambil oleh siapapun.
Manusia telah dikaruniai oleh penciptanya kemampuan untuk memilih dan menentukan
sendiri apa yang baik dan buruk baginya.[16]
Beliau seringkali menyatakan dirinya
sebagai Anak Tuhan, tetapi hal ini tidak berarti mendakwahkan ketuhanan
sedikitpun. Istilah ini telah digunakan oleh para nabi lainnya juga.[17]
Ini tiada lain untuk menunjukkan kedekatannya kepada Tuhan dan tidak lebih.
Bila Tuhan itu adalah Bapa kami yang di sorga, maka seluruh ummat manusia
adalah anak-anak Tuhan makhluk Nya.[18]
Demikian Yesus berkata: “Kasihilah musuhmu, dan berdoalah bagi mereka yang
menganiaya kamu. Karena dengan demikian kamu menjadi anak- anak Bapamu yang ada
di sorga.”(Matius, 5:44-45) “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena
akan disebut anak-anak Allah.” (Matius, 5:9)
Ajaran Damai dalam Perspektif
Buddhisme
Di era modern ini
manusia dihadapkan dengan permasalahan yang cukup kontradiksi diantaranya
konflik dan kekerasan yang mengatasnamakan agama. Di satu sisi, orang takut
akan terjadinya kekerasan. Namun di sisi lain, ada orang atau kelompok tertentu
yang sudah siap atau memang mempersiapkan diri untuk menindak pihak lain dengan
kekerasan. Kondisi ini telah mendorong sebagian umat manusia untuk mulai sadar
akan pentingnya kehidupan yang damai. Sudah banyak catatan kekerasan atas nama
agama yang mewarnai kehidupan di Indonesia mulai dari terorisme, masalah tempat
ibadah, sampai dengan penodaan agama, dan aliran kepercayaan. Hal ini menjadi
tantangan bagi umat beragama.
Sebagai salah satu agama
besar yang berkembang di dunia, Buddhisme memiliki tantangan tersendiri dalam
menjawab tantangan keberagaman agama yang sering menjadi salah satu unsur
pemicu kekerasan yang mengatasnamakan agama. Sebenarnya keberagaman agama
adalah bagian dari kehidupan ini sehingga untuk terlepas dari keberagaman
sangatlah sulit. Berdasarkan fakta tersebut, Buddhisme melihat keberagaman
agama sebagai suatu kondisi yang alami.
Pentingnya mendirikan
kedamaian berawal dari mengkonstruksi pemahaman terutama pemahaman agama. Agama
perlu dipahami tidak semata sebagai dogma yang harus dipegang kuat-kuat, tetapi
agama harus dipahami sebagai jalan hidup yang mengarahkan dan menggerakkan
pikiran umat manusia pada titik kerhamonisan.
Menurut Suranto, MA, Bahwa perdamaian
tidak dapat diwujudkan selagi manusia masih memiliki dan mengutamakan nafsu,
mementingkan diri sendiri atau kelompok, memliki kesombongan agama atau rasial,
dan mengutamakan keegoisan kekuasaan. Agama pada dasarnya mengajarkan manusia
untuk tidak membunuh dan menyakiti sesama atau makhluk lain, tetapi sayangnya
melalui akar kebenciaan, kejahatan, dan kegelapan batin manusia mengabaikan
ajaran kasih. Sebenarnya agama memiliki catatan dan benih-benih kekerasan
maupun benih-benih perdamaian tetapi sangat bergantung bagaimana kita
membudayakannya. Sikap dan prinsip memanusiakan manusia merupakan salah satu
sarana untuk menghargai kehidupan, sehingga tidak seharusnya manusia menjadi
obyek dan sumber kekerasan atas nama agama.
Dalam mewujudkan kedamaian
hidup beragama dapat dimulai dari diri sendiri dengan mengembangkan cinta kasih
kepada semua makhluk. Buddhisme mengajarkan pengembangan cinta kasih dapat
dilakukan melalui meditasi metta (meditasi cinta kasih). Dalam ajaran agama
Buddha terdapat satu kalimat manjur untuk menciptakan perdamaian yaitu dengan
cara mengucapkan dan mepraktikkan dalam kehidupan sehari-hari melalui usaha
mengharapkan semua makhluk hidup berbahagia (sabbe satta bhavantu sukhitta).
Selain itu, cara pengembangan cinta kasih dalam Buddhisme dapat dilakukang
dengan memberikan keterbukaan dalam menyelesaikan permasalahan termasuk
kekerasan beragama untuk membangun dasar hidup manusia dengan memiliki
kemoralan, kesabaran, kerendahan hati, dan toleransi dalam kehidupan beragama.
Perdamaian dirancang oleh pikiran
manusia sebaliknya perang juga diciptakan oleh pikiran bodoh manusia. Maka
dalam kehidupan harus senantiasa mengembangkan hati penuh kasih, cinta damai
dan keluhuran pikiran, serta menghormati mengembangkan sikap dan perilaku
simpatik, yaitu saling menghormati, toleransi, rukun, bersinergi, membangun
kebersamaan dan mengobarkan semangat gotong royong, agar tercapinya negara dan
dunia yang tertib, aman, damai dan harmoni.[19]
Hyang Budha bersabda : “Ketika menjelajahi segenap penjuru dengan pikiran,
orang tak menemukan seorang pun lebih disayang dari dirinya, begitu pula setiap
orang memandang dirinya sendiri yang tersayang. Karena itu ia yang mencintai
dirinya sendiri sebaiknya tak mencelakai orang lain.” (Samyutta Nikaya I, 75;
Udana 47).
Sejak dini kita menanamkan
nilai-nilai BrahmaVihara dalam diri kita, kepada pasangan hingga kepada
anak-anak. Di dalam rumah, kita tanamkan nilai-nilai Brahma Vihara dengan
mempraktekannya dalam kasus-kasus yang sepertinya sederhana. Kepada pasangan,
mulailah kita mengutamakan dialog dan kepercayaan, ketimbang kekerasan dan
praduga buruk. Dengan demikian perselisihan atau permasalahan antara suami
istri dapat dibicarakan dengan dasar membangun suasana rumah tangga yang baik.
Sedangkan sebagai orang tua kepada anak-anak, adakah ketika menuntut anak-anak
untu memperoleh nilai yang baik di sekolah, juga diharapkan memiliki
sikap saling menghormat dan menghargai serta menjaga orang yang lebih tua,
sesama maupun lingkungan sekitar. Maka, dengan Brahma Vihara yakni : metta
(cinta kasih), karuna (belas kasih), mudita (simpati atas kebahagiaan orang
lain), dan upekkha (keseimbangan/kebijaksanaan).[20]
Untuk itu, di dalam Brahma
vihara terdapat 4 (empat) sifat agung yang sangat luhur jika terus dijalankan
oleh seluruh umat. Dengan demikian, jika setiap manusia memiliki empat sifat
luhur itu, maka akan tercipta kedamaian dan kebahagiaan hidup. Maka dengan
adanya hari Waisak ini, dimaksudkan untuk menyadarkan umat manusia akan pentingnya
hidup toleransi, menciptakan perdamaian, kedamaian, serta kerukunan dan
menghormati sesama manusia dan selalu menebar cinta kasih antar sesama manusia
untuk menjadikan bangsa dan negara yang aman dan sejahtera, serta untuk
meningkatkan spiritual hidupnya.
Ajaran Damai dalam Perspektif Agama
Khonghucu atau Confusianisme
Ajaran agama Khonghucu
adalah sebuah ajaran yang bersumber dari ajaran para nabi purba di Tiongkok
yang dirumuskan dan disempurnakan oleh Nabi Khonghucu (551-479 SM). Artinya, sebelum
Nabi Konghucu lahi bahan ajaran “agama Khonghucu” itu sudah ada dan disebut Ru
Jiao.
Menurut agama Khonghucu,
tindak kekerasan dalam bentuk apapun harus dicegah melalui pendidikan sejak
kanak-kanak. Jika pendidikan sejak kanak-kanak sudah salah setelah dewasa sulit
diperbaiki karena sudah menjadi watak. Orang yang suka melakukan kekerasan
biasanya orang yang kurang berpendidikan atau salah didik. Pendidikan agama
diharapkan dapat membentuk karakter manusia menjadi lebih baik, maka pelajaran
agama tidak hanya mendidik anak mengenal Tuhan, tetapi juga mengenal manusia
dan kehidupannya. Selain itu, dalam agama Khonghucu kungfu dan silat Taiji
diajarkan untuk mengendalikan emosi seseorang agar tidak melakukan tindak
kekerasan.
Kong
Hu Chu percaya bahwa dunia ini dibangun berdasarkan landasan moral. Bilamana
manusia dan negara menjadi rusak akhlaknya, maka tata-susunan alam akan
terganggu. Akan ada bencana peperangan, banjir, gempa bumi, paceklik yang
panjang, dan wabah penyakit. “Jadi”, tulis Alfred Doeblin, “berlawanan dengan
arus pemikiran kita yang materialistis dan menjadikan manusia itu objek tak
berdaya dalam mengadapi arus peristiwa yang bebas serta tanpa arti, maka
tingkah laku kita itu dapat mempengaruhi dan sesungguhnya telah mempengaruhi peristiwa-
peristiwa dunia, karena kita ini memiliki kekuatan rohani yang mempengaruhi
kekuatan rohani dunia, dan suatu pilihan nasib manusia yang tidak tergantung
kepada Langit itu tidak mungkin, seperti tidak mungkinnya alur peristiwa di
dunia ini tidak tergantung kepada manusia. Kesengsaraan, kegagalan peristiwa-
peristiwa yang mengerikan adalah jeritan peringatan dunia yang menderita, yang
menjerit menyeru manusia untuk mengembalikan tata susunan dan kembali ke jalan
yang benar. Jadi Kong Hu Chu dan ajaran orthodoksnya meningkatkan pengertian
kita. Kita mengembangkan suatu kewajiban yang mendalam agar bertindak wajar dan
tidak ditujukan untuk takut hukuman. Kong Hu Chu menjadikan kita para penjamin
tata dunia yang teratur, dan jangan melalaikan kewajiban kita sekejap pun,
karena suatu gerakan itu diikuti oleh gerakan yang lain, dan hanya suatu perniagaan
kontanlah yang berlaku.”[21]
Kong Hu Chu
menaruh penghargaan yang tinggi kepada ummat manusia, percaya bahwa manusia itu
dianugrahi suatu Cahaya Ilahi. Beliau berkata: “Manusia yang membuat tata
susunan ini besar, dan bukan sistemnya yang membuat manusia itu besar.”
(Analects, 15:29).
Kong Hu Chu
sendiri adalah Guru semacam itu yang dibangkitkan oleh Tuhan. Analects
mengajarkan kepada kita kepercayaan atas evolusi kemanusiaan yang sejati. Di
sini digambarkannya kebenaran atau kemuliaan manusia: “Dia yang mula pertama
mempraktikkan apa yang diajarkannya, dan kemudian mengajarkan apa yang
dipraktikkannya”. (Analects, 2:13) “ Orang yang mulia memahami apa yang benar,
dan orang yang rendah hanya mengenal apa yang dapat dijual.” (Analects, 4: 16).
“Orang yang mulia mencintai jiwanya; orang yang rendah mencintai harta
bendanya. Orang yang mulia senantiasa ingat betapa ia dihukum karena kesalahan-
kesalahannya; orang yang rendah selalu mengingat hadiah-hadiah apa yang
diperolehnya” (4:11). Orang yang mulia itu berwibawa dan ramah tamah serta
tidak sombong, tetapi orang rendah itu sombong dan tidak berwibawa (13:26). “
Orang mulia itu dapat memahami pandangan orang lain tetapi tidak sepenuhnya
menyetujui, orang yang rendah itu setuju sepenuhnya dengan pandangan orang lain
tetapi tidak memahaminya.” (13:23) “Orang besar mempunyai pandangan universal
tanpa prasangka, orang picik berprasangka dan tidak universal pandangannya”
(2:14) Dari segi etika, Kong Hu Chu menekankan pada senasib sepenanggungan,
atau timbal balik menyuburkan simpati dan kerja sama yang harus dimulai dalam
keluarga, kemudian diperluas secara bertahap ke perkumpulan. Beliau menekankan
pentingnya lima hubungan kemanusiaan utama yang sudah menjadi adat- istiadat di
antara bangsa China: (1) penguasa dengan rakyatnya, (2) ayah dengan anaknya,
(3) saudara tua dengan adiknya, (4) suami dengan istrinya, dan (5) sahabat
dengan temannya. Kong Hu Chu melihat bahwa kekacauan yang timbul di China
ketika raja tidak bertingkah laku sebagai raja, rakyat tidak bertindak sebagai
rakyat, bapak tidak berbuat sebagai bapak, dan seterusnya. Maka dia merasa
bahwa langkah pertama ke arah perombakkan dunia yang kacau, ialah dengan cara
setiap orang harus menyadari dan memenuhi kewajibannya sendiri dengan tepat.
Suatu kali, Kong
Hu Chu ditanyai, “Adakah satu kata yang dapat berlaku sebagai prinsip dalam
hubungan hidup?” Dia menjawab: “Barangkali kata ‘timbal balik’ adalah yang tepat.
Janganlah berbuat sesuatu kepada orang lain yang kalian sendiri tidak ingin
orang lain berbuat demikian terhadapmu.” (Analects, 15: 24)
Sebab dalam
Confusianisme diajarkan tentang sebuah etika dalam kehidupan seperti cinta
kasih atau empati (Jin), solidaritas (Gi), sopan santun (Lee), tentang
kebijaksanan atau kearifan (Ti), dan amanah (Sin). Jika kelima hal itu dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, maka akan tercipta kehidupan yang
damai, aman, tentram dan harmoni. Memperhatikan ajaran Khonghucu di atas,
terutama lima sifat yang mulia di atas di mana Khonghucu sangat menekankan
hubungan yang sangat harmonis antara sesama manusia dengan manusia lainnya, di
samping hubungan harmonis dengan Tuhan dan juga antara manusia dengan alam
lingkungan. Setiap penganut Khonghucu hendaknya mampu memahami dan mengamalkan
kelima sifat di atas, sehingga kerukunan atau keharmonisan hubungan antar
sesama dapat terwujud tanpa memandang dan membedakan agama dari keyakinan.
Menurut Dr. Oesman Arif W.S,
bahwa dalam ajaran agama Khonghucu tidak menjelaskan masalah sorga,
neraka, dan reinkarnasi karena mengajarkan umatnya tulus dalam menjalankan
kebajikan di dunia ini. Berbuat kebajikan tanpa pamrih apapun, tidak dapat
hadiah di dunia ini atau di dunia lain tetap berbuat kebajikan. Agama Khonghucu
mengajarkan umatnya untuk menghormati arwah dan mendoakan agar tempat yang damai
disisi Tuhan. Umat Khonghucu mengirim benda seperti rumah dari kertas, ‘uang
perak’ dan ‘uang emas’ dari kertas tujuannya adalah menenangkan arwah. Umat
agama Khonghucu percaya bahwa roh itu abadi, tetapi setelah orang meninggal
rohnya ke mana itu rahasia Tuhan yang tidak perlu dirisaukan. Dalam memberi
penjelasan kepada murid-muridnya tentang keadaan manusia setelah meninggal,
Nabi Konghucu sangat hati-hati.
Ajaran Damai dalam Perspektif Hindu
Ajaran damai dalam agama Hindu
merupakan sebuah ajaran tentang kemanusiaan dan moral. Panutan-panutan itu dijabarkan
didalam ajaran-ajaran suci Agama Hindu. Diantaranya sebagai berikut:
1) Tri
Kaya Parisudha
Dalam ajaran Hindu sendiri kekerasan
sama seperti ajaran-ajaran pada agama lain bahwa tindakan kekerasan tidak
diperbolehkan sekalipun dilatar belakangi oleh alasan yang pasti. Konsepsi
kekerasan dalam ajaran agama Hindu atau yang disebut dengan “Haimsah” tidak
hanya membunuh akan tetapi menyakiti perasaan seseorang saja tidak
diperbolehkan, karena agama Hindu mengajarkan ajaran Trikaya Parisudha yakni :
perbuatan yang benar (kayika parisudha), pikiran yang benar (manacika
parisudha), dan ucapan yang benar (wacika parisudha). Tiga ajaran inilah yang
mencakup kesempurnaan manusia apabila ajaran ini dijalankan, maka kekerasan
tidak bahwa tingkah laku seseorang dapat dilihat dari ucapannya. Guna
menigntropeksi diri, agama Hindu mengajarkan umatnya untuk bertapa diri guna
mencegah perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan kekerasan.[22]
2) Tri
Hita Karana
Tri Hita Karana berasal dari kata
“Tri” yang artinya tiga, “Hita” yang artinya kebahagian, dan “Karana” yang
berarti penyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana tiga penyebab terciptanya
kebahagian.
Falsafah Tri Hita Karana memiliki
konsep yang dapat keunikan ragam budaya dan lingkungan, ditengah hantaman
globalisasi dan homogenosasi. Pada dasarnya hakekat ajaran Tri Hita Karana
menekankan tiga hubungan kehidupan dengan manusia di Dunia ini.
Dengan menerapkan falsafah itu
tersebut, diharapkan dapat menggantikan pandangan hidup modrn yang lebih
mengedepankan Individualisme dan materialism yang cenderung menimbulkan
kekerasan. Membudayakan Tri Hita Karana akan dapat mengapus pandangan
yang mendorong komsumsiresme, pertikain, dan gejolak marah. Ajaran tersebut
meliputi :
Manusia
dengan Tuhan (Parhyangan)
Manusia adalah ciptaan Tuhan,
sedangkan atman ada dalam diri manusia merupakan percikan sinar suci kebesaran
Tuhan, yang menyababkan manusia bisa hidup. Manusia berhutang nyawa pada Tuhan,
oleh karena itu setiap manusia wajib berterimakasih, berbakti, dan selalu
sujud. Itu dapat dinyatakan dalam bentuk puja dan puji terhadap kebesarannya.
Dengan menjalankan ajaran Parhyangan ini maka manusia akan dapat lebih
menekatkan diri dengan Tuhan sehingga sifat-sifat sad ripu yang dapat
menimbulkan kekerasan akan dapat dicegah.
Manusia
dengan lingkungan (Palemahan)
Manusia hidup dalam suatu lingkungan
tertentu, manusia memperoleh bahan keperluan hidup dari lingkungan, dengan
demikian manusia sangat tergantung pada lingkungan. Oleh karena itu manusia
sudah berkewajiban untuk menjaga keharmonisan di dalam lingkungan, baik itu
dengan alam ataupun dengan isinya (makhluk hidup).
Manusia
dengan sesamanya (Pawongan)
Sebagai makhluk sosial,manusia tidak
bisa hidup menyendiri. Merka memerlukan bantuan dari kerjasama oaring
lain, karena itu hubungan dengan sesama harus baik dan harmonis. Hubungan
antara sesama harus berlandaskan saling asah, asuh, asih. Yang artinya saling
menghargai, mengasihi, dan melindungi. hubungan antara keluarga dirumah harus
harmonis, dengan masyarakat juga harus harmonis. Hubungan baik ini mnenciptakan
keamanan dan kedamaian lahiar batin dan masyarakat yang aman akan menciptakan
tujuan yang tentram dan sejahtera.[23]
3) Tat
Twam Asi
Ajaran
tatwam berbunyi, “aku adalah kamu, kamu adalah aku.”
Jika aku adalah kamu, maka aku
selayaknya menyayangimu, sesayang aku pada tubuh dan jiwaku. Sesakit aku
menyakiti diriku, seperti itulah jika aku menyakitimu. Aku tak ingin hatimu
retak seperti cawan keramik terkena goyangan gempa. Jika aku mencelamu, maka
aku mencela diriku sendiri. Mencemohmu, sama dengan mencemohku.
(Ajaran
Tat Twam Asi berasal dari ajaran agama Hindu di India. Artinya : “aku adalah
engkau, engkau adalah aku.” Filosofi yang termuat dari ajaran ini adalah
bagaimana kita bisa berempati, merasakan apa yang tengah dirasakan oleh orang
yang di dekat kita. Ketika kita menyakiti orang lain, maka diri kita pun
tersakiti. Ketika kita mencela orang lain, maka kita pun tercela. Maka dari
itu, bagaimana menghayati perasaan orang lain, bagaimana mereka berespon akibat
dari tingkah laku kita, demikianlah hendaknya ajaran ini menjadi dasar dalam
bertingkah laku).
4) Ahimsa
dan Himsa
Perkataan Ahimsa berasal dari dua
kata yaitu : “a” artinya tidak, “himsa” artinya menyakiti, melukai, atau
membunuh. Jadi, Ahimsa artinya tidak menyakiti, melukai, atau membunuh mahluk
lain baik melalui pikiran, perkataan, dan tingkah laku secara sewenang-wenang.
Agama Hindu mengajarkan kepada umatnya untuk tidak membunuh atau menyakiti
mahluk lain adalah dosa. Ajaran Ahimsa itu merupakan salah satu faktor susila
kerohanian yang amat penting dan amat utama. Menurut ajaran Dharma didalam
sloka disebutkan ahimsa para dharmah artinya kebajikan ( Dharma ) yang
tertinggi terdapat pada ahimsa. Jadi, jelaslah bahwa ajaran yang tinggi itu
adalah tidak membunuh. Namun, uraian itu jangan ditafsirkan secara ekstrim (
kaku ) karena bisa bertentangan dengan ajaran agama yang kita anut ( agama
Hindu ). Dengan demikian kita boleh membunuh untuk mempertahankan hidup asal
tidak didorong dengan Nafsu atau Sad Ripu yaitu : Kama ( keinginan ), Lobha (
rakus, lobha ), Krodha ( marah ), Mada ( angkuh, mabuk ), Moha ( kebingungan ),
Matsarya ( iri hati ). Jadi, meskipun ajaran Ahimsa itu berarti tidak membunuh
tetapi dalam batas – batas tertentu kita diperbolehkan membunuh.[24]
Dengan demikian sebenarnya ajaran
Ahimsa itu tidak lain harus memperhatikan dan mengendalikan tingkah lakunya
agar pikiran, perkataan, dan perbuatan tidak menyakiti orang lain atau mahluk
lain. Setiap pikiran, perkataan, perbuatan yang tujuannya menyakiti orang lain
maka disebut perbuatan Himsa. Oleh karena itu hindari perbuatan Himsa terhadap
semua mahluk. Kita harus saling asah, asih, dan asuh terhadap sesamanya. Karena
jiwatman kita sama dengan jiwatman mahluk lain yang berasal dari satu sumber
yaitu Paramaatman ( Sang Hyang Widhi ).[25]
5). Catur
Paramita
Catur
paramita berasal
dari kata catur yang berarti empat dan paramita yang berarti
perbuatan luhur. Dengan demikian catur paramita berarti empat perbuatan luhur,
yang harus dilaksanakan oleh seluruh umat Hindu.
Catur paramita terdiri dari:
- Maitri (bersahabat). Manusia harus mempunyai sifat-sifat bersahabat terhadap sesamanya. Manusia adalah ciptaan Tuhan, jadi manusia berasal dari sumber yang satu yaitu tuhan dan karena itu manusia semuanya bersaudara. Dengan tercapainya persaudaraan maka akan tercipta hidup tenang, tentram, dan damai.
- Karuna (cinta kasih). Karuna merupakan perbuatan luhur atau belas kasih terhadap orang yang kesusahan dan menderita. Sebagai mahkluk ciptaan Tuhan manusia harus saling tolong menolong rela berkorban demi orang lain, negara dan bangsa. Cinta kasih juga harus ditimbulkan terhadap binatang, tubuh-tumbuhan dan mahkluk tuhan yang lain. Dengan cara tidak memburu dan merusaknya.
- Mudhita (simpati). Simpati artinya turut merasakan kesusahan maupun kebahagiaan orang lain. Dengan sifat mudhita ini, manusia akan terhindar dari rasa iri hati, dengki, dan kebencian terhadap sesamanya.
- Upeksa (toleransi). Toleransi merupakan perbuatan luhur dalam agama Hindu yang berarti manusia harus toleran dan senantiasa memperhatikan keadaan orang lain. Sedangkan jiwanya dipenuhi dengan rasa kesetia kawanan, simpati terhadap sesamanya, dan tidak menaruh rasa dendam terhadap orang yang bermaksud jahat kepadanya.[26]
Analisis Dari Uraian Tentang
Religion and Peace
Semua agama itu pada dasarnya
mengajarkan kebaikan dan perdamaian, dan tidak ada agama yang mengajarkan
kekerasan. Tetapi terkadang terjadi kekerasan yang mengatasnamakan agama karena
kurangnya pemahaman terhadap agama, dan penjelasan pemimpin yang salah.
Sehingga agama terkadang diperalat, dan seakan agama dengan kekerasan itu
antara ada dan tiada. Oleh sebab itu, sucikanlah hati dan pikiran. Seperti kata
Yesus “Jika ingin orang lain berbuat baik kepadamu, berbuat baiklah kepada
orang lain.” Sehingga, “jika ingin damai, berilah damai kepada orang lain”.
Bahwa, inilah yang hendaknya orang
perbuat, perasaan hati cinta kasih kepada segala mahluk hendaknya itu tetap
dikuatkan janganlah menaruh dengki iri hati, janganlah menginginkan dan jangan
merindukan sesuatu yang tidak ada, janganlah hal itu dipikir-pikir. Tanamkan
kebaikan dimanapun kita berada, sebab kedamaian itu kita lah yang
menciptakannya. Jadi kehidupan bermasyarakat yang damai, harmoni dan aman
menurut pandangan agama-agama adalah merealisasikan segala daya dan kemampuan
anggotanya untuk menjadi manusia yang integral yang memiliki kemauan untuk
menciptakan suatu kehidupan yang sejahtera lahir batin dan yang terpenting
sekali bahwa manusia sebagai hamba Tuhan, hendaknya memiliki keyakinan diri dan
ketaatan pada ajaran-ajarannya yang menuntun umat manusia menuju jalan kebaikan
yang dilandasi oleh ajaran agamanya dalam hal ini kedamaian. Dari uraian
tersebut dapat kita pahami, bahwa kebahagiaan, kedamaian, persatuan dan
kesatuan didasari oleh kedamaian yang kekal abadi. Sehingga hal tersebut mampu
menciptakan sebuah keharmonisan dalam kehidupan beragama dan bernegara.
Jadi pada dasarnya semua agama telah
memberikan ajaran yang jelas dan tegas bagaimana semestinya bergaul,
berhubungan dengan pemeluk agama lain. Secara khusus semuanya menjunjung tinggi
hidup rukun, saling tolong-menolong antara pemeluk masing-masing agama, namun
terkadang pemeluknya lupa atau tidak mampu mengaplikasikan ajaran, tuntunan
dari agamanya. Terkadang dassolen dan dessain tampak tidak sejalan. Sehingga
kedamaian itu sangat penting dalam menciptakan kebersamaan dan kerjasama yang
baik akan membangun kehidupan yang lebih bahagia dan sejahtera.
Kesimpulan
Dari uraian diatas sehingga dapat
ditarik kesimpulan bahwa agama merupakan sebuah tatanan nilai yang dimana
dibangun guna untuk menciptakan kesejahteraan dan kehidupan yang damai dan
harmoni. Memang agama disis lain sebagai landasan yang kokoh dalam menciptakan
kedamaian dan melestarikan keharmonisan umatnya, tetapi disisi lain agama dapat
menimbulkan konflik ataupun kekerasan. Karena agama disalah artikan oleh
umatnya, dan terkadang identitas agama lebih ditonjolkan.
Pada intinya setiap agama itu mengajarkan kebaikan dan
perdamaian, dan tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan. Tetapi terkadang
terjadi kekerasan yang mengatasnamakan agama karena kurangnya pemahaman
terhadap agama, dan penjelasan pemimpin yang salah. Sehingga agama terkadang
diperalat, dan seakan agama dengan kekerasan itu antara ada dan tiada. Agama
lahir karena adanya kegelisahan manusia, sehingga agama ada untuk menjadi acuan
mencapai hidup bahagia, sejahtera, aman, dan harmonis.
Jadi pada dasarnya semua agama telah
memberikan ajaran yang jelas dan tegas bagaimana semestinya bergaul,
berhubungan dengan pemeluk agama lain. Secara khusus semuanya menjunjung tinggi
hidup rukun, saling tolong-menolong antara pemeluk masing-masing agama.
Sehingga kedamaian harusnya dikembangkan melalui pikiran, ucapan, dan
perbuatan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Susanto,
Thomas (ed.), 2002. Teori-Teori Kekerasan,
Jakarta: Ghalia Indonesia dan Universitas Kristen Petra.
Ø Samad,
Ulfat. 1976. The Great Religion of The
World, Pakistan : Lahore.
Ø Smith,
Huston. 1959. The Religion of Man,
Mentor Books, New York.
Ø Leonard,
A.G. 1959. Islam: Her Moral and Spiritual
Value, Luzac, London.
Ø Mahasthavira,
Bikhsu Tadisa Paramita. 2014. Kembangkan Brahmavihara untuk Kebahagiaan
Semua Makhluk : Senantiasa Berpandangan Terang dan Pikiran Luhur, Jakrata :
Walubi.
Ø Doeblin,
Alfred. 1942. The Living Thoughts of
Confucius, The Living Thoughts Library, Cassel and Company, London.
Ø Suhardana,
K.M. 2006. Pengantar Etika dan
Moralitas Hindu: Bahan Kajian Untuk Memperbaiki Tingkah Laku, Surabaya:
Paramita.
[1] Thomas
Susanto (ed.), Teori-Teori Kekerasan,
Jakarta: Ghalia Indonesia dan Universitas Kristen Petra, 2002, hal. 64
[2] Ibid, hal. 65
[3] Ibid, hal. 11
[4] Ulfat Samad, The Great Religion of The World, Pakistan : Lahore, 1976, hal. 162
[5] Ibid, hal. 163
[6] Shalom
Aleichem : Perdamaian kepada Anda
[7] Gd
: Tuhan
[8] Shabbat
: hari Sabat, hari Sabtu
[10] Talmud, Gittin 59b
[11] Maimonides,
Mishneh Torah, The Laws of Chanukah
4:14
[12] Ibid, hal. 164
[13] Ulfat Samad, The Great Religion of The World, Pakistan : Lahore, 1976, hal. 213
[14] Huston Smith, The Religion of Man, Mentor Books, New York, 1959, hal. 25
[15] A.G. Leonard, Islam: Her Moral and Spiritual Value, Luzac, London, 1959, hal. 10
[16] Perjanjian
Lama : Manusia diciptakan menurut Gambar Allah.
[17] Mazmur, 2:7; Tarawih, 22:10; Keluaran, 14: 22
[18] Ulfat Samad, The Great Religion of The World, Pakistan : Lahore, 1976, hal. 185
[19] Bikhsu Tadisa Paramita Mahasthavira, Kembangkan Brahmavihara untuk Kebahagiaan
Semua Makhluk : Senantiasa Berpandangan Terang dan Pikiran Luhur, Jakrata :
Walubi, 2014, hal. 17
[20] Ibid, hal 23-25
[21] Alfred
Doeblin, The Living Thoughts of Confucius,
The Living Thoughts Library, Cassel and Company, London, 1942, hal. 14
[22] K.M. Suhardana, Pengantar Etika dan
Moralitas Hindu: Bahan Kajian Untuk Memperbaiki Tingkah Laku (Surabaya:
Paramita, 2006), hal. 28
[23] Ibid, hal. 50
[24] Ibid, hal. 29
[25] Ibid, hal. 33
[26] Ibid, hal. 48
Tidak ada komentar:
Posting Komentar