Jumat, 16 Oktober 2015

Religion and Peace (agama dan perdamaian)



 Ajaran Damai dalam Setiap Agama
Oleh : SETIONO
Agama dan Perdamaian merupakan dua hal yang saling berkaitan, karena hal diinginkan oleh agama adalah perdamaian. Namun konflik – konflik dan kekerasan yang sering terjadi di Negara Indonesia sekarang ini adalah karena perselisihan antar agama. Padahal agama dan kekerasan merupakan dua hal yang bertolak belakang, seperti terang dan gelap. Agama seharusnya merupakan pendamai jika terjadi kekerasan.
            Sebenarnya konflik sudah ada dari zaman dulu saat terciptanya manusia. semua konflik itu berasal dari manusia itu sendiri, sehingga hubungan manusia terputus dengan Tuhan karena manusia itu sendiri. Lalu konflik antara Adam dan Hawa sebagai suami dan isteri yang saling menyalahkan untuk menutupi kesalahan diri masing – masing. Dan juga kecemburuan yang terjadi pada anak – anaknya yang sampai pada akhirnya salah satu mati terbunuh oleh tangan saudaranya sendiri. Setelah konflik itu mencapai klimaks, maka manusia itu akan sadar bahwa apa yang telah dilakukan itu salah.
            Dakwaan terhadap agama ikut berperan dalam memicu konflik dan sebagai sumber kekerasan yang terjadi, baik intern dan antar umat bergama memang sulit dibantah. Secara historis, terjadinya perang saudara di antara umat Islam sendiri pada masa yang paling awal seperti Perang Jamal dan Perang Siffein, dan perang umat Islam dengan pihak lain seperti Perang Salib,  sampai insiden mutakhir di Indonesia dalam bentuk pengrusakan tempat ibadah di Situbondo, Tasikmalaya, dan konflik Maluku merupakan riak-riak dari banyaknya contoh betapa agama masih tampil sebagai pemicu kekerasan.  
            Ironis memang, karena agama di satu sisi mengajarkan dan mendambakan masyarakat yang religius, penuh kedamaian, saling mencintai, saling mengasihi dan saling tolong menolong. Namun di sisi yang lain kondisi obyektif masyarakat jauh dari tatanan ideal agama. Agama laksana pisau yang memiliki sisi tajam pada kedua sisi-sisinya. Di satu pihak mengajak manusia pada bentuk kehidupan yang harmonis; tetapi pada saat bersamaan mengakibatkan ketegangan dan bahkan kekerasan di antara para pengikutnya. 
            Ironisnya, semua kekerasan yang terjadi, berbau agama. Atau, lebih tepatnya, disebut sebagai kekerasan yang dipicu oleh sentimen-sentimen keagamaan. Banyak yang mengatakan bahwa kekerasan yang terjadi bukan murni konflik agama, melainkan lebih banyak disebabkan oleh ulah para provokator. Mereka memanfaatkan hysteria massa untuk melakukan tindakan agresif dan destruktif dengan menggunakan sentimen-sentimen keagamaan.
            Tulisan ini akan mencoba menelusuri beberapa sebab yang menjadikan umat beragama sering terlibat dalam konflik yang mengarahkan pada bentuk kekerasan. Apakah kekerasan yang terjadi tersebut dimotivasi oleh ajaran agama, atau ada karakteristik dari penganut umat beragama yang cenderung terlibat konflik di antara mereka. Begitu juga, bagaimana konsep ajaran damai pada setiap agama.
Agama, Kekerasan, dan Perdamaian
            Agama adalah suatu ajaran yang mengajarkan kasih sayang kepada siapa saja tanpa terkecuali, dan agama membawa misi dasar luhur yaitu kerukunan, persaudaraan, perdamaian, dan keselamatan universal. Namun dalam berbicara tentang kaitan agama dengan kekerasan adalah sesuatu hal yang paradoks. Di satu sisi, agama apapun tanpa terkecuali mengusung misi perdamaian, kerukunan, dan keselamatan, sekaligus menolak bentuk kekerasan dan tindakan anarki. Tetapi di sisi lain, terkadang agama dituding penyebab, penggerak bahkan penggagas dari suatu kekerasan dan anarki.
            Sebab, agama disisi lain sebagi rahmat, tetapi disisi lain agama juga sebagai pemicu kekerasan. Sebab, agama menjadi pejuang kedamaian, kemanusiaan, dan keadilan yang paling gigih dalam satu sisi. Begitu pula agama sebagai salah satu sistem nilai yang digunakan oleh para penganutnya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan masyarakat luas.
            Pertanyaan penting pertama yang harus diajukan berkaitan dengan perilaku kekerasan adalah apakah yang mendorong manusia melakukan tindakan kekerasan. Jawaban terhadap pertanyaan ini diharapkan akan mengantarkan pada pengertian tentang perilaku kekerasan. Menurut T. Robert Gurr, di dalam kompleksitas motivasi manusia, para neurofisiologis  menemukan dua sistem hasrat (appetitive system) besar sebagai pembentuk motivasi yang terjadi pada manusia.  Stimulasi dari salah satu sistem ini menghasilkan perasaan gembira, kepuasan, dan cinta. Stimulasi sistem lainnya menghasilkan sensasi kecemasan, teror, depresi, dan kemarahan. Perasaan-perasaan ini mewarnai persepsi manusia tentang dunia dan mendorong tindakan-tindakannya.[1] 
            Namun lingkungan manusia berubah dan apa yang dipelajari manusia tidak selalu terbukti cocok untuk menghasilkan kepuasan dirinya. Menghadapi kenyataan yang demikian manusia akan menjadi frustasi. Frustasi yang dialami manusia kemungkinan akan menimbulkan tindakan agresi.  Hubungan frustasi-agresi menyebabkan terjadinya dinamika psikologis untuk hubungan antara intensitas deprivasi dan potensi bagi kekerasan kolektif. Menurut T. Robert Gurr deprivasi relatif (relative deprivation) adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan ketegangan yang terjadi akibat suatu kesenjangan antara yang harus menjadi (ought) dan yang menjadi (is) dalam kepuasan nilai kolektif, dan yang amendorong manusia untuk melakukan kekerasan.[2]
            Menurut Jack D. Douglas dan F.C. Waksler istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensif) atau bertahan (deffensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain.[3] Dari pendapat tersebut dapat diidentifikasi adanya empat jenis kekerasan: (1) kekerasan terbuka, kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian; (2) kekerasan tertutup, kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan secara langsung, seperti                                                           mengancam; (3) kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu, seperti perampokan; dan (4) kekerasan defensif, kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri. Baik kekerasan agresif amaupun defensif bisa bersifat terbuka atau tertutup.
            Kekerasan bisa merupakan suatu aktivitas individu atau kelompok, yang disebut kekerasan individu dan kolektif. Seiring dengan perilaku kekerasan tersebut para partisan (pihak yang terlibat) pada umumnya akan bisa memberikan penjelasan atas tindakan mereka. Suatu persoalan kunci yang berkaitan dengan perilaku kekerasan adalah adanya faktor penting dan ketidakmungkinan mengetahui maksud sebenarnya mengenai orang lain. Terdapat perbedaan penafsiran mengenai apakah suatu tindakan dianggap menyimpang atau tidak, harus bergantung kepada apa yang „dimaksudkan‟ individu pelaku. Karena individu bisa mengubah perilaku yang dapat diamati dan bisa pula menyembunyikan maksud mereka. Oleh karena itu harus disadari adanya keterbatasan-keterbatasan dalam menyelidiki atau melakukan riset tentang masalah kekerasan ini.
            Indonesia, secara tipikal merupakan masyarakat yang plural. Pluralitas masyarakat Indonesia tidak saja karena keanekaragaman suku, ras, dan bahasa, tetapi juga dalam agama. Dalam hubungannya dengan agama, pengalam beberapa waktu terakhir memberikan kesan yang  kuat akan mudahnya agama menjadi alat provokasi dalam menimbulkan ketegangan  dan kekerasan baik intern maupun antar umat beragama. Ketegangan ini antara lain disebabkan karena: (1) umat beragama seringkali bersikap untuk memonopoli kebenaran ajaran agamanya, sementara agama lain diberi label tidak benar. Sikap seperti ini, dapat memicu umat agama lain untuk mengadakan perang suci atau jihad dalam rangka mempertahankan agamanya; (2) umat beragama seringkali bersikap konservatif, merasa benar sendiri (dogmatis) sehingga tak ada ruang untuk melakukan dialog yang kritis dan bersikap toleran terhadap agama lain.  Dua sikap keagamaan seperti itu membawa implikasi adanya keberagamaan yang tanpa peduli terhadap keberagamaan orang lain. Sikap ini juga akan menyebabkan keretakan hubungan antar umat beragama.
            Bertitik tolak dari pemikiran seperti itu, maka kebutuhan mendesak yang perlu diperhatikan oleh bangsa Indonesia adalah merumuskan kembali sikap keberagamaan yang baik dan benar di tengah masyarakat yang plural. Ini merupakan agenda yang penting, agar pluralitas umat beragama tidak menimbulkan ketegangan, konflik dan keretakan antar umat bergama.
Ajaran Damai dalam Perspektif Agama Yahudi
Salah satu aspek yang penting dalam agama Yahudi adalah keyakinan bahwa Tuhan berkomunikasi kepada manusia melalui perantaraan ramalan. Ia menjaga hubungan dengan manusia melalui wahyu Nya dan hukum Nya kepada ciptaan yang disayangi Nya. Untuk maksud tersebut, Dia memilih Putra Israil dan membangkitkan nabi-nabi Nya hanya dari kalangan mereka. Ummat Yahudi percaya bahwa Musa a.s. adalah nabi terbesar dari segala nabi yang Tuhan berkomunikasi langsung dengan cara Nya, yang keseluruhannya ada dalam Torah (yakni Pentateuch) telah diwahyukan kepada Musa a.s. oleh Tuhan; dan Torah tidak akan mengalami perubahan atau menggantikan dengan wahyu lain dari Tuhan.
            Manusia, menurut ajaran Yahudi, diciptakan dari citra Tuhan. Ia dapat jatuh ke dalam sekali, tetapi ia tidak oleh dosa yang tidak dapat diampuni. Dosa adalah melawan kehendak Tuhan, tetapi lebih serius lagi menurunkan derajat manusia. Tobat seseorang akan mengembalikan kesuciannya. Tuhan Maha Pengasih dan memaafkan dosa-dosa orang yang bertaubat. Agama Yahudi percaya bahwa Tuhan mengetahui setiap perbuatan manusia dan semua yang difikirkannya. Ia mengganjar siapa-siapa yang memegang Perintah Nya dan menghukum siapa- siapa yang melanggar Perintah Nya. Dalam Alkitab sendiri dikatakan tempat manusia hidup adalah di dunia. Tetapi ajaran Yahudi datang pada suatu kepercayaan bahwa setelah kebangkitan dari kematian, akan ada kehidupan di sorga dan di neraka.[4]
            Dasar agama Yahudi sebagai suatu sistem keagamaan dan hukum moral adalah kesucian yang mengandung dua aspek: negatif dan positif. Kesucian agama meminta dalam arti negatif menolak semua penyembahan berhala, dan dalam arti positif dijalankannya suatu sistem dalam upacara yang dianggap bangsa Yahudi telah diwahyukan kepada mereka dari Tuhan. Dalam segi moral kesucian meminta, dalam arti negatif, terhadap setiap desakan nafsu yang membuat manusia itu mementingkan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain merupakan nilai pokok kehidupan kemanusiaan. Dan dalam segi positif, ketaatan kepada suatu etika yang menempatkan pelayanan kepada sesama manusia sebagai titik pusat dari sistemnya. Dasar dari hukum moral tentang kesucian adalah dua prinsip keadilan dan ketulusan. Keadilan sebagai aspek negatif kesucian, dan ketulusan sebagai aspek positifnya.[5]
            Mengenai keadilan, Taurat berkata: “Janganlah memutarbalikan keadilan, jangan memandang bulu, dan jangan menerima suap, sebab suap membuat mata buta orang bijak, dan memutarbalikan perkataan orang akan menjauhkan ketulusan. Semata-mata keadilan itulah yang harus kau kejar, supaya engkau hidup dan memiliki negeri yang diberikan kepadamu oleh Tuhan Allahmu” (Ulangan, 16:19-20)
            Keadilan berarti pengakuan atas enam hak-hak azasi, yakni hak untuk hidup, hak untuk memiliki, hak untuk bekerja, hak untuk berbusana, hak untuk bertempat tinggal, dan hak pribadi. Ketulusan membabarkan dirinya dalam penerimaan tugas kewajiban terutama terhadap si miskin, si lemah, dan yang tak berdaya.
            Ucapan tradisional dalam Yahudi, "Shalom Aleichem"[6], digunakan ketika dua orang Yahudi bertemu, juga merupakan nama dari lagu yang diawali makan Shabbat setiap Jumat malam. Dengan menyanyikan lagu ini 'shalom', berasal dari kata Ibrani 'Shalem', yang berarti 'lengkap', kami meminta Gd[7] untuk memberkati rumah kami dengan damai; bahwa tidak boleh ada konflik antara teman-teman atau keluarga, terutama pada Shabbat.[8]
 "Semoga Tuhan memberkati Anda dan membuat Anda. Tuhan menyinari engkau dengan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau kasih karunia. Tuhan mengangkat wajah-Nya kepadamu dan memberikan Shalom - Perdamaian "(Bilangan 6:24-26).
Shalom ("perdamaian"), adalah salah satu prinsip yang mendasari Taurat, Amsal 03:17 "cara nya adalah cara yang menyenangkan dan semua jalan nya shalom ('damai')."[9] "The Talmud menjelaskan," seluruh Taurat adalah demi cara-cara shalom[10] komentar Maimonides dalam bukunya Mishneh Taurat." Besar damai, karena seluruh Taurat diberikan dalam rangka untuk mempromosikan perdamaian di dunia, seperti yang dinyatakan, 'Her cara cara yang menyenangkan dan semua jalannya adalah perdamaian.”[11]     Aturan utamanya sebagai yang dirumuskan oleh Rabbi Hilles sebagai berikut: “Janganlah melakukan sesuatu kepada orang lain hal-hal yang kau benci kalau orang lain berbuat demikian kepadamu”. Dan inilah apa yang dapat kita baca dalam Gemara: “Kebijaksanaan yang tertinggi ialah kasih sayang” (Berakot, 17a) “Jika dua orang meminta tolong, sedangkan yang satu adalah musuhmu, tolonglah dia terlebih dahulu” (Baba Metzia, 32 b) “Pemberian zakat dan perbuatan mencintai sesamanya adalah sama dengan seluruh perintah Torat, tetapi mencintai sesamanya adalah lebih besar” (Sukkah, 49b) “Barangsiapa yang mendermakan sekeping uang kepada seorang yang miskin mendapatkan enam rahmat yang diberikan kepadanya, tetapi dia yang mengucapkan suatu perkataan yang lemah lembut kepadanya mendapat sebelas rahmat” (Baba Batra. 9b) Kasih sayang tidak terbatas tidak hanya kepada sesama manusia melainkan juga kepada binatang – binatang: “Rabbi Judah berkata atas nama Rab: Seseorang dilarang memakai sesuatu sebelum dia memberi makan binatang peliharaannya” (Gittin, 62a).[12]
Ajaran Damai dalam Perspektif Agama Islam
            Menurut DR. H. Fatah Syukur NC, M.Ag, mengatakan bahwa menurut ajaran agama Islam, agama menjadi sumber nilai, semangat, dan institusi terakhir untuk mencari makna hidup. Agama untuk manusia adalah sebagai kekuatan pembebas, agama menawarkan sekumpulan nilai, ajaran, visi, dan ketentuan normatif. Manusia memiliki kebebasan untuk merespon tawaran-tawaran agama. Manusia memerlukan agama untuk meningkatkan kualitas hidupnya sendiri, bukan agama yang memerlukan manusia. Agama hendak membantu manusia untuk melakukan aksi pencerahan, dan aksi pembebasan manusia dari situasi keterpenjaraan seperti penjara, kemiskinan, kekayaan, dan komunalisme.
            Nabi Muhammad saw diutus membawa ajaran Islam ke dunia, maka Islam adalah rahmatan lil’alamin, Islam adalah rahmat bagi seluruh manusia. Ajaran agama merupakan sesuatu yang ideal, misalnya Islam itu cinta damai, Islam itu indah, Islam cinta kedisiplinan, dan Islam itu rahmat bagi seluruh alam.
            Namun sekarang marak muncul permasalahan yang mengatasnamakan agama. Permasalahan agama sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dengan permasalahan sosial, karena agama setelah dipeluk oleh umat manusia, maka sarat dengan persoalan sosial terutama yang berhubungan antara sesama manusia. Terkadang suatu ajaran dari sumber yang sama, dengan kalimat yang sama dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda, dan pada akhirnya akan menimbulkan praktik yang berbeda pula, bahkan sangat memungkinan menimbulkan konflik, padahal secara dogmatik, ajaran agama selalu menghendaki adanya kedamaian, dan keharmonisan. Namun pada kenyataannya konflik yang dipicu oleh masalah agama itu selalu muncul ke permukaan. Misalnya konflik antara pemeluk agama di Ambon, orang Madura dan Dayak di Kalimantan, bahkan konflik antar pendukung partai di Pekalongan dan Jepara, hampir semuanya dipicu melalui sentimen keagamaan, misalnya menghina ajaran agama atau tokoh agama, pembakaran tempat ibadah, pelecehan Kitab Suci dsb.  Tetapi konflik tersebut bukan hanya disebabkan oleh unsur agama namun mungkin ada unsur lain yang menyebabkannya.
             Dalam berbagai konflik yang sering terjadi sekarang wajah Islam agaknya selalu beriring dengan label anarkis dan anti kebebasan. Cap fundamental, ekstrem, dan bahkan teroris seakan sangat akrab dengan komunitas “orang” yang memeluk agama Islam. Generalisasi perilaku “sekelompok” muslim seringkali menjadi justifikasi muka Islam sebagai agama, sehingga label-label negatif tadi selalu pantas untuk diembelkan dengan Islam. Namun pemberian label negatif terhadap agama Islam ini tidak adil karena kasus tersebut hanya dilakukan oleh sebagian kecil umat Islam. Justru umat Islam yang berfikiran moderat jauh lebih banyak dan tidak setuju dengan cara-cara yang dilakukan oleh mereka itu. 
            Menurut Quraish Shihab, bahwa “peace” dalam Islam yaitu Islam merupakan agama yang mendambakan perdamaian dan tentang sebuah salam “assalamu’alaikum (Damai untuk Anda). Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin, sehingga Islam merupakan sebuah agama yang menanamkan ajaran dan etika damai dalam kehidupan sehari-hari, baik dengan Tuhan, manusia, maupun alam. Begitu pula dalam al Qur’an yang artinya “Dialah Allah SWT yang tiada Tuhan selain Dia, raja, yang Maha Suci, yang Maha Damai Sejahteta, yang mengaruniakan keamanan, yang maha memelihara…” Sedangkan dalam ayat lain juga dijelaskan “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan sebagai rahmat semesta alam” (Q.S. Al-Anbiya : 107). Begitu indah ajaran damai dalam Islam dan sesuai apa yang telah Allah anugerahkan kepada manusia tentang sebuah kedamaian.
            Agama Islam yang disebarkan dan diajarkan oleh Nabi Muhammad saw merupakan agama yang ditujukan demi kesejahteraan dan keselamatan seluruh umat dan alam. Sesungguhnya perdamaian merupakan salah satu prinsip dalam Islam yang ditanam secara mendalam dalam hati kaum muslimin sehingga menjadi bagian dalam kehidupan mereka. Islam itu cinta damai.  Islam diturunkan oleh Allah swt ke muka bumi dengan perantaraan seorang Nabi yang diutus kepada seluruh manusia untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Islam bertujuan menciptakan perdamaian dan keadilan bagi seluruh manusia, sesuai dengan namanya yaitu al-Islam. Karena itu, Islam diturunkan bukan untuk memelihara permusuhan atau menyebarkan dendam kesumat di antara umat manusia. Islam justru memerintahkan kita memiliki sifat pemaaf, namun tetap memperhatikan agar kejahatan tetap diberi hukuman setimpal agar tidak muncul kejahatan lain. Islam memerintahkan agar manusia selalu berbuat baik,  sekalipun terhadap orang yang jahat kepadanya, Islam memerintahkan manusia berendah hati, namun jangan melupakan harga diri. Namun, Islam melarang bersikap lemah dan meminta damai dalam peperangan ketika belum mencapai tujuan.
            Begitu pula dalam kehidupan sehari-hari Nabi Muhammad begitu mulianya, sehingga kita dapat belajar tentang kedamaian dengan cara-cara yang diajarkannya. Begitu pula disaat kritis ketika seseorang memintanya untuk mengutuk musuh- musuhnya, maka beliau menjawab “Saya tidak diutus untuk mengutuk, melainkan sebagai rahmat bagi ummat manusia.  Wahai Tuhan, bimbinglah ummatku karena mereka tidak tahu.” Beliau datang untuk meningkatkan dan memperbaiki kemanusiaan yang sudah runtuh, dan beliau memenangkan hati atas elemen anti sosial serta orang-orang terbuang dengan kasih sayang dan kebajikan. Kedermawanannya, kesediaannya menolong rakyat dengan segala cara yang benar dan unggul.  Beliau sahabat terbesar dari si miskin dan nestapa.[13]  Beliau berusaha keras sepanjang hidupnya untuk membimbing manusia kepada Tuhan Yang Esa dan Sejati, yang membuat mereka penuh sifat-sifat ketuhanan, mengangkat mereka dari kesalahan dosa  dan takhayul, namun dalam mengajar mereka kepada kebenaran beliau dengan tulus selalu mengikuti perintah Al Qur’an, “Janganlah ada paksaan dalam agama” (Q.S. Al Baqarah : 256). 
            Kehidupannya menunjukkan bahwa perkara-perkara terbesar yang dapat diperbuat oleh seseorang hanya dapat dilakukan dalam kepatuhan kepada seruan gaib yang lebih tinggi dan diilhami keyakinan bahwa kebenaran serta ketulusan abadi adalah kenyataan yang harus mendahului segala sesuatu dalam kebaktian seseorang.  Beliau telah mencelupkan dirinya dengan sifat-sifat Ilahi, dan menyebabkan para sahabatnya mengambil langkah yang terbesar dalam mendekatkan diri kepada Ilahi.  Meskipun demikian beliau tetap rendah hati dan sederhana, selalu sadar akan ketiadaannya dihadapan Tuhan, dan dari puncak kesempurnaan moral serta spiritual yang telah dicapainya, beliau menyeru kepada kaumnya: “Aku ini adalah manusia biasa seperti kalian” (Q.S. Fusshilat :6).
            Dalam zaman penuh supernaturalisme, “ tulis Dr. Huston Smith, “ketika keajaiban diterima sebagai dongeng sehari-hari dari kebanyakan Santo, maka Muhammad menolak dengan kuat penyalahgunaan kebodohan dan kelemahan manusia. Kepada penyembah berhala yang haus akan keajaiban, dan meminta agar beliau memberikan tanda bukti serta peringatan, beliau menolaknya dengan tegas: ‘Tuhan tidak mengutusku untuk mengerjakan keajaiban-keajaiban. Dia telah mengutusku untuk mengajarkan kepadamu. Terpujilah Tuhanku: Apakah aku lebih dari seorang manusia biasa yang dikirim sebagai Utusan? Dari awal hingga akhir beliau menolak setiap kecenderungan untuk mengagung-agungkan pribadinya.”[14]   Mayor A.G. Leonard menulis tentang beliau, “Jikalau pernah ada seseorang di bumi ini, jikalau pernah seseorang mempersembahkan hidupnya demi mengabdi kepada Tuhan dengan itikad baik dan agung, maka sesungguhnya orang itu adalah Nabi dari Tanah Arab.”[15]


Ajaran Damai dalam Perspektif Agama Kristen
             Relasi antara Tuhan dan manusia adalah hal utama di dalam iman kristiani. Manusia dijadikan Tuhan sebagai patner kerja yang menatalayani kehidupan sehingga berlangsung suasana damai bagi semua. Inilah tujuan utama yang diresponi manusia dengan kerendahan hati dan keterbukaan.
            Cara-cara beragama, bentuk-bentuk keagamaan dan ide-ide, sepatutnya sejalan dengan mandat Tuhan. Identitas agama sepatutnya menjadi identitas yang mendorong manusia melayani berbagai kebutuhan hidup sehingga kedamaian bisa tercapai, bukannya identitas yang menuntut manusia menjadi ekstrem. Manusia yang beragam dapat melakukan banyak hal yang bermartabat karena pemaknaan agamanya, namun ternyata ada berbagai konflik dan kekerasan berlatar pada pemaknaan tertentu dari nilai agama. Dengan kata lain, terdapat warisan kekerasan, pelanggaran HAM, dan ketidakadilan ekonomi politik yang bertentangan dengan harapan bahwa itu ditampilkan oleh manusia beragama di dalam dan melalui hidupnya. Agama Kristen memiliki kepercayaan tentang ajaran damai apa yang ada dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru untuk menciptakan hidup yang damai dan adil.
            Bahwa Yesus merupakan pembawa kedamaian bagi umat manusia. Yesus dipercaya sebagai yang mengarahkan orang yang beriman kepadaNya kepada jalan damai sejahtera seperti dinubuatkan oleh Zakaria (Lukas 1:79). Dan Yesus menyatakan bagi orang-orang yang membawa damai dan disebut sebagai anak-anak Allah : “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah”(Matius : 5:9). Begitu jelas adanya sebuah ajaran damai dalam agama Kristen, tetapi banyak yang dapat dilakukan dalam menciptakan hidup yang damai dan mencegah kekerasan.
            Perkara  kekerasan menjadi masalah serius pada kehidupan masa kini apalagi yang melibatkan agama. Kekerasan ini bersumber dan nampak dalam banyak hal yaitu ketidakadilan, budaya kekerasan yang dianggap warisan, kompetisi yang membenarkan berbagai cara. Namun sebagai orang beriman kita harus berjuang melawan setiap kekerasan yang terjadi. Kita harus menghadirkan damai dan memelihara damai.
Menurut Pdt. Nancy N. Souisa, M.Si ada beberapa hal yang dapat dilakukan dalam mewujudkan perdamaian dalam ajaran Kristen adalah :
a. Pendidikan perdamaian
Pendidikan perdamaian dilakukan mulai dalam komunitas agama untuk meninjau cara pikir dan praktek beragama yang tidak sensitif terhadap orang lain dan komunitas lain. Pelajaran dari daerah yang mengalami konflik dan kekerasan mengetengahkan pentingnya kebersamaan dan mengedepankan kemapanan dan kebijaksanaan masyarakat untuk bersama memikirkan dan mempromosikan perdamaian.
b. Perhatian terhadap budaya damai dengan menggunakan nilai-nilai luhur dan bentuk-bentuk dalam tradisi setiap komunitas yang tidak lekang dimakan budaya kekerasan. Bahwa terdapat nilai dan bentuk warisan masa lalu yang patut dipraktekkan sebab terbukti menyokong masyarakat dalam memelihara harmoni sambil mengupayakan hidup bersama yang saling menjaga, memperhatikan, dan berbagi.
c. Belajar dari persoalan-persoalan kekerasan dan konflik, contohnya yang diusulkan oleh Scoot Appleby, ia menawarkan transformasi dari kekerasan menuju perdamaian dalam tiga dimensi : managemen konflik, resolusi konflik dan pembaruan struktur. Managemen konflik menyangkut pencegahan konflik. Resolusi konflik menyangkut advokasi dan kesaksian dari yang terlibat di dalam konflik. Pembaruan struktur adalah upaya untuk mengalamatkan akar penyebab konflik dan mengembangkan praktek jangka panjang dan institusi yang kondusif bagi masyarakat yang kondusif untuk berlangsungnya damai dan relasi tanpa kekerasan.
            Banyak cara lain yang dapat digunakan sebagai pergulatan pekerjaan perdamaian, sebab perjuangan untuk menghadirkan perdamaian adalah jalan panjang namun membuat kualitas kemanusiaan teruji dan memperlihatkan hal yang memang sepatutnya menjadi bagian dari kemanusiaan. Dengan kata lain, tidak ada ajaran agama yang keliru, yang ada adalah kesalahan tafsir dan pemutlakannya buta atas ajaran agama oleh penganut agama. Agama itu harus dijauhkan dan dipisahkan dari kepentingan politik dan kekuasaan. Dan yang lebih penting adalah belajar dari Yesus yang melawan kekerasan dengan cinta kasih.
            Sebab dalam agama Kristen telah mengajarkan tentang kedamaian. Sebab manusia mempunyai kehormatan dan harga diri yang tidak bisa dibeda-bedakan, dan tidak bisa diambil oleh siapapun. Manusia telah dikaruniai oleh penciptanya kemampuan untuk memilih dan menentukan sendiri apa yang baik dan buruk baginya.[16]
            Beliau seringkali menyatakan dirinya sebagai Anak Tuhan, tetapi hal ini tidak berarti mendakwahkan ketuhanan sedikitpun. Istilah ini telah digunakan oleh para nabi lainnya juga.[17] Ini tiada lain untuk menunjukkan kedekatannya kepada Tuhan dan tidak lebih. Bila Tuhan itu adalah Bapa kami yang di sorga, maka seluruh ummat manusia adalah anak-anak Tuhan makhluk Nya.[18] Demikian Yesus berkata: “Kasihilah musuhmu, dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikian kamu menjadi anak- anak Bapamu yang ada di sorga.”(Matius, 5:44-45) “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena akan disebut anak-anak Allah.” (Matius, 5:9)
Ajaran Damai dalam Perspektif Buddhisme
            Di era modern ini manusia dihadapkan dengan permasalahan yang cukup kontradiksi diantaranya konflik dan kekerasan yang mengatasnamakan agama. Di satu sisi, orang takut akan terjadinya kekerasan. Namun di sisi lain, ada orang atau kelompok tertentu yang sudah siap atau memang mempersiapkan diri untuk menindak pihak lain dengan kekerasan. Kondisi ini telah mendorong sebagian umat manusia untuk mulai sadar akan pentingnya kehidupan yang damai. Sudah banyak catatan kekerasan atas nama agama yang mewarnai kehidupan di Indonesia mulai dari terorisme, masalah tempat ibadah, sampai dengan penodaan agama, dan aliran kepercayaan. Hal ini menjadi tantangan bagi umat beragama.
            Sebagai salah satu agama besar yang berkembang di dunia, Buddhisme memiliki tantangan tersendiri dalam menjawab tantangan keberagaman agama yang sering menjadi salah satu unsur pemicu kekerasan yang mengatasnamakan agama. Sebenarnya keberagaman agama adalah bagian dari kehidupan ini sehingga untuk terlepas dari keberagaman sangatlah sulit. Berdasarkan fakta tersebut, Buddhisme melihat keberagaman agama sebagai suatu kondisi yang alami.
            Pentingnya mendirikan kedamaian berawal dari mengkonstruksi pemahaman terutama pemahaman agama. Agama perlu dipahami tidak semata sebagai dogma yang harus dipegang kuat-kuat, tetapi agama harus dipahami sebagai jalan hidup yang mengarahkan dan menggerakkan pikiran umat manusia pada titik kerhamonisan.
            Menurut Suranto, MA, Bahwa perdamaian tidak dapat diwujudkan selagi manusia masih memiliki dan mengutamakan nafsu, mementingkan diri sendiri atau kelompok, memliki kesombongan agama atau rasial, dan mengutamakan keegoisan kekuasaan. Agama pada dasarnya mengajarkan manusia untuk tidak membunuh dan menyakiti sesama atau makhluk lain, tetapi sayangnya melalui akar kebenciaan, kejahatan, dan kegelapan batin manusia mengabaikan ajaran kasih. Sebenarnya agama memiliki catatan dan benih-benih kekerasan maupun benih-benih perdamaian tetapi sangat bergantung bagaimana kita membudayakannya. Sikap dan prinsip memanusiakan manusia merupakan salah satu sarana untuk menghargai kehidupan, sehingga tidak seharusnya manusia menjadi obyek dan sumber kekerasan atas nama agama.
            Dalam mewujudkan kedamaian hidup beragama dapat dimulai dari diri sendiri dengan mengembangkan cinta kasih kepada semua makhluk. Buddhisme mengajarkan pengembangan cinta kasih dapat dilakukan melalui meditasi metta (meditasi cinta kasih). Dalam ajaran agama Buddha terdapat satu kalimat manjur untuk menciptakan perdamaian yaitu dengan cara mengucapkan dan mepraktikkan dalam kehidupan sehari-hari melalui usaha mengharapkan semua makhluk hidup berbahagia (sabbe satta bhavantu sukhitta). Selain itu, cara pengembangan cinta kasih dalam Buddhisme dapat dilakukang dengan  memberikan keterbukaan dalam menyelesaikan permasalahan termasuk kekerasan beragama untuk membangun dasar hidup manusia dengan memiliki kemoralan, kesabaran, kerendahan hati, dan toleransi dalam kehidupan beragama.
            Perdamaian dirancang oleh pikiran manusia sebaliknya perang juga diciptakan oleh pikiran bodoh manusia. Maka dalam kehidupan harus senantiasa mengembangkan hati penuh kasih, cinta damai dan keluhuran pikiran, serta menghormati mengembangkan sikap dan perilaku simpatik, yaitu saling menghormati, toleransi, rukun, bersinergi, membangun kebersamaan dan mengobarkan semangat gotong royong, agar tercapinya negara dan dunia yang tertib, aman, damai dan harmoni.[19] Hyang Budha bersabda : “Ketika menjelajahi segenap penjuru dengan pikiran, orang tak menemukan seorang pun lebih disayang dari dirinya, begitu pula setiap orang memandang dirinya sendiri yang tersayang. Karena itu ia yang mencintai dirinya sendiri sebaiknya tak mencelakai orang lain.” (Samyutta Nikaya I, 75; Udana 47).
            Sejak dini kita menanamkan nilai-nilai BrahmaVihara dalam diri kita, kepada pasangan hingga kepada anak-anak. Di dalam rumah, kita tanamkan nilai-nilai Brahma Vihara dengan mempraktekannya dalam kasus-kasus yang sepertinya sederhana. Kepada pasangan, mulailah kita mengutamakan dialog dan kepercayaan, ketimbang kekerasan dan praduga buruk. Dengan demikian perselisihan atau permasalahan antara suami istri dapat dibicarakan dengan dasar membangun suasana rumah tangga yang baik. Sedangkan sebagai orang tua kepada anak-anak, adakah ketika menuntut anak-anak untu memperoleh nilai yang baik di sekolah, juga diharapkan memiliki  sikap saling menghormat dan menghargai serta menjaga orang yang lebih tua, sesama maupun lingkungan sekitar. Maka, dengan Brahma Vihara yakni : metta (cinta kasih), karuna (belas kasih), mudita (simpati atas kebahagiaan orang lain), dan upekkha (keseimbangan/kebijaksanaan).[20] 
            Untuk itu, di dalam Brahma vihara terdapat 4 (empat) sifat agung yang sangat luhur jika terus dijalankan oleh seluruh umat. Dengan demikian, jika setiap manusia memiliki empat sifat luhur itu, maka akan tercipta kedamaian dan kebahagiaan hidup. Maka dengan adanya hari Waisak ini, dimaksudkan untuk menyadarkan umat manusia akan pentingnya hidup toleransi, menciptakan perdamaian, kedamaian, serta kerukunan dan menghormati sesama manusia dan selalu menebar cinta kasih antar sesama manusia untuk menjadikan bangsa dan negara yang aman dan sejahtera, serta untuk meningkatkan spiritual hidupnya.
Ajaran Damai dalam Perspektif Agama Khonghucu atau Confusianisme
            Ajaran agama Khonghucu adalah sebuah ajaran yang bersumber dari ajaran para nabi purba di Tiongkok yang dirumuskan dan disempurnakan oleh Nabi Khonghucu (551-479 SM). Artinya, sebelum Nabi Konghucu lahi bahan ajaran “agama Khonghucu” itu sudah ada dan disebut Ru Jiao.
            Menurut agama Khonghucu, tindak kekerasan dalam bentuk apapun harus dicegah melalui pendidikan sejak kanak-kanak. Jika pendidikan sejak kanak-kanak sudah salah setelah dewasa sulit diperbaiki karena sudah menjadi watak. Orang yang suka melakukan kekerasan biasanya orang yang kurang berpendidikan atau salah didik. Pendidikan agama diharapkan dapat membentuk karakter manusia menjadi lebih baik, maka pelajaran agama tidak hanya mendidik anak mengenal Tuhan, tetapi juga mengenal manusia dan kehidupannya. Selain itu, dalam agama Khonghucu kungfu dan silat Taiji diajarkan untuk mengendalikan emosi seseorang agar tidak melakukan tindak kekerasan.
            Kong Hu Chu percaya bahwa dunia ini dibangun berdasarkan landasan moral. Bilamana manusia dan negara menjadi rusak akhlaknya, maka tata-susunan alam akan terganggu. Akan ada bencana peperangan, banjir, gempa bumi, paceklik yang panjang, dan wabah penyakit. “Jadi”, tulis Alfred Doeblin, “berlawanan dengan arus pemikiran kita yang materialistis dan menjadikan manusia itu objek tak berdaya dalam mengadapi arus peristiwa yang bebas serta tanpa arti, maka tingkah laku kita itu dapat mempengaruhi dan sesungguhnya telah mempengaruhi peristiwa- peristiwa dunia, karena kita ini memiliki kekuatan rohani yang mempengaruhi kekuatan rohani dunia, dan suatu pilihan nasib manusia yang tidak tergantung kepada Langit itu tidak mungkin, seperti tidak mungkinnya alur peristiwa di dunia ini tidak tergantung kepada manusia. Kesengsaraan, kegagalan peristiwa- peristiwa yang mengerikan adalah jeritan peringatan dunia yang menderita, yang menjerit menyeru manusia untuk mengembalikan tata susunan dan kembali ke jalan yang benar. Jadi Kong Hu Chu dan ajaran orthodoksnya meningkatkan pengertian kita. Kita mengembangkan suatu kewajiban yang mendalam agar bertindak wajar dan tidak ditujukan untuk takut hukuman. Kong Hu Chu menjadikan kita para penjamin tata dunia yang teratur, dan jangan melalaikan kewajiban kita sekejap pun, karena suatu gerakan itu diikuti oleh gerakan yang lain, dan hanya suatu perniagaan kontanlah yang berlaku.”[21]
            Kong Hu Chu menaruh penghargaan yang tinggi kepada ummat manusia, percaya bahwa manusia itu dianugrahi suatu Cahaya Ilahi. Beliau berkata: “Manusia yang membuat tata susunan ini besar, dan bukan sistemnya yang membuat manusia itu besar.” (Analects, 15:29).
            Kong Hu Chu sendiri adalah Guru semacam itu yang dibangkitkan oleh Tuhan. Analects mengajarkan kepada kita kepercayaan atas evolusi kemanusiaan yang sejati. Di sini digambarkannya kebenaran atau kemuliaan manusia: “Dia yang mula pertama mempraktikkan apa yang diajarkannya, dan kemudian mengajarkan apa yang dipraktikkannya”. (Analects, 2:13) “ Orang yang mulia memahami apa yang benar, dan orang yang rendah hanya mengenal apa yang dapat dijual.” (Analects, 4: 16). “Orang yang mulia mencintai jiwanya; orang yang rendah mencintai harta bendanya. Orang yang mulia senantiasa ingat betapa ia dihukum karena kesalahan- kesalahannya; orang yang rendah selalu mengingat hadiah-hadiah apa yang diperolehnya” (4:11). Orang yang mulia itu berwibawa dan ramah tamah serta tidak sombong, tetapi orang rendah itu sombong dan tidak berwibawa (13:26). “ Orang mulia itu dapat memahami pandangan orang lain tetapi tidak sepenuhnya menyetujui, orang yang rendah itu setuju sepenuhnya dengan pandangan orang lain tetapi tidak memahaminya.” (13:23) “Orang besar mempunyai pandangan universal tanpa prasangka, orang picik berprasangka dan tidak universal pandangannya” (2:14) Dari segi etika, Kong Hu Chu menekankan pada senasib sepenanggungan, atau timbal balik menyuburkan simpati dan kerja sama yang harus dimulai dalam keluarga, kemudian diperluas secara bertahap ke perkumpulan. Beliau menekankan pentingnya lima hubungan kemanusiaan utama yang sudah menjadi adat- istiadat di antara bangsa China: (1) penguasa dengan rakyatnya, (2) ayah dengan anaknya, (3) saudara tua dengan adiknya, (4) suami dengan istrinya, dan (5) sahabat dengan temannya. Kong Hu Chu melihat bahwa kekacauan yang timbul di China ketika raja tidak bertingkah laku sebagai raja, rakyat tidak bertindak sebagai rakyat, bapak tidak berbuat sebagai bapak, dan seterusnya. Maka dia merasa bahwa langkah pertama ke arah perombakkan dunia yang kacau, ialah dengan cara setiap orang harus menyadari dan memenuhi kewajibannya sendiri dengan tepat.
            Suatu kali, Kong Hu Chu ditanyai, “Adakah satu kata yang dapat berlaku sebagai prinsip dalam hubungan hidup?” Dia menjawab: “Barangkali kata ‘timbal balik’ adalah yang tepat. Janganlah berbuat sesuatu kepada orang lain yang kalian sendiri tidak ingin orang lain berbuat demikian terhadapmu.” (Analects, 15: 24)
            Sebab dalam Confusianisme diajarkan tentang sebuah etika dalam kehidupan seperti cinta kasih atau empati (Jin), solidaritas (Gi), sopan santun (Lee), tentang kebijaksanan atau kearifan (Ti), dan amanah (Sin). Jika kelima hal itu dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, maka akan tercipta kehidupan yang damai, aman, tentram dan harmoni. Memperhatikan ajaran Khonghucu di atas, terutama lima sifat yang mulia di atas di mana Khonghucu sangat menekankan hubungan yang sangat harmonis antara sesama manusia dengan manusia lainnya, di samping hubungan harmonis dengan Tuhan dan juga antara manusia dengan alam lingkungan. Setiap penganut Khonghucu hendaknya mampu memahami dan mengamalkan kelima sifat di atas, sehingga kerukunan atau keharmonisan hubungan antar sesama dapat terwujud tanpa memandang dan membedakan agama dari keyakinan.
            Menurut Dr. Oesman Arif W.S, bahwa dalam ajaran agama Khonghucu tidak menjelaskan masalah sorga, neraka, dan reinkarnasi karena mengajarkan umatnya tulus dalam menjalankan kebajikan di dunia ini. Berbuat kebajikan tanpa pamrih apapun, tidak dapat hadiah di dunia ini atau di dunia lain tetap berbuat kebajikan. Agama Khonghucu mengajarkan umatnya untuk menghormati arwah dan mendoakan agar tempat yang damai disisi Tuhan. Umat Khonghucu mengirim benda seperti rumah dari kertas, ‘uang perak’ dan ‘uang emas’ dari kertas tujuannya adalah menenangkan arwah. Umat agama Khonghucu percaya bahwa roh itu abadi, tetapi setelah orang meninggal rohnya ke mana itu rahasia Tuhan yang tidak perlu dirisaukan. Dalam memberi penjelasan kepada murid-muridnya tentang keadaan manusia setelah meninggal, Nabi Konghucu sangat hati-hati.
Ajaran Damai dalam Perspektif Hindu
            Ajaran damai dalam agama Hindu merupakan sebuah ajaran tentang kemanusiaan dan moral. Panutan-panutan itu dijabarkan didalam ajaran-ajaran suci Agama Hindu. Diantaranya sebagai berikut:
1)  Tri Kaya Parisudha
            Dalam ajaran Hindu sendiri kekerasan sama seperti ajaran-ajaran pada agama lain bahwa tindakan kekerasan tidak diperbolehkan sekalipun dilatar belakangi oleh alasan yang pasti. Konsepsi kekerasan dalam ajaran agama Hindu atau yang disebut dengan “Haimsah” tidak hanya membunuh akan tetapi menyakiti perasaan seseorang saja tidak diperbolehkan, karena agama Hindu mengajarkan ajaran Trikaya Parisudha yakni : perbuatan yang benar (kayika parisudha), pikiran yang benar (manacika parisudha), dan ucapan yang benar (wacika parisudha). Tiga ajaran inilah yang mencakup kesempurnaan manusia apabila ajaran ini dijalankan, maka kekerasan tidak bahwa tingkah laku seseorang dapat dilihat dari ucapannya. Guna menigntropeksi diri, agama Hindu mengajarkan umatnya untuk bertapa diri guna mencegah perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan kekerasan.[22]
2) Tri Hita Karana
            Tri Hita Karana berasal dari kata “Tri” yang artinya tiga, “Hita” yang artinya kebahagian, dan “Karana” yang berarti penyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana tiga penyebab terciptanya kebahagian.
            Falsafah Tri Hita Karana memiliki konsep yang dapat keunikan ragam budaya dan lingkungan, ditengah hantaman globalisasi dan homogenosasi. Pada dasarnya hakekat ajaran Tri Hita Karana menekankan tiga hubungan  kehidupan dengan manusia di Dunia ini.
            Dengan menerapkan falsafah itu tersebut, diharapkan dapat menggantikan pandangan hidup modrn yang lebih mengedepankan Individualisme dan materialism yang cenderung menimbulkan kekerasan.  Membudayakan Tri Hita Karana akan dapat mengapus pandangan yang mendorong komsumsiresme, pertikain, dan gejolak marah. Ajaran tersebut meliputi :
Manusia dengan Tuhan (Parhyangan)
            Manusia adalah ciptaan Tuhan, sedangkan atman ada dalam diri manusia merupakan percikan sinar suci kebesaran Tuhan, yang menyababkan manusia bisa hidup. Manusia berhutang nyawa pada Tuhan, oleh karena itu setiap manusia wajib berterimakasih, berbakti, dan selalu sujud. Itu dapat dinyatakan dalam bentuk puja dan puji terhadap kebesarannya. Dengan menjalankan ajaran Parhyangan ini maka manusia akan dapat lebih menekatkan diri dengan Tuhan sehingga sifat-sifat sad ripu yang dapat menimbulkan kekerasan akan dapat dicegah.
Manusia dengan lingkungan (Palemahan)
            Manusia hidup dalam suatu lingkungan tertentu, manusia memperoleh bahan keperluan hidup dari lingkungan, dengan demikian manusia sangat tergantung pada lingkungan. Oleh karena itu manusia sudah berkewajiban untuk menjaga keharmonisan di dalam lingkungan, baik itu dengan alam ataupun dengan isinya (makhluk hidup).
Manusia dengan sesamanya (Pawongan)
            Sebagai makhluk sosial,manusia tidak bisa hidup menyendiri.  Merka memerlukan bantuan dari kerjasama oaring lain, karena itu hubungan dengan sesama harus baik dan harmonis. Hubungan antara sesama harus berlandaskan saling asah, asuh, asih. Yang artinya saling menghargai, mengasihi, dan melindungi. hubungan antara keluarga dirumah harus harmonis, dengan masyarakat juga harus harmonis. Hubungan baik ini mnenciptakan keamanan dan kedamaian lahiar batin dan masyarakat yang aman akan menciptakan tujuan yang tentram dan sejahtera.[23]
3) Tat Twam Asi
Ajaran tatwam berbunyi, “aku adalah kamu, kamu adalah aku.”
            Jika aku adalah kamu, maka aku selayaknya menyayangimu, sesayang aku pada tubuh dan jiwaku. Sesakit aku menyakiti diriku, seperti itulah jika aku menyakitimu. Aku tak ingin hatimu retak seperti cawan keramik terkena goyangan gempa. Jika aku mencelamu, maka aku mencela diriku sendiri. Mencemohmu, sama dengan mencemohku.
 (Ajaran Tat Twam Asi berasal dari ajaran agama Hindu di India. Artinya : “aku adalah engkau, engkau adalah aku.” Filosofi yang termuat dari ajaran ini adalah bagaimana kita bisa berempati, merasakan apa yang tengah dirasakan oleh orang yang di dekat kita. Ketika kita menyakiti orang lain, maka diri kita pun tersakiti. Ketika kita mencela orang lain, maka kita pun tercela. Maka dari itu, bagaimana menghayati perasaan orang lain, bagaimana mereka berespon akibat dari tingkah laku kita, demikianlah hendaknya ajaran ini menjadi dasar dalam bertingkah laku).
4) Ahimsa dan Himsa
            Perkataan Ahimsa berasal dari dua kata yaitu : “a” artinya tidak, “himsa” artinya menyakiti, melukai, atau membunuh. Jadi, Ahimsa artinya tidak menyakiti, melukai, atau membunuh mahluk lain baik melalui pikiran, perkataan, dan tingkah laku secara sewenang-wenang. Agama Hindu mengajarkan kepada umatnya untuk tidak membunuh atau menyakiti mahluk lain adalah dosa. Ajaran Ahimsa itu merupakan salah satu faktor susila kerohanian yang amat penting dan amat utama. Menurut ajaran Dharma didalam sloka disebutkan ahimsa para dharmah artinya kebajikan ( Dharma ) yang tertinggi terdapat pada ahimsa. Jadi, jelaslah bahwa ajaran yang tinggi itu adalah tidak membunuh. Namun, uraian itu jangan ditafsirkan secara ekstrim ( kaku ) karena bisa bertentangan dengan ajaran agama yang kita anut ( agama Hindu ). Dengan demikian kita boleh membunuh untuk mempertahankan hidup asal tidak didorong dengan Nafsu atau Sad Ripu yaitu : Kama ( keinginan ), Lobha ( rakus, lobha ), Krodha ( marah ), Mada ( angkuh, mabuk ), Moha ( kebingungan ), Matsarya ( iri hati ). Jadi, meskipun ajaran Ahimsa itu berarti tidak membunuh tetapi dalam batas – batas tertentu kita diperbolehkan membunuh.[24]
            Dengan demikian sebenarnya ajaran Ahimsa itu tidak lain harus memperhatikan dan mengendalikan tingkah lakunya agar pikiran, perkataan, dan perbuatan tidak menyakiti orang lain atau mahluk lain. Setiap pikiran, perkataan, perbuatan yang tujuannya menyakiti orang lain maka disebut perbuatan Himsa. Oleh karena itu hindari perbuatan Himsa terhadap semua mahluk. Kita harus saling asah, asih, dan asuh terhadap sesamanya. Karena jiwatman kita sama dengan jiwatman mahluk lain yang berasal dari satu sumber yaitu Paramaatman ( Sang Hyang Widhi ).[25]
5). Catur Paramita
            Catur paramita berasal dari kata catur yang berarti empat dan paramita yang berarti perbuatan luhur. Dengan demikian catur paramita berarti empat perbuatan luhur, yang harus dilaksanakan oleh seluruh umat Hindu.
Catur paramita terdiri dari:
  1. Maitri (bersahabat). Manusia harus mempunyai sifat-sifat bersahabat terhadap sesamanya. Manusia adalah ciptaan Tuhan, jadi manusia berasal dari sumber yang satu yaitu tuhan dan karena itu manusia semuanya bersaudara. Dengan tercapainya persaudaraan maka akan tercipta hidup tenang, tentram, dan damai.
  2. Karuna (cinta kasih). Karuna merupakan perbuatan luhur atau belas kasih terhadap orang yang kesusahan dan menderita. Sebagai mahkluk ciptaan Tuhan manusia harus saling tolong menolong rela berkorban demi orang lain, negara dan bangsa. Cinta kasih juga harus ditimbulkan terhadap binatang, tubuh-tumbuhan dan mahkluk tuhan yang lain. Dengan cara tidak memburu dan merusaknya.
  3. Mudhita (simpati). Simpati artinya turut merasakan kesusahan maupun kebahagiaan orang lain. Dengan sifat mudhita ini, manusia akan terhindar dari rasa iri hati, dengki, dan kebencian terhadap sesamanya.
  4. Upeksa (toleransi). Toleransi merupakan perbuatan luhur dalam agama Hindu yang berarti manusia harus toleran dan senantiasa memperhatikan keadaan orang lain. Sedangkan jiwanya dipenuhi dengan rasa kesetia kawanan, simpati terhadap sesamanya, dan tidak menaruh rasa dendam terhadap orang yang bermaksud jahat kepadanya.[26]
Analisis Dari Uraian Tentang Religion and Peace
            Semua agama itu pada dasarnya mengajarkan kebaikan dan perdamaian, dan tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan. Tetapi terkadang terjadi kekerasan yang mengatasnamakan agama karena kurangnya pemahaman terhadap agama, dan penjelasan pemimpin yang salah. Sehingga agama terkadang diperalat, dan seakan agama dengan kekerasan itu antara ada dan tiada. Oleh sebab itu, sucikanlah hati dan pikiran. Seperti kata Yesus “Jika ingin orang lain berbuat baik kepadamu, berbuat baiklah kepada orang lain.” Sehingga, “jika ingin damai, berilah damai kepada orang lain”.
            Bahwa, inilah yang hendaknya orang perbuat, perasaan hati cinta kasih kepada segala mahluk hendaknya itu tetap dikuatkan janganlah menaruh dengki iri hati, janganlah menginginkan dan jangan merindukan sesuatu yang tidak ada, janganlah hal itu dipikir-pikir. Tanamkan kebaikan dimanapun kita berada, sebab kedamaian itu kita lah yang menciptakannya. Jadi kehidupan bermasyarakat yang damai, harmoni dan aman menurut pandangan agama-agama adalah merealisasikan segala daya dan kemampuan anggotanya untuk menjadi manusia yang integral yang memiliki kemauan untuk menciptakan suatu kehidupan yang sejahtera lahir batin dan yang terpenting sekali bahwa manusia sebagai hamba Tuhan, hendaknya memiliki keyakinan diri dan ketaatan pada ajaran-ajarannya yang menuntun umat manusia menuju jalan kebaikan yang dilandasi oleh ajaran agamanya dalam hal ini kedamaian. Dari uraian tersebut dapat kita pahami, bahwa kebahagiaan, kedamaian, persatuan dan kesatuan didasari oleh kedamaian yang kekal abadi. Sehingga hal tersebut mampu menciptakan sebuah keharmonisan dalam kehidupan beragama dan bernegara.
            Jadi pada dasarnya semua agama telah memberikan ajaran yang jelas dan tegas bagaimana semestinya bergaul, berhubungan dengan pemeluk agama lain. Secara khusus semuanya menjunjung tinggi hidup rukun, saling tolong-menolong antara pemeluk masing-masing agama, namun terkadang pemeluknya lupa atau tidak mampu mengaplikasikan ajaran, tuntunan dari agamanya. Terkadang dassolen dan dessain tampak tidak sejalan. Sehingga kedamaian itu sangat penting dalam menciptakan kebersamaan dan kerjasama yang baik akan membangun kehidupan yang lebih bahagia dan sejahtera.
Kesimpulan
            Dari uraian diatas sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa agama merupakan sebuah tatanan nilai yang dimana dibangun guna untuk menciptakan kesejahteraan dan kehidupan yang damai dan harmoni. Memang agama disis lain sebagai landasan yang kokoh dalam menciptakan kedamaian dan melestarikan keharmonisan umatnya, tetapi disisi lain agama dapat menimbulkan konflik ataupun kekerasan. Karena agama disalah artikan oleh umatnya, dan terkadang identitas agama lebih ditonjolkan.
            Pada intinya setiap agama itu mengajarkan kebaikan dan perdamaian, dan tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan. Tetapi terkadang terjadi kekerasan yang mengatasnamakan agama karena kurangnya pemahaman terhadap agama, dan penjelasan pemimpin yang salah. Sehingga agama terkadang diperalat, dan seakan agama dengan kekerasan itu antara ada dan tiada. Agama lahir karena adanya kegelisahan manusia, sehingga agama ada untuk menjadi acuan mencapai hidup bahagia, sejahtera, aman, dan harmonis.
            Jadi pada dasarnya semua agama telah memberikan ajaran yang jelas dan tegas bagaimana semestinya bergaul, berhubungan dengan pemeluk agama lain. Secara khusus semuanya menjunjung tinggi hidup rukun, saling tolong-menolong antara pemeluk masing-masing agama. Sehingga kedamaian harusnya dikembangkan melalui pikiran, ucapan, dan perbuatan.



DAFTAR PUSTAKA
Ø  Susanto, Thomas (ed.), 2002. Teori-Teori Kekerasan, Jakarta: Ghalia Indonesia dan Universitas Kristen Petra.
Ø  Samad, Ulfat. 1976. The Great Religion of The World, Pakistan : Lahore.
Ø  Smith, Huston. 1959. The Religion of Man, Mentor Books, New York.
Ø  Leonard, A.G. 1959. Islam: Her Moral and Spiritual Value, Luzac, London.
Ø  Mahasthavira, Bikhsu Tadisa Paramita. 2014.  Kembangkan Brahmavihara untuk Kebahagiaan Semua Makhluk : Senantiasa Berpandangan Terang dan Pikiran Luhur, Jakrata : Walubi.
Ø  Doeblin, Alfred. 1942. The Living Thoughts of Confucius, The Living Thoughts Library, Cassel and Company, London.
Ø  Suhardana, K.M. 2006.  Pengantar Etika dan Moralitas Hindu: Bahan Kajian Untuk Memperbaiki Tingkah Laku, Surabaya: Paramita.



[1]  Thomas Susanto (ed.), Teori-Teori Kekerasan, Jakarta: Ghalia Indonesia dan Universitas Kristen Petra, 2002, hal. 64
[2]  Ibid, hal. 65
[3]  Ibid, hal. 11
[4]  Ulfat Samad, The Great Religion of The World, Pakistan : Lahore, 1976, hal. 162
[5]  Ibid, hal. 163
[6]  Shalom Aleichem : Perdamaian kepada Anda
[7]  Gd : Tuhan
[8]  Shabbat : hari Sabat, hari Sabtu
[9]  Proverbs  3:17
[10] Talmud, Gittin 59b
[11] Maimonides, Mishneh Torah, The Laws of Chanukah 4:14
[12]  Ibid, hal. 164
[13]  Ulfat Samad, The Great Religion of The World, Pakistan : Lahore, 1976, hal. 213
[14]  Huston Smith, The Religion of Man, Mentor Books, New York, 1959, hal. 25
[15]  A.G. Leonard, Islam: Her Moral and Spiritual Value, Luzac, London, 1959, hal. 10
[16]  Perjanjian Lama : Manusia diciptakan menurut Gambar Allah.
[17]  Mazmur, 2:7; Tarawih, 22:10; Keluaran, 14: 22
[18]  Ulfat Samad, The Great Religion of The World, Pakistan : Lahore, 1976, hal. 185
[19]  Bikhsu Tadisa Paramita Mahasthavira, Kembangkan Brahmavihara untuk Kebahagiaan Semua Makhluk : Senantiasa Berpandangan Terang dan Pikiran Luhur, Jakrata : Walubi, 2014, hal. 17
[20]  Ibid, hal 23-25
[21] Alfred Doeblin, The Living Thoughts of Confucius, The Living Thoughts Library, Cassel and Company, London, 1942, hal. 14
[22]  K.M. Suhardana, Pengantar Etika dan Moralitas Hindu: Bahan Kajian Untuk Memperbaiki Tingkah Laku (Surabaya: Paramita, 2006), hal. 28
[23]  Ibid, hal. 50
[24]  Ibid, hal. 29
[25]  Ibid, hal. 33
[26]  Ibid, hal. 48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makna Tahlilan

  PROSESI DAN MAKNA TAHLILAN DI DESA KLORON PLERET BANTUL SETIONO    A.    Latar Belakang Tahlilan sangat erat sekali kaitannya de...