Rabu, 16 September 2015

Pernikahan Sesama Jenis



BIDANG SOSIAL
PERNIKAHAN SESAMA JENIS
Oleh
SETIONO
A.    Latar Belakang Masalah
Merambaknya Akulturasi budaya dengan agama saat ini memunculkan hal-hal baru yang unik, seperti halnya pernikahan sesama jenis yang semakin marak. Serta capaian-capaian lain yang amat pesat di ranah ilmu pengetahuan telah membawa manusia pada satu era yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Satu era keterbukaan, kebebasan serta pemujaan terhadap hak asasi yang terlalu berlebihan, seperti halnyapenikahan sesama jenis yang semakin marak diperbincangkan. Pernikahan sejenis disebut juga dengan Homoseksualitas. Homoseksualitas sebenarnya sudah ada pada sejak masa lalu, namun masa lalu kuantitasnya lebih kecil dan dilakukan dalam kerahasiaan, tidak terang-terangan di depan mata atau mungkin memang kaum homoseksual tidak menunjukkan dirinya sebagai homoseksual.[1]
Sedangakan, akhir-akhir ini muncul suatu kecenderungan di antara sebagian orang untuk membuat perilaku homoseksual dapat diterima atas nama keadilan dan toleransi yang mengatasnamakan penegakan HAM. Sebaliknya, wacana tersebut juga ditentang oleh masyarakat yang menuntut hukuman yang tegas bagi pelaku ini. Pandangan dan pemikiran tersebut berpotensi menimbulkan kerancuan pemikiran terutama bagi umat Islam. Dimana sudah jelas, bahwa hukum di negara Indonesia maupun hukum Islam yang mengacu pada Al-Qur’an dan Hadits tidak ada satupun yang membolehkan. Berdasarkan uraian di atas, maka untuk lebih mengetahui lebih dalam lagi mengenai hukum perkawinan sejenis,penulis  akan meninjau kasus ini dari berbagai sudut pandang agar tidak menimbulkan kerancuan pemikiran bagi kita semua.[2]

B.     Teori Tentang Perkawinan Sejenis
Dalam pembahasan mengenai pernikahan sesama jenis, ini menimbulkan beberapa  perbedaan pemikiran di kalangan para ahli Agama ataupun para pakar ilmu pengetahuan lainya. Untuk mengetahui bagaimana hukum pernikahan sesama jenis, terlebih dahulu harus mengetahui pengertian perkawinan itu sendiri. Sistem berpikir hukum islam biasanya berpedomanpada Al-Qur’an dan Hadits. Perkawinan berasal dari dua kata yaitu nikah yang merupakan masdar dari kata kerja nakaha, dan kata sinonimnya zawaja.  Kata zawaja berarti pasangan  dan kata nakaha berarti berhimpun.[3] Dengan demikian, dari sisi bahasa perkawinan berarti berkumpulnya dua insan yang semula berdirii sendiri menjadi satu kesatuan yang utuh dan bermitra.[4] Secara umum al-Qur’an hanya menggunakan dua kata ini untuk menggambarkan terjadinya hubungan seorang laki-laki (suami) dengan seorang perempuan (istri) secara sah, baik hubungan lahir atau batin. Sedangkan dari sisi istilah atau syari’ah mempunyai arti bahwa, ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.[5]
Menurut peraturan perundang-undangan menyatakan, bahwa dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan berbunyi:  “ perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seoarang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang berbahagia dan kekal berdasarka ketuhanan Yang Maha Esa”.[6] Dilihat dari sisi sosiologi merupakan fenomena penyatuan dua kelompok keluarga besar yang asalnya dari dua keluarga yang tidak saling mengenal, yaitu dari kelurga suami dan satunya dari keluarga istri. Dua kelurga yang semula berdiri sendiri dan tidak saling mengenal kemudian menjadi satu kesatuan yang utuh.[7]
Perkawinan merupakan anugerah Tuhan bagi seluruh makhluk ciptaan-Nya. Anugerah dalam bentuk perkawinan adalah jalan yang dapat digunakan makhluk Tuhan untuk mempertahankan kehidupan di alam dunia dan terus berkembang biak. Seperti halnya aturan hukum perkawinan di Indonesia yang termuat dalam UUP adalah bukan saja dipengaruhi oleh adat dan budaya masyarakat setempat, tetapi juaga dipengaruhi oleh Agama Hindu, Budha, Kristen, Katolik, dan Islam, bahkan juga dipengaruhi oleh aliran kepercayaan dan budaya perkawinan ala Barat. Hal ini pada “lain masyarakat lain juga aturan perkawinanya”.[8]
Maka, bagaimana dengan istilah perkawinan sesama jenis, yang pada akhirnya menunutut beberapa pendapat untuk memberi pengertian baru pada istilah pengertian perkawinan itu sendiri. Secara umum perkawinan sesama jenis adalah perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang berjenis kelamin sama. Hal ini Ada dua bagian yaitu gay dan lesbian. Ditinjau dari beberapa pengertian di atas, maka akan jelas terlihat kerancuan makna, diamana pengertian perkawinan sendiri sudah mengandung makna ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri. Penggunaan kata perkawinan sesama jenis, menurut penyusunan sebagai upaya pemaksaan pengertian yang lebih bertujuan untuk mendapat pengakuan. Sehingga kurang tepat jika menggunakan istilah perkawinan sesama jenis, karena hal itu bukan sebuah perkawinan sebagaimana makna sebenernya yang ada, tetapi hanya ikatan antara dua insan semata. Apalagi dihubungkan dengan hukum Islam, hal itu sudah sangat jelas dilarang oleh syari’at Islam.[9]
“Manusia membuat sejarahnya sendiri, tetapi mereka tidak membuatnya tepat seperti yang mereka sukai, mereka tidak membuatnya dalam situasi-situasi yang dipilih oleh mereka sendiri, melainkan dalam situasi-situasi yang langsung dihadapi, ditentukan, dan ditransmisikan dari masa lalu” (Karl Marx).Menurut ilmu psikologi manusia dikelompokkan menjadi pria ataupun wanita atas dasarlebih kepada sifat-sifat kejiwaannya, sebagai contoh, Bisa jadi ia seorang dengan bentuk anatomi pria, tetapi ia memiliki sifat-sifat kejiawaan wanita. Lalu apa yang menjadi dasar seorang secara administrasi kependudukan menjadi pria ataupun wanita sudah tentu atas dasar analisa kedokteranlah yang digunakan.Dan  Bagimana jika seseeorang homoseksual tersebut melakukan operasi penggantian kelamin, lengkaplah sudah ia secara medis tergolong kedalam golongan/kelompok wanita ataupun pria, hal ini sudah banyak terjadi di Indonesia, dengan melakukan operasi seseorang mendapatkan identitas baru (KTP) baru sebagai lawan jenis dari sebelumnya.
Maka lengkaplah sudah persyaratan untuk melakukan perkawinan di Indonesia, cukup dengan berkorban dari salah satu pasangan homoseksual ini untuk melakukan operasi pergantian kelamin saja. mereka sudah dapat menikah denga tertib administrasi.[10]
C.    Sejarah
Budaya dalam bentuk hubungan sesama jenis dalam sejarah umat manusia sebenarnya sudah dikenal lama. Dikalangan umat Islam sejarah hubungan sesama jenis tidak terlepas dari kisah kaum Nabi Lut as. Kemunculan adanya         fenomena kawin sesama jenis dalam sejarah manusia sudah dikenal lama. Dikalangan umat Islam sejarah hubungan sesama jenis tidak lepas dari kisah kaum Nabi Lut as. Kemunculan adanya upaya untuk menyebut hubungan sesama jenis tersebut menjadi bentuk perkawinan sesama jenis dipengaruhi oleh anggapan bahwa tafsir keagamaan sangat dihegemoni oleh keadaan kejiwaan seks yang cenderung bermitraseks dengan segala jenis baik dengan satu jenis kelamin maupun jenis kelamin lain (heteroseksualitas)[11]. Nilai-nilai patriarkal dan bias gender, yaitu idiologi yang mengharuskan manusia berpasangan dengan lawan jenis dan harus tunduk pada aturan hesteroseksualitas  yang menggariskan tujuan perkawinan  semata-mata untuk prokreasi, yaitu menghasilkan  keturunan.
Mengenai hubungan seksual sesama jenis sebagai sebuah perilaku menyimpang yang terjadi pada zaman Nabi Lut as sebagaimana yang diterangkan dalam al-Qur’an dijelaskan oleh Muhammad ‘Ali as-Sabuni dalam tafsirnya Safwah at-Tafasir. Menurut as-Sabuni dijelaskan bahwa umat manusia yang pertamakali melakukan homoseksual adalah kaum Nabi Lut as.
Kisah Nabi Lut as, sebagai salah satu sejarah yang menggambarkan  adanya kebiasaan menyukai sesame jenis, secara eksplisit ditunjukkan dalam beberapa ayat al- Qur’an yang secara jelas menyebutkan tentang perbuatan dan hubungan sesama jenis ini dilakukan oleh kaum normal (bukan gay) yang mereka lebih menyukai sesama  jenisnya (sesama laki-laki) daripada lawan jenisnya (perempuan). Pernyataan ini ditunjukkan dalam  beberapa ayat al- Quran yang secara jelas menyebutkan tentang perbuatan dan hubungan sesama  jenis, misalnya yaitu: dalam surah an-Naml (27):54-55.
“Dan (ingatlah kisah) Lut, ketika dia berkata dengan kaumnya  mengapa kamu mengerjakan perbuatan fasyah  (keji) padahal kamu melihatnya (kekejian).”
“Mengapa kamu datangi laki–laki untuk (memenuhi) syahwatmu, bukan (mendatangi)  perempuan? Sungguh, kamu adalah kaum yang tidak mengetahui ( akibat perbuatanmu).”
Perbuatan tersebut tidak hanya melibatkan kaum Nabi Lut as, tetapi juga isterinya sendiri. Sehingga Allah menurunkan azab dengan  membalikkan bumi yang atas berada dibawah (terbalik) dan juga dihujani batu yang sangat panas  kaum dan isteri Nabi Lut as ikut dibinasakan oleh Allah, hal  ini sebagaimana disebutkan dalam firman  Allah QS.al-A’raf (7).80-81.
“Sungguh, kamu telah melampiaskan syahwatmu kepada sesama lelaki bukan kepada   perempuan. Kamu benar-benar kaum yang melampaui batas.”
Dan kami hujani mereka dengan hujan (batu). Maka perhatikanlah bagimana kesudahan orang yang berbuat dosa itu”.
                  Hubungan sesama jenis khususnya dalam masalah seks, atau sering dikenal  dengan  homoseksual dalam catatan sejarah, seperti disebutkan De’de’ Oetomo dalam bukunya Memberi Suara Pada Yang Bisu”. Seperti  tentang  homoseksual di Barat walaupun banyak terjadi budaya mitos. Seperti dalam masyarakat Yunani kuno homo seks dianggap ideal dan dilembagakan, prakteknya para prajurit diharapkan mempunyai sahabat laki-laki  yang  lebih muda. Dalam mitologi yunani tentang kisah percintaan sesama jenis kelamin,  sebagaimana yang dilakukan oleh Zeus dan Ganymede.[12]
Berkaitan dengan bentuk hubungan sesama jenis yang dilakukan dengan bentuk  perkawinan di Barat.  Salah  satunya terjadi di  Amerika, yang  dilakukan seorang wali kota San Fransisco  bernama Gavin Newson dengan memberikan kebijakan untuk menikahkan tidak kurang dari 3000 pasang jenis, gay dan lesbian secara  legal (baca: mendapat surat nikah ) hanya dalam waktu seminggu.[13]
Saat ini di beberapa Negara seperti Belanda,  Belgia,  Kanada,  Amerika Serikat, Australia, pasangan gay (laki-laki dengan laki–laki ) dan lesbian (perempuan dengan perempuan) dapat hidup serumah dalam ikatan  yang sah secara hukum.[14] Mereka anggap bahwa hidup sesama jenis merupakan hak asasi manusia dan sudah menjadi kodrat.

D.     Bentuk-bentuk hubungan sesama jenis
Manusia normal memiliki orientasi seksual terhadap lawan jenisnya. Seseorang laki-laki tertarik pada seseorang perempuan, atau sebaliknya, seseorang perempuan tertarik pada seorang laki-laki. Namun lain halnya dengan kaum homoseks, mereka tidak memiliki kecenderungan seksual yang normal seperi itu. Kaum homoseksual justru lebih tertarik pada sesama jenisnya, mereka ini lazim disebut gay. Begitu pula, para wanita homoseks tertarik pada sesama wanita. Mereka ini lazim disebut lesbian.
a.       ciri-ciri Gay (laki-laki suka dengan laki-laki)
Bahwa kata gay mempunyai arti sama dengan kata homoseksual[15]yaitu orang yang mempunyai orientasi seksnya dengan sesama jenis. Demikian dapat diperoleh pengertian bahwa perkawinan gay berarti perkawinan yang dilangsungkan antara laki-laki dengan laki-laki. Untuk mengetahui apakah seseorang itu gay atau tidak, setidaknya perlu diketahui ciri-ciri gay. Sayangnya sulit untuk mengetahui secara pasti dan akurat mengenai ciri-ciri khusus yang terlihat kasat mata tentang gay, karena ciri-ciri mereka mungkin berbeda di suatu daerah dengan daerah lain atau di suatu negara dengan negara lain, mereka pun (kaum gay), terutama di Indonesia cenderung sangat tertutup. Ciri-ciri khusus yang mereka miliki hanya bisa diketahui oleh kelompoknya atau orang-orang tertentu saja.
·         Diantaranya ciri-ciri gay menurut Zafar Khan sebagai berikut:
`      a. Memakai anting di telinga sebelah kanan
       b. Menyembulkan sapu tangan di kantong belakang
       c. Memakai aksesoris atau perhiasan yang berlebihan
       d. Gaya bicara feminim (beda dengan waria)
       e. Lebih tertarik pada aktivitas yang biasanya dilakukan wanita[16]
Khan mengingatkan, bahwa bukan hanya gay yang seperti itu, jadi hal ini belum pasti menandakan penggunanya seorang gay. Disamping hukum islam mengharamkan perkawinan sesama jenis, hukum perundang-undangan yang ada di Indonesia, tidak ada satu pasal pun yang membolehkannya (baik UU No. 1 Tahun 1974 maupun KHI). Namun, dalam kehidupan nyata bukan berarti perkawinan sesama jenis tidak pernah terjadi.[17]
 b. ciri-ciri Lesbian (perempuan suka dengan perempuan)
Homoseksualitas sering disalah artikan sebagai hubungan seks antara sesama laki-laki saja. padahal, hubungan antara sesama perempuan juga termasuk ke dalam homoseksualitas. Sedangkan lesbian dalam pengertian psikologinya dapat diartikan penyimpangan perilaku sosial dimana kenikmatan seksual  seoran perempuan didapat dari perempuan lain. Bahkan terkadang tidak sebatas seksual, tetapi juga fisik, emosional dan secara spiritual. Bila laki-laki homoseks lazim disebut gay, permpuan homoseksual disebut dengan lesbian. Mengenai ciri-ciri hampir sama dengan gay, sulit menetapkannya karna tergantung dengan wilayah atau negara. Seperti dikalangan lesbian remaja Yogyakarta, sebagaimana dikutip salah satu media masa bahwa kalangan lesbian lebih tertutup dari pada kaum gay. Salah satunya dikalangan lesbian remaja Yogyakarta dikenal istilah butchie dan femme[18] untuk membedakan peran mereka.
Maraknya lesbianisme di Indonesia menurut Zafar Khan dipengaruhi oleh beberapa sebab yaitu :
a.       Berawal dari rangsangan-rangsangan yang di dapat anak perempuan di sekolah mereka, terutama sekolah yang berasrama dimana dua orang atau lebih anak perempuan ditempatkan dalam satu kamar.
b.      Jumlah pria dan perempuan yang tidak berimbang, dimana saat ini pada umumnya di dunia, jumlah kaum perempuan jauh melampaui jumlah kaum pria.
c.       Rangsangan media informasiseperti televisi, majalah, film, dan lain sebagainya yang banya mempromosikan ”gaya hidup alternatif”.
d.      Emansipasi wanita yang salah langkah, di mana saat ini para wanita seringkali merasa tertindas oleh “superioritas” kaum laki-laki. Hal ini menumbuhkan benih kebencian di hati perempuan terhadap laki-laki.
e.       Trauma  yang dirasakan perempuan akibat kekerasan yang dilakukan ayahnya yang tentu saja pria. Hal ini menumbuhkan benih kebencian di hati perempuan terhadap kaum pria.
f.       Sebagai wanita merasa tidak pernah memiliki hubungan yang baik dengan pasangan prianya, baik suaminya maupun pacarnya. Mereka memandang kaum pria sebagai makhluk yang egoisme, termasuk dalam soal seks. Mereka tidak terpuaskan dengan kaum pria, sehingga mereka mencari wahana baru untuk memuaskan hasrat mereka itu. Mereka merancang seks bagi mereka sendiri yakni lesbianisme.[19]


c. Dasar Keharaman Perkawinan Sesama Jenis
               Pengharaman perkawinan sesama jenis dapat didasari ayat al-Quran yang memuat tentang kisah Nabi Luth as, seperti Q.S. Al-A’raf(7):80-81, An-Naml (27): 54-55. Dilihat dari sudut pandang usul al-fiqh, maka penetapan hukumnya adalah termasuk syar’u man qablana (syari’at umat sebelum islam). Dengan  ketentuan  bahwa apabila al-Quran dan Hadist telah menerangkan status hukum yang disyari’atkan oleh Allah kepada umat sebelum umat islam, kemudian al-Quran dan Hadist menetapkan bahwa hukuman tersebut diwajibkan atau diharamkan pula kepada umat Islam, sebagaimana diwajibkan atau diharamkan kepada mereka, maka tidak diperselisihkan lagi bahwa hukum tersebut adalah sebagai syari’at bagi umat Islam dan sebagai hukum yang harus diikuti.[20] Dengan demikian perngharaman perkawinan sesama jenis juga dapat merujuk pada larangan terhadap perbuatan yang telah dilakukan oleh kaum Nabi Lut as, dan itu dapat berlaku juga kepada umat Islam sekarang. Karena hukum itu merupakan hukum Ilahi yang telah disyari’atkan melalui para Rasul dan Nabi-Nya serta tidak ada dalil yang me-nasakh-nya. Perbuatan penyimpangan perilaku seks sesama jenis yang dilakukan oleh kaum Nabi Lut as merupakan  salah satu yang dimurkai Allah, sehingga Allah menghancurkan kaum Nabi Lut as dengan siksaan sebagaimana digambarkan dalam firman Allah Q.S An-Naml (27):57-58, Q.S Al-A’raf (7):83-84, Q.S Hud(11):82-83.[21] Dalam al-Quran tersebut secar tegas menyebutkan beberapa hal sebagai berikut:
a.       Bahwa perilaku suka sesama jenis  terjadi pertama kali pada masa Nabi Lut as. karena itu kosa kata yang bisa digunakan untuk kebiasaan ini disebut dengan liwat atau liwatah.
b.      Perilaku sesama jenis dikelompokkan sebagai perbuatan fahisyah yaitu perbuatan keji yang identik dan sebangun dengan perbuatan zina.
c.       Perilaku sesama jenis dimasukan dalam perbuatan pidana (jarimah).
d.      Para pelaku umumnya tidak menyadari akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya.
e.       Pelaku sesama jenis cepat atau lambat berhak atas siksa Allah SWT.[22]
Kelima poin diatas, bertemu pada kesimpulan hukum yaitu bahwa al-Qur’an dengan jelas melarang dan mengharamkan periaku seksual sesama jenis atau status pernikahannya. Sekalipun ada kasus perkawinan sesama jenis, yang jelas semua agama mengharamkan tindakan seperti itu. Karena tidak sesuai dengan fitrah sebagai manusia normal, yang membutuhkan keturunan sebagai penerus sejarah perjuangan dan cita-cita orang tuanya yang terputus.[23] Pendapat Sayyid as-Sabiq, dalam pandangannya lesbian diberi hukuman dalam bentuk ta’zir saja.[24] Jadi hukumannya lebih ringan dibandingkan dengan bahaya homoseksual.
Pemikiran lain Kholidul Adib mengenai homoseksual juga nampak pada pandangan-pandangannya mengenai upaya yang harus dilakukan, atas dugaan ataupun tuduhan adanya penindasan terhadap kaum homoseksual. Asumsi tentang adanya penindasan kaum heteroseksual terhadap homoseksual, Adib dasarkan pada keputusan para psikiater pada tahun 1993 yang tertuang dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosa (PPDG) II yang diterbitkan oleh Direktorat Kesehatan Jiwa, Depkes RI.[25]
            Pokok pemikiran Kholidul Adib yang cukup kontrofersial adalah pemikiran dan pandangan tentang pernikahan sesama jenis. Pernikahan sesama jenis di Indonesia dan beberapa di negara lain merupakan sebuah tindakan yang dilarang negara, walaupun ada beberapa wilayah disebuah negara memperbolehkannya. Secara garis besar, inti pemikiran Adib tentang pernikahan sesama jenis dimulai dengan pembenarannya terhadap pendapat Dede Oetomo seorang homoseks dan aktifis gay Indonesia. Pendapat Dede Oetomo yang ditulisnya dalam buku “memberi suara pada sang bisu” menyatakan kalau manusia harus menurut agama sampai ia sangat menderita, apakah hal itu dapat dibenarkan? Bukankah fungsi agama adalah memberi pegangan hidup bagi seorang pribadi dalam hidup di dunia ini? Selama sifat homoseks kita pergunakan untuk mencintai dan karenanya berbuat baik kepada sesama manusia, bukankah itu ajaran agama?[26]
            Penilaian dan pernyataan pembenaran tersebut memunculkan pandangan Kholidul Adib, bahwa wajah agama yang menindas itu harus dikritik dan direkonstruksi. Alasan Adib, lagi-lagi dia mengutip dan menyepakati pendapat yang menilai bahwa kitab suci al-Qur’an yang memuat setumpuk doktrin Islam itu, seharusnya dibaca dan dipahami secara kritis dan di dialogkan dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat yang ada. Bukanya menjadi senjata ampuh untuk memvonis benar dan salah secara tekstual.[27]

E.     Kesimpulan
Dari pemaparan uraian di atas, sehingga dapat mengetahui jawaban atas pokok masalah yang diajukan. Ada beberapa kesimpulan yang bisa dirangkum dalam pemaparan tersebut.
Landasan dari pemikiran M. Kholidul Adib tentang bolehnya perkawinan sesame jenis, di antaranya:
a.    Tidak ada perbedaan laki-laki dan perempuan. Salah satu berkah Tuhan adalah bahwasannya semua manusia, baik laki-laki atau wanita, adalah sederajat, manusia dihargai hanya berdasarkan ketaatannya.
b.   Intisari ajaran Islam adalah memanusiakan manusia dan menghormati kedaulatannya. Homoseksualitas adalah berasal dari Tuhan, dan karena itu harus diakui sebagai hal yang alamiah.
c.    Dalam teks-teks suci yang dilaraang lebih tertuju kepada perilaku seksualnya. Sebab, menjadi heteroseksual, homoseksual (gay dan lesbi), dan biseksual adalah kodrati, sesuatu yang “given” atau dalam bahasa fikih disebut sunnatullah. Sementara perilaku seksual bersifat konstruksi manusia.
                      Dalam Islam sendiri, soal homoseksual ini sudah jelas hukumnya, baik yang terdadapat dalam ayat-ayat al-Qur’an maupun Hadis, sudah cukup sebagai dasar pengharaman perkawinan sesama jenis.






DAFTAR PUSTAKA
Kamus Kontemporer. 1998.  al-‘Asrly Arab Indonesia. Yogyakarta.  Multi  Karya Grafika

Skripsi Fatchurrohman. 2010. Pandangan Hukum Tentang pernikahan sesama jenis. Jurusan Syari’ah dan Hukum UIN SUKA
Nasution Khairuddin. 2004. Hukum Perkawinan 1, Yogyakarta.  ACAdeMIA  &  TAZZAFA
UU No. 1 Tahun 1 1974 tentang Perkawinan  Pasal 1
Adi Kusuma Hilman. 1990.  Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat dan   Hukum Agama. Bandung.  Mandar Maju
Lihat Pius A. Partantodan  M.Dahlan Al Barry. 2006.  Kamus Ilmiah Popular. Surabaya. Arkola
John M. Echolasdan Hassan Shadil.  1995. KamusInggris-Indonesia. Jakarta. Gramedia.
Bandingkan  dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,. 1989. KamusBesarBahasa Indonesia. Jakarta. BalaiPustaka
Zafar Khan. 2003.  Pandangan Islam tentangHomoseksual, alih bahasa Yudi.  Jakarta. Pustaka Zahra.
                                                                                                
NurAini. 2004. Terserah Orang BilangApa, Tapi Allah Melihat Mata Hati .  Edisi 25 Th. XI
 Yahya Mukhtar dan Fathurrahman. 1986. Dasar-dasarPembinaanHukumFiqh Islam. Bandung. Al-Ma’arif
 Mahmassani Sabhi. 1988. Filsafat Hukum dalam Islam.  Cet. II. Bandung. Al-Ma’arif,
Q.S. An-Naml: 57-58, Al A’raf: 83-84, Hud: 82-83.

Muhammad Rawwas. Qal’ah Jidan Sadiq Muhammad Qunaibi, Mu’jam al-Lugat AhmaIbnHanbal, Musnad Ahmad  Ibn Hanbal . Beirut: Dar al-Ilm, I: 24.

Sayyid as Sabiq, Fiqh as-Sunnah, II: 367
Baca Dede Oetomo. 2003. Memberi Suara Pada Yang Bissu. Yogyakarta. Pustaka Marwa. Cet. II
     


      [1]  Skripsi Fatchurrohman, Pandangan Hukum tentang Pernikahan Sesama Jenis,  Jurusan Syari’ah dan  Hukum UIN SUKA, 2010.
                                                              
        [2]Ibid,
        [3]Kamus Kontemporer, al-‘Asrly Arab Indonesia, Yogyakarta: Multi  Karya Grafika, 1998), cet.  Ke-5, hkm.1994
        [4]Khairuddin Nasution, Hukum Perkawinan 1, (Yogyakarta: ACAdeMIA  &  TAZZAFA, 2004)
        [5]Ibid, hlm. 17-18
        [6]UU No. 1 Tahun 1 1974 tentang Perkawinan  Pasal 1.
        [7] Khairuddin Nasution, Hukum Perkawinan 1..., hlm. 19
       [8]Hilman Adi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat dan   Hukum Agama (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm.2
        [9] Skripsi Fatchurrohman, Pandangan Hukum tentang Pernikahan Sesama Jenis, Jurusan Syari’ah dan  Hukum UIN SUKA, 2010
[10] file:///H:/Aris_Rahmatdi%20%20Ada%20Apa%20Dengan%20Perkawinan%20Sejenis.htm, diambil tanggal 8 mei,  jam 13.20,        
                                                                                               
[11]  Lihat Pius A. Partanto dan M.Dahlan Al Barry, kamus Ilmiah Popular, (Surabaya: Arkola), hlm.220
[12]      Skripsi Fatchurrohman, Pandangan Hukum tentang Pernikahan Sesama Jenis, Jurusan Syari’ah dan  Hukum UIN SUKA, 2010
[13]Jelasnya lihat Harian jawa pos tanggal 22 februari 2004
[14]       Skripsi Fatchurrohman, Pandangan Hukum tentang Pernikahan Sesama Jenis, Jurusan Syari’ah dan  Hukum UIN SUKA, 2010

[15]DalambahasaInggriskelompok kata inidisebut Slang.Slangadalahbahasa yang berlogatkasar, kata gay mempunyaiarti yang samadengankata homoseksualyaitu rasa tertarikdanmencintaijenisseks yang sama, Lihat John M. Echolasdan Hassan Shadily, KamusInggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1995), hlm. 264. Banding kandengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa  Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 102.
[16]Zafar Khan, Pandangan Islam tentangHomoseksual, alihbahasaYudi (Jakarta; Pustaka Zahra, 2003), hlm. 77.
[17]NurAini, “Terserah Orang BilangApa, Tapi Allah Melihat Mata Hati Kita”, dalamJurnalJustisia, Edisi 25 Th. XI, 2004, hlm. 65-68.
[18]Butchiea dalah lesbian yang berperan sebagai pihak cowok dalam hubungan mereka, dan biasanya ceweknya berpenampilan tomboy.Sedngkan Femme berperan sebagai cewek.
[19]Zafar Khan. 2003. Pandangan Islam,( Jakarta; Pustaka Zahra) 2003, hlm. 84-85.
[20]Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1986), hlm. 114. Sabhi Mahmassani, Filsafat Hukum dalam Islam, Cet. II, alihbahasa Ahmad Sudjono, (Bandung: Al-Ma’arif, 1989), hlm. 142.
[21]Q.S. An-Naml: 57-58, Al A’raf: 83-84, Hud: 82-83.
[22]Muhammad Rawwas Qal’ah Jidan Sadiq Muhammad Qunaibi, Mu’jam al-Lugat, hlm. 154.
[23]AhmaI bin Hanbal, Musnad Ahmad IbnHanbal (Beirut: Dar al-Ilm, t. t.), I: 24.
[24]Sayyid as Sabiq, Fiqh as-Sunnah, II: 367.
[25] Baca Dede Oetomo, MemberiSuaraPada Yang Bissu, (Yogyakarta: PustakaMarwa, 2003) Cet. II, hlm. 19.
[26]Dede Oetomo, Memberi Suara…., Ibid, hlm. 76.
[27] M. Kholidul Adib, IndahnyaKawin, hlm. 37.

Makna Tahlilan

  PROSESI DAN MAKNA TAHLILAN DI DESA KLORON PLERET BANTUL SETIONO    A.    Latar Belakang Tahlilan sangat erat sekali kaitannya de...