Selasa, 22 Maret 2016

Etnosains dan Etnometodologi

Etnosains dan Etnometodologi

            Tulisan ini diawali dengan pernyataan yang tegas dari penulis bahwa etnosains (ethnoscience), dan etnometodologi (ethnomethodology) yang muncul dalam kajian-kajian sosiologi adalah dua aliran yang masih relatif baru dalam ilmu-ilmu sosial, namun penulis juga menggarisbawahi bahwa dasar dari pendekatan ini tidaklah tergolong baru.
            Sebelum memaparkan lebih dalam dengan dua pendekatan ini, Prof. Heddi (yang selanjutnya saya sebut penulis) mencoba menjelaskan secara singkat persamaan dan perbedaan kedua aliran baru ini. Mengutip pendapat Cuff and Payne (1980:3), penulis mencoba menjelaskan bahwa suatu cabang ilmu pengetahuan dapat dibedakan dengan cabang ilmu lainnya melalui asumsi-asumsi dasar mengenai objek yang diteliti, masalah-masalah yang ingin dipecahkan, konsep-konsep, metode-metode serta teori yang dihasilkan. Menurut penulis, perbandingan yang ideal adalah membandingkan kelima hal tersebut. Namun sayang, penulis tidak membahas kelima hal tersebut dengan alasan yang sangat klasik, ”tidak memiliki ruang yang memungkinkan”, walaupun begitu, artikel ini tidaklah tepat dikatakan tidak penting, karena penulis mencoba membahasnya dengan sudut pandang lain yang bisa mewakili kelima hal tersebut di atas.
            Secara umum artikel yang ditulis dengan sangat padat ini, berisi empat hal pokok sebagaimana dikatakan penulis di awal-awal tulisan. Pertama, penulis mengulas tentang asal-usul, asumsi dasar, dan konsep-konsep pendekatan etnosains dalam antropologi dan etnometodologi dalam sosiologi. Kedua, penulis melakukan perbandingan terhadap kedua pendekatan ini yang ditunjukkan melalui persamaan dan perbedaannya. Ketiga, menunjukkan berbagai kritik yang ditujukan pada pendekatan etnosains. Keempat, penulis dengan cermat mengemukakan gagasannya sendiri tentang pendekatan etnosains dan relevansinya dalam pembangunan Indonesia saat ini. Jika diringkas, maka artikel ini terdiri dari beberapa bagian yaitu etnosains, etnometodologi, data dan analisis, dan perbandingan dibagian akhir artikel.

Etnosains dan Etnometodologi

            Mengutip pendapat Warner dan Fenton (1970:537), penulis menjelaskan kata ethnoscience berasal dari bahasa Yunani, ethnos yaitu bangsa. Sedangkan kata scientio berasal dari bahasa lain yang bearti pengatahun. Dengan demikian penulis mengambil kesimpulan ethnoscience adalah pengetahuan yang ada atau dimiliki suatu bangsa atau lebih tepat suatu suku bangsa tertentu atau subkultur tertentu. Hal ini sesuai dengan tujuan antropologi sendiri yaitu mendapatkan pengetahuan yang dimiliki oleh suatu suku bangsa tertentu. Jadi sebenarnya lebih tepat dikatakan bahwa ethnoscience adalah “system of knowledge and cognition typical of given culture” (Sturtevant, 1964:99-100). Penulis menjelaskan bahwa penekanannya di sini adalah pada sistem pengetahuan, yang merupakan pengetahuan yang khas dari suatu masyarakat, dan berbeda dengan sistem pengetahuan masyarakat yang lain.
            Istilah lain etnosains adalah The News Ethnography. Dalam memberikan depenisi tentang The News Ethnography, penulis mengutip pendapat Brukman yang dijelaskan bahwa penekanan Brukman terletak pada prosedur-prosedur yang memberikan pernyataan-pernyataan yang replicable dan valid, jadi porsedur pelukisan suatu kebudayaan yang dapat ditiru serta sahih.
            Pada bentuknya yang mula-mula, peneliti awal antropologi yang terkenal adalah W.H.R. Rivers dari Inggris dan Franz Boas dari Amerika. Pada tahap ini, metode wawancaranya secara khas disebut dengan istilah “genealogical method”. Teknik etnografinya yang utama adalah wawancara yang panjang, berkali-kali, dengan beberapa informan kunci. Tipe penelitiannya lebih bertujuan mendapatkan gambaran masa lalu suatu kelompok masyarakat (Spradley 2006:x).
            Selain The News Ethnography, penulis juga menjelaskan pandangan para ahli antropologi lainnya yang menyebut etnosains sebagai Cognitive Antropology, Descriptive Semantics (Goodenough, 1964b:12), dan Ethnographic Semantics (Sparadley, 1979:7). Cognitive Antropology merupakan data data kognitif (mental codes), sedangkan descriptive semantics dan ethnographic semantics dipakai oleh para ahli yang beranggapan bahwa apa yang didiskripsikan dalam etnografi merupakan makna-makna yang hidup dalam masyarakat yang diteliti, atau atas dasar makna yang diberikan oleh orang-orang yang diteliti.
            Menurut penulis, walaupun ahli-ahli antropologi menggunakan istilah yang bermacam-macam namun dalam hal metode penelitian mereka menerapkan prosedur-prosedur yang pada garis besarnya adalah sama, jikapun berbeda maka perbedaan tersebut tidak begitu besar dan merupakan penyesuaian terhadap situasi yang ditemukan di lapangan.
            Berdasarkan implikasi-implikasi yang diuraikan dalam masalah-masalah antropologi, penulis menggolongkan dalam tiga kelompok yaitu kelompok pertama dalam etnosains lebih menekankan pada upaya mengungkap model-model yang digunakan masyarakat untuk mengklasifikasikan lingkungan atau situasi sosial yang dihadapi.pada akhirnya akan mengungkap prinsip-prinsip yang digunakan anggota masyarakat yang menjadi landasan perikaku mereka. Karenanya, peneliti akan terkesan pada beberapa istilah-istilah seperti barang rongsokan, kertas, plastik, koran, karton, dan sebagainya (hlm.118). Melalui suatu wawancara dalam etnosains, lalu diperoleh suatu bentuk kategorisasi-kategorisasi menurut masyarakat yang diteliti. kelompok ini juga menekankan pada pengkajian yang bertujuan untuk mengetahui gejala-gejala materi mana yang dianggap penting oleh warga masyarakat dan bagaimana mereka mengorganisir berbagai gejala tersebut dalam sistem pengetahuan mereka (halaman 108 paragraf 2). 
            Di dalamnya terdapat pengklasifikasian oleh masyarakat sendiri dalam mereka menghadapi lingkungan dan hasil akhirnya adalah peta kognitif. Prinsip-prinsip universal yang dihasilkan dilakukan dengan sistem perbandingan. Kelompok kedua menekankan pada aturan-aturan. Kelompok ini memberikan perhatian lebih pada kategori-kategori yang dipakai dalam interaksi sosial serta hak-hak dan kewajiban. Seperti halnya kelompok pertama, prinsip-prinsip universal juga dihasilkan melalui sistem perbandingan. Kelompok yang ketiga atau yang g terakhir memandang kebudayaan sebagai alat atau sarana yang dipakai untuk “perceiving” dan “dealing with circumstances”. Penekanan peneliti pada kelompok ini adalah pada makna-makna yang hidup dalam suatu masyarakat atau subkultur tertentu, yang juga dilakukan oleh kelompok pertama dan kedua namun tidak diungkapkan secara eksplisit, dan kemudian hasil akhirnya adalah tema-tema budaya. Ada empat cara yang yang menurut Spradley dapat digunakan dalam mendapatkan tema-tema budaya. Pertama, setelah mendapatkan berbagai macam kategorisasi, peneliti membaca kembali data tersebut dan kemudian melihat kaitan antar berbagai macam kategorisasi.
            Kelompok kedua lebih mengarahkan perhatiannya pada rule atau aturan-aturan. Masih tetap menggunakan kategorisasi-kategorisasi seperti pada kelompok pertama, tetapi lebih banyak ditujukan pada kategori-kategori sosial yang dipakai dalam interaksi sosial (hlm.108). Mengikuti Goudenough deskripsi tentang aturan-aturan yang menyangkut berbagai interaksi sosial akan membawa pada pengkajian konsep kedudukan dan peranan. Hubungan sosial menyangkut hubungan antara dua pihak yang dibatasi oleh serangkaian hak dan kewajiban seseorang terhadap orang lain. Metode descriptive semantics dengan menggunakan Guttman Scale digunakan untuk mengetahui distribusi hak dan kewajiban dalam berbagai hubungan sosial dalam masyarakat. Etnografi Goudenough yang diperoleh melalui penelitiannya yang mewawancarai salah satu warga masyarakat Truk, seperti dikutip penulis artikel ini, sangat membantu kita dalam memahami model kategorisasi salah satu warga yang mendiskripsikan masyarakatnya secara luas (hlm.108,120-121).
            Kelompok ini juga memperhatikan dimensi-dimensi kontras dan melihat persamaan yang ada. Ketiga adalah dengan menganalisis secara mendalam sistem kategorisasi mengenai cara-cara atau langkah-langkah yang dijalankan oleh si informan dalam suatu kegiatan tertentu. Dan yang terakhir adalah menggambarkan hubungan-hubungan yang ada antar berbagai bidang tertentu dari kebudayaan yang diteliti. Seperti pada kelompok kedua, kelompok ini juga memperhatikan sistem klasifikasi yang ada di masyarakat menggunakan landasan teori tentang makna. Berbeda dengan kelompok pertama dan kedua, kelompok terakhir ini mencari prinsip-prinsip universal melalui pemahaman secara mendalam atas sesuatu hal.
            Kelompok ketiga menekankan pada makna-makna yang hidup dalam suatu masyarakat atau sub-kultur tertentu, lalu mengusahakan mengungkapkan tema-tema budaya (cultural themes) yang ada di dalamnya. Meski kelompok pertama dan kedua juga mempelajari tentang makna, tetapi pada kelompok ketiga ini cara pengungkapan maknanya lebih eksplisit.
            Etnometodologi, menurut penulis dasar pendekatan ini dimulai dari filsafat fenomenologi transedental Husserl yang memusatkan perhatian pada kesadaran sama seperti fenomenologi eksistensial. Fenomenologi transedental berupaya untuk menggambarkan kesadaran manusia serta bagaimana kesadaran tersebut terbentuk atau muncul dan tidak dipersoalkan apakah kesadaran ini benar atau salah.

            Etnometodologi adalah suatu aliran sosiologi Amerika yang muncul pada tahun 1960-an. Pada awalnya aliran ini berasal dari kampus-kampus California, lalu menyebar ke beberapa universitas di Amerika, dan akhirnya ke Eropa, khususnya di Inggris dan Jerman. Seperti diakui Coulon (2008) bahwa pentingnya etnometodologi disebabkan oleh dua hal. Pertama, dari sudut teori dan epistemologi, etnometodologi sangat berbeda dengan cara berpikir sosiologi tradisonal. Kedua, etnometodologi merupakan suatu wawasan penelitian (une perspective de recherche), suatu sikap intelektual baru (Coulon 2008:v).
            Untuk menjelaskan tentang etnometodologi, penulis lebih banyak mengutip pendangan-pandangan para ahli tentang pendekatan tersebut. Penulis mengutip pendapat Goodenough yang menyatakan bahwa phenomenal order adalah peristiwa-peristiwa atau pola-pola tingkah-laku yang diamati. Kesadaran memiliki dua aspek yaitu proses sadar dan obyek dari kesadaran tersebut. Dan hal ini berkaitan dengan maksud dari orang tersebut yang nantinya akan memberi makna pada obyek yang dihadapi. Makna itu selalu diarahkan pada bidang kehidupan yang juga ada orang-orang lain di dalamnya yang saling berhubungan dan menjadi apa yang disebut intersubjective dimana terjadi timbal balik perspektif. Dari pengalaman pribadi dan pengalaman orang lain ini kemudian menjadi pengalaman bersama. Dreitzel menegaskan bahwa makna yang diberikan oleh orang-orang yang terlibat dalam interaksi tersebut, bagaimana makna itu muncul, dimiliki bersama serta dipertahankan untuk selama jangka waktu tertentu dan bagaimana kenyataan sehari-hari yang selalu berbeda-beda dipandang sebagai hal-hal yang wajar, biasa dan nyata bagi mereka yang menghadapinya. Karena dipandang sebagai hal-hal yang wajar, biasa dan nyata kemudian ini disebut sebagai natural attitude. Jadi bisa dikatakan bahwa Etnometodologi berdasarkan pada maksud. Sejarah hidup sangat mempengaruhi hal-hal tersebut, jadi landasan kedua dari etnometodologi adalah konsepnya tentang natural attitude.
            Pendapat lainnya yang dikutip penulis adalah konsepsi Schutz, yang menyatakan bahwa interaksi sosial merupakan proses interpretasi yang terus-menerus ini kemudian membangkitkan permasalahan dalam etnometodolgi tentang bagaimana interpretive procedures digunakan untuk memahami dan membangun interaksi sosial. Selanjutnya, ide-ide ini lalu mempengaruhi Harold Garfinkel, seorang ahli sosiologi, yang selanjutnya dikenal pula sebagai pelopor etnometodologi. Pada intinya, idenya menyangkut masalah bagaimana proses terjadinya suatu proses interaksi sosial (hlm.114).
            Berdasarkan upaya perbandingan yang telah dilakukan oleh penulis dalam artikel ini, bisa disimpulkan ada empat persamaan antara etnosains dan etnometodologi yaitu: Pertama, keduanya sama-sama menggunakan bahasa atau pernyataan-pernyataan yang diucapkan oleh orang yang diteliti sebagai bahan untuk analisis. Kedua, keduanya sama-sama terlibat dalam relativisme budaya sebab salah satunya tidak menyatakan bahwa satu kebudayaan lebih tinggi dari kebudayaan lainnya. Ketiga, baik etnometodologi dan sebagian etnosciencetist berusaha mendapatkan aturan-aturan yang mendasari tingkah laku manusia, dengan caranya masing-masing. Keempat, bahwa keduanya berangkat dari asumsi yang sama tentang manusia, bahwa manusia pada dasarnya memberikan makna terhadap gejala yang dihadapi. Pemberian makna terhadap situasi inilah yang membedakan manusia dengan binatang.
            Sedangkan perbedaan dari kedua pendekatan ini, menurut penulis adalah antara keduanya adalah bahwa etnosains lebih banyak memperhatikan komponen-komponen yang ada dalam sistem pengetahuan si pelaku, sedangkan etnometodologi lebih menyibukkan diri dengan usaha untuk menemukan “basic features (essence, perhaps) of everyday interaction so that the problem of how meanings are constructed and how social reality…”(hlm.128).
            Menurut saya, artikel ini menjadi lebih menarik karena penulis tidak sekedar meramaikan perdebatan tentang etnosains dan etnometodologi yang telah ada, namun juga menunjukkan keberpihakannya pada pengembangan pemikiran teoritis dan metodologis disiplinnya untuk kemajuan ilmu itu sendiri.
            Melalui artikel ini, perspektif etnosains sepertinya sangat sesuai diterapkan di Indonesia untuk mengungkap tentang nilai-nilai, aturan-aturan, pandangan hidup serta berbagai kebiasaan yang ada di tengah masyarakat. Meski penulis mengakui bahwa etnosains bukan satu-satunya perspektif yang dapat turut mensukseskan pembangunan, namun pengetahuan mengenai sistem ide suatu masyarakat sangat penting bagi perencanaan pembangunan. Penulis juga menegaskan, jika menginginkan suatu upaya pembangunan yang manusiawi dan secara etika menghargai pandangan-pandangan dan sistem pengetahuan masyarakat yang menjadi sasaran pembangunan, maka perspektif etnosains tidak bisa diabaikan.
            Mengakhiri review ini, menurut pandangan saya, kelebihan utama artikel ini adalah cara penyajian yang sangat sistematis dan runut tentang asumsi dasar kedua pendekatan, sehingga sangat mudah dimengerti dan dipahami oleh pembaca. Kelebihan lainnya artikel ini menyajikan perdebatan di antara kedua pendekatan, termasuk argumen-argumen dan pandangan-pandangan dari masing-masing pihak pendukungnya. Selain itu, kekayaan referensi yang ditunjukkan penulisnya memberi bobot yang bermakna bagi artikel ini.
            Beberapa tanggapan atas kritik yang ditujukan pada etnosains dijelaskan penulisnya dengan mengemukakan argumen-argumen logis dan pemaparan yang singkat tetapi langsung pada inti persoalan. Di samping kelebihan lainnya yaitu pengutipan yang dilakukan penulis tentang pendapat atau pandangan atas suatu permasalahan yang dikutip langsung dari sumber aslinya. Hal ini menunjukkan orisinalitas pustaka sekaligus meminimalisir kekeliruan dalam memahami pandangan dari penulis aslinya.
            Namun kutipan langsung yang dilakukan penulis tanpa diikuti penafsiran, tentu akan menyulitkan sebagian pembaca yang tidak memahami bahasa Inggris dengan baik dan benar, kesulitan terutama dalam mengambil makna dan maksud yang hendak disampaikan. Hal ini menjadi satu kelemahan dari artikel ini, walaupun secara umum artikel ini sangat begitu mudah dipahami.


DAFTAR PUSTAKA

§  Ahimsa-Putra, H.S. 1985. “Etnosains dan Etnometodologi: Sebuah Perbandingan” dalam “Masyarakat Indonesia” Majalah Ilmu-ilmu Sosial Indonesia. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jilid XII Nomor 2. Hlm.103-133

§  Coulon, A. 2008. Etnometodologi. Jakarta: Lengge. Kerjasama Kelompok Kajian Studi Kultural (KKSK) Jakarta dan Yayasan Lengge Mataram.

§  Soeseno, Slamet. 1993. Teknik Penulisan Ilmiah Populer, Kiat Menulis Nonfiksi untuk Majalah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

§  Spradley, J.P. 1997. Metode Etnografi. Terj. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makna Tahlilan

  PROSESI DAN MAKNA TAHLILAN DI DESA KLORON PLERET BANTUL SETIONO    A.    Latar Belakang Tahlilan sangat erat sekali kaitannya de...