Rabu, 27 November 2019

IDEOLOGI ULTRA-KONSERVATIF DI MEDIA SOSIAL



PENYEBARAN IDEOLOGI ULTRA-KONSERVATIF DI MEDIA SOSIAL

 SETIONO 


Perkembangan zaman dan arus globalisasi yang nampak begitu pesat tidak dapat dibendung lagi, bahkan sekat-sekat interakasi terasa sempit dan tanpa batas. Dengan pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi (HP, TV, Internet dan sebagainya) telah mempengaruhi pola hidup masyarakat, hingga masyarakat tradisional mengalami perubahan ke arah masyarakat yang lebih modern. Tentu kemajuan teknologi menyebabkan perubahan-perubahan yang begitu signifikan pada kehidupan masyarakat dengan segala peradaban dan kebudayaan yang baru.
Perubahan tersebut juga memberikan dampak dan mempengaruhi pola-pola interaksi serta perubahan transformasi nilai-nilai yang ada di masyarakat. Komunikasi yang terjadi saat ini semakin mudah dengan kemajuan teknologi melalui media sosial seperti WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter, Youtube, Google dan sebagainya. Sebagai salah satu media komunikasi, media sosial tidak hanya dimanfaatkan untuk memberikan informasi dan ide-ide, tetapi juga ekspresi diri, pencitraan diri, bahkan untuk update status terbaik yang memiliki inforamasi dan inspiratif.
Namun, di saat perkembangan media sosial yang cukup pesat, justru akar permasalahan dari persoalan-persoalan yang akhir-akhir ini terjadi. Seperti mengenai disintegrasi bangsa, karena melalui media sosial banyak kalangan yang kurang bijak dalam memanfaatkan dan menyalahgunakannya untuk menebar kebohongan (berita hoax), ujaran kebencian, hujatan dan hasutan hingga paham radikal. Hal-hal tersebut yang dapat menjadikan masyarakat memiliki pikiran yang cenderung apatis terhadap kehidupan sosial, bahkan tidak peduli dengan adanya tindakan kejahatan.
Hal ini menggambarkan bahwa pengguna internet dan media sosial memiliki keterhubungan yang cukup signifikan dalam pesan-pesan yang dikonsumsi sehingga mereka percaya terhadap pesan-pesan tersebut. Dalam hal ini, teori stimulus-respon bisa melihat keterhubungan tersebut. Karena teori ini berbicara pada di mana efek merupakan reaksi terhadap stimulus tertentu. Seseorang dapat menjelaskan suatu kaitan erat antara pesan-pesan media dan reaksi audience (McQuail, 1994). Dennis McQuail menjelaskan elemen utama dari teori ini adalah pesan (stimulus), seorang penerima atau receiver (organisme) dan efek (respon).
Kita ketahui bahwa media sosial juga memiliki pengaruh yang besar untuk tatanan kehidupan masyarakat, apalagi dengan adanya internet yang mudah diakses oleh siapapun. Bahkan gerakan-gerakan radikalisme dan extrimisme justru banyak menggunakan media sosial untuk dakwah dan menyebarakan ideologi. Meski tidak hanya gerakan radikalisme yang memanfaatkan media sosial, namun banyak media sosial digunakan organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah. Namun, pada realitanya gerakan-gerakan radikalisme banyak memiliki pengaruh di media sosial, tidak hanya melalui situs-situsnya yang menebar hasutan, ujaran kebencian dan syiar-syiar yang cenderung mengarah pada gerakan kekerasan.
Ajakan-ajakan jihad untuk membantu orang-orang yang tertindas dan kebencian terhadap pemerintahan di negara mereka tinggal secara jelas nampak dalam ulasan mereka. Pembahasan terkait aqidah dan muamalah juga sangat tekstual dalam menafsirkan al-Quran dan hadits, sering kali mereka menulis kata-kata kafir dan menjastifikasi kufar pada orang atau sekelompok orang yang tidak sejalan dengan pemikirannya atau ajarannya. Hal demikian, dapat mengubah pola pikir pembaca ataupun pendengar menuju kebencian. Kalimat-kalimat tersebut dapat mempengaruhi pembaca untuk pembenaran dalam melakukan aksi ataupun tindakan extrimisme maupun terorisme. Sehingga dapat dikatakan bahwa media sosial sangat memiliki pengaruh yang besar dalam mengubah nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, bahkan mudah menghasut masyarakat untuk bertindak anarkis atas nama agama.
Catatan Kritis :
Meskipun arus media sosial tidak dapat dibendung dan tidak semuanya bisa terawasi. Tentu kita sebagai pengguna harus pandai-pandai atau harus bijak dalam menggunakan media sosial dan menyaring informasi secara baik. Sebab, media sosial akhir-akhir ini pada pertumbuhannya justru banyak informasi-informasi yang tidak benar (hoax), banyaknya ujaran kebencian, hasutan-hasutan untuk bertindak rasis, anarkis, extrimisme dan sebagainya. Hal demikian dapat merusak eksistensi diri kita bahkan bangsa dan negara kita. Karena media sosial juga dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki faham radikal untuk menyuarakan ajaran-ajarannya. Bahkan banyak sekali para pengguna atau pencari informasi di media sosial tanpa dibarengi dengan ilmu agama yang cukup, sehingga hal itu bisa berpengaruh pada pembaca untuk bertindak extrimisme maupun terorisme.

Wanita dan Radikalisme


WANITA DAN RADIKALISME

SETIONO 

Indonesia sebagai negara yang penuh dengan keragaman suku, budaya, bahasa, dan agama. Hal itu membuat istimewa Indonesia, namun dengan keragaman yang begitu banyak disatu sisi bisa membawa dampak posistif yaitu pada nilai-nilai persatuan dan kesatuan maupun nilai kegotong royongan, disisi lain keragaman itu bisa berdampak negative, jika setiap individu dan kelompok memiliki sikap sentiment terhadap perbedaan, baik atas nama agama maupun kelompok. Hal itu dapat memicu sikap rasisme, extremisme dan bahkan sikap radikalisme.
Indonesia saat ini cukup rentan terhadap gerakan extremisme dan radikalisme, khusunya pada kaum perempuan. Dengan budaya patriarki di Indonesia yang memposisikan perempuan dalam posisi marginal dan subordinat. Maka perempuan Indonesia akan lebih mudah terpapar gerakan extreamisme maupun radikalisme, terutama perempuan di pedesaan dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang tidak memadai ataupun perempuan dengan pemahaman agama yang sedikit itu akan mudah terpengaruh oleh doktrin-doktrin yang mengarah pada sikap extreamisme dan radikalisme. Mengapa demikian, melihat hasil penelitian dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), bahwa aksi bom bunuh diri yang terjadi beberapa waktu terakhir ini, salah satu dari pelaku bom bunuh diri adalah perempuan yang bahkan mengikutsertakan keluarga atau anak-anaknya. Jika melihat fenomena tersebut, sebenarnya keterlibatan perempuan dalam jaringan radikalisme sudah lama terjadi. Namun, baru-baru ini saja kejadian tersebut terlihat.
Perempuan Indonesia dalam jaringan organisasi extreamisme dan radikalisme saat ini mulai melakukan aksi-aksi bom bunuh diri. Bahkan IPAC merilis laporan yang mengatakan bahwa setidaknya ada 50 pekerja rumah tangga perempuan Indonesia di Asia Timur-kebanyakan dari mereka tinggal di Hong Kong-menjadi radikal dan ikut dalam kelompok diskusi extreamis. Artinya perempuan yang bekerja di luar negeri sangat rentan untuk terpapar dan terlibat dalam jaringan organisasi extreamis. Sebab dengan minimnya pengetahuan agama dan dengan doktrin-doktrin yang diberikan oleh organisasi extreamis dapat mengubah pola pikir dan pemaham mereka terhadap agama maupun pemerintah. Seperti kejadian dua WNI yang di deportasi yaitu pekerja rumah tangga perempuan yang terindikasi terlibat dalam jaringan radikalisme ISIS, artinya hal ini menunjukkan semakin rentannya pembantu rumah tangga yang bekerja di luar negeri terhadap ancaman radikalisasi dan terlibat dalam aksi terorisme. Hal itu semakin mengkhawatirkan keamanan dan cukup menantang bagi keamanan di Indonesia.
Perempuan yang sejatinya memiliki peran penting dalam keluarga untuk peningkatan nilai-nilai dan norma-norma yang baik, namun sangat rentan karena jaringan organisasi extreamis dan radikal memfokuskan pada perempuan agar terlibat dalam gerakannya. Jika melihat fenomena diatas, bahwa perempuan terlibat karena ketidaktahuannya dan minimnya pemahaman agama yang dimilikinya. Kendati bahwa perempuan juga dapat menjadi agen dalam pencegahan extreamis dan radikalisasi melalui keluarga. Karena perempuan memiliki sikap yang bijak dan lembut. Namun, pemerintah juga harus melakukan upaya-upaya preventif yang lebih di fokuskan pada perempuan, khususnya mereka yang akan bekerja di luar negeri. Tidak hanya itu, pemerintah harus memiliki program yang bisa mencegah terjadi gerakan extreamisme dan radikalisme, meskipun sudah ada undang-undang yang mengaturnya, namun jika tidak adanya kesadaran dan kerja sama dengan para stakeholder maka upaya tersebut tidak akan berjalan optimal. Dengan demikian, perlu adanya sinergisitas antar lembaga atau stakeholder yang terkait.


Kamis, 11 April 2019

Globalization and culturally relevant social work


Globalization and culturally relevant social work: African perspectives on indigenization

Setiono
(sebuah refleksi)

Globalisasi merupakan suatu proses integrasi global dimana berbagai bangsa, ekonomi, sosial, budaya dan proses-proses politik semakin terkena pengaruh internasional. Kemajuan zaman yang semakin pesat mendorong proses globalisasi. Faktanya kita terlibat dalam kegiatan-kegiatan internasional, namun sedikit menyadari bahwa mereka hidup dalam dunia yang saling tergantung, dan implikasi panjang dari globalisasi. Dengan adanya proses globalisasi atau internasionalisasi yang pada akhirnya memunculkan sebuah wacana tentang indegenisasi dalam pekerjaan sosial.
Wacana indegenisasi tidak berupaya mempromosikan kepatuhan buta terhadap struktur budaya dan pribumisasi. Asumsi dasarnya adalah bahwa aplikasi  pekerjaan sosial asing dan proses terkait tidak berhasil, sehingga memunculkan paradigma baru. Karena itu, pribumisasi mewujudkan perubahan sosial yang progresif dan fakta bahwa warisan budaya selalu berubah disamping persepsi dan lingkungan.
Perspektif indegenisasi tidak berarti pekerjaan sosial dalam masyarakat Afrika harus didasarkan pada apa yang disebut nilai tradisional atau primitf. Karena praktik dari pekerjaan sosial harus mencerminkan input dan proses yang bermakna bagi lokalitas. Sekarang ini pekerjaan sosial telah terbentuk sebagai profesi dibanyak bagian dunia. Pekerja sosial tumbuh dengan pesat dan sekarang dikenal diberbagai Negara. Maka pekerja sosial perlu untuk lebih terlibat dalam kesejahteraan sosial internasional, karena ada keuntungan untuk hal tersebut. Dengan mendapatkan perspeketif global, para pekerja sosial dapat meningkatkan pengetahuan teoritis dan praktis. Selain itu juga, akan meningkatkan perkembangan professional dan memperkuat kemampuan pekerja sosial untuk menanggapi secara lebih efektif pada masalah-masalah sosial, baik di tingkat nasional maupun internasional. Dengan demikian, pendidikan dan praktik pekerja sosial atau relevansi pekerja sosial harus senantiasa menyadari pentingnya multikulturalisme (keragaman), karena pekerja sosial akan selalu bekerja atau dihadapkan dengan orang dari berbagai latar belakang Negara, budaya, etnik dan sosial.

Globalization


Globalization, Contemporary Challenges and Social Work Practice

Setiono

Globalisasi sebagai bentuk paradigma sejarah sekaligus sebuah tren ekonomi, budaya, degradasi lingkungan dan politik telah memberi pengaruh yang signifikan terhadap struktur sosial dan tingkat kesejahteraan manusia bahkan menjadi tantangan bagi para praktisi pekerja sosial. Ada pengaruh yang bersifat positif, seperti tersedianya informasi yang mudah diakses secara cepat, mudah, dan ekonomis serta terjalinnya hubungan antar manusia berkat tersedianya jaringan komunikasi dan transaksi global. Namun, ada pula pengaruh yang bersifat negative, seperti persaingan sosial, budaya, agama, politik, dan bisnis. Menguatnya sentimen antar suku, ras, agama, dan bangsa-bangsa di beberapa tempat, serta melebarnya kesenjangan dan ketimpangan ekonomi antara yang kuasa dengan yang lemah. Selain itu pula, bahwa globalisasi dengan visi multikultural dan berbagai keyakinan (multi-religius) adakalanya dianggap dapat mengancam berbagai identitas lokal dan primordial. Tidak sedikit orang yang mengalami krisis identitas dan kehilangan orientasi nilai-nilai, moral, etika, dan spiritual.
Globalisasi mampu mengubah pola hidup masyarakat, bahkan mereka bisa berada dalam ranah kekosongan, jika mereka tidak mampu membendungnya. Maka hal itu menjadi sebuah tantangan baik bagi masyarakat pribumi maupun para praktisi pekerja sosial. Karena globalisasi telah memberi pengaruh yang besar pada semua aspek kehidupan. Dengan perkembangan globalisasi, berbagai kemajuan telah nyata, namun dampak dari globalisasi telah menjadi hal yang serius untuk dibenahi. Sebab, dengan adanya globalisasi arus hubungan dan aktivitas tidak lagi tanpa batas. Peningkatan interaksi ini lah yang kemudian memberikan kontribusi atas terciptanya situasi saling ketergantungan antar bangsa. Jika hal demikian diaplikasikan dalam konteks Indonesia, tentu akan terbentuk masyarakat yang modernis, namun dampak dari semua itu akan menjadi hal yang mengkhawatirkan, karena akan terjadi degradasi moral, radikalisasi, sentimen dari berbagai kalangan, bahkan bisa melunturkan persatuan dan kesatuan bangsa. Sebab, bangsa Indonesia adalah bangsa yang erat akan nilai gotong royongnya, bangsa yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras dan adat istiadat yang berbeda-beda. Dengan demikian, globalisasi menjadi tantangan besar bagi suatu bangsa, khususnya para praktisi pekerja sosial untuk menyelesaikan berbagai fenomena-fenomena dan masalah sosial akibat dari dampak globalisasi tersebut.

Senin, 14 Januari 2019

Sosiologi Islam : Pengetahuan, Kekuasaan dan Kesopanan (Menilik Pemikiran Armando Salvatore)


The Sociology of Islam : Knowledge, Power, and Civilty
Sosiologi sebagai disiplin ilmu yang mempelajarai interaksi manusia, sejatinya mencakup ruang lingkup yang luas. Segala sesuatu yag dilakukan oleh manusia dalam hubungannya dengan manusia lain dipandang sebagai wilayah kepentingan analisis sosiologi. Oleh karena itu, selain sebagai disiplin ilmu yang luas, sosiologi pun dipandang memiliki nilai strategis bagi pengembangan dan penataan kehidupan manusia. Hal ini disebabkan, karena  eksistensi manusia akan lebih terlihat dalam kebersamaannya dengan manusia lain. Kualitas manusia dan kemanusiaannya lebih banyak diuji dalam interaksi sosialnya. Teori-teori sosiologi yang dikembangkan didunia pendidikan saat ini dibangun atas dasar pengalaman masyarakat barat. Pada umumnya, mereka memperlakukan agama, termasuk Islam sebagai salah satu dari institusi-institusi dalam masyarakat. Padahal bagi kaum muslim, Islam bukan sekedar satu diantara sekian institusi, melainkan ideologi yang dipandang menentukan totalitas kehidupan muslim.
Sosiologi juga merupakan sebuah metode dalam ilmu sosial dan sebagai disiplin ilmu yang berinterkasi dengan beberapa subdivisi dan dimensi kemanusiaan, terutama dengan filsafat dan sejarah. Salah satu ciri utama sosiologi adalah kebangkitannya sebagai cerminan ilmiah dari proses modern, konstitutif dan transformatif. Ini adalah disiplin yang tidak hanya meneliti, akan tetapi juga menjelaskan tentang masyarakat modern dan asal-usulnya. Bagaimana kita memahami modernitas mungkin lebih bergantung pada pemahaman dan definisi sosiologi tentang istilah tersebut daripada karya sejarawan atau filsuf. Sementara Sosiologi memilki fokus yang kuat pada modernitas, disiplin ini sering memungkinkan gelombang-gelombang pembongkaran transdisipliner menuju cakrawala keilmuan lain.
Bourdieu dan Wacquant mengatakan bahwa langkah ini bertepatan dengan perubahan refleksif dalam sosiologi yang dipimpin oleh inisiatif beberapa penulis baik di jantung sosiologi sebagai disiplin akademis maupun pada marginnya, sering menggunakan paradigma yang lebih mengkontekstualisasikan karya-karya mereka dan biografi intelektual. Sementara 'pergantian refleksif' ini tidak dapat dianggap sebagai perwakilan dari disiplin yang lain secara utuh, itu pasti akan mempengaruhi, jika bukan asal-usul dari Sosiologi Islam. Alasan mengapa sosiologi Islam cocok dengan pergantian refleksif, karena tantangan awal bahwa studi tentang Islam telah disajikan untuk memadatkan kategori sosiologis, termasuk modernitas. Selama abad ke-19 beragam disiplin ilmu yang menargetkan studi yang semakin komparatif terhadap agama, budaya (terutama bahasa), dan peradaban telah membangun Islam sebagai kontra-model yang kuat namun tidak secara eksplisit mewakili potensi resistensi, baik dalam sejarah dan masa kini, bagaimana modernitas Barat menundukkan dan menyesuaikan kekuatan tradisi agama.
A.  Max Weber
Max Weber merupakan salah satu bapak sosiologi yang memperjuangkan gagasan mengenai rasionalisasi perilaku hidup sebagai kunci universal akses modernitas kapitalisme dan birokrasi negara. Weber pada dasarnya memandang kekuasaan sebagai mesin dasar hubungan manusia sebagai instrumental. Sejalan dengan itu, ia memahami modernitas sebagai tahap perkembangan manusia di mana instrumental sebagai hubungan kekuasaan, khususnya di barat. Instrumentalisasi ini sangat jelas dalam proses yang disebutnya sebagai "rasionalisasi." Prosesnya, yang merupakan tempat lahirnya adalah Eropa Utara-Barat, keduanya memiliki sistem ekonomi dalam bentuk kapitalisme dan kekuasaan politik yang berkedok birokrasi. Alat utama rasionalisasi instrumental ini terdiri dari kepercayaan pada kalkulatif. Hal ini menghasilkan optimalisasi kekuasaan instrumental yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang diukur dalam hal output produksi ekonomi dan keefektifan tatanan hukum.
Weber lebih tertarik pada proses kekuasaan yang diperintahkan oleh para elit sosial dalam mengendalikan kekayaan dan kekerasan yang dilawan dan sebagian besar ditundukkan di berbagai masyarakat sejak jaman dahulu. Perlawanan ini dikaitkan dengan produksi budaya pengetahuan dan makna melalui intelektual dan ilmiah. Di sinilah tradisi agama memasuki tahap pusat sosiologi Weberian. Ajaran dan praktik yang memberikan instruksi tentang keselamatan manusia dan pembebasan dari dinamika seperti kekuasaan belaka, dan telah mengantarkan dalam bentuk-bentuk yang tidak material, namun berbasis pengetahuan dan kekuasaan sebagai alternatif. Proses terakhir ini juga harus dipahami, menurut Weber, sebagai rasionalisasi, meskipun berorientasi pada penyempurnaan apa yang ia sebut nilai-nilai budaya daripada kekuasaan semata. Salah satu hubungan utama di mana para elit budaya menundukkan kekuasaan adalah dengan mendefinisikan proses yang sah dengan memberlakukan nilai-nilai agama dan budaya.
Dengan cara ini para elit, sering bertindak untuk memperoleh kekuasaan sebagai bentuk otoritas yang dapat diterima secara sosial dan politik. Mereka telah melegitimasi diri mereka sendiri dan memperoleh legitimasi penguasa. Para elit budaya (yang didefinisikan sebagai elit yang bertanggung jawab atas produksi pengetahuan) mungkin tidak memahami proses ini dalam hal rasionalisasi, yang memang merupakan label konseptual yang diperolehnya melalui perspektif Weber. Namun tampaknya masuk akal bahwa para elit menyatakan pengetahuan sebagai legitimasi kekuasaan dengan mengambil peran utama — dalam cara yang cukup sadar — dalam definisi otoritatifnya.
Namun, orang akan salah memahami perspektifnya Weber jika tidak mengaitkannya dengan argumennya yang lebih luas. Dia bermaksud menjelaskan kemajuan dalam rasionalisasi kekuasaan sebagai faktor sosial otonom yang mirip dengan modernitas secara universal. Hal ini berlaku khususnya untuk negara modern yang semakin sekuler dan untuk pembangunan kapitalis yang dipromosikan oleh negara. Tetapi inti dari penjelasan Weber adalah untuk menyoroti suatu kebetulan, dan sampai batas tertentu, pengembangan, atau lebih tepatnya metamorfosis. Proses ini berlangsung di tingkat budaya dan agama yang lebih spesifik. Model rasionalitas kejayaan ini secara eksklusif dipandu oleh pengejaran kekayaan murni (yang dapat kita lihat sebagai bentuk kekuasaan yang lebih cair, namun juga simbolis efektif,) melalui perhitungan (kapitalisme) dan regulasi (birokrasi).
Begitu dinamika rasionalisasi tersebut telah digerakkan, dorongan agama yang memberi jalan kepada sekularisasi. "Semangat kapitalisme", Weber menjelaskan sebagai produk dari Etika Protestan tidak lagi membutuhkan kebajikan agama. Namun, perbedaan Weberian antara pola rasionalisasi modern dan premodern tetap menjadi sumber utama untuk menangani proses yang lebih luas penjelasannya mengenai komitmen sosiologi dari ilmu sosial modern lainnya, yaitu transformasi masyarakat dari panggung yang didominasi oleh tradisi ke fase modernitas. Sebab, tradisi dan modernitas bekerja sebagai kutub yang bertentangan dalam wacana sosiologis. Sebuah tradisi pada umumnya diidentifikasi dengan praktik keagamaan dan doktrin. Namun mereka juga melihat hubungan yang dinamis, bukan statis. Dua tokoh Sosiolog lainnya, yaitu Emile Durkheim dan Georg Simmel mengatakatan bahwa agama melintasi batas yang diakui antara tradisi dan modernitas. Berakar dalam konstruksi tradisional dari nilai-nilai budaya yang berbasis pengetahuan, agama ditransformasikan dan ditransmisikan ke masyarakat modern dengan cara menjadikannya sumber utama yang diperlukan dalam pola rasionalisasi modern itu sendiri, bahkan ketika tidak ada intervensi khusus dari etika agama Weberian.
B.  Bryan S Turner
Bryan S Turner berpendapat bahwa bentuk agama modern pada dasarnya menghilang daripada manifestasinya sebagai unsur dari kesopanan, sebagai penyedia yang disebut Durkheim sebagai 'moral kewarganegaraan'. Dengan kata lain, agama tidak hanya berada di sisi yang berlawanan dengan munculnya rasionalitas instrumental modern, individualisasi modern, dan solidaritas modern. Sekularitas itu sendiri merupakan kelanjutan agama dengan cara lain (yang lebih kuat), hal itu memanfaatkan, dan mentransformasi, bentuk agama yang kohesif murni agar bisa menghasilkan individu-individu yang bertanggung jawab yang berkomitmen pada pembagian sosial yang rasional dan pola solidaritas yang sesuai.
Hal itu merupakan perspektif sosiologi yang dinamis, bukan statis, tentang agama yang pada dasarnya memaksa untuk memperumit hubungan antara tradisi dan modernisme, dengan cara-cara yang melampaui para pemikir sebelumnya. Komplikasi ini seharusnya membantu menyusun ulang dan mempermudah gagasan agama dalam perspektif yang mengatasi analisis perbandingan perannya dalam berbagai masyarakat (Barat dan non-Barat). Sosiologi Islam berkontribusi besar dengan mengatasi kekhususan komitmen Islam dalam sejarah dan pada masa sekarang sebagai akar pada ajaran dan praktik agama serta kebutuhan melampaui keimanan. Kelahiran sosiologi Islam dapat ditelusuri kembali ke publikasi Weber dan Islam oleh Bryan S. Turner. Ini terjadi di pertengahan dasawarsa yang melihat jatuhnya teori modernisasi, munculnya reislamisasi, dan kritik global Orientalisme, yang pada tahun 1960-an telah dibatasi pada intervensi intelektual yang secara ketat terbingkai dalam anti-kolonial dan wacana pembebasan. Perspektif Turner tentang sosiologi Islam menangani perkembangan tumpang tindih dalam istilah Weberian ini. Namun, dari awal gagasan itu tidak begitu banyak menerapkan Weberian dan Islam, tetapi lebih kepada memperbaiki melalui ortodoksi 'Weberist' dengan mempelajari kompleksitas Islam sebagai agama, peradaban, dan matriks kompleks pengaturan sosial dan kelembagaan. Namun, muncul beberapa konsep paradigma teori sosiologis, seperti karisma, kohesi sosial, perkembangan sosial, dan rasionalisasi. Turner juga mengungkapkan pertanyaan terkait dengan bagaimana beberapa konseptualisasi yang cacat dalam korpus Weber mungkin berasal dari cara yang dilakukan oleh Heidelberg dengan warisan konseptual pemikir utama.
Armando Salvatore mengatakan bahwa Sosiologi Islam ini memperoleh relevansi yang kuat sepanjang tahun 1980-an, satu dekade yang menyaksikan pertentangan interpretatif yang serius (seringkali melalui prisma buram 'reislamisasi') tentang sifat hubungan antara agama, masyarakat, dan politik dalam konteks Muslim. Kontur sebuah 'misi' untuk Sosiologi Islam mulai terbentuk yaitu membantu sosiologi untuk membebaskan dirinya dari suatu 'dosa asal' yang sangat berpengaruh, yaitu keengganan untuk mengenali dinamisme sosial dan sipil dari artikulasi agama.
C.  Arah Pemikiran Armando Salvatore
Sosiologi Islam dapat membantu dalam mengangkat isu 'modernitas Islam' sebagai pertanyaan penelitian untuk mengejar dan tidak lagi sebagai sebuah oxymoron (tumpang tindih). Tidak mungkin seorang pemikir terkemuka seperti Michel Foucault telah mengunjungi Iran selama revolusi dan menyarankan bahwa mesin transformasi sejarah, 'roh' revolusi, telah meninggalkan Barat dan pindah ke Timur, mengadopsi Islam. Dalam sebuah perkembangan, kumpulan tulisan yang diterjemahkan oleh intelektual Islam Iran Ali Syari'ati, yang meninggal sesaat sebelum peristiwa revolusioner di negaranya, diterbitkan dengan judul The Sociology of Islam. Seseorang mulai mempertimbangkan dengan serius kemungkinan melihat munculnya potensi transformatif yang sesungguhnya dari masyarakat Islam, bahkan tanpa adanya faktor-faktor rasionalisasi modern yang telah bekerja di lintasan Barat. Islam tidak lagi statis tetapi 'bergerak.'
Kunci untuk menilai kembali agama sebagai gabungan pengetahuan dan kekuasaan yang diartikulasikan melalui prisma peradaban  adalah untuk membedakan antara gagasan kelembagaan agama, yang akhirnya bertepatan dengan otoritas, keyakinan, praktik, dan kreatif, dan dalam arti yang rasional dengan dorongan meta-institusional. Kekuatan kreatif ini termanifestasi dalam bentuk pengetahuan sosial yang memiliki kapasitas untuk menciptakan dan memulai tipe-tipe baru institusi manusia yang melayani berbagai kebutuhan sosial. Gagasan agama yang lebih kaya ini tidak dari penekanan pada pluralitas dan dimensi agama yang sinkretik tetapi lebih berfokus pada agama sebagai lembaga yang berpotensi universal, meta-institusional, dan kekuasaan berbasis pengetahuan.
Oleh karena itu Sosiologi Islam tidak hanya untuk masyarakat mayoritas Muslim dari pendekatan sosiologis Barat dengan cara agama pertama dibentuk dan kemudian berubah di dunia modern. Sosiologi Islam lebih menghargai ketegangan dan antinomi yang mendasari proyek sosiologis modernitas yang awalnya Barat, namun seiring waktu, dan peran ambivalen agama di dalamnya. Yang paling krusial di antara ketegangan semacam itu sangat berkaitan dengan dilema sosiologi yang belum terpecahkan dalam menghadapi tantangan Islam. Namun dari perspektif yang diilhami oleh berat dan kekayaan tertentu dari praktik dan interpretasi Muslim historis tentang agama, teori yang memprediksi baik privatisasi atau hilangnya agama cukup bermasalah dalam hal sosiologis.
Hal ini merupakan sebuah permasalahan bahkan jika kita merumuskan gagasan sekularisasi dalam hal pengungkung agama ke bidang masyarakat tertentu. Menurut Pierre Bourdie, hal ini merupakan 'bidang keagamaan.' Dalam pengertian ini bahwa Sosiologi Islam bukan hanya sosiologi agama atau peradaban tertentu tetapi sebuah intervensi dalam pertanyaan inti dan konsep sosiologi, ilmu sosial secara luas, dan humaniora. Sosiologi Islam harus menjadi pemicu yang dapat membuat proyek sosiologis menjadi lebih dialogis dan lebih berguna untuk mempertanggungjawabkan pola multikultural yang banyak bermunculan di dunia. Dengan mengintegrasikan Islam, sosiologi, bersama dengan sejumlah konsep-konsep yang berhasil dihasilkan dan disebarluaskan tidak tampak sama. Salvatore mengacu pada adopsi perspektif yang semakin refleksif, secara teoritis terinformasi, namun juga secara historis, pada interaksi antara ide dan praktik modernitas di Barat, Selatan, Timur, dan Asia Tenggara, dan ecumene Islam.
Namun, sementara Sosiologi Islam jelas mendapat manfaat dari mengadopsi perspektif komparatif dan fokus teoritis, itu tidak bisa sepenuhnya dilengkapi oleh keduanya. Sejauh ia mempelajari Islam sebagai komitmen kesalehan, sebagai gagasan tatanan moral dan sosial, dan sebagai ekumene historis yang melampaui batas-batas peradaban, sosiologi Islam pasti akan mengganggu postulat evolusionis yang melihat kehidupan modern dan masyarakat modern sebagai 'tradisi' yang tidak jelas. Postulat semacam itu terbukti tahan dalam memberikan tolok ukur untuk perbandingan sosial dan peradaban. Dalam pengertian ini, Sosiologi Islam menentang kebijaksanaan (universal) dan asumsi yang tidak perlu dipertanyakan tentang konsep-konsep inti sosiologi dan dengan demikian juga mempertanyakan nilai perbandingan sebagai Eurocentrism. Dalam perbandingan yang kecil dapat memiliki potensi heuristik dengan membantu membuka cakrawala baru analisis meta-institusional yang berorientasi untuk memahami cara kerja pengetahuan dan kekuasaan dan dengan itu apa yang kita sebut agama. Salvatore mengacu pada Islam sebagai 'ecumene.' Istilah ini hampir tidak digunakan dalam sosiologi dan harus dipertimbangkan baik dari peradaban dan komunitas. Jika konsep Islam dilihat dari ummah, yang dimaksudkan sebagai suatu badan kolektif 'anorganik' yang dapat membentuk konstelasi menjadi kelompok-kelompok kohesif pada tingkat lokal, translokal, dan global, itu akan menjadi 'ecumene.'
Dengan demikian, ia memiliki potensi untuk menyerap dan dinamisasi makna sosiologis dari peradaban dan masyarakat. Ecumene juga menunjukkan proses pembuatan peta yang diperlukan untuk konstitusi perhubungan global ini, mengingat fakta bahwa itu adalah sulit untuk mempertimbangkan ecumene sebagai pengendapan pada pusat eksklusif. Ekumenis Islam dipahami sebagai seperangkat pola normativitas dan kesopanan yang sangat mobile baik kohesi dan orientasi ke jaringan translokal dan berbagai lokal. Ecumene seperti itu memelihara kehidupan sosial dengan memfasilitasi dan melegitimasi mode untuk membangun institusi yang menyediakan berbagai kebutuhan sosial, dari kerjasama hingga pendidikan, dari kesehatan hingga produksi, dari penyediaan untuk orang miskin hingga pengkodean budaya, termasuk budaya pengadilan. Yang terakhir dapat berfungsi sebagai alat untuk memilih, menginstruksikan (atau menasihati) elit, dan menerapkan tata kelola.
Dekonstruksi radikal dari kategori-kategori Barat sering mengarah pada penghilangan kekuasaan dengan produksi pengetahuan yang terkait, tanpa mempertanyakan apakah dekonstruksi seperti itu benar-benar menantang pengertian sendiri tentang pengetahuan dan kekuasaan atau artikulasi itu sendiri dari pengetahuan – kekuasaan seperti yang terlihat dari perspektif hegemonik Barat. Yang paling menonjol di sini adalah karya Michel Foucault, inspirator dari beberapa kritik semacam itu dan penulis reformulasi populer definisi Barat tentang bagaimana pengetahuan dilipat menjadi kekuatan tanpa residu. Foucault membingkai persamaan pengetahuan-kekuasaan melalui prisma kekuatan historis dari disiplin Barat, kelembagaan, dan kekuatan subjektif yang ia temukan dalam serangkaian 'arkeologi' dan 'genealogi' brilian.
Pada akhirnya, sosiologi Islam tidak hanya memiliki potensi untuk memberikan koherensi terhadap gelombang baru, posorientalis studi historis dan kontemporer tentang Islam, tetapi juga dan bahkan lebih untuk kebijaksanaan konvensional sosiologi itu sendiri sebagai pertanda pemahaman diri yang tercerahkan masyarakat modern. Sosiologi Islam dapat melakukan kritik terhadap gagasan sosiologis modernitas yang dilakukan oleh perdebatan tentang posmodernisme dan poskolonialisme. Sudut kritis yang dibuka oleh sosiologi Islam di dalam penyelidikan dan teori sosiologis memungkinkan kita untuk tidak hanya melihat modernitas Barat seolah-olah dari marginnya tetapi juga untuk mengkritik gagasan itu sendiri dari inti modernitas dalam global yang berkembang pesat. Hal ini dimungkinkan karena Islam menyediakan, dalam sejarahnya tentang 'pembuatan peta' sebagai ekumene yang semakin transcivilizational, suatu perspektif alternatif pada tatanan semacam itu. Dengan cara ini, modernitas Barat dapat membebaskan dirinya sendiri dari ilusi-ilusinya karena dengan tradisi melalui suatu subjektivitas yang unik namun universal. Melalui jalan yang diprakarsai oleh sosiologi Islam, modernitas Barat itu sendiri dapat membuka diri terhadap konsepsi yang lebih pluralistik dan crosscivilizational dari masyarakat modern dan agen di dalamnya yang lebih cocok untuk menghadapi tantangan global, termasuk geopolitik yang jelas, meskipun lambat, sentralitas-gelap dari Barat.
Kekuatan meta-institusional membentuk realitas sosial bukan melalui solusi institusional yang siap pakai (seperti syariat yang sering disalah-artikan sebagai kode hukum yang siap untuk diterapkan) tetapi dengan memberdayakan aktor sosial untuk menggunakan waduk peradaban untuk secara kreatif membentuk solusi bagi masalah sosial berdasarkan keadaan khusus lokal dan usia. Sosiolog Islam, yang menjadi produk dari gelombang panjang modernisasi dan globalisasi, hanya bisa duduk di perbatasan peta untuk mengamati dan mendiagnosa keruwetan dan ketidakstabilan dalam gerakan kompas persegi yang diwakili oleh kekuatan Islam ini.
Jika kita menghubungkan perkembangan terbaru dalam gerakan Islam dengan hal-hal baru yang disebutkan di atas dalam teori sosiologis dan yang digerakkan oleh kritik Orientalisme, kita dapat meningkatkan pemahaman kita tentang imperatif untuk mengubah studi tentang Islam jauh dari dominan berorientasi teks. Metodologi untuk menganalisanya sebagai proses 'pemetaan' yang berkelanjutan. Proses ini digerakkan oleh aspirasi dan konflik yang dihasilkan oleh kompromi sosial dan ekspansi geopolitik, menarik dari wacana diskursif yang kaya dan mudah kita kaitkan dengan hanya satu, kata yang sebagian besar diaktifkan (namun masih bersifat dinamis), yaitu Islam . Menjadi kata benda verbal dari bentuk keempat dan dengan demikian memiliki kekuatan sentimentatif yang ditandai. Perhatian kontemporer yang dibayar oleh para pengamat terhadap keterlibatan sosial yang semakin kompleks dari gerakan-gerakan, kelompok-kelompok, dan asosiasi-asosiasi Islam, dari program-program dan visi-visi mereka, memungkinkan kita untuk melihat hanya puncak gunung es dari dinamika historis dan kontemporer yang dimanifestasikan oleh metafora. kekuatan institusional Islam. Dengan mengungkap keterlibatan rumit seperti itu di mana konfrontasi memenuhi asimilasi, sosiologi Islam dapat memainkan peran penting dalam mengembangkan studi tentang berbagai tradisi dan modernitas yang terjerat saat mempertimbangkan silsilah dan artikulasi non-Barat alternatif dari persamaan kekuasaan dan pengetahuan. Sudut ini mengubah perspektif komparatif dan memfasilitasi hubungan refleksif dengan agama, politik, dan sekularitas, sekarang dianggap bukan hanya sebagai medan yang dipadatkan tetapi sebagai arena pengetahuan dan kekuasaan yang kontroversial. Dalam prosesnya, Islam sebagai matriks keagamaan, meta-institusional yang terdiversifikasi, sebagai gagasan peradaban dan sebagai cetak biru kehidupan yang memfasilitasi pengabdian individual dan aspirasi kolektif, tidak lenyap dari panggung modern
Islam sebagai usaha pembuatan peta terbukti penting untuk menghidupkan proyek sosiologi Islam dengan cara yang tidak menumbangkan sosiologi dan teori sosial semata tetapi mendorong mereka ke arah yang lebih selaras dengan melemahnya sentralitas pemikiran sosial Barat pada skala global. Pendekatan ini juga lebih selaras dengan kesadaran yang muncul bahwa universalisme Barat telah mewakili perendaman sementara dari multi perspektif globalisasi sebelumnya pada agensi manusia dalam sejarah dunia.
Daripada sosiologi agama tertentu yang diterapkan pada Islam, sosiologi Islam mengeksplorasi cara pengetahuan dan kekuasaan berinteraksi untuk membentuk tradisi Islam dan transformasi mereka melalui pola sosiabilitas, tata krama, dan kesopanan yang 'membentuk konstelasi' menjadi bentuk kelembagaan yang paling lunak. Pola-pola ini dan bentuk-bentuk yang dihasilkan dianalisis sebagai peradaban khusus di satu sisi, tetapi juga sebagai kontribusi dan berbagi dalam suatu kesopanan global yang muncul, di sisi lain. Oleh karena itu sosiologi Islam dapat dilihat sebagai sosiologi komparatif dari agama dan kesopanan merupakan sifat yang mengeksplorasi mode membangun dan menghuni dunia sosio-budaya. Bentuk-bentuk semacam itu tidak bertentangan tetapi mempunyai rasa transendensi yang kuat, yang tidak dapat disangkal salah satu ciri dari apa yang kita sebut agama. Pandangan kesopanan ini harus mengimunisasi kita dari pemikiran dalam hal peradaban sebagai monolit budaya yang sederhana. Peradaban adalah kontingen dan bersaing dari proses peradaban, yang dimaksudkan sebagai transformasi di mana pola-pola kesopanan terbentuk dan tidak terselesaikan. Dengan ini tradisi keagamaan sering memainkan peran yang menentukan dalam melengkapi para praktisi dengan jenis pengetahuan yang secara meyakinkan dipelihara — meskipun tidak selalu lancar — proses peradaban yang lebih luas.
Perhatian khusus pada pengetahuan dan kekuasaan sebagai kunci koordinasi kesopanan, yang dihasilkan dari pelampiasan bersama mereka. Pengetahuan ada di mana-mana sebagai kekuatan, karena pengetahuan ada di dalam kekuasaan dan sebaliknya. Mereka tidak untuk menggunakan istilah ilmu pengetahuan sosial, variabel yang berbeda atau kekuatan yang bersaing dalam pembuatan ikatan sosial dan sipil. Mereka adalah metafora yang tidak sempurna dari dialektika manusia yang sedang berlangsung antara pemaksaan materi dan kohesi simbolis. Kedua alam ini tidak dapat dibatasi secara rapi dalam setiap kasus yang dianalisis. Kita harus lebih sadar bahwa apa yang merupakan konstelasi peradaban yang khas adalah contoh pertama, pengetahuan spesifik dalam kekuasaan. Hal ini sering terjadi dengan membedakan kekuasaan semata-matas dari kekuasaan yang sah. Proses definisi kekuasaan ini tercermin dalam hubungan antara penguasa dan administrator di satu sisi dan para ahli ulama dan agama di sisi lain. Dengan demikian foil ultimate dari program peradaban adalah cara tertentu untuk membatasi pengetahuan, kekuasaan dan kekuatan untuk mengatur.
DAFTAR PUSTAKA
Salvatore, Armando.1999. Islam dan Wacana Politik Modernitas. Bacaan: Ithaca Press.

_______. 2016. The Sociology of Islam: Knowledge, Power, and Civilty. Oxford: John Wiley dan Sons Ltd.

Makna Tahlilan

  PROSESI DAN MAKNA TAHLILAN DI DESA KLORON PLERET BANTUL SETIONO    A.    Latar Belakang Tahlilan sangat erat sekali kaitannya de...