Rabu, 27 November 2019

IDEOLOGI ULTRA-KONSERVATIF DI MEDIA SOSIAL



PENYEBARAN IDEOLOGI ULTRA-KONSERVATIF DI MEDIA SOSIAL

 SETIONO 


Perkembangan zaman dan arus globalisasi yang nampak begitu pesat tidak dapat dibendung lagi, bahkan sekat-sekat interakasi terasa sempit dan tanpa batas. Dengan pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi (HP, TV, Internet dan sebagainya) telah mempengaruhi pola hidup masyarakat, hingga masyarakat tradisional mengalami perubahan ke arah masyarakat yang lebih modern. Tentu kemajuan teknologi menyebabkan perubahan-perubahan yang begitu signifikan pada kehidupan masyarakat dengan segala peradaban dan kebudayaan yang baru.
Perubahan tersebut juga memberikan dampak dan mempengaruhi pola-pola interaksi serta perubahan transformasi nilai-nilai yang ada di masyarakat. Komunikasi yang terjadi saat ini semakin mudah dengan kemajuan teknologi melalui media sosial seperti WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter, Youtube, Google dan sebagainya. Sebagai salah satu media komunikasi, media sosial tidak hanya dimanfaatkan untuk memberikan informasi dan ide-ide, tetapi juga ekspresi diri, pencitraan diri, bahkan untuk update status terbaik yang memiliki inforamasi dan inspiratif.
Namun, di saat perkembangan media sosial yang cukup pesat, justru akar permasalahan dari persoalan-persoalan yang akhir-akhir ini terjadi. Seperti mengenai disintegrasi bangsa, karena melalui media sosial banyak kalangan yang kurang bijak dalam memanfaatkan dan menyalahgunakannya untuk menebar kebohongan (berita hoax), ujaran kebencian, hujatan dan hasutan hingga paham radikal. Hal-hal tersebut yang dapat menjadikan masyarakat memiliki pikiran yang cenderung apatis terhadap kehidupan sosial, bahkan tidak peduli dengan adanya tindakan kejahatan.
Hal ini menggambarkan bahwa pengguna internet dan media sosial memiliki keterhubungan yang cukup signifikan dalam pesan-pesan yang dikonsumsi sehingga mereka percaya terhadap pesan-pesan tersebut. Dalam hal ini, teori stimulus-respon bisa melihat keterhubungan tersebut. Karena teori ini berbicara pada di mana efek merupakan reaksi terhadap stimulus tertentu. Seseorang dapat menjelaskan suatu kaitan erat antara pesan-pesan media dan reaksi audience (McQuail, 1994). Dennis McQuail menjelaskan elemen utama dari teori ini adalah pesan (stimulus), seorang penerima atau receiver (organisme) dan efek (respon).
Kita ketahui bahwa media sosial juga memiliki pengaruh yang besar untuk tatanan kehidupan masyarakat, apalagi dengan adanya internet yang mudah diakses oleh siapapun. Bahkan gerakan-gerakan radikalisme dan extrimisme justru banyak menggunakan media sosial untuk dakwah dan menyebarakan ideologi. Meski tidak hanya gerakan radikalisme yang memanfaatkan media sosial, namun banyak media sosial digunakan organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah. Namun, pada realitanya gerakan-gerakan radikalisme banyak memiliki pengaruh di media sosial, tidak hanya melalui situs-situsnya yang menebar hasutan, ujaran kebencian dan syiar-syiar yang cenderung mengarah pada gerakan kekerasan.
Ajakan-ajakan jihad untuk membantu orang-orang yang tertindas dan kebencian terhadap pemerintahan di negara mereka tinggal secara jelas nampak dalam ulasan mereka. Pembahasan terkait aqidah dan muamalah juga sangat tekstual dalam menafsirkan al-Quran dan hadits, sering kali mereka menulis kata-kata kafir dan menjastifikasi kufar pada orang atau sekelompok orang yang tidak sejalan dengan pemikirannya atau ajarannya. Hal demikian, dapat mengubah pola pikir pembaca ataupun pendengar menuju kebencian. Kalimat-kalimat tersebut dapat mempengaruhi pembaca untuk pembenaran dalam melakukan aksi ataupun tindakan extrimisme maupun terorisme. Sehingga dapat dikatakan bahwa media sosial sangat memiliki pengaruh yang besar dalam mengubah nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, bahkan mudah menghasut masyarakat untuk bertindak anarkis atas nama agama.
Catatan Kritis :
Meskipun arus media sosial tidak dapat dibendung dan tidak semuanya bisa terawasi. Tentu kita sebagai pengguna harus pandai-pandai atau harus bijak dalam menggunakan media sosial dan menyaring informasi secara baik. Sebab, media sosial akhir-akhir ini pada pertumbuhannya justru banyak informasi-informasi yang tidak benar (hoax), banyaknya ujaran kebencian, hasutan-hasutan untuk bertindak rasis, anarkis, extrimisme dan sebagainya. Hal demikian dapat merusak eksistensi diri kita bahkan bangsa dan negara kita. Karena media sosial juga dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki faham radikal untuk menyuarakan ajaran-ajarannya. Bahkan banyak sekali para pengguna atau pencari informasi di media sosial tanpa dibarengi dengan ilmu agama yang cukup, sehingga hal itu bisa berpengaruh pada pembaca untuk bertindak extrimisme maupun terorisme.

Wanita dan Radikalisme


WANITA DAN RADIKALISME

SETIONO 

Indonesia sebagai negara yang penuh dengan keragaman suku, budaya, bahasa, dan agama. Hal itu membuat istimewa Indonesia, namun dengan keragaman yang begitu banyak disatu sisi bisa membawa dampak posistif yaitu pada nilai-nilai persatuan dan kesatuan maupun nilai kegotong royongan, disisi lain keragaman itu bisa berdampak negative, jika setiap individu dan kelompok memiliki sikap sentiment terhadap perbedaan, baik atas nama agama maupun kelompok. Hal itu dapat memicu sikap rasisme, extremisme dan bahkan sikap radikalisme.
Indonesia saat ini cukup rentan terhadap gerakan extremisme dan radikalisme, khusunya pada kaum perempuan. Dengan budaya patriarki di Indonesia yang memposisikan perempuan dalam posisi marginal dan subordinat. Maka perempuan Indonesia akan lebih mudah terpapar gerakan extreamisme maupun radikalisme, terutama perempuan di pedesaan dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang tidak memadai ataupun perempuan dengan pemahaman agama yang sedikit itu akan mudah terpengaruh oleh doktrin-doktrin yang mengarah pada sikap extreamisme dan radikalisme. Mengapa demikian, melihat hasil penelitian dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), bahwa aksi bom bunuh diri yang terjadi beberapa waktu terakhir ini, salah satu dari pelaku bom bunuh diri adalah perempuan yang bahkan mengikutsertakan keluarga atau anak-anaknya. Jika melihat fenomena tersebut, sebenarnya keterlibatan perempuan dalam jaringan radikalisme sudah lama terjadi. Namun, baru-baru ini saja kejadian tersebut terlihat.
Perempuan Indonesia dalam jaringan organisasi extreamisme dan radikalisme saat ini mulai melakukan aksi-aksi bom bunuh diri. Bahkan IPAC merilis laporan yang mengatakan bahwa setidaknya ada 50 pekerja rumah tangga perempuan Indonesia di Asia Timur-kebanyakan dari mereka tinggal di Hong Kong-menjadi radikal dan ikut dalam kelompok diskusi extreamis. Artinya perempuan yang bekerja di luar negeri sangat rentan untuk terpapar dan terlibat dalam jaringan organisasi extreamis. Sebab dengan minimnya pengetahuan agama dan dengan doktrin-doktrin yang diberikan oleh organisasi extreamis dapat mengubah pola pikir dan pemaham mereka terhadap agama maupun pemerintah. Seperti kejadian dua WNI yang di deportasi yaitu pekerja rumah tangga perempuan yang terindikasi terlibat dalam jaringan radikalisme ISIS, artinya hal ini menunjukkan semakin rentannya pembantu rumah tangga yang bekerja di luar negeri terhadap ancaman radikalisasi dan terlibat dalam aksi terorisme. Hal itu semakin mengkhawatirkan keamanan dan cukup menantang bagi keamanan di Indonesia.
Perempuan yang sejatinya memiliki peran penting dalam keluarga untuk peningkatan nilai-nilai dan norma-norma yang baik, namun sangat rentan karena jaringan organisasi extreamis dan radikal memfokuskan pada perempuan agar terlibat dalam gerakannya. Jika melihat fenomena diatas, bahwa perempuan terlibat karena ketidaktahuannya dan minimnya pemahaman agama yang dimilikinya. Kendati bahwa perempuan juga dapat menjadi agen dalam pencegahan extreamis dan radikalisasi melalui keluarga. Karena perempuan memiliki sikap yang bijak dan lembut. Namun, pemerintah juga harus melakukan upaya-upaya preventif yang lebih di fokuskan pada perempuan, khususnya mereka yang akan bekerja di luar negeri. Tidak hanya itu, pemerintah harus memiliki program yang bisa mencegah terjadi gerakan extreamisme dan radikalisme, meskipun sudah ada undang-undang yang mengaturnya, namun jika tidak adanya kesadaran dan kerja sama dengan para stakeholder maka upaya tersebut tidak akan berjalan optimal. Dengan demikian, perlu adanya sinergisitas antar lembaga atau stakeholder yang terkait.


Makna Tahlilan

  PROSESI DAN MAKNA TAHLILAN DI DESA KLORON PLERET BANTUL SETIONO    A.    Latar Belakang Tahlilan sangat erat sekali kaitannya de...